I swore I killed my love
Aku menggigil, tetapi sumpah bukan karena demam. Jariku tak henti-hentinya saling menggaruk dan mencubit telapak tangan. Kedua mataku terpaku kosong pada meja dan untuk pertama kalinya cangkir cokelat panas masih utuh tak tersentuh. Aromanya yang berpilin dengan asap nikotin dan keringat belasan pria membuatku mual. Riuh redam di sebuah kafe murahan di seberang kantor polisi terdengar berkali-kali lipat lebih keras di telingaku, seolah mereka berteriak dan berbisik-bisik di belakang telinga, dan bukannya buka-tutup pintu setiap menit.
Aku mengecek jam tangan. Sudah lebih dari sebelas menit dari waktu yang dijanjikan Theo untuk bertemu. Baru sebelas menit tetapi rasanya seperti sebelas jam ketika yang kulihat hanyalah para aparat keamanan di sini.
Hal-hal gila di otak mulai menyugesti bahwa para polisi itu tengah melirik ke arahku, dan barangkali mereka sudah tahu kalau aku pernah menembak seorang tentara, tetapi privilej membuatku begitu mudah dihapuskan dari daftar—
"Cedric." Bagai sorot mentari di antara gelegar awan hitam, Theo akhir muncul dari kerumunan. Ia langsung duduk di kursi seberang. Wajahnya berkeringat di akhir Oktober yang dingin dan kantung hitam di matanya menebal. "Maaf menunggu lama."
Aku mengangguk pelan. Bahkan gerakanku agak gemetaran. "Bagaimana, Theo?"
Respons pertama adalah helaan napas panjang. Ia mengusap wajah dan berkata, "Pembunuhan," katanya getir. "Sebelumnya maafkan aku karena tidak menghubungimu dahulu. Aku sedang mengurus surat izin penyelidikan saat Minggu lalu—ya, aku lembur—ketika mendapat kabar lokasi Josh Fillman di Mattapan. Jadi kami ke sana ...."
"Fillman ada?"
"Itu dia." Ujung bibir Theo berkedut membentuk senyum, tetapi hati nuraninya menolak untuk melakukan itu. "Tampaknya ia tahu kami sudah menemukan tempat persembunyiannya, sehingga ia kabur sebelum kami tiba. Ada makanan, belum habis dan baru mulai basi. Ia bahkan meninggalkan dompet."
"Tapi," imbuhnya. "Kami menemukan sedikit bercak darah di ambang pintu belakang."
Darahku berdesir.
Theo mengusap pelipisnya yang masih berkeringat. "Kami juga menerima telepon dari dosenmu Pak Wahlberg. Ia bilang muncul patung Josh Fillman di kampus kalian, karena itulah aku mau menemuimu dahulu sebelum ke sana. Pak Wahlberg bilang ada patung Janet Montgomery juga sebelumnya?"
Aku mengangguk ragu.
"Kenapa tidak bilang?"
"Aku tidak mengira ... maksudku, apakah kau mencurigai sesuatu?" aku mengatakan ini karena firasatku pun sedang memberikan spekulasi yang mengerikan.
"Segalanya perlu diselidiki, Cedric. Ayo, kita bicarakan itu sambil berjalan." Ia beranjak. "Kita ke kampusmu sekarang."
Aku buru-buru meneguk sebagian cokelat sebelum menyusul Theo keluar. Kami melompat ke dalam Chevrolet tuanya dan segera meluncur ke jalanan. Tak terbayangkan betapa lega diriku saat keluar dari kafe, sampai-sampai kujulurkan wajahku keluar kaca pintu untuk menghirup udara malam berulang kali.
Selama perjalanan, kuceritakan kepadanya soal kemunculan patung Janet. Theo mendengarkan dalam diam. Aku tak tahu apakah karena ia mencoba melawan rasa kantuk ketika berulang kali dibelai angin malam, atau karena mendengarkan penjelasan detailku yang tak butuh ditanyakan lagi.
Kami tiba di kampus beberapa saat kemudian. Fenway belum ditutup, terkhusus malam ini. Gerbang terbuka separuh dan Cassius Hall menyala terang benderang. Pintu dibuka untuk menyisakan celah sedikit. Beberapa polisi sudah tiba duluan. Begitu pula kawan-kawan sekelasku, termasuk Ronald dan Vincent. Ekspresi mereka mengeras saat melihatku datang bersama Theo.
"Detektif Hester!" Pak Wahlberg yang pertama kali menyambut. Semangatnya berlipat ganda karena dibakar rasa lelah dan kejengkelan. "Cassius Hall tercinta kami menjadi ternodai gara-gara penghinaan ini. Tolong, sekiranya kau mampu mengatasi ini! Aku yakin betul ini berhubungan erat dengan hilangnya mahasiswa bermasalah itu."
"Saya yakin sekali," kata Theo. Ia mengerling padaku dan aku mengangguk ragu-ragu. Kami sempat menyepakati sesuatu sebelum sampai di sini.
Aku menyingkir ketika Theo mulai sibuk dengan rekan-rekan polisinya. Kuhampiri kawan-kawan sekelasku yang saling berkumpul di pojok belakang museum, merapat dan bergidik di malam yang melelahkan ini. Beberapa saling berbagi rokok dan pada titik ini Pak Wahlberg tidak peduli lagi untuk menegur mereka.
"Dari mana kau. Ced?" Ronald menggeram. "Kenapa kau tiba-tiba datang bersamanya? Kau bilang kau cuma mau makan malam, tetapi kenapa aku nggak menemukanmu sepanjang Margoway Rd?"
"Maaf." Aku tertunduk lesu. "Aku tahu kalian nggak suka Detektif Hester, tapi aku harus menemuinya."
Ronald menarik napas dan Vincent segera menyela. "Jangan tekan Ced," ujarnya memperingatkan, lantas bergeser untuk meremas pundakku. Ia tak mengatakan apa-apa selain berulang kali mengusap, memastikan untuk membantuku bernapas dengan lebih stabil.
Beberapa kawan kami mendadak berkasak-kusuk lebih keras. Terdengar suara pintu museum dibuka lebih lebar dan angin bergelung-gelung menyebar ke seluruh penjuru. Polisi-polisi masuk membawa alat-alat pencukil serta bangku kayu, begitu pula Pak Wahlberg. Theo mengawasi patung Josh dengan saksama.
Pak Wahlberg menaiki bangku kayu yang diletakkan tepat di depan patung Josh.
Kami seketika tahu apa yang bakal ia lakukan. Wajahnya berkerut-kerut, tetapi bukan karena amarah. Pucat pasi kembali meliputi rupa tua itu dan selama sesaat aku merasa iba. Rambutnya yang dicat biru lepek, dan Pak Wahlberg terlihat letih saat mengangkat palu serta pencungkil besar di tangannya. Tampaknya para polisi mengerti juga karena dua di antara mereka berjaga di sisi sang dosen, memegangi tepian kursi seolah-olah khawatir Pak Wahlberg bisa jatuh lemas kapan saja.
Cassius Hall menghening. Semua mata tertuju pada Pak Wahlberg, dan sang dosen berusaha keras mempertahankan kedua kakinya tegak dengan tekanan itu. Bahkan patung David, yang selalu menoleh ke kiri, tampaknya ikut mengawasi gerak-gerik Pak Wahlberg.
Ia menancapkan ujung pencungkil pada kepala Josh, lalu membenturkan palu.
Suaranya bergaung keras di Cassius Hall, terpantul pada patung-patung yang mengawasi dengan mata-mata kosong mereka. Para mahasiswa saling merapat. Aku tak berkedip, begitu pula Theo dan para polisi yang mendongak.
Pak Wahlberg memukulkan palu lagi. Lebih banyak serpihan berhamburan.
"Bisa lebih cepat, Pak?" seorang polisi bertanya, jelas tidak sabar dengan hanya serpihan yang berguguran.
"Tidak bisa." Pak Wahlberg menggeram. Meski begitu ia bekerja lebih cepat. Amarah akibat capek mendorongnya untuk memalu lebih keras dan serpihan yang berjatuhan kini sebesar kerikil. Suara keletak ringan menghujani lantai marmer.
Segera, kepala Josh yang bundar bagai bola sepak itu terkikis. Cassius Hall masih senyap selain gaung palu berkali-kali. Setelah terasa cukup lama sampai-sampai kami para mahasiswa mulai berkasak-kusuk lagi untuk mengusir rasa kantuk, Pak Wahlberg akhirnya jatuh.
Namun bukan karena lelah. Ia ditangkap oleh seorang polisi saat ia menjerit. "Rambut!" serunya. "Rambut!"
Segala rasa kantuk terlibas seketika. Seorang polisi spontan memanjat kursi dan meneruskan pekerjaan Pak Wahlberg. Dia jelas tidak sabaran. Theo memperingatkan. Seorang kawanku tahu-tahu mendekat, mengatakan bahwa ia akan melakukannya, dan mendadak terjadilah perseteruan. Patung Josh tersenggol dan jatuh dengan suara pecahan yang menyakitkan. Para polisi melompat menjauh, kawan-kawanku memekik ketakutan, dan kepulan debu memenuhi langit-langit Cassius Hall yang suram.
"Ced!" Vincent terkejut saat kakiku berderap ke arah patung si pengacau. Sebuah keinginan kuat untuk menyaksikan Josh sungguhan terperangkap di dalam patung membuatku berlari. Kawan-kawanku menyusul, berikut para polisi yang merangsek mendekat lagi.
"Ya Tuhan!" keterkejutan dan isakan jijik memenuhi ruangan saat mata kami tertuju pada mayat Josh, tengkurap dengan tubuh telanjang. Kulitnya hancur—sebagian masih terlapis semen yang belum kering seutuhnya dan sebagian terkoyak karena lapisan semen yang terburai di lantai.
Aku tidak tahu siapa yang menyuarakan rasa mualnya, tetapi itu efektif untuk memantikku, dan cokelat panas yang kuminum buru-buru melesat naik ke mulut.
Sementara para polisi mulai sigap menyuruh kami untuk menyingkir, pandanganku bertemu dengan Theo.
Patung Janet.
///
Semua terjadi begitu cepat setelah itu. Mula-mula Ronald spontan merenggutku keluar seolah tahu apa yang sedang kurasakan. Seketika mencapai tong sampah di luar Cassius Hall, aku muntah. Vincent menyusul. Ia membawakan botol sisa air mineral dari mobilku.
Kukira Theo akan mencariku, tetapi ia pasti sibuk betul. Aku yakin ia pasti bergegas mencari patung Janet di studio patung. Terdengar suara riuh yang berpindah ke arah sana, dan tak lama kemudian pekikan kawan-kawan kami menyusul lagi.
Aku memejamkan mata. Tubuhku menggigil hebat.
Janet ...
Aku memang sangat menghendaki Josh terperangkap dalam patung jelek itu, puas melihat akhir hidupnya yang kian hina, tetapi aku sama sekali tak bisa membayangkan hal yang sama terjadi pada Janet. Tidak. Walau ia berselingkuh dariku, aku tidak bisa membayangkan hal sama terjadi pada gadis yang pernah kucintai.
Tidak.
Gadis yang gagal untuk merasakan cintaku.
Aku muntah lagi. Ronald mengusap-usap punggungku dengan keras.
Vincent menunduk di sampingku. "Ced." Bisikannya begitu tenang seakan-akan malam ini tidak mengganggu ketenangannya sama sekali. "Jangan terlalu dirasakan. Kau perasa, kau tahu?"
"Apa maksudmu?" aku menggeram. Perut dan dadaku panas. Mataku terasa terbakar saat menatapnya—pandanganku buram kendati kacamataku bersih dari debu. "Jane, bedebah. Itu Jane ...."
Aku mendesis. Wajahku tersengat amarah. "Itu Jane," ulangku. "Jane."
Vincent menarikku dan aku mendorong kepalaku di bahunya, berusaha menekan ledakan-ledakan di dalam benakku. "Jane," ulangku. Aku tak bisa mengucapkan apa pun. "Jane," kataku lagi. "Kenapa dia ada di sana? Kenapa harus Jane? Aku tahu kami tak berakhir dengan baik tapi itu KARENA AKU."
Aku merasakan bahu Vincent menegang saat suaraku mengeras. Samar-samar kudengar Ronald memperingatkanku untuk tidak berseru, tetapi aku tak peduli. Dadaku perih sekali. Aku butuh memuntahkan rasa sakit itu atau aku akan gila.
"AKU GAGAL," kataku, "AKU GAGAL LAGI MENYELAMATKAN YANG KUCINTAI."
Aku benci kenyataan bahwa pengakuan itu membuka kotak-kotak memori yang kukira tak pernah eksis. Setelah Theo memastikan bahwa telepon Janet bukanlah sekadar mimpi demam, aku bisa mengingat percakapan kami lebih dari perkara mengembalikan uang.
Janet tidak mengatakannya, tetapi aku tahu ia meminta tolong padaku. Aku baru menyadarinya sekarang. Dengan segala pujiannya yang menganggapku sebagai penolongnya, ia sangat berharap aku mampu membantunya lepas dari Josh.
Tapi aku tidak bisa—aku tidak peduli. Aku tidak mampu melihat itu ketika sosok Ibu masih membayang-bayangiku, khawatir bahwa popularitas Janet yang setimpal dengan Ibu akan membuatnya berakhir seperti Ibu—bersenang-senang denganku tetapi hatinya terletak pada pria lain. Dan itu memang benar. Benar.
Tapi Janet masih mengharapkanku untuk menolongnya.
Tidak seperti Ibu yang panik menutupi jejak tentara keparat itu dengan membungkamku dari mengatakan yang sejujurnya dari Ayah.
"INI SALAHKU." Aku menarik diri dari Vincent, dan sebelum ia mampu menarikku, aku membanting-banting kepalaku pada dinding. Ronald langsung menyentak kerah mantelku. Dahiku berdenyut-denyut perih. "AKU YANG BUNUH JANE!"
"Cedric!" Vincent membentak. Wajahnya merah padam saat melihatku menggaruk-garuk wajah. Ronald berusaha menahan kedua tanganku, tetapi pergulatan itu tidak berlangsung lama.
Theo menghampiri. Matanya membeliak melihat kami bertiga dengan situasiku yang kacau balau. Meski begitu Ronald tidak melepaskan. Cengkeramannya malah makin mengerat sehingga aku menggeram kesakitan.
"Apa yang ...." Theo terperangah. Matanya tertuju padaku. "Cedric, apa yang tadi kau katakan?"
"Dia sangat terpukul, Pak," kata Vincent tajam. "Dia tidak sedang membuat pengakuan."
"Aku yang bunuh Jane." Aku mendesis, sehingga Ronald langsung membekap mulutku. Aku benar-benar tak bisa berkutik sekarang. Pemuda Spanyol sialan itu menggunakan seluruh kekuatannya untuk membungkam.
Sudah jelas aku sedang sinting karena Theo tidak memercayai itu. Ia mengangguk maklum. "Aku hanya ingin bilang—"
"Kami sudah mendengarnya." Potong Vincent. "Dan Cedric sangat butuh istirahat untuk saat ini. Apakah kami boleh pulang dahulu?" Ia bergeser untuk menghampiri Theo. Ia mengatakan sesuatu yang tak bisa kudengar. Aku ingin mendengar itu, tetapi Ronald masih menahanku. Kulihat bahwa Theo tampaknya terperangah dengan penuturan Vincent, lalu ekspresinya melunak. Ia mengangguk sekali lagi.
Aku tidak tahu kebohongan apalagi yang diucapkan Vincent, tetapi itu mampu membuat sang detektif mengizinkan kami pulang dahulu. Aku tidak protes saat Ronald setengah menyeretku meninggalkan arena kampus. Kami memasuki mobilku, tetapi aku ditahan di jok belakang bersama Ronald. Vincent duduk di jok pengemudi dan segera tancap gas.
Kendati jarak kami dengan kampus semakin jauh, bayang-bayang mayat telanjang Janet justru semakin kuat di kepalaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top