Her white woll sweater
Perkara sabun kastil saja sudah memporak-porandakan dua minggu pertama kuliah. Aku tahu bahwa ada bahan yang bakal lebih menantang setelah ini, tetapi ketika benar-benar dihadapkan oleh bongkahan batu yang kukenal, rasanya kepalaku mengosong.
Sepertinya aku memang tak bakal lulus kuliah seni pahat Pak Wahlberg dalam sekali coba, kemudian mengikuti jejak Janet dan kawan-kawan kelabku yang lain.
Studio patung kali ini dihuni bongkahan-bongkahan batu putih yang tak kukenal. Alasnya juga berbeda. Jika biasanya kami belajar mengikir sabun kastil di meja baja biasa, kini kami disuguhkan alas kotak-kotak berisi pasir. Bongkahan batu putih setinggi lengan berdiri kokoh saat coba kusentil ringan.
"Alabaster," jawab Vincent sembari, lagi-lagi, menyapukan jemarinya pada batu dengan lembut. Seolah mengelus pipi bayi. Memang seniman aneh. Mungkin semua batu itu ia anggap bayi. "Aku berpikir untuk menggunakan alabaster sebagai bahan patung untuk pameran nanti. Bagaimana menurutmu?"
Apa dia baru saja bertanya padaku? "Semua kupercayakan padamu, Master."
Vincent terkekeh pelan. Kemarin, saat aku memutuskan untuk menginap di rumah Vincent pada malam Senin sekaligus memperbarui perban Ronald, kami membicarakan sebesar apa patung yang mesti kami—atau mereka, tepatnya—pahat. Waktu kami hanya sepanjang musim gugur dan beberapa minggu awal musim dingin. Itu, dipotong oleh tugas-tugas lain dan kehidupan sehari-hari yang mesti kami jalankan, maka waktunya tidak banyak. Semula kami sepakat untuk membuat patung setengah badan, dan tugasku cukup mengais foto Ibu yang jelas.
"Dengan alabaster," tambahnya, "mungkin kita bisa sekalian buat patung ukuran penuh. Tapi aku tak bisa janji."
"Jangan muluk-muluk. Bukannya mau dipajang di museum atau apa."
"Tapi, bukankah ini tentang ibumu?"
Aku diam saja selama sesaat, lantas kuputuskan untuk mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana keadaan Ron?"
Vincent menyeringai. "Ia terlelap macam kukang sekarang."
Aku mendengus geli. "Lukanya?"
"Mulai membaik. Dia kemarin kepikiran untuk coba lamar kerja di pizeria seberang."
Aku memutar bola mata. Dasar pemuda keras kepala. Aku akan mengingatkannya nanti untuk melupakan pekerjaan sejenak dan fokus pada pameran. Toh dia nanti bakal dapat uang dari hasil pelelangan patung.
Sore harinya aku mengunjungi kelab, semata-mata untuk menemui Janet yang sudah lama tak kutemui. Ia sedang bersenda gurau dengan kawan-kawan kelab di ruang duduk, membicarakan tentang olimpiade bugil Princeton yang akan diadakan pada awal tahun depan. Aku tidak suka gagasan bahwa Janet kemungkinan besar bakal ikut serta di sana.
Dasar gadis jalang. Kenapa wanita-wanita yang sangat sadar dengan kecantikannya sering kali suka melakukan hal menantang?
"Ced! Akhirnya!" Janet spontan beranjak dari sofa.
"Lihatlah Hayward," kata seseorang, dan wajah-wajah para kawan kelabku spontan dipenuhi seringai mencemooh.
Tadi pagi, aku masih mengenakan kemeja licin yang dimasukkan rapi pada celana, dan kini, kemejaku sudah keluar sebagian, kedua lenganku tersingsing, dan butiran halus alabaster membuat corak baru di sekujur pakaianku. Kacamataku melorot berulang kali pada hidung yang berminyak. Aku mengusap wajah dan masih ada serpihan putih membekas di telapak tangan.
"Kasihan sekali. Kau mau pai? Kami tadi bikin pai sambil mengerjakan soal-soal MCAT Harvard tahun kemarin." Janet menggandengku ke arah ruang makan. Gila saja. Mereka masih sempat bikin pai sementara aku berselimut debu alabaster selama enam jam di studio. Rasanya aku ingin menggerus semua kerikil yang kutemui di jalan nanti.
"Santai saja. Kau bisa ambil tahun depan lagi." Janet mengedip jahil.
"Tidak bisa. Kita harus memikirkan Harvard tahun depan." Aku mendesah. "Lagi pula tidak lucu kalau aku bertekad ikut pameran, tetapi tidak lulus mata kuliah pahat. Aku harus lulus agar kita bisa mengikutinya dengan baik."
Kukira Janet bakal mendukungku, karena bagaimana pun dia yang menggagas keinginan untuk membuat mahakarya bersama, tetapi dia hanya mengatupkan bibir.
Ini membuatku bertanya-tanya. Ia terlihat seperti menyimpan banyak hal yang siap dimuntahkan kepadaku, dan ini mengingatkan bahwa kami memang sangat jarang bertemu sejak awal semester.
Kami bahkan tidak sempat bertelepon, karena akhir-akhir ini aku selalu pulang dalam keadaan capek. Yang kupikirkan hanyalah mandi air hangat, makanan kiriman tetangga yang dihangatkan ulang, The Milton Berle Show, dan tidur.
Kami menyendiri di ruang makan. Dengan pai rasberi dan teh hangat, aku bercerita panjang lebar tentang lika-liku bantuan Vincent dan Ronald, hingga habislah satu potong dan setengah pai dan tiga kali tuang teh.
Aku agak kenyang kala Janet merenungi ceritaku.
"Ced, aku ... sebenarnya juga punya sesuatu yang ingin kuceritakan kepadamu." Ia mengatupkan bibir rapat-rapat. "Sepertinya kita batal membuat karya bersama."
Aku menegakkan punggung. Kuawasi Janet lekat-lekat saat ia meneguk teh hingga habis.
Ia menarik napas dalam-dalam. "Aku harus kerja paruh waktu. Lagi. Di Iggy Biggy's sekarang. Josh menyuruhku kerja di situ."
Darahku berdesir. Itu adalah nama pub mahasiswa populer di Fenway, dengan citra yanng agak jelek. Aku punya dua alasan bagus. Yang pertama karena sering ada perkelahian di sana, jadi siapa pun yang bersedia bekerja maka akan dapat bayaran lebih.
Yang kedua, Josh sering ke Iggy Biggy's. Oke, ini bisa jadi alasan bagus dan tidak sekaligus. Josh bisa melindungi sahabatnya tetapi aku tidak suka konsep ini. Bagaimana bisa orang yang biasa mengganggu bakal melindungi secara bersamaan?
"Bagaimana dengan kiriman ayahmu?" tanyaku.
"Apa yang bisa diharapkan? Papa tetap kirim surat, dan selama ada surat, selalu ada kertas bukti setoran di bank." Ia terdiam sejenak. "Masalahnya, kemarin tidak ada kertas bukti apa pun."
Sebuah dugaan berkelebat begitu saja di benak. Aku buru-buru menandaskan teh, berharap itu bakal membasuh kata-kata yang sudah merangkak di tenggorokan.
Namun memori-memori lama begitu cepat menguasai otak, dan tahu-tahu mulut bangsatku sudah berkata, "Bagaimana dengan ibumu?"
"Kau ... menuduh ibuku?"
Aku menatap Janet nanar.
"Aku tidak ...." Tentu saja aku tidak bisa melanjutkan kata-kata. Mulutku masih terbuka, tetapi tak ada yang bisa kupikirkan. Mataku memang memandang sesosok gadis berambut pirang, tetapi yang menari-nari di kepalaku adalah wanita paruh baya dengan rambut coklat kastanye dan lipstik merah menyala.
Janet membicarakan kertas bukti setoran bank miliknya, tetapi yang kuingat hanyalah kertas-kerta bukti setoran Ayah yang ditukar Ibu untuk Liberty Bond* tak berguna.
"Tapi aku tidak tahu, Ced." Janet memainkan jari-jariku dengan gelisah. "Tadi pagi Mama pamer ... dan aku yakin itu bukan pemberian pacarnya. Penyanyi halu itu malah tidak pernah kasih dia apa-apa. Kecuali kalau janji-janji puitisnya bisa dihitung, maka dia selalu menghadiahkannya setiap bertemu." Janet terkekeh sinis. "Kudengar dia batal tampil minggu lalu karena diusir. Dan itulah saat aku menerima surat Papa tanpa bukti setor."
Keheningan meliputi ruang makan. Jika sebelumnya aku mengabaikan segala hal selain pai, teh, dan eksistensi Janet, maka sekarang aku mendengar gelak tawa kawan-kawan kami di ruangan sebelah. Atau langit yang mulai menggelap di luar jendela-jendela ruang makan.
Janet membasahi bibir. "Mungkin kau benar, Ced. Mungkin Mama ...."
Tidak. Tidak. "Jangan begitu, Jane Sayang. Bisa saja ada kemungkinan lain." Aku menggenggam tangannya, lantas meremas perlahan.
Yang benar saja. Memori itu membeludak hanya di otakku, tetapi kenapa Janet sampai—
"Yah, tapi Mama mendorongku untuk bekerja lagi, dan Josh memberiku solusi." Ia terdiam sejenak, lantas meremas roknya dengan kuat. "Aku kan ingin ikut pameran juga."
Aku refleks merogoh saku, sembari berusaha mengingat berapa sisa jatah bulananku sekarang. Sial. Ini hampir akhir September. Aku sudah berjanji pada Vincent bahwa semua bahan yang diperlukan untuk patung bakal kutanggung biayanya. Dan stok Lucky Strikes untuk satu musim, yah itu murah, tetapi rasanya aku sekarang harus menghitung ulang berapa sisa tabunganku.
Karena Ayah sudah tidak bekerja lagi, dan aku masih terjebak di sini.
Dan itulah masalahnya. Aku ingin cepat-cepat pindah ke Harvard bersama Janet. Lebih cepat, maka masa depan kami bersama bakal terjamin lebih aman. Namun kami sudah bertekad untuk meninggalkan Fenway dengan setidaknya satu mahakarya.
Aku menelan ludah. "Berapa biasanya uang sakumu sebulan?"
Jika aku ingin menikahi Janet, aku juga harus memutar otak lebih cepat. Apakah lukisan Ibu yang kubuat nanti sebaiknya kubuat salinan dan kujual bebas? Ibu kan cantik. Pasti ada saja yang mau beli.
"Oh, Ced ... jangan."
Aku menepuk-nepuk tangan Janet dengan lembut. "Aku ingin kau bisa ikut menyelesaikan semua ini dengan cepat, Jane, tanpa terbebani apa-apa lagi." Tepukanku tanpa sadar menjadi cepat. "Aku hanya ingin kau berkonsentrasi tentang Harvard, dan tidak kerja sampingan. Tidak di Iggy Biggy's atau apapun rekomendasi sahabatmu."
Ketika aku bilang bahwa aku benar-benar tidak suka Josh, aku akan mengupayakan segala cara demi menjauhkan kedua sahabat ini, meski saku harus kurogoh lebih dalam.
Aku tidak akan membiarkan pilihan hidup Janet dikuasai Josh. Dia pacarku.
"Oh, Sayang." Janet menggigit bibir. Ia beranjak dari kursi dan memelukku erat-erat. Aku spontan memejamkan mata, mereguk wangi tubuhnya yang merembes dari sweter putihnya. Membiarkan kehangatannya merengkuhku sekali lagi.
Jariku meraih pinggangnya dan meremas pelan.
Aku rindu Janet. Setelah segala kekacauan selama dua minggu, aku akhirnya bisa memeluk pacarku lagi. Kembali pada kenyataan bahwa kami harus menghadapi semua ini demi Harvard dan masa depan bersama.
"Kebaikanmu tak pernah tergantikan, Sayang." Janet menarik daguku untuk mendaratkan kecupan di pipi. "Aku akan berusaha untuk ikut berkarya juga, kalau begitu. Kau sudah sibuk dengan teman-temanmu, ya?"
Aku mendesah. "Ya, maafkan aku. Kuharap kita bisa membuatnya bersama."
"Tidak masalah." Janet mulai mengelus-elus tengkukku. "Ngomong-ngomong kau sudah memikirkan ingin melukis apa?"
"Ah, soal itu." Aku menarik diri untuk menatapnya. "Jane, Sayang ... maafkan aku sebelumnya, tapi ... aku harus menarik kata-kataku lagi. Maukah kau melukis Ibu bersamaku?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top