Head empty, no thoughts
Aku bermimpi lagi. Kali ini aku bermimpi terkunci di kamar yang gelap sementara cahaya semarak di luar jendela dan pintu. Kamarku begitu dingin ketika mentari bersinar panas-panasnya di luar sana.
Kamarku begitu senyap ketika Ibu mendesah dan bersorak di luar pintu, tertawa dan cekikikan dengan seseorang selain Ayah.
Aku tersentak bangun dan seketika menghirup bau keringat dan liur. Kutarik napas dengan tajam, dan bertanya-tanya bau keringat siapa yang begitu apek ini. Baunya persis ketiak seorang tentara yang dahulu hobi menumpang mandi di rumah.
Oh, ya. Ini bukan rumah.
Dan, oh, ya, sudah empat malam berlalu sejak saat itu. Aku tidak mau mengingatnya, tetapi ingatan ini banjir seketika pintu kesadaran terbuka lebar-lebar. Aku bertopang siku saat memandang bantal dengan noda kekuningan samar. Ini bantal penginapan.
Tuhan. Ya Tuhan. Kalau bukan karena berusaha menghemat uang, aku takkan pernah menyewa kamar seperti ini lagi. Aku bangkit dengan punggung kaku. Kasurnya amblas dan berderit nyaring, dan berkas-berkas sinar mentari dingin yang menyorot dari selambu tipis membuatku melihat ribuan debu tipis melayang malas. Ew. Aku mengibaskan tangan dan beranjak.
Sekarang perutku yang terasa ditusuk-tusuk. Langkahku kelimpungan saat mencapai wastafel, dan aku menyandarkan bobot tubuhku pada porselen kusam, memandang pantulan mengerikan seorang pemuda dengan janggut tipis tak karuan. Aku tampak seperti berdandan untuk menemui malaikat maut dalam satu jam.
Usai bercukur dan cuci muka (begitu malas mandi. Aku yakin bau apek yang melapisiku adalah bau keringat para penyewa kamar sebelumnya, bukan bauku sendiri), aku turun dan memasuki bilik telepon yang untungnya kosong. Kuputar nomor telepon rumah Janet, dan setelah menunggu sangat lama sampai kukira rumahnya kosong, dia akhirnya menjawab.
"Jane." Aku mendesis saat rasa perih kembali menusuk perutku. "Ayo sarapan. Di mana tempat nongkrong orang-orang biasanya?"
Alasanku memilih restoran langganan para mahasiswa tentu saja karena harganya. Sudah pasti murah. Tapi aku membungkus kalimatku dengan alasan bahwa aku ingin sekali-sekali coba susu kocok yang disukai Janet, dan aku menyesal.
Tampaknya aku bisa kena diabetes kalau menghabiskan susu kocok stroberi di sini. Pergolakan asam di perut membuatku tersedak ringan saat meneguk beberapa kali. Selain itu roti mentega bawangnya enak sih, tapi benar-benar ada jejak minyak pada piring dan kejunya pun berminyak. Aku mendadak merindukan selada segar dan tomat ranum yang Ibu tanam di kebun perang di pekarangan kami, beberapa tahun lalu.
"Kau kenapa, Sayang?" Janet menatap cemas. "Sesuatu terjadi? Kau terlihat makin payah, Ced. Apa kau baik-baik saja? Bagaimana keadaan ayahmu?"
Tolong bertanya satu-satu. Tapi bukan berarti aku bisa menjawab juga. Aku hanya menatap dengan debaran yang perlahan mengencang di dada. Aku sangat merindukan Janet. Lebih parah daripada sebelum-sebelumnya, malah.
Malam saat aku pergi dari rumah seniman sialan itu, aku sempat berkeliling kota seperti orang bodoh. Aku tak mungkin pulang. Tidak kepikiran menyewa penginapan juga, selain ingin menemui Janet dan menanyakan apakah ceracauan Vincent Roth itu benar. Pada akhirnya aku hanya memarkirkan mobil di dekat rumah Janet, terlelap karena kelelahan, dan dibangunkan oleh ketukannya pada jendela saat ia sedang lari keliling komplek.
Empat hari sudah berlalu dan aku masih belum bertanya padanya. Apa kalian sungguhan ... aku bahkan tak sanggup meneruskan kalimat itu di benak. Aku cuma bilang kalau aku tidak bisa pulang, dan aku sangat bingung. Janet juga tak bertanya macam-macam selain memutuskan untuk memberiku banyak ruang dan waktu merenung.
Aku tidak butuh ruang dan waktu merenung. Aku butuh Janet dan pelukannya. Kenapa dia tidak paham?
Lalu aku sadar. Dia baru saja mengatakannya tadi. Aku terlihat payah. Ini pertama kalinya ia mengatakan itu kepadaku.
Aku tak pernah terlihat payah di depan Janet.
"Jane." Suaraku merangkak gemetaran dari tenggorokan. "Apa kau ...."
Aku berhenti lagi.
"Ya?"
"Kau kenal Roth?"
Hening. Aku menyambar gelas susu kocok dan langsung meneguknya sampai habis. Saat gejolak kuat bergelung-gelung naik ke dada, aku lantas teringat kebodohanku dan langsung membanting gelas kosong ke meja. Sekelompok mahasiswa di meja sebelah terperanjat, tetapi Janet hanya diam saja.
"Aku tahu dia. Siapa yang tidak tahu coba?" kenapa Janet bergumam pelan? Apa ia sedang mengingat-ingat? Apa yang diingatnya? "Tapi aku tidak mengenalnya. Ada apa?"
"Sungguh?" sumpah, kata itu langsung meluncur tanpa kupikirkan sama sekali. "Dia hadir di pesta penyambutan mahasiswa baru tahun ini, kan?"
"Tentu saja, dia terhitung mahasiswa baru juga meski pindahan di semester tiga. Tapi aku tak tahu apa-apa soal dia. Sungguh. Lagi pula, pesta penyambutan kemarin lebih heboh daripada tahun lalu. Kau ingat saat ...."
Kenapa dia berbicara lebih banyak daripada yang kubutuhkan? Ya. Tidak. Itu sudah cukup. Kepalaku pening dan tenggorokanku penuh. Aku memandang ke arah jalanan Margoway Ave. di jendela kiriku, berusaha membayangkan aroma guguran daun mapel alih-alih keju dan mentega berminyak.
Namun yang kuingat hanyalah aroma keringat laki-laki dan parfum Ibu yang pekat. Bau keringat siapa? Dan kenapa Ibu perlu mandi parfum saat Ayah jauh di Maroko? Kenapa Ibu selalu mengunci kamarku setiap lewat pukul sepuluh malam, dan kenapa selalu ada tentara yang sama datang setiap pagi untuk "mengurus kebun"?
Aku ingat. Ingat sekali. Di atas selada segar, berlapis-lapis salmon dengan tumpahan lada hitam, dan blok kecil mentega pada potongan baget yang ia berikan padaku di suatu pagi yang mendung, aku bertanya. "Siapa tentara itu, Bu? Dia selalu datang."
"Sukarelawan untuk mengurus kebun. Biasalah. Ibu jijik pada cacing."
Tapi rumah-rumah lain tidak diurusi kebunnya oleh tentara. Berapa banyak rumah yang hanya dihuni calon janda dan anak-anaknya? Banyak. Berapa banyak rumah calon janda yang didatangi tentara yang sama setiap hari? Hanya rumah kami.
"Ced?"
Aku tersentak. "Ya, Jane? Kau tadi bicara soal ...." Apa? Apa yang Janet bicarakan?
Janet mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia mengulurkan tangan untuk meremas jariku. "Ced, kau sakit, Sayang. Wajahmu pucat. Kau mau ke klinik?"
Aku spontan beranjak hingga meja berderit nyaring. Janet melonjak kaget saat aku berteriak. "TIDAK!"
Seisi restoran menghening. Pada saat itulah aku mengenali wajah-wajah familiar yang duduk di pojok restoran, mengawasiku dengan tajam bagai sekelompok elang pemangsa. Josh dan kroco-kroconya.
Namun bukan itu fokusku. Kalau ada Josh, berarti ini tempat makan murahan. Aku jadi ingat lagi dengan lembaran dolar yang kian menipis di dompet. Satu malam lagi. Satu kali makan malam lagi. Dan satu kali isi bensin lagi.
Dengan tempat makan murah, maka seluruh mahasiswa yang menyaksikan aku barusan juga orang-orang murahan. Orang-orang yang dengan cepat akan menyebarkan gosip tentang si calon dokter Harvard yang baru saja membentak dewi Montgomery.
"Ced," Janet berbisik tertahan. Wajahnya tersengat merah. "Apa-apaan, sih?"
"Maaf, aku tidak bermaksud." Aku kembali duduk.
Sial. Kenapa harus selalu aku yang meminta maaf padanya, ketika kadang-kadang kesalahan itu disebabkan oleh dirinya sendiri?
Ketika dia yang semestinya sekarang meminta maaf andai dia benar-benar bersenggama dengan Vincent?
Dadaku bergemuruh. Mataku ikut tersengat panasnya ubun-ubun.
"Jane, tolong jawab pertanyaanku." Napasku memburu dan suaraku agak gemetaran. "Kau ... apa kau sungguhan bercinta dengan Roth di malam pesta orientasi?"
Janet mematung dan, dalam pandanganku, itu menjelaskan segalanya. Ia tidak mengatakan apa pun. Hanya mata yang membeliak lebar dan mulut yang terbuka tanpa suara.
Seiring dengan detik-detik tanpa jawaban, aku mengangguk. "Baiklah." Aku meraih tasku. "Dah."
Janet refleks menggenggam tanganku, tetapi aku menepisnya dengan keras. Lagi-lagi para mahasiswa di meja sebelah kami menoleh, menyaksikan dengan penuh rasa penasaran.
Di ujung wawasan pandangku, terlihat Josh mulai beranjak. Itu pertanda. Minta maaf sekarang atau aku akan menjotosmu. Tapi aku tak peduli. Karena yang berkejaran di otakku bukan rasa penyesalan melainkan rasa penasaran memualkan.
Bisik-bisik mulai memenuhi restoran lagi. Aku tetap melanjutkan langkah meninggalkan restoran sumpek dengan selera warna merah-biru yang jelek itu.
Daun-daun mapel beterbangan melewati onggokan tubuhku yang berjuang melintasi jalan. Sepatuku terasa seperti meleleh saat menginjak trotoar. Padahal sengatan matahari tak sepanas itu.
Yah, apa yang kau lakukan waktu itu? Kenapa aku tidak ingat? Aku hanya ingat senyum keputusasaan Ayah saat menemukan lipatan celana dalam pria yang bukan miliknya di antara tumpukan baju.
Oh, ya. Kau kan hanya—
Pundakku ditarik Josh. Aku kelimpungan saat menatapnya.
"Apa-apaan kau meninggalkan Jane seperti itu? Kau membuatnya malu."
Mataku melongok ke balik bahunya yang gempal. Dari kaca jendela, terlihat Janet meminum sisa teh lemon sambil menutupi wajah, kemudian beranjak pergi, ke arah yang berbeda. Aku kembali menatap Josh.
Apa aku bakal ditonjok sekarang? Haha. Aku menaikkan pandangan, kepada potongan rambut cepaknya yang sangat mirip tentara tukang kebun itu. Lalu aku cegukan. Rasanya stroberi masam. Aku jadi ingat permen yang disodorkan tentara itu, saat aku melihatnya menggerayangi pinggang Ibu di dekat tong sampah.
Dengan wajah merah mesum ia mengedipkan mata padaku. Jangan bilang siapa-siapa, ah?
Ujung bibirku terangkat kaku. "Kalau kau sepeduli itu dengan Jane, kenapa bukan kau saja yang ...."
Josh mengernyit. "Yang apa?"
Ah, baru ingat. "Maaf, tidak jadi. Aku lupa kalau kau miskin."
Tanpa ikut perang pun, sepertinya aku mampu menarik pelatuk dengan mahir karena Josh langsung merenggut kerah dan meninju wajahku. Hidungku serasa meledak dan pandanganku memburam. Josh tidak berhenti. Ia mendaratkan satu hantaman lagi, lagi dan lagi, kemudian membantingku dengan mudah di aspal. Aku berjengit ketika kepalaku terantuk keras, tetapi Josh dan kroco-kroconya tidak memberiku waktu untuk berpikir. Sepatu-sepatu bau tanah mereka menginjak dan menendangku, dan dari pandangan yang berair, kulihat lebih banyak kaki-kaki berhenti melangkah.
Namun tak ada yang mendekat. Tak ada pula yang menghentikan. Mereka sama saja sepertiku, ketika melihat orang lain dikeroyok, mempertanyakan hal bodoh apa yang kulakukan hingga memancing amarah para kriminal teri ini.
Seseorang menendang diafragmaku dan rasanya langsung ingin muntah. Pipiku menggembung dan bibirku mengatup rapat menahan gejolak.
Kemudian, sebuah suara bariton familiar yang sangat keras berteriak, menggetarkan udara dan menghentikan kaki-kaki yang menghajarku.
"HEI!"
"Oh, si pahlawan." Josh mencemooh. Bayang-bayangnya beranjak dari pandanganku. "Kau telat, Pahlawan!"
Gelak tawa kroco-kroco Josh membuatku muak. Seharusnya ini momen bagus bagiku untuk berguling menjauh, tetapi aku tak sanggup bergerak.
Ketika terasa ujung sepatu lain merapat pada punggungku, aku merasakan sensasi menenangkan mengalir di nadi. Jemari Ronald, yang menggenggam lenganku untuk membantu berdiri, terasa seperti rengkuhan endorfin yang membuatku ingin senyum-senyum.
Kayaknya aku sudah gila.
Ronald mencengkeramku erat, tampaknya khawatir tubuh bagai jeli ini bakal ambyar.
"Kudengar kau ditendang keluar, eh? Kalah dari orang Afrika?" Josh mendengkus puas.
"Seperti kau mampu mengalahkannya saja."
Aku kagum dengan betapa tenangnya suara Ronald. Aku jadi ingat hal-hal lama lagi. Bagaimana lukanya? Sudah sembuh belum, sih? Dan oh, Vincent.
Kepalaku bagai jendela yang ngak-ngik pada engsel saat mencari keberadaan pesolek Italia itu. Tak ada. Aku agak kecewa sekaligus lega. Kecewa karena aku penasaran bagaimana jika wajah rupawannya ikut dihantam Josh. Tapi tampaknya Josh takkan berani dekat-dekat Vincent. Entah kenapa aku yakin sekali.
"Lukamu menjelaskan." Josh berdecak. "Kau payah."
"Ya, aku mungkin terluka di alis." Ronald mengangkat bahu. "Tapi kau mungkin sudah tewas."
Josh merangsek, dan kurasakan tubuhku ikut tertarik gerakan Ronald yang bergeser, tetapi semua berhenti saat aku merasakan gejolak tak tertahankan di kerongkongan.
Mulutku terbuka dan muntahanku pun muncrat ke baju Josh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top