Have you tried to analyze a painting?
"Yah, ini teman-temanku."
Aku tak bisa memercayai diriku sendiri. Kemarin aku bilang kalau tidak bakal menunjukkan rumah pada Vincent dan Ronald, tetapi sekarang mereka berdiri di teras rumah atas undanganku.
Namun aku punya alasan kuat: aku sungguhan demam dan Ayah banyak bengong sejak obrolan kemarin. Rumah masih kacau. Kupikir, lebih baik aku kerahkan dua pemuda yang sudah dengar seluruh aib terbesarku daripada merepotkan tetangga.
"Tuan Hayward," sapa Ronald. "Saya Hernandez, pengawalnya Ced sejak semester pertama."
"Hei." Dan lagi, dia panggil Ayah tuan?
"Saya Roth." Vincent menganggukkan kepala anggun, mengingatkan pada cara kakekku dulu menyapa sesama orang hebat saat di pesta-pesta amal. "Senang bertemu dengan Anda, Pak."
Ayah menyunggingkan senyum yang begitu kaku, ujung bibirnya sampai berkedut. "Halo, teman-temannya Ced," katanya sambil menyalami satu per satu. "Maafkan kami karena harus merepotkan kalian. Sebenarnya aku sudah berpikir untuk ... ahh, memanggil tetangga sebelah, tetapi Ced bersikeras ...."
"Tidak masalah," kata Ronald enteng.
"Kami lebih dari senang untuk membantu," imbuh Vincent. "Ini pertama kalinya kami datang ke rumah Ced."
Ayah mengangkat alis saat mendengar nama depanku disebut. Segala kekakuan yang membuat bahunya tegang pun luruh. Ayah meremas punggungku. "Ayah senang kau punya sahabat yang baik, Nak. Sekarang masuklah kalian. Ayo."
Ayah menawarkan mereka camilan, tetapi aku sudah menyepakati rencana dengan mereka melalui telepon. Ayah tak boleh melakukan apa-apa. Jadi kudorong Ayah agar segera berpakaian, naik taksi untuk pergi ke rumah sakit, dan melakukan cek kesehatan. Aku meyakinkannya untuk kesekian kali bahwa aku dan kedua sahabat ini bakal membersihkan rumah.
"Tapi tugas kuliah kalian—"
"Kami juga butuh selingan, Yah." Aku mengeyel untuk terakhir kali. Saat itu taksi panggilan sudah tiba di depan rumah dan Ayah sudah pakai jaket kulitnya. "Kau bawa kartumu, kan? Jangan lupa sapa kawan-kawanmu juga. Jangan pikirkan apapun, aku yakin menggosipi pasien bakal bikin perasaan Ayah lebih baik."
"Ced, aku tidak—"
Aku setengah menyeret Ayah untuk menghampiri taksi, meminta tolong pada sopirnya agar tidak ugal-ugalan, dan menyaksikan taksi itu membawa Ayah pergi dengan lega.
Aku menandakan kehadiranku di dalam rumah dengan bersin keras-keras. Ronald muncul dari arah dapur. Satu tangannya menggenggam botol cairan pembersih dan satu lagi menyodorkan segelas teh hangat dengan cuka apel.
"Kau menemukan sesuatu?"
"Ya, bangkai tikus dan cecak. Terjepit di pintu."
"Ya ampun."
"Apa yang terjadi?" Ronald mendesah. Ia mengedarkan pandangan dengan campuran antara kekaguman dan kekesalan. "Rumah sebesar ini dan kau tak punya asisten rumah tangga?"
Aku mengangkat bahu. "Sejak Ibu selingkuh, dia memecat setiap asisten rumah agar tak ada yang melapor pada Ayah. Dia lupa kalau ada aku."
Ronald batal melontarkan komentar-komentar yang sudah siap di tenggorokan. Ia menatapku, tetapi bukan jenis tatapan iba yang kubenci. Dia memandangku seolah-olah sadar bahwa orang kaya pun juga punya masalah bejibun. Hanya pada titik ini aku bisa merasakan kesetaraan pada dua kaum yang selalu timpang. "Tidak menyewa lagi akhir-akhir ini?"
"Aku sudah pernah meminta, tetapi Ayah tak mau."
Ronald pun mengibaskan tangan. "Kalau begitu kau beristirahat saja sana. Biar kubersihkan dapurmu. Bilang Vince agar jangan kemari."
Aku baru ingat Vincent tidak terlihat di mana pun. Jadi kupanggil ia, dan agak jengkel karena tak ada suara sahutan sama sekali.
Aku mengancam, "Vince, jawab orang sakit ini."
"Di sini."
Aku berdecak saat tahu ia ada di lorong kamar Ayah, tepat berseberangan dengan lorong kamarku. Namun, jujur saja, aku tidak heran kalau dia berada di sana. "Sedang apa kau?" tanyaku saat menyusuri lorong dengan sempoyongan.
Ia sedang bersandar pada ambang pintu kamar Ayah. Matanya menyusuri setiap inci ruangan, termasuk lukisan-lukisan Ibu di langkan jendela yang menghalangi sinar mentari masuk. Ia tidak berkutik bahkan saat aku berdiri di sisinya, dan kukira ia lagi-lagi tenggelam pada dunianya sendiri. Matanya menyipit dan melebar pada beberapa kesempatan, seolah mencurigai sesuatu dan menyadari rahasia yang tak kuketahui hanya dengan memandang lukisan-lukisan tersebut.
"Vince?"
"Sekarang aku mengerti."
"Apanya?"
"Satu foto ibumu yang kau berikan padaku itu sensual." Aku malu saat mendengar kawanku sendiri berkomentar begitu. "Tukang fotonya pasti naksir ibumu dan ingin menonjolkan sisi kecantikannya, dan itulah yang membuat pengerjaan patung kita agak lama. Kau juga tidak terlihat menyukai foto itu."
Aku mengerut malu.
"Foto yang kau pinjamkan kemarin memang sempurna menonjolkan kecantikan ibumu, tetapi itu bukan yang kubutuhkan." Ia mengayunkan tangan ke arah lukisan-lukisan Ibu. "Sekarang aku mengerti perasaan ayahmu. Ini akan mempermudah pekerjaan. Kau keberatan jika aku meminjam salah satu?"
Sangat tidak keberatan. "Bawa sajalah. Aku muak melihat itu semua." Jijik, malah. "Tapi lukisan Ayah jelek—maksudku, bukankan potret Ibu kemarin sangat jelas?"
Vincent tak menjawab. Ia sibuk memilih mana lukisan yang cocok, tetapi semua hampir sama di mataku. Latar biru gelap yang disapu dengan brutal, kemudian figur Ibu yang dipoles dengan begitu berhati-hati.
"Beri aku pandangan lagi," kataku agak frustrasi.
"Masih tentang foto ibumu," kata Vincent. "Semua foto memang hitam dan putih, tetapi seniman yang sudah terbiasa akan mudah mengenali warna-warna asli dari tingkat gelap terang dan seberapa dalam warna tersebut. Ibumu suka pakai lipstik merah, kan?"
Aku menelan ludah. "Ya."
Vincent menunjuk jajaran lipstik Ibu di meja rias, lantas pada lukisan-lukisan Ayah. "Semua lukisan ayahmu tak ada yang pakai lipstik merah."
Aku baru menyadari itu. Ayah memoles bibir Ibu dalam warna oranye cerah, beberapa bahkan pucat natural.
"Ayahmu tidak ingin menonjolkan sisi sensual ibumu. Sementara tukang foto waktu itu mati-matian menjadikan bibirnya terletak tepat di tengah, pusat dari segala lukisan ...," katanya, dan mendadak aku ingin meminta Vincent berhenti berbicara, tetapi dia melanjutkan laiknya kurator museum yang menjelaskan makna lukisan pada rombongan mahasiswa. "Kemudian kontras pada kulit ibumu yang begitu cerah, sangat bertabrakan dengan gelap bibir dan gaunnya."
Vincent mengangkat lukisan Ibu yang kemarin dipeluk Ayah. "Ayahmu melukis ibumu apa adanya. Mungkin sebagian orang akan mengatakan bahwa ayahmu tidak pintar memilih warna. Warna-warnanya suram, dan cenderung pucat. Tapi itulah yang dirasakan ayahmu."
Saat Vincent menatapku, aku merasa begitu bodoh karena tak memahami ayahku sendiri.
"Apa?" tenggorokanku tercekat.
"Dia sangat marah pada ibumu. Kecewa." Ia menunjuk latar biru dengan goresan kacau.
Saat jari Vincent bergeser pada figur Ibu, aku mencoba menebak. "Dan itu rasa cintanya yang memudar?"
"Sebaliknya," gumam Vincent. "Ayahmu melukis ibumu dengan sangat berhati-hati. Nyaris tak ada kesalahan. Ayahmu masih menyayanginya, dan kenyataan bahwa sosok ibumu berada di atas latar menunjukkan bahwa pemujaannya lebih kuat daripada amarahnya. Namun"—ia berhenti sejenak, memutar-mutar jari pada figur Ibu—"warna pucat ini ... adalah cara ayahmu memandang kehidupan. Dan ibumu, yang merupakan pengaruh terbesar dalam hidupnya, adalah simbol dari kehidupan."
Semestinya aku mengagumi penjelasan Vincent. Akhirnya pertanyaanku dan Ayah terjawab. Lukisan potret tidak hanya sekadar lukisan potret.
Namun, aku justru merasakan mataku perih saat Vincent tersenyum kalut. "Kau butuh penjelasan lebih jauh?"
Aku menggeleng. "Terima kasih."
Vincent terperangah. Ia mengerjap dan persona kurator museumnya musnah. "Ced, apa aku menyinggungmu lagi?" ia mendekat. "Ced, aku ...."
"Tidak, tidak apa." Aku mengangkat tangan, otomatis menghentikan langkahnya. "Kali ini ... tak ada hubungannya denganmu." Aku terdiam sejenak, merasakan jantungku sekali lagi diremas-remas.
Paksaan agar Ayah melakukan cek kesehatan di rumah sakit, murni adalah dorongan hati. Bukan atas analisa lukisan. Kalau Vincent bisa mencapai kesimpulan yang sama dengan desakan hatiku tentang kondisi Ayah, maka—
Aku menarik napas dalam-dalam.
"Aku sempat punya firasat tidak enak tentang kesehatan Ayah sejak kemarin." Jariku saling menggaruk. "Tapi kuharap itu hanya firasat saja."
Kamar Ayah jatuh senyap, dan hanya terdengar gema sapu jatuh dari lantai dasar.
"Kuharap aku bisa melakukan sesuatu." Vincent menatapku sungguh-sungguh. "Kau mengalami begitu banyak hal akhir-akhir ini."
Aku tertawa sumbang. "Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Dan lagi tangga besi lipat."
Namun Vincent tidak ikut tertawa.
Vincent membawa keluar lukisan di genggamannya, dan begitu berbaik hati menyandarkannya pada dinding lorong, dengan wajah Ibu menghadap dinding.
"Mari bersihkan kamarmu." Vincent mendorongku dengan lembut. "Ngomong-ngomong aku tadi sempat mengintip kamarmu juga. Kulihat banyak sekali tumpukan buku medis di meja .... Kau masih berniat ke Harvard, ah?"
Setibanya di kamar, pandangan kami jatuh pada buku-buku medis yang mulai berdebu. Aku semalam tak menyentuhnya. Kenyataannya, aku tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisi Ayah. Aku merasa sangat bersalah sudah membicarakan hal paling sensitif tentang Ibu. Aku bolak-balik mengintipnya di kamar. Ia tidak lagi memeluk lukisan Ibu, dan tidur membelakangi semua jajaran lukisannya.
Itulah kenapa demamku tak sembuh walau aku sudah minum obat. Aku bersumpah ini seri sakit paling lama sepanjang sejarah hidup.
"Cewek itu sudah pasti takkan masuk Harvard tahun depan," kata Vincent blak-blakan. "Pemasok uangnya sudah hengkang. Kecuali dia punya sumber tabungan lain."
"Pedas, Bung. Ternyata kau tahu banyak juga soal dia, eh?"
Vince merapatkan bibir sesaat. "Aku hanya menyimpulkan apa yang kudengar. Cewek-cewek suka menyebarkan rumor apa pun."
"Yah." Aku mendahuluinya masuk kamar. "Aku juga tidak tahu. Kondisi finansialku ... sejujurnya ... agak mengkhawatirkan."
"Cobalah beasiswa. Kau pasti mampu."
Beasiswa. Benar juga. Kenapa aku tak kepikiran itu? Kuharap Janetsialan Keparatmontgomery tidak ikut-ikutan mencoba beasiswa. Kalau dia mendaftar, kuharap dia tidak lolos. Tidak pernah lolos.
Aku baru saja akan menyetujui itu, tetapi Ronald muncul di ujung lorong. "Sial, Ced. Aku baru ingat sesuatu."
"Apaan?"
"Kampus agak ramai tadi." Ia melap tangannya yang basah ke celana. Ia bau cairan pembersih bahkan dari jarak beberapa meter. "Muncul kabar kalau kau merusak properti kelab."
"Apa?"
Ronald menatapku dengan ekspresi kelam. "Sudah jelas penyebar gosipnya adalah anak-anak kelabmu. Mereka bilang kau membuat Montgomery menangislah, apalah. Mereka membela Montgomery."
Tanganku mengepal. "Fillman?"
"Tak ada yang membahas cecunguk itu sama sekali."
Aku ingin sekali menghantam dinding, tapi berita ini justru membuat kepalaku makin puyeng. "Sialan," kataku, sebagai permulaan dari segala umpatan yang kemudian menjebol mulutku. Apakah ini berarti anak-anak kelab sudah tahu tentang perselingkuhan Janet sejak lama? Atau, entahlah, mana bisa aku berpikir sekarang? Yang pasti Ronald benar: mereka lebih memilih untuk melindungi wakil presiden mereka ketimbang aku.
"Apa yang membuatnya genting?" Vincent masih tenang. "Kalau Fillman tidak diungkit, lantas?"
"Kerusakan properti. Apalagi kelab itu pakai rumah bekas rektor lama." Ronald mendesis. "Ced, sori karena mengatakan ini, tapi kau mungkin bakal dipanggil dekan dalam waktu dekat."
Aku lemas. "Sial, sial, sial. Jangan sampai Ayah tahu."
"Wahlberg tak berkunjung lagi?"
"Entahlah. Ayah tidak cerita apa-apa. Melihat kondisinya sih, tampaknya tidak. Pak Wahlberg juga mulai sibuk mengurusi pameran itu, kan?"
Kami sempat diam, agak lama.
"Bagaimana jika perselingkuhannya juga di—"
"Kau bodoh, apa kau mau nama Ced ikut tercoreng?" Vincent menyela.
"Sudah tercoreng," keluhku. "Meski bukan berarti aku mau namaku dicoreng lebih jauh." Itu sudah pasti bakal mempengaruhi beasiswa yang baru saja kupikirkan ini. Ditambah lagi, tampaknya aku satu-satunya Hayward yang merusak nama keluarga. Bukan sebuah kebetulan kalau ayahku anak tunggal dan aku juga, tetapi kita tak membahas itu.
"Seolah apa yang kau alami belum cukup." Vincent menggeram.Mata kelamnya berkilat, dan ini mengingatkanku pada refleksnya saat mengancam Ronalddi kelas dahulu.
Ronald pun sama saja. "Kita harus mencari cara," desisnya kesal. Aku agak terintimidasi saat melihat tangannya mengepal kuat-kuat, sampai kukira ia bakal menghantam dinding rumahku dan meremukkannya.
Ronald dan Vincent pun bertukar tatap. Pada detik-detik yang sangat singkat itu, aku merasa mereka seperti saling bertukar kata dalam diam.
Lantas mereka menatapku.
"Jangan khawatir," kata Ronald. "Kau cukup beristirahat saja."
"Benar." Vincent mencoba memaksakan senyum. "Kita akan coba mengatasinya di kampus."
Now... I'd like to clarify that cara Vincent menjelaskan lukisan itu bukan metode pakem ^-^ Like what I've mentioned somewhere in the book, setiap orang punya seni imajinasi masing-masing dan cara mereka menginterpretasikan berbeda. Salah satu cara "benar" untuk menerjemahkan sebuah karya seni adalah dengan bertanya pada pelukisnya sendiri, atau kalau kau memang benar-benar sangat mengenal situasi si pelukis!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top