Dad's nasty secrets
Aku mencium aroma daging panggang saat tiba di rumah Vincent. Ketika aku menutup pintu, obrolan kedua lelaki itu memenuhi lantai dasar.
"Yo, Hayboy." Ronald yang pertama kali keluar dari dapur. Ia membawa wajan datar ke meja makan dengan daging cincang panggang yang masih mendesis. Tidak ada lagi pisau cukil atau pigura-pigura janggal yang memenuhi meja—Vincent menganggap kehadiran Ronald adalah pertanda bahwa kebebasan ini perlu sedikit dikendalikan. Aku suka itu. Setidaknya aku tak perlu makan malam sambil menatap wajah-wajah kosong.
"Tunggu." Ronald mengacungkan jari. "Masih ada."
Saat pemuda Spanyol itu kembali ke dapur, aku memandang Vincent dengan seringai geli. Ia menghampiri sambil mengggoyang-goyangkan gelas anggur di tangan.
"Aku tak menduga dia bakal sesenang itu saat kusuruh beli daging," gumamnya. "Aku sampai tak berani tanya bagaimana kehidupannya selama ini."
"Sebaiknya jangan," kataku, dan tepat saat itu Ronald muncul dengan nampan berisi semangkuk kentang tumbuk dan asparagus panggang.
"Kali ini kau tidak boleh menolak anggur, Hayward."
"Aduh, aku masih menolak."
"Cupu." Ronald mengisyaratkan kami untuk duduk.
"Diam," gerutuku. "Lebih baik kau beritahu aku jika kerja di Iggy Biggy's sebenarnya tidak seburuk itu. Benar, kan?"
Ronald menyerok porsi dagingnya sambil menatapku heran. "Sial, Iggy Biggy's? Aku tidak akan bekerja di sana kecuali gajiku setara dokter. Memangnya siapa?"
Bahuku melemas. "Cewekku."
"Well, selama sahabatnya yang menyusahkan itu masih sering mampir Iggy Biggy's, setidaknya cewekmu bakal agak aman. Suruh dia kerja di bagian dapur saja."
Denting garpu dan pisau memenuhi ruang makan selama sesaat. Vincent bersantap dalam diam, menyesap anggurnya lambat-lambat seolah berada di dunianya sendiri. Seperti biasa. Begitu pula Ronald, yang diam-diam kuperhatikan sedang menikmati tiap kunyahan daging di dalam mulut. Sayangnya aku sedang tidak ingin tenggelam pada duniaku kalau yang memenuhi benak hanyalah keselamatan Janet.
"Tapi kukira kehidupannya baik-baik saja," celetuk Ronald. "Tas baru, mantel baru."
"Itu semua hadiah dariku."
Aku terperanjat saat Vincent setengah membanting botol anggur. Tatapan kami bertemu dan ia tersenyum tipis. Senyum yang janggal. "Gadis populer yang dihujani hadiah dari pacarnya yang kaya? Punya sahabat cowok?" senyumnya kian melebar dan aku terganggu. "Kau masih mau bertahan, Hayward?"
Hening. Kecuali suara kunyahan Ronald yang samar dari balik mulut terkatup, dan desir panas di perutku.
"Apa maksudmu?"
Vincent menurunkan pandangan, pada jariku yang saling menggaruk tanpa sadar di atas meja. "Aku sedikit khawatir. Itu saja."
"Aku tidak tahu bagaimana wanita-wanita Italia selama ini, tetapi Janet bukan seperti itu, Teman." Saatnya untuk menyantap daging ini sebelum dingin, dan sebelum perutku menolak untuk melumatnya karena diranggas asam lambung. "Dia terlalu penat dengan situasi rumah. Ia mesti mengurusi ibunya dan—" aku terdiam sejenak. Kenapa aku mesti mengatakan ini? "Yah, begitulah."
Aku menoleh pada Ronald dengan tajam, sekaligus setengah memohon. Ayolah, kau tahu soal Janet juga, kan? Ronald sering mendatangi tempat Josh nongkrong, meski mereka saling menghindar. Namun Ronald terlalu sibuk mensyukuri potongan daging yang masuk ke mulutnya. Ketika ia menyerok sepotong lagi dari wajan, aku tidak tega. Aku tak pernah melihatnya begini ketika Ronald yang kukenal sebelum ini terbiasa mengeplak kepalaku dan agak dungu soal percintaan.
Menyadari bahwa aku menatap terlalu lama, Ronald tersentak. "Hm, apa? Oh, ya. Maksudku, tidak semua orang seperti itu."
Aku mengangguk pelan. Mengunyah makanan menjadi sebuah perjuangan yang cukup berat setelah itu, ketika lidah terlanjur kelu dan perutku bergejolak mual. Ini bukan salah masakan Ronald. Masakannya enak.
Sebelum pulang, aku membantu Ronald untuk mengerjakan tugas-tugas teori, kemudian mengganti perbannya untuk terakhir kali. Aku tidak banyak bicara dengan Vincent. Dia menepi di ruang patung sambil menenggak satu botol anggur baru, termenung di depan patung gipsum setengah jadi.
Aku tidak bisa tidur semalaman. Aku benci kepikiran banyak hal, dan gara-gara itu aku baru terlelap sekitar pukul empat. Berita bagusnya, tidak ada kuliah pagi hari ini. Sehingga aku tidak perlu buru-buru ketika terbangun di pukul sembilan. Lagi pula punggungku agak pegal juga karena duduk selama enam jam untuk menaklukkan batu alabaster.
Aku terbangun dengan wajah menghadap meja belajar di sisi ranjang. Buku-buku medis koleksi Ayah—Gray's Anatomy yang selalu kusalin gambar-gambarnya, Principles and Practice of Medicine karangan Osler, hingga kitab fisiologi tulisan Guyton—nampak mencolok dan berjajar rapi. Buku-buku catatanku selama masa sekolah, tentang draf-draf esaiku demi melahirkan esai berpredikat kehormatan, menjadi pedestal bagi buku-buku Ayah yang mahapenting. Di atas meja belajar tergantung pigura piagam esaiku. Aku tidak tahu sejak kapan Ayah menggantungnya di sana.
Melihat itu semua mengingatkan pada soal-soal latihan MCAT untuk tes masuk Harvard. Kawan-kawan kelab sudah mulai mengerjakan, begitu pula Janet, tetapi aku belum. Apa-apaan? Semestinya aku sudah menyelesaikannya lebih dahulu daripada mereka semua. Karena itulah yang kulakukan tahun lalu, kemudian mendiskusikan jawabannya bersama Ayah, sembari mengerjakan tugas-tugas teori seni dengan setengah hati.
Sekarang aku malah disibukkan tetek bengek pameran.
Aku memejamkan mata, menghela napas, dan bangkit dari kasur.
Kalau bukan karena Ayah juga, aku ogah melakukan ini.
Ngomong-ngomong soal pameran ... ah, aku harus mendapatkan foto Ibu. Vincent memintanya semalam untuk membuat sketsa patung, dan sejujurnya aku juga membutuhkan itu untuk mulai melukis Ibu.
Nah, lihat? Kapan waktuku untuk mengerjakan latihan soal, coba?
Aku tersaruk-saruk saat berkeliling rumah untuk mencari Ayah, sembari berharap bahwa setidaknya ada satu pigura yang memajang foto Ibu. Tak ada.
Ayah sedang berada di pekarangan depan saat aku mampir ke teras. Mataku mengerjap-kerjap perih atas terjangan sinar mentari, mencoba untuk mengenali siapa pria yang sedang diajak mengobrol Ayah. Ternyata Pak Robertson, tukang kebun yang biasa kami sewa.
Saat aku turun dari teras, tubuhku bergidik atas jilatan angin musim gugur, padahal aku pakai kaos dan celana piyama panjang.
"Yah. Boleh minta waktu sebentar?"
"Kenapa tidak? Ada apa, Ced?"
"Aku butuh foto Ibu. Yang agak besar." Aku menggigit bibir. Tanganku terkepal, berusaha menyingkirkan rasa dingin dan lainnya. "Apakah ... apakah sudah waktunya kita mengunjungi Nenek?"
Percikan jenaka yang semula menari di mata Ayah kini meredup secepat kilat. Tampaknya aku telah memberi usulan bodoh. Kenapa aku menyarankan untuk pergi ke Nenek? Padahal bisa opsi lain. Ke ... ke ... entahlah, adik Ibu, mungkin?
Aku terkejut ketika Ayah tahu-tahu merangkul bahuku dan menuntun masuk ke rumah. Dia tersenyum. "Tebak apa," bisiknya. "Kita sebenarnya tak perlu bersusah payah."
Kami memasuki kamar tidurnya. Sudah lama aku tidak kemari, dan rasanya cukup aneh melihat satu sisi ranjang Ayah tampak selalu rapi dan nyaris tak pernah kusut lagi. Meski tercium aroma parfum Ayah dengan sedikit sentuhan kecut keringatnya, aku masih mampu mengenali jejak bau semprotan rambut Ibu. Lipstik-lipstik merahnya masih terpajang rapi di meja rias di pojok ruangan, tepat di samping jendela yang menghadap ke arah pekarangan depan.
Ayah membuka lemari pakaian dan mengisyaratkan supaya aku mendekat.
Mataku membeliak saat melihat foto Ibu bersandar tegak pada dinding lemari, terjaga di balik pagar tumpukan rendah pakaian tidur Ayah. Reaksi refleksku selanjutnya adalah mengernyit. Aku tak pernah melihat foto ini diambil. Memangnya kapan? Ibu tampak sedikit lebih muda, mungkin satu atau dua tahun sebelum Ayah dipanggil ke Maroko, dan Ibu belum dinyatakan mengidap kanker payudara.
Dengan rambut coklat kastanye yang digelung dramatis, polesan merah menyala di bibir penuh, dan semu manis di pipinya, Ibu tampak sangat cantik. Siapapun pasti bakal jatuh cinta kepadanya meski usia Ibu sudah di awal kepala empat. Di foto itu, tatapan Ibu begitu naif dan penuh binar, seolah sedang menatapku. Yah. Begitulah Ibu selalu menatapku sebelum Amerika memutuskan untuk ikut berperang. Begitulah Ibu selalu menatapku sebelum—
"Er, aku tidak tahu kalau ...."
Senyum malu-malu Ayah membuatku mencelos. "Ayah memang menyimpan diam-diam." Sumpah. Dia tampak seperti remaja yang menyembunyikan foto cinta pertama. Lalu, seolah menyadari tatapanku yang mungkin adalah campuran antara jijik, kebingungan, dan sepatah "kenapa?" yang miris, Ayah terkekeh canggung.
"Memangnya kenapa? Ibu kan masih tetap istri Ayah. Meski Tuhan sudah mengambilnya pergi. Meski ... yah, jasadnya sudah meninggalkanku—kita, maksudku—tetapi ia masih istriku, bukan?"
Aku membuka mulut, semata-mata terdorong oleh pergolakan asam di perut. Aku belum sarapan tapi rasanya ingin muntah. Jariku saling menggaruk.
Tapi, Yah. Aku ingin sekali berkata. Mau serapat apapun kau mengunci pintu lemarimu, Ibu sudah meninggalkanmu.
Aku berdeham. "Oke, baiklah. Jadi aku butuh foto Ibu untuk referensi karyaku di pameran."
"Oh, tentu, tentu! Bawa saja. Dan jaga baik-baik, hanya itu yang kita punya."
Aku menerima foto Ibu dan menahan keinginan untuk meremasnya. "Juga, karena waktunya terbatas jadi aku membutuhkan bantuan teman-temanku. Mungkin aku bakal sering menginap di luar, Yah. Apa kau tak keberatan?"
"Apa kau bercanda? Tentu saja aku tidak keberatan." Ayah menepuk punggung, tepat saat aku berbalik keluar kamar. Aku nyaris terjerembap. Tawa geli Ayah mengekori saat aku terhuyung-huyung ke kamar. "Maksudku, lakukan apa saja, Nak. Pergilah ke mana pun yang kau mau. Menginaplah tiga malam berturut-turut di rumah kawanmu, apalah, apalah. Tapi tetaplah kembali saat akhir pekan. Pak Robertson dan Bibi Bonnie libur saat akhir pekan, jadi tak ada makanan kiriman."
"Yeah, baguslah. Kebetulan nanti sore aku mau mengantar Roth dan Ronald untuk cari bahan."
Aku sibuk menata isi tas sekarang, menjejalkan pigura Ibu di sisi buku catatan medis Ayah yang tak pernah kukeluarkan dari tas.
Ayah menghampiri, menarikku menatapnya dan menepuk-nepuk pundakku dengan bangga. Senyum lebar yang tersungging di bibirnya serupa dengan senyum saat kunyatakan bahwa aku bersedia menjadi dokter—tanpa paksaan apa pun—di usia kedelapan. "Kuharap kau menemukan kesenangan baru saat melakukan ini, Ced. Mempersiapkan pameran, membuat karya, semacam itu," katanya semringah. "Aku tahu kadang-kadang ada masalah yang menyebalkan, karena sudah pasti ada saja hal yang terjadi. Tapi, ingat ini, Nak: itulah yang membuat hasil pekerjaanmu menjadi berkali-kali lipat lebih bermakna."
Aku balas tersenyum.
Well, tidak ada yang salah dari nasihat itu. Membuat lukisan Ibu memang terasa memberatkan tetapi mendapati dua seniman keren mau membantu memahat patung, maka itu luar biasa. Aku merasa sangat dimudahkan pada tahun kedua—seolah Tuhan memang masih mendukungku untuk masuk ke Harvard dan menuntaskan ini semua.
"Ayo, jagoanku." Ayah merangkul bahuku sekali lagi saat meninggalkan kamar bersama. "Bersemangatlah!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top