and the traumatized soldier


Setelah meyakinkan Theo bahwa semua biaya pengobatannya akan ditanggung oleh Vincent, aku meninggalkannya. Dia tidak bisa berkata-kata, dan kuhormati situasinya. Dia pasti memiliki banyak hal yang dipikirkan juga.

Aku pergi ke tempat parkir saat langit nyaris petang dan menghampiri mobilku. Namun pemandangan Ronald sedang muntah-muntah membuatku bergegas menghampiri. Vincent berdiri di sisinya, mengusap-usap punggungnya dengan agak cemas.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

Ronald hanya menggerung dan menggumamkan kata-kata tidak jelas. Ia sepertinya menangis—aku tidak tahu. Dia tampak sangat kacau. Wajahnya merah padam dan pucat sekaligus. Ia sama sekali menolak untuk mengangkat wajahnya dari atas tong sampah, seolah-olah aroma busuk lebih baik daripada gelayut antiseptik dan debu yang mengambang di udara.

Kemudian aku sadar.

Ronald juga korban trauma perang.



"Kita harus pulang." Wajahku spontan pucat pasi. Aku dan Vincent spontan membopongnya ke mobil. Hatiku teriris-iris saat merasakan tubuh Ronald gemetaran hebat. "Ron, ya ampun, bung, maafkan aku. Sumpah. Aku lupa—benar-benar lupa kalau kau tidak bisa ... kenapa pula kau tidak menolak saat kusuruh ikut kemari?"

"Tidak." Dia berjuang sekuat tenaga membentuk kata-kata di antara napasnya yang tersengal-sengal. "Aku tidak ... tidak mau ... kau benci."

Aku benar-benar ingin menangis sekarang. Kusuruh Vincent untuk menemaninya di jok belakang sementara aku menyetir menuju rumahnya. Aku agak mengebut. Mendapati Ronald menggerung dan menggigil di belakangku membuat bulu kudukku merinding.

Beruntung ia tidak menjerit-jerit. Aku ingat cerita Ayah tentang para tentara yang meraung-raung saat mendengar suara letusan kembang api di tahun baru.

Aku tak pernah menyetir secepat ini kecuali saat dulu lari dari Janet. Kudengar Vincent memperingatkanku untuk berhati-hati. Untungnya kami tiba di rumahnya dengan selamat.

Ronald menggigil. Kami setengah mati membopongnya ke lantai tiga karena berat tubuhnya yang mendesak kami berdua.

"Lap basah dan air, Vince," perintahku usai kami berhasil membaringkannya di ranjang. Vincent menurut. Ia langsung melesat keluar sementara aku menggenggam tangan Ronald dan mengusap-usapnya dengan tekanan kuat. "Ssh, Ron, kau sudah aman sekarang," kataku. "Ini rumahmu. Lihat? Lihat, kau di kamar ini lagi. Bau anggur, kau bisa cium itu?"

"Ced—kumohon ...."

"Aku tahu, aku tahu." Aku menggigit bibir. "Kau baik-baik saja. Tak ada apa-apa. Semua aman untukmu."

Aku mengucapkan lebih banyak hal sampai Ronald berangsur-angsur tenang. Napasnya berantakan, tetapi setidaknya dia tidak gemetaran hebat lagi. Kedua matanya berair saat memandang ke arah langit-langit.

Vincent membawa lap dalam baskom kecil dan segelas air. Aku mengelap sisa-sisa muntahan dari pakaian dan lengan Ronald. Selama sesaat kami senyap, mengawasi Ronald yang kacau di sisi kami.

"Ron?"

"Sudah ... sudah aman, Ced?"

"Aman, Ron," kataku lembut. "Sangat aman. Kau baik-baik saja dan semuanya terkendali."

"Aman?"

"Aman. Kau mau minum? Kau harus minum. Ayo, air putih saja."

Ronald menurut. Vincent membantuku untuk mendorong bahu pemuda gempal ini agar terduduk sejenak, memberinya minum, kemudian membiarkannya berbaring lagi.

"Kau mau makan malam enak?" tawarku lagi. "Vince bisa masak juga, kau tahu itu kan?"

"Mintalah apa saja, Ron," sahut Vincent. Walau tenang, ada kecemasan kental di dalam nadanya. "Akan kubuatkan apa saja yang kau mau."

Ronald bergumam, mengatakan sesuatu bahwa ia jelas-jelas tidak mau roti keras dan kreker asin. Lalu ia menyebut wiski, karena rasanya tubuhnya sakit sekali dan kepalanya ingin meledak. Vincent menjanjikan wiski. Lalu Ronald bilang ia ingin daging—steik yang tebal dan enak. Vincent juga memenuhi itu.

Meski begitu Ronald langsung terlelap. Ia baru sempat meneguk sedikit wiski ketika dia memilih untuk tidur. Vince memutuskan itu waktu yang tepat untuk memasak steik, dan kuputuskan itu juga momen terbaik untuk menyampaikan hasil obrolanku dengan si detektif.

Tentu saja aku memilih waktu yang tepat. Aku tak berniat mengatakannya saat ia sedang mengiris-iris daging—entah apa yang bisa terjadi nanti saat ia memegang pisau daging. Aku baru mengatakannya saat ia menghidangkan steik di meja. Ia tahu aku menunggunya.

Ia duduk, membuka tutup botol anggur, kemudian menyuruhku berbicara.

"Apa kau sudah tahu sebelumnya kalau Theo menyelidikimu?" tanyaku. "Dia bilang mendadak diizinkan untuk mengetahui namamu sebagai pengirim uang ke rekeningku."

Vincent tampaknya sudah menduga itu karena langsung meneguk anggurnya banyak-banyak.

"Firasat saja. Tidak menyangka kalau sungguhan begitu sampai kau cerita di telepon tadi pagi," katanya. "Kukira tak ada salahnya kalau suatu saat kau tahu. Aku tak tahan menyembunyikan rahasia lama-lama soal masa lalu kita."

"Bagaimana kau tahu nomor rekeningku?"

"Ingat saat aku melihat-lihat lukisan-lukisan ibumu di kamar ayahmu?"

Aku menghela napas. Aku ingin sekali marah tetapi emosiku tak sebesar itu.

"Jangan diulangi lagi."

"Aku janji."

"Ya, itu, dan hal-hal yang kau lakukan ... itulah yang ingin kubicarakan." Aku mengusap wajah. "Vince, kau tahu kalau kau bisa ditangkap, kan?"

Ia menenggak lebih banyak anggur sehingga hanya tersisa separuh botol. Kukira ia bakal membantingnya ke meja lagi karena aku sudah bersiap-siap, tetapi ternyata ia menaruh botolnya dengan pelan.

"Ya."

"Kau bersedia kooperatif?"

Vincent menatapku nanar. Kedua mata gelapnya berlapis basah. "Kenapa?" suaranya sengau. Aku tidak tahu apakah itu suara Vincent atau Tuan Rose. "Padahal aku melakukan semua ini untukmu."

"Tetap saja itu kejahatan." Aku berusaha untuk tidak goyah. Aku harus tegas padanya. Aku tak boleh tampak lunak dan memaafkannya.

Nadanya berubah. "Aku sudah berjanji padamu takkan melakukannya lagi, Nak."

"Aku mengerti." Bibirku terkatup rapat. "Namun kau butuh menerima hukuman atas perilakumu. Dengan begitu kau benar-benar tahu bahwa itu adalah hal yang keliru, tak peduli semulia apa niatmu. Kadang-kadang ada hal yang memang murni kejahatan dan tak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Kau paham, Tuan Rose?"

Lelaki di seberangku mencengkeram botolnya dengan erat. Ia melakukan itu selama sesaat sampai-sampai kukira botolnya bakal remuk. Lalu ia memejamkan mata, cengkeramannya melembut, dan ia berbisik. "Kau tetap akan menjadi inspirasiku."

"Ya. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku janji akan menjemputmu dari penjara saat masa tahananmu selesai nanti."

Ia menyeringai. "Baiklah." Ia membuka mata dan senyumnya melebar. "Kudengar orang masih bisa berkarya di penjara juga. Mungkin ada lebih banyak ide bagus dari sana."

Aku mengangguk pelan, masih tak percaya dengan betapa mudah mengendalikan jawaban Vincent Roth sekarang. "Kau yakin? Kenapa kau mudah sekali menuruti ucapanku?"

"Sudah kubilang, aku akan melakukan apa pun asal kau senang," katanya. "Berjanjilah untuk rutin menjengukku juga. Aku hanya ingin dengar kabar-kabar yang baik, kau mengerti? Berjanjilah bahwa kau akan menemukan gadis yang tepat, merawat ayahmu, dan bersekolah dengan gemilang di Harvard."

Aku mendengus geli. "Ada begitu banyak janji," kataku. Padahal belum tentu Vincent dan Ronald bakal ditahan dengan kemudahan-kemudahan semacam ini.

Aku ingat, beberapa waktu lalu, bahwa Theo mengungkapkan banyak hal mengerikan padaku. Bahwa pelaku pembunuhan berencana itu bisa dijatuhi hukuman mati, atau penjara seumur hidup. Aku tak bisa membayangkan itu, dan aku benar-benar tak mau. Itulah mengapa aku kembali gigih untuk menyuap.

Aku memang anak Ibu, kan?

Namun, tentu saja aku tidak bilang kepada Vincent dahulu soal upayaku menyuap itu. Biarlah itu menjadi rahasiaku dengan sang detektif.

"Sekarang tinggal bagaimana caranya menyampaikan ini ke Ronald," kata Vincent.

"Oh, aku akan mengatakannya nanti usai dia baik-baik saja."

"Bukan begitu," kata Vincent, dan aku menyadari kemungkinan ada hal-hal yang tak kuketahui soal Ronald selain dirinya. "Karena—"

Ucapan Vincent dipotong suara debuman pintu yang keras. Suaranya dari arah lantai tiga. Kami terkesiap, bergegas naik, dan mendapati Ronald sedang membuka lemari pakaian.

"Ron?"

"Maaf." Ia sangat gugup. "Aku tadi terbangun dan karena masih bau muntah, aku mau ganti baju."

"Sesuatu terjadi tadi?"

"Tidak," balasnya cepat. "Aku hanya mencari ke mana kalian dan ternyata kalian di bawah. Jadi aku ... jadi aku memutuskan untuk tidur lagi."

"Jangan membanting pintu keras-keras." Vincent bergumam sebal. "Kau tahu aku tak suka dikejutkan."

"Ya, maaf." Ronald tertunduk lesu. Suaranya penuh gerutuan. "Sekarang tinggalkan aku."

"Steikmu sudah jadi."

"Kumakan nanti."

Vincent balas menggerutu, tetapi kudorong lelaki Italia itu dan tertawa sumbang. "Sudahlah," kataku, kembali pada peranku untuk melerai mereka seperti sedia kala. "Ron, kutaruh sedikit camilan di nakas. Makanlah itu. Perutmu tak boleh dibiarkan kosong."

"Aku tahu."

"Malam, Ron."

"Malam," katanya, dan kudengar suaranya agak parau, tetapi ia sudah berbalik memunggungi kami dan bersiap-siap ganti baju. Kututup pintu dan Vincent pun mengajakku untuk makan malam di bawah.

Kami mengobrol banyak hal malam itu, tentu saja lebih banyak tentang dirinya karena aku sangat penasaran dengan kehidupan seniman gila ini. Semakin banyak ia bercerita, semakin aku mempertanyakan kewarasanku karena tidak kunjung membencinya juga.

Aku takkan menceritakannya kepadamu karena itu bisa habis satu buku lagi. Mungkin lain kali saja. Yang jelas kau sudah tahu siapa Vincent Roth.

Kami terlibat percakapan yang sangat seru, tentang mantan pacarnya, tentang kedua orang tuanya, tentang semua orang yang berakhir menjadi patung di museumnya.

Lalu, hal yang paling membuatku penasaran, "Mengapa ngengat?"

"Tak ada alasan khusus." Ia tertawa. "Tapi menurut mendiang ayahku, ngengat adalah simbol kelahiran ulang di berbagai kultur."

Aku tersenyum kecut. "Oh, cocok."

"Tergantung persepsi saja." Vincent tersenyum simpul. "Aku lebih suka interpretasi ngengat sebagai kesialan. Bukankah mereka suka bunuh diri dengan membakar diri ke sumber cahaya?"

"Maksudmu, seperti orang-orang mencolok yang tanpa sadar telah menjatuhkan diri dalam jurangmu."

"Jangan khawatir, Cedric." Ia tertawa. "Aku takkan membunuhmu."

Aku tertawa garing, dan segera kualihkan topik ke hal-hal lain. Masih banyak yang perlu dibicarakan. Waktu berlalu cepat, dan kami mengabaikan itu. Kami juga mengabaikan kenyataan bahwa suara gemerisik rumput dan debuman ringan di luar rumah bukanlah sekadar keriuhan malam pada umumnya.

Kami tak tahu bahwa ada badai lebih besar yang akan menghantam keesokan harinya.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top