A new light on the sight
"Ced. Nih."
Di hari Jumat yang dingin, secangkir cokelat panas tahu-tahu mendarat di meja. Aku, yang bersandar pada meja dan baru saja menguap untuk ketiga kalinya dalam satu menit, spontan menoleh. Ronald menatapku sekilas sebelum menarik kursi di belakangku.
"Oh." Aku terheran-heran. Ini pertama kalinya Ronald membelikan cokelat panas, ketika aku yang selalu memberinya selama setahun terakhir. "Trims." Ucapanku menyusul agak telat, semata-mata karena masih mencerna keanehan pagi itu.
Tumben, batinku, tapi Ayah mengajarkan untuk tak pernah mengomentari kebiasaan baik seseorang yang kaurasa janggal. Kalau kau merasa janggal, mereka juga pasti sedang mengalami kebimbangan yang sama.
"Akhir-akhir ini kau selalu pulang telat," kata Ronald. Ia menyeruput cokelat panasnya dengan berisik. "Kau mengerjakan soal-soal latihan di kelab, hah?"
Ronald memang satu-satunya temanku di kelas, sekaligus teman yang kuanggap cukup akrab. Ronald tahu apa yang kualami selama ini, dan itulah salah satu alasan yang membuat kami sama-sama suka duduk di belakang. Aku—terpaksa masuk kampus; dia—ingin melupakan masa ketentaraannya selama Perang Dunia Dua.
"Tidak." Aku mendesah. "Aku belajar mengikir sabun di rumah Roth ...."
Aku merasakan guncangan kecil di kursi. Ronald baru saja menyenggolku dengan kakinya yang sekuat baja. "Buat apa?" ia mendengus. "Bukannya kau ingin cepat-cepat ke Harvard?"
"Well, ceritanya panjang." Aku merosot di kursi sembari menyesap cokelat sedikit-sedikit. "Kau mau dengar?"
"Terserah. Dongengi aku."
Aku menyeringai saat Ronald melipat tangan di meja, bersiap-siap untuk tidur sejenak sebagaimana biasanya ketika dosen tak kunjung datang. Maka aku pun bercerita tentang keinginan Ayah agar aku ikut pameran, Pak Wahlberg yang bermuka dua, rutinitasku yang bolak-balik ke rumah Vincent dan masih harus mengerjakan soal-soal latihan MCAT sampai jam dua dini hari, kemudian nyaris terselip menyebutkan kegundahanku juga. Namun aku berhasil menahan diri, sebab Ronald mengernyit.
"Lalu kau meminta orang Italia itu membuat karya untukmu?"
"Ya, dan aku mau sekalian minta ajari dia sedikit-sedikit. Biar Ayah nggak curiga kalau itu patung pesanan." Mengingat bahwa Ayah sudah menyaksikan perjuanganku membuat babi-kucing yang menyedihkan, aku harus melakukan ini.
Kerutan di dahi Ronald kian bertambah. "Kau membayarnya? Sial. Padahal aku juga tidak sesibuk itu."
Aku menatapnya bingung, dan agak merasa bersalah. Kadang-kadang aku juga meminta tolong Ronald untuk karya seni—membantuku memilihkan kombinasi warna yang bagus untuk lukisan atau semacam itu. "Tapi kau sibuk. Kau masih kerja sambilan di pub biru itu, kan?"
Ronald mengangguk. "Tapi aku masih bisa."
Kalau ia sudah bilang begitu, aku tak tahu mesti merespons apa. Aku hanya menyesap cokelat panas dengan canggung sementara Ronald menghela napas gusar.
Selama sesaat aku merasa posisiku nyaris berseberangan dengannya, sebagaimana Josh Fillman dan kroco-kroconya terhadap aku dan Ronald. Itu bahaya. Aku tahu Ronald butuh uang, tetapi aku tak bisa menempatkan posisiku dengan riskan semacam itu.
Aku hampir ketakutan. Pertama, karena Ronald bisa membuat senior-senior (Josh Fillman itu senior kami) waswas bukan tanpa alasan. Yang kedua, jika sampai Ronald tidak mau membantu untuk membelaku lagi, maka naas sudah riwayatku di kampus keparat ini.
Aku tak pernah mau berurusan dengan orang keras lagi. Tentara, perundung—apa pun itu.
Semenjak saat itu aku tak pernah absen membelikannya cokelat panas. Ronald jarang sarapan, setahuku. Dia hanya sarapan kalau ada duit, itu pun di kantin kampus dan biasanya saat awal bulan. Aku tidak tahu kenapa aku begitu ketakutan. Wajah muram Ronald membuatku sangat kepikiran, sehingga segera setelah kuliah selesai aku langsung tancap gas bersama Vincent ke rumahnya, kalau bisa sebelum kawan-kawan sekelas kami meluber keluar. Bagusnya, tinggal tersisa akhir pekan dan itu berarti Ronald tak bisa mengawasiku lagi.
Di sisi lain aku juga tidak bilang Ayah kalau sedang mempelajari cara mengikir sabun kastil. Yang benar saja. Aku sedang membagi waktu belajar dengan efektif: di rumah, aku selalu mengerjakan latihan-latihan soal dan membuka ulang buku-buku medis koleksinya. Di luar, aku memelototi cara Vincent mengikir sabun dan mengulangnya berulang kali sampai menghabiskan bertumpuk-tumpuk sabun, sambil bertanya-tanya bagaimana aku bisa membuat karya seni dalam beberapa bulan kalau aku tak mampu membuatnya. Memang Ayah terlampau bermimpi, aku yang sinting karena ingin membuatnya senang, dan Vincent adalah orang yang tepat untuk mengerjakannya.
Untuk pertama kalinya aku pamit untuk menginap di rumah Vincent saat akhir pekan. Tak terbayangkan betapa Ayah tak bisa berhenti senyum-senyum ketika aku mengepak tas.
"Baguslah," kata Ayah semringah. "Sudah kubilang, kau pasti bakal menemukan lebih banyak hal menyenangkan daripada berpacaran saja."
Aku hampir mendesis. Aku tidak mau terlihat nyaman di Fenway. Setidaknya di depan Ayah, atau ia bakal membujukku untuk menamatkan kuliah di sini dan perlahan-lahan melupakan Harvard.
Aku sudah hapal rumah Vincent, tapi baru kali ini aku menginjak lantai teratas tempat dua kamar berada. Kamar-kamarnya sangat rapi, tampak tak tersentuh, dan Vincent mempersilakanku untuk tidur di mana saja. Ini membuatku sangsi. Saat aku tanya di mana ia tidur, ia kebingungan.
"Aku tidur hanya jika aku ingin tidur."
Itu sama sekali tidak menjawab pertanyaan, dan ia juga sudah minum anggur satu botol penuh saat aku datang, jadi kuasumsikan dia selalu jatuh tertidur di salah satu sofa di lantai bawah. Sofa-sofa di sana selalu berantakan.
Usai mengklaim salah satu kamar, aku menghabiskan waktu di lantai dua untuk mengikir sabun. Ini bakal menjadi sabun terakhir, sumpahku kali ini, karena aku sudah menghabiskan terlalu banyak. Bukannya aku tak mau membeli lagi—tentu saja aku mampu—tapi kepalaku menggelegak panas tiap melihat onggokan-onggokan sabun kastil. Tanganku bahkan bau sabun permanen, hidungku membenci aromanya, dan jari-jariku serasa ingin meremas sabun itu sampai hancur tiap aku melakukan kegagalan.
Aku benci seni.
Tidak. Tepatnya: aku benci diriku yang tak bisa berseni.
Kenapa? Padahal aku mengerjakannya di tempat terbaik. Rumah Vincent—yang kuanggap sebagai museum mungil—selalu membuatku terlempar ke masa-masa menyenangkan tiap aku melamun. Membayangkan Ibu yang melakukan pose responsif dengan patung di hadapannya, atau mencoba tebak-tebakan makna lukisan bersamaku. Membayangkan kerutan dahi Ayah saat Ibu bilang bahwa ilusi asap nuklir pada salah satu lukisan yang kami lihat bukanlah makna kehancuran, melainkan wujud cinta menggebu-gebu sang pelukis pada ibunya. Membayangkan bahwa kehidupan kami masih baik-baik saja, Ibu tak pernah jahat kepada kami, Ayah tak pernah dikirim ke Maroko, dan bahwa mereka berdua sedang membicarakan masa depanku di rumah sementara aku sedang mengunjungi rumah teman.
Atau mungkin karena itu sekadar bayangan, sehingga ketika disadarkan akan kenyataan betapa kaku jariku dan betapa aku tak menyukai ini semua, maka kebencianku terhadap seni bertambah?
Tidak.
Ini salah Ibu.
Sabun yang sedang kugenggam nyaris remuk kuremas, padahal sudah mulai berbentuk otak secara kasar.
Vincent tahu-tahu menepuk bahuku dengan pelan. "Taruh dulu," suaranya selembut ibu-ibu yang ingin menidurkan bayi. "Kau tahu kalau kau adalah mahasiswa seni, bukan pengikir sabun profesional yang harus menjualnya ke dokter-dokter untuk dipelajari, kan?"
Bahuku melemas.
"Benar."
"Mau cola?"
Vincent menyuruhku beristirahat sampai kapan pun aku mau, tetapi aku memaksakan diri untuk naik ke lantai dua dan mengerjakannya lagi. Saat aku beranjak dari kursi makan (yang lukisan potretnya sudah disingkirkan), Vincent tahu-tahu membanting gelas ke meja.
Aku tersentak.
Rumah Vincent biasanya sepi. Semua pintu dan jendela ditutup karena ia lebih suka bernapas dalam aroma kapur gipsum serta anggur. Sehingga satu bantingan itu menggema hingga ke dalam telingaku.
Ekspresi Vincent berubah drastis. Ia tidak lagi mengangkat dagu dan matanya menyorot tajam dari balik helai-helai rambut ikalnya yang lepek.
"Duduk."
Aku langsung duduk. Jantungku berdentam dan bibirku terkatup rapat. Kakiku nyaris berlari menjauh tetapi aku bertahan. Aku tidak tahu apakah itu pengaruh anggur, tetapi ia jadi lebih mengerikan daripada Ronald.
Ia mengingatkanku pada seorang tentara.
Vincent tampaknya menyadari ketegangan di wajahku, sebab ia memejamkan mata dan meneguk anggurnya beberapa kali. Ia menghela napas, menyeka bibir, dan suaranya kembali tenang.
"Hayward," ujarnya pelan, "berkarya seni tidak bisa dipaksakan sewaktu-waktu sebagaimana mengerjakan ilmu pasti semacam matematika. Sedang bersemangat atau sedang depresi, kau selalu tahu jawaban dari dua tambah dua adalah empat. Tapi seni?"
Aku mengangguk pelan, mengisyaratkan pemahamanku. Aku tak bisa mengatakan apa pun karena keteganganku belum luruh.
Vincent tersenyum canggung. "Apa kau membenci seni?"
Aku tak bisa menjawab itu. Setidaknya selama sesaat, sebelum aku menggeleng samar. "Aku suka seni," kataku. "Aku suka melihatnya."
"Tapi?"
"Tapi," aku refleks mengulang ucapan Vincent, kemudian tersadar akan pancingannya dan lagi-lagi aku menahan diri. Gigiku terkatup rapat di balik mulut yang terkunci.
"Kau tahu kan kalau aku ingin masuk ke Harvard, bukan ke sini?" aku menghela napas. "Aku kuliah di Fenway karena paksaan."
Kulirik sebentar si lelaki Italia, memastikan bahwa ia telah menempatkan seluruh fokus padaku. Kulanjutkan sambil memaku pandangan ke meja lagi. Kuceritakan secara singkat tentang keinginan Ayah yang menyambung dengan lukisan Ibu—yang kualihkan menjadi patung saja—dan siapa Ibu dan mengapa kematiannya membuat Ayah terpukul.
Aku tidak bisa bercerita lebih daripada itu.
Bola mataku bergeser-geser gugup saat Vincent tidak kunjung merespons selain menatap lurus kepadaku.
"Ayahmu adalah dokter Hayward, benar?"
"Ya. Kau kenal?"
"Melihat reputasimu, sepertinya ayahmu orang besar." Vincent membetulkan posisi duduknya. "Dan ibumu, apakah ia juga seniman ternama?"
Aku menggeleng. Senyum tipis tersungging di bibirku. "Ibu menanggalkan dunia seni semenjak menikahi Ayah, demi menaikkan derajat menjadi wanita terhormat yang bisa disandingkan dengan istri-istri dokter lainnya. Tapi Ibu tak pernah benar-benar meninggalkan seni. Dia selalu mengajak kami ke museum sekali tiap musim. Salah satunya ke Museum Ngengat, yang pernah kutanyakan kepadamu."
Vincent lagi-lagi diam, tetapi kali ini ekspresinya berangsur-angsur berubah. Bukan amarah seperti sebelumnya, melainkan ... entahlah, aku tak bisa menjelaskan. Kedua matanya membeliak, bibirnya tersingkap sedikit seolah mengucapkan sesuatu tanpa suara.
Selama sesaat Vincent seperti itu hingga tiba-tiba menatapku lagi. Tatapannya berubah. Ada semangat yang menari-nari di sana dan buncahan kesenangan.
"Sepertinya aku bisa merencanakan patung ibumu dari sekarang, Hayward."
Aku berhasil menyelesaikan sabun ukiran otak pukul dua pagi di hari Senin. Segala kegemparan itu membuatku sukses melupakan ketakutan terhadap Ronald.
Kami berangkat ke kampus bersama satu jam menjelang jam buka Cassius Hall. Agak menyusahkan karena kami belum sarapan, sebab mana mungkin orang seperti Vincent bakal memikirkan sarapan?
Aku mengajaknya sarapan di Fenbye. Suasana masih sepi karena ini awal minggu. Aku memanfaatkan kesenyapan itu untuk bercerita banyak hal kepada Vincent, melengkapi pengakuanku semalam. Menyambung dari permintaanku supaya ia memahat patung Ibu, penawaran Ayah agar aku bisa segera masuk Harvard Medical School, dan keseharianku yang sesungguhnya di kelab ini. Kurasa Vincent akan menjadi kawan yang dekat, dan dia berhak tahu emosi yang kurasakan kalau dipaksa memahat patung Ibu.
Ia hanya mengangguk-angguk selama aku bertutur, dan baru merespons saat aku bercerita soal Janet.
"Bukannya kau bilang kalau kau tidak menyukai kampus ini?"
"Yah ... bukan berarti aku tidak bisa menemukan cinta. Lagi pula Janet sama sepertiku." Aku mencondongkan tubuh untuk berbisik. "Orang tua kami sama-sama aneh dan kami tertahan untuk masuk Harvard karena itu. Tapi kini kami sudah bersama, jadi kami yakin bisa masuk Harvard bersama dalam beberapa tahun."
"Menikah?"
"Sedang kurencanakan."
"Jangan terburu-buru." Vincent mengernyit samar.
"Siapa tahu perang takkan berakhir. Perang dunia, perang dingin, apalagi?" Aku mengacungkan garpu yang berlumur sisa krim. Menu pagi ini adalah carbonara dan Vincent sempat mengomentari pemakaian krim alih-alih kuning telur. Aku tidak peduli.
"Aku harus memastikan bahwa keluarga kami punya penerus setidaknya satu orang," lanjutku. "Dan karena kuliah di Harvard bakal menyita waktu, jadi pernikahan memungkinkan diadakan sebelum atau sesudah masa kuliah itu."
"Kau tak punya saudara lain?"
Aku menggeleng. "Ayahku anak tunggal, begitu pula aku. Semenjak Ibu meninggal, hubungan kami dengan keluarga besarnya berakhir begitu saja."
Tampaknya aku berhalusinasi, tapi aku yakin Vincent jelas-jelas mendengus geli ke arah cangkirnya. "Kau yakin mau menikahi gadis seperti itu?"
"Apa?" tanyaku, dan saat Vincent tak mengatakan apa-apa selain menatapku lurus-lurus, aku sempat tak tahu mesti menjawab bagaimana.
"Kau mengenal pacarku?" tanyaku lagi.
"Bukan begitu, tapi gadis-gadis semacam itu biasanya masih suka memikirkan kesenangan di usia segini." Vincent menyesap minumnya dengan perlahan. "Tipe yang membangkang dari orang-orang tua di rumahnya dan ingin mencoba kebebasan di era selepas perang."
Aku sempat tertegun. Aku tidak heran kalau komentar miring seperti itu bisa keluar dari mulut Vincent—dia sering mengucapkan hal-hal yang membuatku mengangkat alis atau melotot, tetapi ini agak berbeda.
"Jane tidak seperti itu," bisikku. "Malah ibunya yang sinting dan dia hanya mencoba ...." suaraku memelan, dan aku memotong kalimatku sendiri saat menyadari bahwa Vincent tak berhak mendengar itu.
Beruntung kami tak perlu berlama-lama larut dalam percakapan ini. Saat satu per satu anak asrama muncul, perhatian kami teralih. Mereka takjub melihat Vincent yang bak lukisan hidup, terkesima karena ini pertama kalinya aku mengajak kawan selain Ronald. Yah, aku memang sering membawa pemuda itu ke kelab kalau dia tampak kelaparan di akhir bulan, walau Janet tidak begitu suka, sebab kadang-kadang ia juga membawa Josh kemari.
Namun aku tidak yakin ingin membawa Vincent sering-sering juga. Sepertinya dia tidak suka Janet.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top