A change for good (really?)
Selama sesaat aku tak tahu mesti merespons bagaimana. Janet? Kenapa tiba-tiba ada patung Janet dengan ukuran penuh di sini?
Patung itu agak aneh, sebab Janet terlihat lebih gendut. Meski ukirannya halus, tetapi tidak terlalu detail. Siapapun yang membuat patung Janet jelas sedang memperoloknya. Kepala Janet dibuat menunduk dengan satu tangan menopang sebagian wajah, jari-jarinya menutupi seolah sedang merekam rasa malu Janet di resto murahan tempo hari.
Itu konyol, sekaligus menyedihkan. Kalau Janet melihat patung ini dia pasti bakal marah dan menekankan bahwa perjuangan dietnya luar biasa. Aku mungkin akan menertawainya. Kalau aku bisa memahat patung, aku akan memahat Janet seperti ini.
"Well?" Pak Wahlberg memecah keheningan. "Apa yang salah?"
Seisi ruangan saling bertukar tatap, kemudian melempar pandangan kepadaku serentak.
"Apa?" suaraku lebih melengking daripada yang kukira. "Aku diopname. Mana mungkin aku buat beginian?"
Siapapun yang melakukan itu pasti ingin mengejek kami. Mungkin si pelaku tidak tahu bahwa aku dan Janet sudah putus. Tapi siapa?
Pak Wahlberg akhirnya membubarkan kerumunan setelah memastikan bahwa keriuhan ini sia-sia, bahkan menuduh para mahasiswa sengaja untuk memotong jam kelas, dan para dosen bakal tidak menyukai ini. Diiringi gema langkah kaki para mahasiswa lain yang studiodan Cassius Hall, kami merapikan bangku-bangku dan alas-alas batu alabaster. Pasir berhamburan sebagian di lantai dan gadis-gadis menyuruh kami agar naik bangku sejenak sementara mereka menyapu.
Suasana hati Pak Wahlberg buruk sepanjang kelas. Dia menyampaikan instruksi dengan mengomel dan komentarnya pedas pada setiap mahasiswa yang konsultasi karya. Bahkan Vincent, yang biasanya dipuji-puji dengan riang, hanya dijawab sekenanya tanpa dilirik (tetap saja menunjukkan bahwa dia diperlakukan lebih baik daripada yang lain, sih). Aku pun ogah berkonsultasi—selain karena prosesku tertinggal jauh daripada yang lain, aku juga terganggu dengan keberadaan patung Janet di dekat meja Pak Wahlberg.
Mau tidak mau, pandangan siapapun tertuju pada patung itu.
"Patung itu seolah mengolokmu, Ced," bisik Ronald. "Tapi siapa yang seniat itu?"
"Dan sejelek itu?" Vincent mengeluh. Sudah lama sejak terakhir kali aku mendengarnya mengucapkan kata-kata buruk ketika perannya akhir-akhir ini adalah memastikan bahwa mentalku baik-baik saja.
Yang kupikirkan hanyalah Janet harus melihat ini, dan mungkin aku akan sok mengakui bahwa itu adalah mahakaryaku. Ya, Janet. Kamu mahakaryaku. Patung ukuran realistis yang penuh dari ujung rambut sampai ujung kepala, merekam rasa malu terbesarmu di restoran, dan gendut.
"Ron," bisikku. "Berita soal patung ini bakal menyebar, kan?"
"Tentu saja," gumam Ronald. "Aku tahu satu-dua orang yang dekat dengan Montgomery dari kerumunan tadi pagi. Segera, Ced." Ia berhenti sejenak untuk memberiku seringai culas. "Mantanmu itu bakal datang kemari dengan wajah merah padam."
Ngomong-ngomong, ada hikmah saat aku dirawat di rumah sakit. Bukan karena aku merasa hidup lagi karena mencium aroma alkohol dan melihat jas dokter alih-alih aroma gipsum, melainkan karena suasana hati Ayah membaik. Baiklah, dia memang agak syok saat sadar—benar-benar sadar—bahwa tabungan kami menipis (bagaimana pun Ayah ingin aku dirawat di rumah sakit swasta), tetapi selebihnya beliau bisa tertawa dengan terbahak-bahak. Ayah selalu tersenyum lebar setiap visite dokter, dan kebetulan dokter Millstone menanganiku ... sampai ia menemukan fakta bahwa aku juga habis terlibat perkelahian.
Koreksi: Ayah juga syok saat tahu aku sempat dipukuli oleh selingkuhan Janet. Untungnya Ronald sedang hadir saat itu terjadi. Perdebatan nyaris meletus antara kami bertiga, tetapi Ronald dengan sangat bijak menengahi, lantas mengatakan bahwa semua ini takkan terulang lagi. Aku dan Janet sudah putus. Hidung Josh remuk (di sini Ronald membantuku berbohong, mengatakan bahwa aku meremukkan hidung Josh saat perkelahian, dan sama sekali tidak menyebutkan bagian di mana aku melempari Josh dengan kursi beberapa waktu kemudian). Ayah menutup perdebatan itu dengan rasa takjub yang berusaha ditahan.
"Ternyata kau bisa bertengkar juga?"
Aku merasa sikap Ayah sedikit berubah setelah itu.
Sore ini, sepulang dari kampus, Vincent menyopiriku dan Ronald ke rumah. Dia yang mengurus mobilku sejak dijemput dari bengkel, dan kubiarkan dia yang membawanya ke mana pun ia mau.
Kami punya rencana bersama Ayah hari ini.
Setibanya di rumah, pintu depan rumah sudah terbuka lebar. Terpal berdebu yang menutupi Lincoln Continental 1940 miliknya juga sudah dilipat, dan Ayah tengah mengawasi seorang kacung mencucikan mobilnya.
"Ciao!" Ayah mengangkat tangan. Saat kami turun ke pekarangan, ia sudah naik ke teras. "Masuk, masuk. Semuanya ada di atas. Ayo."
Vincent dengan sangat murah hati pura-pura tidak tahu tentang seluruh lukisan Ibu di kamar. Sehingga, ketika Ronald terkejut melihat koleksi Ayah, dan buru-buru mencubit lengannya sendiri agar mengaburkan ekspresinya, Vincent berdeham.
"Anda sangat bersemangat, Pak," kata Vincent. "Seharusnya Anda ikut jadi mahasiswa di Fenway bersama Ced."
Ayah tertawa keras-keras, dan mengisyaratkan kami agar segera membawanya. Aku mengambil dua pigura Ibu dan menghadapkannya ke sisi luar. Entah mengapa aku merasa geli saat lukisan potret Ibu bergesekan dengan mantelku.
"Aku sempat berpikir begitu, bahkan menggantikan Ced sekalian saja, tapi tidak deh!" Ayah ikut membopong dua pigura. Ia sama sekali tidak curiga saat lukisannya berkurang satu sejak minggu lalu. "Aku sama sekali tidak ada bakat seni."
"Anda harus percaya," kata Vincent. "Semua orang memiliki sisi seniman dalam diri mereka. Bagaimana jika saya bilang bahwa ... daya imajinasi tiap orang berbeda? Milyaran—tidak, bahkan mungkin lebih dari trilyunan—imajinasi berbeda telah mewarnai dunia ini. Dan akan terus bertambah, sebab orang tak berhenti bermimpi, dan mimpi mereka tak terhitung jumlahnya."
Aku dan Ayah sama-sama berhenti melangkah. Terpana.
"Catat itu, Ced," bisik Ayah.
"Catat sendiri, dan sampaikan ke dokter Mills nanti."
Ayah, lagi-lagi, tertawa. Kami pun terlibat obrolan ringan sampai tiba di mobilku untuk menjejalkan belasan piguran ke jok belakang.
"Yah, aku mesti menginap lagi," kataku agak cemas. "Tapi besok aku pulang, sumpah."
"Tak masalah." Ayah mengedipkan mata. "Ayah juga sudah buat janji malam ini."
Aku menatapnya dengan alis terangkat, dan ia mengangguk sungguh-sungguh. "Janji di malam hari?"
Sementara Vincent dan Ronald berdebat kecil apakah sebaiknya memasukkan dua pigura yang tersisa di bagasi belakang, atau memintaku untuk memangkunya nanti, Ayah menyeretku menjauh sedikit.
"Psikolog yang akan kutemui malam ini adalah kawan Ayah sendiri." Ia merangkul bahuku. Saat aku menoleh kepadanya lagi, dengan penuh harap sekarang, Ayah meringis. "Ingat, teman Ayah masih banyak, kau tahu? Jadi jangan khawatir. Dia juga menawarkan Ayah untuk menginap nanti malam."
"Baguslah. Jadi kau takkan makan malam di rumah?"
"Tidak. Sahabatmu Hernandez tidak berencana untuk masak lagi, kan?"
Sebenarnya kami tadi sempat berhenti di toko kelontong, tetapi aku menggeleng. "Tenang saja."
Ayah menepuk-nepuk punggungku saat kami kembali. "Jadi, anak-anak, bagaimana proses patung kalian? Dan, ah, bukannya aku bermaksud memberikan tekanan."
Sementara Ayah mengajak mengobrol mereka, aku berlari ke dalam rumah untuk mengambil baju ganti dan sebagainya. Setidaknya aku harus membawa beberapa pasang pakaian untuk ditinggalkan sebagian di rumah Vincent. Rumahnya sudah menjadi rumah keduaku, kau tahu?
Saat aku sedang mengepak pakaian di tas, aku menyadari buku-buku medis yang makin berdebu di meja.
Aku melamun cukup lama—selama aku merasa telah membuang banyak waktu saat tersadar dari pergelutan benak, dan barangkali Ayah sudah kehabisan topik obrolan yang menyambung dengan kedua sahabatku. Jadi aku pun mengunci tas dan menutup pintu.
Tidak dulu untuk saat ini.
Saat aku menuruni tangga, telepon berbunyi.
"Halo, dengan kediaman Hayward."
"Nak Hayward?" alisku berkedut saat mendengar suara wanita. Agak familiar, tetapi terasa asing di waktu bersamaan. Karena aku tak segera menjawab, suara sengau itu menambahkan. "Ini ibu Jane, ingat?"
Darahku berdesir. Kenapa tiba-tiba ibunya menelepon? Menyesal karena aku putus dari putrinya? "Ya, Bu Montgomery." Aku berusaha untuk tetap ramah. "Ada apa?"
Ibu Janet tidak bergegas menjawab. Ada gumam keraguan sejenak. "Apakah Jane ada di rumahmu?"
"Maaf?"
"Jane lama tidak pulang." Ia terdengar seperti sedang menahan tangis, atau barangkali sudah kehabisan air mata. "Aku tidak bisa menghubungi tempat-tempat ia biasa berada ... dan kupikir ia ada di rumahmu?"
Gagasan terakhir yang dipenuhi penekanan itu membuatku tidak tega.
"Ced, kenapa lama sekali?" suara Ayah terdengar dari ambang pintu masuk ruangan. "Jangan buat temanmu menunggu."
Aku mengangkat tangan, memberinya isyarat untuk menunggu. "Maaf, Bu. Tapi ... saya sudah tidak bertemu Jane cukup lama."
Ada isakan lirih di seberang sana. "Sungguh? Jane tidak menyuruhmu berbohong atau apalah?"
"Tidak, Bu. Kebetulan saya diopname minggu lalu, jadi rumah kosong."
Ibu Janet tampaknya hampir ambyar. "Baiklah, terima kasih." Ia terdengar seperti menggunakan segenap kekuatannya untuk mengatakan itu. "Aku ... aku akan melapor pada polisi saja."
Aku baru saja akan mengatakan sesuatu, tetapi sambungan telepon terlanjur diputus. Aku bengong sesaat, mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, dan beranjak.
"Siapa tadi?"
"Bukan siapa-siapa." Suaraku agak mengambang. Aku lantas pamit kepada Ayah, berpesan kepadanya agar menikmati waktunya bersama si psikolog, dan mengunci semua pintu dan jendela rumah.
Usai membalas dengan harapan bahwa aku juga mesti menikmati waktu bersama sahabat-sahabat baru, Ayah mengantar ke depan.
Saat melihat wajah kedua sahabatku yang sudah menunggu di dalam mobil, aku kembali teringat patung misterius Janet di ruang studio.
Perutku bergemuruh.
Kenapa rasanya ada yang tidak beres?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top