tiga belas

Berdebat dengan manusia seperti Pak Bhum rupanya telah menguras energiku ke titik terendah. Beruntung, Mas Arman sesekali mau membalas pesan atau meneleponku barang satu menit saat aku sedang down seperti hari ini. Sumpah, aku nggak mau berantem dengan bosku, akan tetapi tampang sok kerennya yang seolah mau menarik perhatianku telah membuat aku jadi pribadi yang antipati sama orang. Bukan apa-apa, aku jadi waspada takut salah ngomong karena mataku saat ini mulai nggak bisa bedain mana Pak Bhum mana orang lain. Dia kayaknya berubah jadi manusia yang berbeda setelah menyatakan perasaan kepadaku, dan setelah bilang dia bakal berusaha menaikkan persenan dari angka dua ke angka tiga. 

Huh, gimana ceritanya? Dia naik dari satu ke dua saja aku nggak paham. Siapa yang naikin level dan nentuin standar? Mana ada yang seperti ini. Emangnya penelitian itu bisa semudah itu? Mana kelas kontrol mana kelas penguji, kok tahu-tahu sudah naik level? Dikiranya aku bodoh sampai bisa kebobolan masalah seperti ini? 

Nggak bakal bisa.

"Bulan." 

Saking linglungnya, aku bahkan nggak sadar sudah berdiri di depan kantor Pak Bhum dan nyaris seperti orang bego sewaktu melihat seseorang yang kayaknya aku kenal tapi penampilannya tampak beda.

Aku baru sadar dia adalah Pak Bhum ketika sekali lagi, dia memanggilku dengan panggilan Bulan.

Ada angin apa, dia tiba-tiba pakai baju koko putih dan peci? 

Bawa sajadah juga. Masyaallah. Pak Bhum mau syuting iklan baju koko atau peci, atau malah iklan sajadah? Kok aku malah nggak tahu?

Anehnya, Pak Bhum malah menyeringai begitu melihat wajahku yang terlalu takjub. Aku memang nggak komen tentang penampilannya hari ini yang agak waw, soalnya dia kan setiap hari pakai setelan resmi, kayak kemeja, jas, atau batik. Baju koko adalah pemandangan baru buatku. 

"Saya keluar salat Jumat dulu." Pak Bhum bicara setelah hening beberapa saat di antara kami karena aku sibuk memindai penampilannya.

"Felix masih di jalan, sebentar lagi tiba. Kamu tanya dia mau makan di kantor atau di luar. Kalau dia bilang di sini, kamu pesan online, ya."

Kapan Pak Bhum beli baju koko ini? Dia dapat dari sponsor? Seingatku pagi tadi dia pakai kemeja warna putih kebiruan, kok bisa ganti? Atau Pak Bhum sengaja bawa salinan? 

Aku pindai lagi celana bahan yang sekarang dikenakannya, ternyata sama persis dengan yang Pak Bhum pakai pagi tadi. Berarti dia cuma bawa baju koko pengganti. 

Oh, hari ini hari Jumat? Pak Bhum mau salat di masjid bawah? Pantas mukanya basah, habis wudu? Sekarang jam berapa, sih? Setengah dua belas? Aku melirik ke arah arloji yang kupakai, memang betul pukul setengah dua belas. Apa nggak kecepatan buat salat? Setahuku waktu Zuhur sekitar dua belas lewat lima belas.

Ini salat Jumat, Lan. Berebut sapi.

Aku tertawa sendiri dengan istilah berebut sapi. Bapak di kampung dan Mas Surya sering bercanda seperti ini. Jika kita dapat shaf di depan sekali, jauh lebih baik dibanding posisi belakang yang cuma diibaratkan bapak kayak porsi nasi kucing. Tapi, aku nggak yakin, paham bercandaan dalam keluarga kami juga dianut oleh Pak Bhum. 

Dehaman Pak Bhum kemudian berhasil membuatku mengerjap dan saat kupandangi wajahnya, dia terlihat amat puas. Aku bahkan lupa tadi dia menyuruhku melakukan apa saking aku fokus kepada dandanannya.

"Bapak ngomong apa?" 

Pak Bhum dengan sabar mengulangi instruksinya termasuk menyebutkan aku sebagai anggota yang bakal diajak makan siang. Tentu saja aku mengerutkan alis tanda nggak mengerti.

"Saya juga?" aku mengulang, menunjuk diriku sendiri.

"Kamu puasa?" Pak Bhum bertanya lagi dan segera kujawab dengan gelengan. Selain aku merasa curiga dengan niatnya mengajak makan, aku sudah punya rencana dengan orang tuaku.

"Nanti saja, bareng sama saya habis kita makan siang. Saya juga ada janji sama bapak kamu."

Loh. Loh. Loh, sejak kapan? Aku bengong dan berusaha mencerna dan melihat kebingunganku, Pak Bhum segera melanjutkan, terutama setelah aku mencercanya dengan pertanyaan, "Sama bapak saya? Ada perlu apa?"

"Kamu parno duluan. Saya janji mau memberikan beberapa buku tulisan saya kepada bapak kamu. Beliau tertarik, buat bacaan di rumah."

Buku? Aku tahu, Pak Bhum menulis beberapa judul buku. Yang aku nggak tahu, kapan mereka bicara tentang buku lalu Pak Bhum menawari bapakku untuk membaca hasil tulisannya. Meski begitu, aku bersyukur Pak Bhum nggak berbuat aneh-aneh. Niatnya yang kemarin-kemarin aja sudah buat aku stres, apalagi kalo hari ini dia nekat menemui bapak buat melamar aku.

Nggak kebayang kalau mimpi burukku jadi nyata. Ya, ampun, gimana dengan nasibku kalau dia beneran jadi suamiku, dih?

"Easy, Bulan. I haven't done anything yet."

Pak Bhum terkekeh dan dia melambai sebelum akhirnya berbalik meninggalkan aku menuju masjid untuk melaksanakan salat Jumat. Karena itu juga, aku kemudian merasa kalau tubuhku sedikit berkeringat dan jantungku berdebar tidak karuan.

Iya, kamu bilang belum melakukan apa-apa. Iya, kamu bilang aku yang kebakaran jenggot. Tapi, pelan-pelan, kamu sudah mulai menguasai hati bapak dan ibu dan juga sudah nakutin aku dengan perasaanmu. 

Kamu juga sudah biasa mainin hati cewek, jadi nakutin orang kayak aku, bukan masalah buatmu.

Aku kemudian merasa menggigil untuk satu hal yang aku sendiri nggak ngerti. Gara-gara itu juga, aku kemudian buru-buru mencet tombol telepon ke Mas Arman dan ngarep banget dia cepat mengangkat panggilanku. Tapi, sampai nada sambungnya berubah bunyi dan telah kulakukan hingga lima kali, Mas Arman nggak mengangkat panggilanku sama sekali membuat aku sadar, kayak Pak Bhum yang berangkat ke masjid buat salat Jumat, Mas Arman pastilah melakukan hal yang sama. Apalagi, waktu salat di Jogja jauh lebih cepat dibandingkan Jakarta.

Dan sebagai umat yang baik, aku tahu, Mas Arman pun nggak mau ketinggalan shaf pertama. Membayangkan dia dengan baju koko dan wajah basah karena air wudu, membuat aku senyum-senyum sendiri. Aku nggak tahu, tiba-tiba saja tanganku kemudian terarah ke kolom Whatsapp dan  lancang mengetikkan pesan untuknya

Mas Arman, bolehkah Wulan meminta Mas untuk ke Jakarta setiap akhir pekan?

Nekat.

Aku memang nekat. Tapi, kalau nggak seperti itu, dia bakalan terus menggangguku, mengganggu hubungan kami yang tinggal selangkah lagi resmi di mata Tuhan.

Setelah Mas Arman datang, aku yakin, dia nggak bakal berani mengganggu aku lagi dan bila dia tetap nekat, aku bakal memberi tahu calon suamiku, ada laki-laki gila yang bakal merebut aku darimu.

Pak Bhum siap-siap saja bakal kehilangan gigi lagi karena aku yakin, Mas Arman nggak bakalan ragu menghajarnya seperti yang dilakukan mantan pacar Pak Bhum beberapa bulan lalu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top