Sebelas

Ayo banyakin share cerita ini biar trending.
Jangan lupa komen yang banyak yaa.

***

"Lan, kok bengong? Ayo masuk." suara ibu yang sudah berada di teras rumah budeku, membuat aku mendongak dan ketika sadar, Pak Bhum ternyata sudah selesai mengangkut koper orang tuaku dari mobilnya. 

Aku terlalu banyak merenung sehingga melewatkan kesempatan curhat kepada ibu tentang perilaku bosku yang menyeramkan dan ketika ibu serta bapak berlalu masuk rumah, aku malah merasa tidak enak melihat bosku duduk sendirian di teras.

Aku memang sebal padanya, tapi aku orangnya selalu nggak tegaan. Biar dia selalu marah dan cemberut, ketika melihat dia diam dan nggak melakukan apa-apa melainkan hanya menatap ke arah lantai atau ibu jari kakinya, aku nggak bisa menelantarkannya.

Makanya, gara-gara itu juga, aku sering dibilang hangat-hangat tai ayam oleh Diana yang nggak percaya kalau aku benar-benar sebal dengan bosku. Toh, setelah ngambek, aku selalu menghabiskan sisa waktuku dengan mengurusi dia lagi, lagi, dan lagi.

"Bapak duduk sendirian di sini?" aku bertanya basa-basi sewaktu berjalan ke arahnya. Bosku tersebut hanya membalas lewat sebuah gelengan dan dia tersenyum sebelum membuka suara, "Kalau kamu temani, jadinya berdua. Bukan sendirian lagi."

Tuh, tuh, dia mulai lagi, kan? Sudah baik aku mau berdiri dan menyapanya dan dia sudah mulai melancarkan serangan bersilat lidah.

Lagipula, ngapain Pak Bhum memperhatikan penampilanku dari kaki sampai ubun-ubun? Dia marah aku menyempatkan diri ganti baju dari seragam TV Lima ke setelan rok jin dan blus berwarna biru langit serta jilbab warna navy, yang satu itu sengaja tidak kuganti soalnya nggak sempat. Waktu tiba di kosan tadi, aku cuma bisa ganti baju dan buang air, lalu buru-buru ke stasiun setelah sebelumnya mampir di tukang pisang goreng krispi. 

"Saya nggak bakal tergoda kayak cewek-cewek Bapak." aku menekankan kepada Pak Bhum bila dia mulai macam-macam. Lagian, kenapa sih, dia ngeliatin aku seperti itu? Iya, aku beli bajunya di Mbak Ora, bukan berarti aku mau nyamain kecantikan dia, nggak. Kan, sekali-kali, aku mau tampil keren di depan bapak dan ibu, pakai uang gajiku sendiri. 

"Justru saya senang karena kamu tidak mudah tergoda."

Hei, maksudnya apa? Gara-gara aku sok jual mahal, Pak Bhum jadi naksir, gitu? Lah, kok bisa? 

Tahu gitu, aku genit-genit aja di depannya kayak yang lain. Eh, tapi, bukannya kalau aku genit-genit, dia malah makin senang?

Dasar Pak Bhum gila. Lagian ngapain aku mesti genit-genit sama dia? Aku kan sudah mau menikah, lagipula di sini ada bapak dan ibu. Begitu aku mengingatkan lagi kepada Pak Bhum, dia malah tertawa, nyebelin banget pokoknya, sampai aku kepingin mencekik dia dengan dasi yang sekarang dia pakai. Udah bergaya sok anak muda, sok ganteng, sekarang, sok naksir pula sama aku.

"Saya yakin, kami tahu tentang semuanya."

Alisku bertaut dan aku pura-pura nggak tahu. Hebat banget dia kok kayak satu frekuensi sama aku, kepalaku sedang bahas apa, eh, dia ikut-ikutan mikir hal yang sama.

Supaya kelihatan bodoh, biar dia makin sebel sama aku, aku sengaja pura-pura nggak tahu maksudnya, "Tahu apa?"

"My feeling, kepada kamu."

Lah, kok, Pak Bhum malah jujur, sih? Aku nggak nyangka dia malah santai dan bilang kalau dia punya perasaan sama aku. Ini orang betul-betul perlu digetok pakai palu atau apalah. Ngapain dia ngomong kayak gitu? Kalau ibu dan bapak dengar, gimana?

Aku menoleh ke arah pintu rumah yang letaknya paling cuma lima meter dari tempatku berdiri lalu buru-buru kabur. Bahaya kalau kabar ini sampai ke telinga mereka menjelang hari penting anak perempuannya. Benar-benar, Pak Bhum nggak ada akhlak nembak anak orang di depan rumah Bude, pula. 

Siapa yang bilang Bhumi Prakasa Harjanto romantis abis? Preet. 

Yang ada, nyebelin tingkat akut, malah. 

"Percuma juga mau lari…" suara Pak Bhum terdengar mengekori aku dan benar saja, dia berjalan santai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam kedua saku celananya. Tapi, aku yang melihatnya jadi makin keki. Dia ngapain nyusul sampai ke sini, sih? Bukannya tadi mau ngobrol sama bapakku? Ya duduk aja di sana, jangan malah ikut aku.

"Nggak lari." aku berhenti melangkah dan balas melotot ke arahnya yang baru ikutan berhenti ketika kami hanya berjarak 30 cm. 

Dih, segitunya sampe mepet-mepet aku.

"Bapak yang nggak ada urusan mengejar saya." 

Aku yang khawatir suaraku bakal didengar oleh ibu lantas menjulurkan kepala dan menghela napas, syukurlah. Kalau nggak, aku bakal diceramahi panjang lebar. Bagi ibu, Pak Bhum yang notabene adalah bosku, mestilah diajak ngomong dengan bahasa halus bukannya bahasa makian atau gerutuan seperti yang sekarang ini aku lakukan.

"Mengejar kamu sekarang sudah jadi urusan saya, Bulan."

Ih, Bulan, Bulan, Bulan. Aku kepingin banget teriak di telinganya jangan sembarangan memanggil namaku, akan tetapi, aku lebih fokus kepada satu hal, soal dia yang kelewat PD bilang ingin mengejarku.

"Bapak waras nggak, sih? Ngapain Bapak mengejar saya? Masih banyak yang bisa dikejar di luar sana. Mereka jauh lebih menarik dan berharga."

Topik ini menjadi amat panas dan kami debat kusir sambil lempar pendapat hingga aku sadar, melawan seorang Bhumi Prakasa membuat aku ngos-ngosan, seolah-olah habis berlari keliling Monas beberapa kali, capek bukan main dan bikin kepala keliyengan.

"Kamu menjanjikan saya satu persen yang…"

Panjang lebar dia ngomong, kayak jalan kaki dari Mampang Prapatan sampai Fatmawati, yang kudapat cuma satu, dia mau aku berpaling dari Mas Arman dan jatuh ke dalam pelukannya, semua gara-gara satu persen sialan itu dan aku yang tidak tahan lagi segera membalas. Peduli amat bila nanti ibuku keluar dan menjewer telingaku, yang pasti aku harus membalas ucapan Pak Bhum yang kelewat jumawa agar dia tidak besar kepala.

"Mau satu persen, seratus persen, nggak ada yang mau saya pertanggungjawabkan. Saya akan menikah dengan Mas Arman. Bapak lancang masuk ke dalam hubungan kami."

Marahku benar-benar sudah di ubun-ubun. Pak Bhum bahkan tidak sadar bila dia bicara kelewat PD hingga tawanya saja membuat aku kepingin mencekik lehernya. 

"Kamu boleh saja menikah dengan Arman," dia membungkuk ke arahku, sehingga aku mundur dua langkah. 

"Tapi saya pastikan, sebelum itu kamu akan jatuh cinta dengan Bhumi…"

Sembarangan, aku melotot dan mengepalkan tangan, hendak menjotos wajahnya tapi, lagi-lagi aku tahan, apa faedahnya aku naksir sama kamu, Pak, sementara Tuhan telah menyiapkan seorang jodoh yang bakal menghalalkanku?

"Kamu tahu, Bhumi dan Bulan ternyata amat cocok dibandingkan Wulan dan Arman."

Cih, dia kira ini perlombaan atau adu cocok-cocokan nama? Mau Bulan ada di Hongkong, kek, di Mars, atau malah Pluto sekalian, bukan urusanku. Ngapain dia maksa aku mesti jadian sama dia? Pantas saja dari awal dia merubah namaku seenaknya, alasannya buat ini?

"Bapak jangan so…"

Pak Bhum tidak menunggu protesku dan memilih berjalan kembali ke teras rumah Bude dengan gayanya yang anggun, kayak dia sedang memperagakan pakaian dari desainer ternama di jalur runway. Heh, Pak, yang benar aja, sampai di rumah Budeku pun, kamu mau tebar pesona? Jangan kira dengan sok perhatian kayak gitu sama keluargaku, aku bakalan tergoda. Aku nggak sudi. 

Mas Arman yang bakal jadi suamiku. Bukan kamu!

Aku yang terlalu kesal bahkan tidak sadar telah melempar tasku ke tanah. Gara-gara itu juga, aku kemudian buru-buru memungutnya dan memaki pria itu, meski dalam hati.

Dasar Pak Bhum brengsek!

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top