Satu


"Nah, ini, saya kenal ini. Suka nongkrong di TV, kan, Mas? Acara pagi-pagi. Saya sering nonton sambil mentolin bakso."

Aku hapal sekali bagaimana senyum terangkai di wajah pedagang bakso yang meski di usia ke lima puluh lima tahun rambutnya sudah dipenuhi uban, beliau tetap semangat bekerja mencari nafkah.

"Oh, Ndak apa. Saya senang bekerja, anak saya lima, nomor satu jadi TNI, sekarang lagi tugas di Palestina. Tim perdamaian. Anak saya nomor dua, lagi koas di rumah sakit dekat sini," Pak Budi berhenti sejenak, menjulurkan kepalanya dan menunjuk ke arah salah satu rumah sakit pemerintah paling terkenal dekat sini, "di situ anak saya. Bukan koas, yang di atasnya lagi itu apa namanya? Residen? Atau konsulen?"

Kami berdua, aku dan Pak Bhum bertatapan. Mata atasanku tertuju kepadaku seolah dia sedang bercanda dan menantang, pasti aku tidak tahu apa nama dokter yang disebut oleh Pak Budi. Aku hanya membalas dengan bibir maju dan juluran lidah, lalu pura-pura senyum kepada kamera yang menyorot kami setelah sebelumnya kamera tersebut menyorot isi panci yang dipenuhi bakso, potongan daging, serta tetelan yang menggugah lidahku.

"Awas, your iler netes."

Aku menyembur tertawa, mundur dua langkah lalu berusaha menahan diriku agar tidak limbung. Biar saja Bang Safir yang menyorot Pak Bhum. Aku terlalu sibuk menahan geli yang dari tadi siap meledak. 

Your iler? Ayo, apa bahasa Inggrisnya iler? Dasar Pak Bhum Gresi.

"Bulan, sini. You mau pilih yang mana? Koyor-koyor ini kamu suka, kan?"

Aku mendekat setelah puas tertawa. Sejak kapan Pak Bhum tahu aku suka bagian tetelan sapi?

"Yang masih ada daging, Pak." Aku berkata dengan lantang. Pak Bhum kemudian menusuk sebuah potongan daging yang kelihatan amat lembut lalu menunjukkan ke arahku dan tanpa ragu aku membalas dengan anggukan. 

"Ada kaki sapi, kalau mau. Sumsumnya banyak." Pak Budi menawarkan kepadaku.

"Ih, mau, Pak." Kataku dengan antusias. Pak Bhum yang berdiri di sebelah kiri Pak Budi melirik lagi ke arahku, memastikan kalau dia tidak salah dengar.

"Kaki? Kamu suka? Ada jual sup kaki sapi yang enak dekat kantor."

Aku menatap tidak percaya ke arah bosku itu. Dia tahu harta karun paling nikmat di dunia dan baru membagikannya sekarang? Tapi, berapa, sih, harga sop kaki sapi? Biar pun enak, aku mesti berpikir seribu kali buat beli. Gaji anak magang tidak banyak dan aku bukanlah ratu olshop seperti Mbak Ora cantik, si Gadis Amaryllis yang selalu tampil waw dan cetar. 

Masa, sih, dia bisa sekeren itu hanya pakai baju jualannya yang dibeli di Bangkok atau rebutan nitip obralan di IG? 

Tapi, dia memang lincah, pintar mencari kesempatan. Kerjaannya juga asyik, jadi asisten Martin Lima, si anak bos yang sejak pertama melihatnya sudah mengaku-aku Mbak Ora sebagai mamanya. 

"Mahal, ah, Pak. Ulan lagi bokek."

Kalau lagi senang, Pak Bhum selalu royal. Sewaktu aku bilang tidak ada uang, dia kemudian dengan senang hati bilang aku boleh ikut dia makan siang besok atau nanti malam. Aku sih, senang-senang saja. Tapi, aku putuskan menolak. Senyumnya kelewat mencurigakan buat seorang bos yang mau mentraktir anak buahnya. 

Lagipula, Mas Arman sudah mengirim WA. Dia bakalan mampir ke Jakarta, tugas ke kantor kementerian dalam negeri, mengambil beberapa berkas titipan sekaligus kesempatan kami buat hunting sovenir pernikahan di pasar Jatinegara. 

Itu saja lebih istimewa dari hadiah sikil sapi.

"Mau pergi sama Mas Arman." Aku menjawab santai. Bodo amat dengan perubahan raut wajahnya yang terlihat sedikit masam sewaktu nama tunanganku kusebut. 

Kenapa dia mesti cemberut? Hellaw, Pak Bhum, Padjenengan sehat?

Dia makin kusut sewaktu aku memilih duduk dan cekikikan dengan Bang Safir dibanding duduk di sebelahnya. Walau kemudian, dengan mata melotot, Bang Safir menyuruhku duduk di sebelah Pak Bhum. Kami masih harus syuting dan aku mesti pura-pura menikmati suapan bakso dari sendoknya, yang biasanya selalu membuat ciwik-ciwik se-Indonesia gempar.

Tunggu.

Sendok dari mulut Pak Bhum?

Bayangan gigi ompong Pak Bhum langsung membuat aku tertawa dan nyaris tersedak kuah bakso. 

Kualat, kan, Lan? 

Ugh, kenapa aku mesti jadi saksi mata bosku dijotos oleh mantannya, kenapa? 

"Enak, kan? Yummy"

Mau banget kujawab, daripada enak, aku lebih kebayang visual Pak Bhum pas nyaris modar usai digebuk mantannya, sampai-sampai aku mesti sembunyi di balik mobil kantor supaya bisa cekikikan sampai puas. 

"Iyes, Bos. Yami."

Pilih jalan aman saja, saudara-saudara. Kita sedang live dan aku nggak mau jadi korban emak-emak sebangsa dan setanah air. Sumpah, biar kata pria di depanku ini punya sifat nyebelin kayak becekan di hari hujan, di mata para emak-emak, dia adalah pahlawan bangsa.

Entah bangsa apaan.

Eh, kenapa Pak Bhum senyum-senyum habis nyuapin aku? Ngomongnya makin sopan pula. Sumpah, deh, setelah malam penganugerahan insan televisi terbaik, dia jadi rada gendeng begini dan aku nggak nyangka cewek solehah yang dia taksir sudah membuatnya berubah lembut kayak puding macam begini.

Ya, Allah, Ulan mau dipertemukan sama cewek itu, mau sungkem karena sudah bikin bos Ulan jadi berubah baik dan syahdu. 

Sayangnya, setiap bertanya entah pada Pak Bhum atau malah kepada Om Pel, aku cuma diberi senyum doang, seolah-olah, karena aku sudah kuliah di UGM terus dibilang pandai menebak isi otak mereka. 

Heh, kalau begitu, aku juga bakal mudah menebak isi kepala dosenku biar tahu mereka bakal tanya apa pas sidang skripsi nanti.

                            ***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top