Lima belas
Aku nggak peduli Pak Bhum bicara ngalor ngidul. Wajahnya kusut, matanya memerah, aku merasa amat kesal. Dia boleh ngomong apa aja termasuk membiarkan mulutnya mengoceh tentang minta maaf. Om Pel yang berdiri di depan kami aja tahu, dia benar-benar kelewatan.
"Please forgive me…"
Aku bahkan muak melihat wajah Pak Bhum dan kepingin sekali menendang wajahnya. Akan tetapi, dia ngotot menahanku supaya nggak kabur dan melihat wajahnya.
Ngapain? Nyuruh aku ngedrama kayak cewek-cewek yang ngejar dia? Amit-amit. Aku nggak segila itu.
Dia masih nekat menggenggam tanganku dan aku harus bicara dengan kata-kata yang selama ini sudah aku tahan setengah mati nggak keluar dari mulutku supaya dia menyerah.
Aku bahkan merasa tubuhku bergetar sewaktu aku mulai bicara kembali setelah susah payah mengumpulkan keberanian.
"Bapak boleh bangga dengan semua hal yang Bapak punya, tapi tidak ada satu pun dari mereka yang akan membuat saya yang akan membuat saya berpaling dari Mas Arman."
Aku menarik napas panjang sebelum melanjutkan, sambil mengusap air mataku dengan punggung tangan, "Tidak ada satu persen pun kesempatan buat bapak untuk masuk di antara kami."
Aku terisak-isak melanjutkan dengan susah payah, mengabaikan pandangan orang-orang yang melihat kami saling hadap dan aku sibuk mengusap air mata tapi, berusaha untuk terus bicara, "Menyerahlah…"
Aku sebal, benar-benar sebal kepada Pak Bhum sehingga saat menangis, yang kubayangkan adalah kebodohan dan kediktatoran yang selalu dia lakukan kepadaku. Iya, dia orang kaya, iya dia artis tenar, presenter paling ngetop se-Indonesia, tapi nggak seharusnya dia lantas mudah saja berbuat semena-mena kepadaku, termasuk mengatur hati dan perasaanku.
Bahkan HPku.
Kalau setelah ini aku dipecat, aku nggak peduli lagi.
"Karena saya sudah lelah."
Aku nggak mau nunggu jawaban Pak Bhum dan lebih memilih kabur meninggalkan mereka berdua menuju kamar rawat Pak De. Namun, setelah lima menit berputar dengan wajah bingung di kawasan rumah sakit, aku nggak tahu mesti ke mana dan kemudian yang aku lakukan adalah duduk sambil mengusap-usap mataku yang kurasa bengkak dan sembab gara-gara menangis sendirian meluapkan kesal yang sudah menumpuk.
Kepada HPku saja dia nekat melemparnya ke jalan, apalagi sama Mas Arman. Entah apa lagi tipu muslihat di dalam kepala Pak Bhum ketika dia memikirkan Mas Arman. Apakah dia bakal melemparnya ke ujung dunia atau melaporkan pada semua warga Indonesia kalau Mas Arman telah melakukan hal yang fatal sehingga dia harus dihukum, lalu aku mesti jadi kekasihnya.
Aku bahkan nggak tahu mesti ngapain di rumah sakit sebesar ini. Bapak dan ibu mungkin di ruang operasi nemenin Bude. Tapi, berhubung Pak Bhum sudah berada di depan, mungkin mereka bakal ketemuan dan bahas segala macam.
Aku menarik napas, terbayang gimana semringahnya wajah bapakku sewaktu diiming-imingi buku gratis oleh Pak Bhum. Bapakku memang suka membaca, suka ngobrol dan dia antusias banget bisa bicara langsung sama Pak Bhum yang notabene adalah idolanya.
Aku malah masih ingat respon orang tuaku saat kuberitahu jadi anak buah pria tersebut.
"Oalah, Lan. Hebatnya kamu, Nak. Bhumi Prakasa itu orang hebat, dia cerdas, dan…"
Aku nggak tahu, tapi, air mataku bahkan nggak mau berhenti mengalir. Entah marah karena dia bicara hal benar, nggak mau aku melihat yang memang nggak seharusnya aku lihat atau marah karena dia ikut campur. Tapi, selama berbulan-bulan, dia nggak pernah memohon sampai air matanya keluar kayak gitu.
"Please give me a chance to fix it, will you?"
Kenapa dia sampai memohon kayak gitu? Seharusnya nggak perlu merasa bersalah.
Selewat beberapa menit, aku akhirnya mengangkat kepala dan menemukan bapakku mondar-mandir seperti orang bingung di depan lobi rumah sakit. Karena itu juga, usai memastikan air mata di wajahku sudah kering, aku memutuskan bangkit dan mendekatinya.
"Bapak?" sapaku dengan suara pelan. Bapak yang menoleh ke arahku menghembuskan napas lega.
"Bapak telepon Nak Bhumi tadi, kalian nggak sampe-sampe. Dia bilang, ada pekerjaan penting dan cuma sempat mengantar kamu. Dia minta tolong cariin kamu soalnya tadi Nak Bhumi bilang HPmu jatuh dan rusak."
Bapak mengusap puncak kepalaku yang tertutup jilbab lalu menggenggam tanganku dan mengajak aku menuju ruang operasi. Aku hanya sempat melihat ke arah tautan tangan kami dan segera teringat bahwa tautan yang sama pernah membuat aku mengingat bapak dan Mas Surya, yaitu tautan yang diberikan saat aku dan Pak Bhum sama-sama tidak sadar kami melewati keramaian di Blok M.
Detik itu juga, aku merasakan sebuah keanehan kembali yang membuat jantungku berdebar-debar dan secara tidak sadar, aku menoleh ke arah pintu lobi, seolah mencari seseorang namun kemudian, aku cepat-cepat memeluk lengan kanan bapakku dan memejamkan mata.
Rasanya aku seperti akan kehilangan sesuatu, akan tetapi, aku tidak tahu hal apa yang bakalan terjadi dan membuat aku merasa amat sedih.
***
Meski kembali mendapat mimpi buruk, anehnya aku bahkan nggak tahu mimpi apa yang telah kualami. Nggak kayak saat aku mimpi Mas Arman tahu-tahu berubah jadi Pak Bhum, mimpiku pagi ini telah membuat aku nangis waktu bangun tidur. Aku bahkan heran dan menyentuh wajahku sendiri yang basah dan sesenggukan. Tapi, ketika aku berusaha mengingat lagi, nggak ada hal yang bisa aku dapat dan aku akhirnya pasrah.
Toh, mimpi cuma bunga tidur. Barangkali alam bawah sadarku capek dan nangisin HP yang dibuang Pak Bhum kemarin. Aku lantas membisiki diriku sendiri kalau bakal beli HP baru kalau aku gajian nanti. Itu juga kalau ada lebih.
Sesampai di kantor, aku merasa gugup. Abis marah sama Pak Bhum, aku tiba-tiba saja kayak nggak punya nyali untuk ketemu muka. Bahkan, cuma berani lihat dia di ruang MCR. Wajahnya nampak beda dan aku nggak ngerti, tapi seperti mimpiku semalam, ketika melihat dia, aku jadi kepingin nangis.
Seharusnya aku nggak perlu ngamuk. Yang mesti disalahkan kan, aku sendiri. Tapi, dia juga nggak ada hak buat ngatur hidupku.
Sudahlah, Lan. Bahas ini lagi, kamu bakalan stres sendiri sampai capek, aku berkata kepada diriku sendiri.
Cuma, aku kemudian nggak bisa bohong kalau wajah menyesal Pak Bhum bikin aku kepikiran bahkan sampai detik ini. Rasanya nggak enak banget, padahal seharusnya seperti pertengkaran kami beberapa minggu lalu, aku seharusnya merasa biasa aja.
Labil?
Iya, kayaknya aku labil banget.
Lima belas menit kemudian aku berdiri di depan ruangan Pak Bhum, sekitar pukul enam tiga puluh. Biasanya di sudah selesai siaran dan bakal kembali ke mejanya. Saat seperti ini, aku selalu mampir ke ruangannya mengantarkan kopi atau sarapan. Dia, kan, makannya susah, jadi aku mesti mikirin dulu menu sarapan apa yang dia suka. Kadang nggak jarang, aku harus nongkrong di kafe 24 jam beliin dia donat atau makanan aneh-aneh yang buat kepalaku pusing. Donat aja milih, padahal di warung sarapan harganya cuma seribu, bisa pesen macem-macem, pula. Mau pastel bihun, pie, sampai nasi uduk berlauk tempe tahu bacem pun ada.
Yah, mau gimana, lagi, orang kaya dari kecil perutnya sudah ekslusif, nggak kayak perutku yang sudah kebanyakan terminum air sungai di belakang rumah. Cukup nasi putih sama telur mata sapi aja aku bisa nambah.
Aku menarik napas sebelum menyentuhkan buku jariku ke permukaan daun pintu ruangan Pak Bhum. Hari masih pagi. Dia biasanya sedang menulis draft berita atau artikel yang biasanya dia posting di website TV Lima. Kadang juga, Pak Bhum sibuk telekonferensi dengan rekan kerjanya di luar. Dia selalu melakukan banyak hal tapi masih sempat menggodaku.
Mengingat itu saja, sudah mampu membuatku merasa lebih baik.
Aku mengetuk pintu dan mengucap salam sebelum menarik gagang pintu. Biasanya dia akan membalas dan memperhatikan aku masuk dengan menenteng belanjaan di tangan kanan dan kopi dalam tumbler kesayangannya di tangan kiri. Pak Bhum yang tahu aku selalu mengacau dengan gelas panas pada akhirnya memberikan tumbler sebagai pengganti gelas atau cangkir kopi untuknya. Aku, sih, senang-senang saja karena dengan begitu tanganku nggak bakal ketumpahan kopi panas lagi.
"Pak Bhum, ini kopinya. Omong-omong, donat pesanan Bapak nggak ada, jadi gantinya…"
Kosong.
Ke mana dia?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top