Lima
Kalau suka klik bintang terus komen yang banyak, ya. Kalian mau apdet, kan? Yang nggak sabar, boleh ke Karyakarsa, link ada di beranda. Sekarang udah chapter 10. Tapi, walau baru bab 10 di KK, ceritanya udah jauh, ya. Karena 1 bab di KK mayan panjang-panjang wordsnya.
***
Idiiiiih, gelinya. Aku menahan rasa aneh yang tau-tau muncul begitu saja dan suara dengkur entah asli atau palsu, membuatku menoleh kepada Om Pel.
Sama dia, aku nggak pernah merasa kesulitan. Aku emang sayang sama Om Pel, tapi kayak dia bilang, sayangnya padaku mirip kayak sayangnya aku sama Pak De.
"Om Pel." aku memajukan bibir, memanggilnya supaya dia menoleh. Tapi, dengkurnya makin jadi dan aku setengah berteriak berharap dia menoleh, "Om Felix…"
"He is sleeping. Kenapa harus dibangunkan?"
Aku sempat menoleh sebentar ke arah Pak Bhum sebelum bicara. Tatapan mata kami bertemu dan aku kembali membuka mulut,
"Masih mending bilang love sama Om Pel daripada sama Bapak." aku menjawab jujur. Karena itu juga, aku menemukan bahwa Pak Bhum kemudian menghela napas seolah sedang mengeluarkan beban yang berat.
Apakah dia marah? Bodo amat! Toh, dulu dia juga sering bikin aku emosi.
"I love you, Om Pel." ujarku bersemangat. Peduli amat benar atau salah. Aku sudah yakin dengan kemampuanku dan satu masalah sudah beres. Perkara bilang cinta, mudah saja asal objeknya bukan Pak Bhum.
Wajah Pak Bhum kelihatan sekali hendak menelan Om Pel bulat-bulat. Ih, kenapa dia mesti marah? Lagian, Om Pel juga tidur. Dia nggak bakal balas perasaanku yang sejak semula nggak pernah kepadanya, hahaha, gila. Masak, sih, gara-gara aku bilang cinta sama Om Pel, Pak Bhum ngambek? Bibirnya sampai maju begitu
Aku yang tadi sengaja berjalan hingga ke sofa tempat Om Pel duduk dan hendak kembali ke bangku yang berada tepat di depan meja Pak Bhum mendadak berhenti di tempat karena sedetik kemudian pintu kantor bosku dibuka tanpa permisi oleh seorang wanita yang cantiknya bukan main. Sumpah, nggak bohong. Malah, kalau aku laki-laki, aku pasti bakal langsung naksir kepadanya.
Wanita itu berambut gelombang hingga punggung, tergerai dengan lembut sampai aku mengira-ngira, berapa harga menata rambut di salon hingga bisa secantik dan sekeren itu. Lipstiknya juga bagus banget, meski merah merona, kilaunya membuat aku mikir, nggak mungkin dia pake lipstik Purbasari atau Viva.
Aku bahkan kembali menoleh ke arah Pak Bhum yang saat itu masih cemberut kepadaku. Bibirnya bahkan tetap maju seperti saat terakhir aku melihatnya beberapa detik lalu. Pak, ada cewek cantik, tuh, nyariin kamu? Nggak disosor? Biasanya main peluk cium, loh.
Tuh, kan, aku heran.
"Bhumi ganteng, kenapa nomor aku diblokir? Aku udah nggak tahan. Kangen banget sama kamu."
Gila, suaranya lembut banget, mendesah gitu, sampai bikin aku merinding. Udah aku-kamuan, loh, sama Pak Bhum, cie-cie, mesra, kan? Kok muka bosku tambah kusut, sih?
Ngomong-ngomong, aku nggak salah dengar, Pak Bhum blokir nomornya? Wah, beneran?
"Aku kangen banget, Bhumi." suara Mbak Cantik menggema sehingga aku menoleh kembali kepadanya. Benar-benar luar biasa.
Tapi, omong-omong, ngapain dia pake mantel, kayak lagi di kutub aja. Jakarta sepanas ini dan dia pakai mantel? Atau di mobilnya ada freezer?
Aku bahkan tidak menyangka beberapa detik kemudian si Mbak Cantik itu mulai menarik tali pengikat mantel dan mengedip genit ke arah Pak Bhum yang seperti tadi, masih telihat kusut kayak baju belum disetrika. Dia masih ngambek gara-gara aku nggak mau bilang I love you, atau Mbak ini muncul padahal nomor HPnya udah diblokir?
Astaghfirullahallazhim.
Kaget aku, si Mbak ini sudah sinting kayaknya. Dia buka mantelnya tepat di depan kami berdua dan gilanya lagi, dia nggak pake apa-apa. Aku yang terlalu kaget bahkan tersedak ludahku sendiri dan memaki diriku karena bisa-bisanya mataku terarah pada rimbunan rumput di bawah pusarnya.
Ya, Allah, itu bukan rumput, itu tetelan.
Amit-amit ada tetelan. Aku bergidik, menahan sesuatu yang sepertinya hendak keluar dari perut begitu aku menarik napas dan dalam hitungan detik, aku tidak sadar telah mengambil langkah seribu, lari secepat aku bisa meninggalkan ruangan Pak Bhum.
Ya, Allah. Bisa-bisanya ada wanita bersikap serendah itu, sampai rela menyodorkan dirinya buat bosku.
Aku begitu ketakutan dan tidak sadar telah berlari begitu cepat dan melangkah menuju bilik anak magang di lantai enam. Tangan dan kakiku saja masih gemetar saat melihat semua teman-temanku sedang cekikikan satu sama lain, makan biskuit dan minum Ale-ale.
Tidak ada satu pun dari mereka yang mendapat kejutan sehebat aku tadi, benar?
Aku bahkan mau menangis saking terhinanya mendapat pemandangan menyebalkan seperti tadi. Kenapa, sih, dengan pikiran si Mbak tadi? Dia nggak ingat Tuhan sama sekali dan…
Suara Gema yang tahu-tahu berjalan ke arahku nyaris membuat air mataku jatuh. Jakarta memang kejam, tapi, aku masih punya teman-teman yang tidak berpikir urusan bawah perut dan sebagainya adalah Tuhan.
"Kamu nggak apa-apa, kan, Lan?" Suara Gema yang lembut seolah menenangkanku. Dia mendekat tapi menatapku dengan pandangan khawatir dan waspada.
"Kenapa gemetaran? Kamu sakit? Masuk angin?"
Gema, oh, Gema. Coba saja dia lihat yang tadi kulihat di ruangan Pak Bhum, apa bisa dia nggak gemetar kayak aku?
"Bhumi, cuma kamu yang bikin aku puas…"
Kata-kata si Mbak tepat sebelum dia membuka mantel dan menggoyang-goyangkan tubuhnya dengan gaya amat mesum membuat gas di lambungku melonjak drastis. Aku benar-benar tidak tahan lagi sehingga dua detik kemudian dengan terbata-bata aku merangkai kata ingin memberi tahu Gema apa yang telah terjadi, "Aku barusan…"
Anehnya, belum selesai aku menyudahi kalimatku, perutku makin bergejolak dan aku tidak bisa mengendalikan diriku untuk muntah sejadi-jadinya hingga membuat semua orang panik.
Benar-benar panik karena setelahnya, aku benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top