Enam belas
Kosong. Nggak ada Pak Bhum di ruangannya. Aku yang masih berdiri memegangi kopi dan sarapannya menoleh ke arah sekeliling dan mengerutkan alis. Tumben dia nggak ada di ruangannya. Jam segini dia selalu ngomel kelaparan dan aku harus selalu siap sedia mastiin perutnya kenyang supaya dia bisa tebar pesona lagi.
"Pak?" aku memanggil. Apa mungkin Pak Bhum ke WC?
Aku bergegas masuk dan berjalan menuju meja bosku tersebut, merapikan peralatan menulisnya yang sebenarnya baik-baik saja, meletakkan tumbler kopi dan mengeluarkan kotak plastik berisi sarapannya, berupa panekuk, potongan mentega dalam kemasan, sirup maple saset, dan juga seporsi buah potong yang amat dia sukai.
Beres. Kataku dalam hati. Aku juga berjalan ke arah jendela, menyibakkan gorden dan mematikan lampu. Hari sudah mulai terang, akan tetapi bosku yang cerewet belum nampak mukanya.
Bahkan hingga sepuluh menit berlalu, dia tetap nggak nongol. WCnya pun kosong.
Aku menghela napas. Mau telepon juga nggak bisa. Kan HPku ilang. Jadinya kuputuskan buat menelepon Pak Bhum lewat telepon di ruangannya. Untung aku hapal dengan baik nomor HPnya.
Heran, dia juga nggak ngangkat. Apa Pak Bhum lagi sibuk? Biasanya jam segini dia nggak sibuk, kok. Kan habis siaran. Ini juga waktunya dia sarapan dan Pak Bhum jarang makan di luar karena waktunya memang pas banget setelah dia bacain berita, terus balik lagi ke kantor.
Aku nggak ngerti. Tapi, karena aku masih harus kumpul dengan yang lain, akhirnya aku nyerah. Lagipula sarapannya sudah siap dan Pak Bhum bisa makan kapan saja. Dia juga nggak bakalan nyari aku kalau keperluannya sudah fix.
Karena itu juga, aku kemudian bergegas meninggalkan ruangan Pak Bhum dan berjanji bakal kembali lagi saat waktu makan siang tiba.
***
Aku nggak pernah tahu kalau peristiwa aku yang mengamuk di parkiran rumah sakit bakal berbuntut panjang. Aku sempat bertemu dengan Pak Bhum lewat jam makan siang, sekitar jam satu. Setelah setengah hari aku cemas dengan keadaannya, nggak lama setelah kami bertemu, dia malah nyuruh aku ketemu Mbak Sasha. Ketika kutanya, dia malah senyum-senyum dan bilang kalau Mbak Sasha punya jawabannya.
Hah? Kenapa dia nggak ngomong sendiri, sih? Apa dia ngambek?
Nyatanya, di ruang Mbak Sasha yang baru bisa aku temui lewat pukul empat, aku malah mendapati fakta lain. Pak Bhum menyuruh aku pindah ke divisi lain dengan alasan dia nggak butuh aku lagi sebagai asistennya.
Setelah berbagai macam akal bulus yang dia lakukan, menyuruh Bayu buat mengancamku, pada akhirnya dia menyerah gara-gara aku suruh.
Pak, kalau aku suruh kamu loncat, kamu bakal loncat juga, toh?
Astaga. Aku terlalu gemetar dan syok saat mendengar berita ini dari mulut Mbak Sasha. Bahkan aku berlari seperti dikejar maling menuju ruangan Pak Bhum dan sempat bertabrakan dengan beberapa staf, tapi masa bodoh. Pria gila yang barangkali saat ini sedang tertawa dengan teman kencannya atau artis wanita yang dia temui di lobi dan…
Tidak ada dia sama sekali di ruangannya. Bahkan, saat ini gorden yang pagi tadi aku buka, sudah dia tutup seolah-olah dia hendak pergi dan nggak bakal kembali ke sini.
Aku melirik ke arah meja kerjanya, tumbler hitam masih berada di sana, berikut panekuk yang telah aku siapkan tanpa disentuh sama sekali. Entah kenapa, melihatnya saja sudah berhasil membuat sudut hatiku merasa ngilu.
Ngambek, kok, seperti ini?
Kamu memang orang kaya, tapi kenapa ngambekmu tingkat internasional? Kenapa kamu malah kabur dan bahkan nggak mau ngomong langsung, mesti lewat Mbak Sasha?
Aku nggak akan nangis, bisikku kepada diriku sendiri. Dia terlalu bodoh, terlalu kekanak-kanakan. Dulu dia bisa keras kepala, kenapa sekarang jadi kayak bocah?
Kamu sengaja, kan? Supaya aku jadi merasa bersalah?
Pandanganku bertemu dengan foto dalam pigura di atas meja Pak Bhum. Dia dengan gayanya yang santai, berpose dengan tangan di pinggang, dengan sweater navy dan kemeja putih, tersenyum lepas seolah habis menggoda cewek paling cakep di sekolahnya.
Lalu kusadari, foto ini diambil sebelum malam penganugerahan dan aku berada di dalam kantor saat mereka semua sedang mengambil foto ini.
Jelas dia tertawa karena memang baru kelar menggodaku yang saat itu nggak tahu sama sekali tentang Mbak Solehah yang dia maksud.
Orang gila. Aku mengatainya lagi. Aku nggak menangis karena si gila ini seharusnya dimarahi karena sudah berbuat bodoh. Akan tetapi, gimana aku bisa marah kepadanya? Batang hidungnya bahkan nggak nampak dan aku cuma bisa menahan kekesalanku sembari mengepalkan tangan.
Tanganku yang masih gemetar sejak mendengar Mbak Sasha berkata Pak Bhum bakal liputan di Suriah entah buat berapa lama.
Suriah?
Terakhir kubaca berita tentang negara itu, mereka masih berkonflik dan wartawan asing yang menuju tidak semua dari mereka bisa lolos atau keluar dalam keadaan selamat.
Kamu pengecut.
Aku memejamkan mata. Rasanya begitu buruk hingga tembus ke dalam jantungku. Aku merasa jahat dan bersalah sekaligus malu karena bisa-bisanya punya bos yang kelakuannya seperti ini. Cintanya ditolak dan dia memilih kabur.
Tanganku lantas menyentuh gagang telepon di atas meja Pak Bhum dan tanpa kusadari, aku lancar saja mengetikkan nomor yang aku tahu, adalah nomor ponselnya. Mataku terpejam saat nada sambung terdengar.
Angkat, Pak, aku merapal doa. Awas aja kalo dicuekin kayak tadi.
"Halo."
Ya, Allah, diangkat sama dia. Aku menghela napas. Rasanya kayak habis beol yang udah tertahan seminggu.
"Pak, kenapa nggak kasih tahu saya Bapak pergi?" aku bicara tanpa ragu dan segera ke pokok bahasan. Bodo amat kalau Pak Bhum makin marah. Tapi, dia harus menjelaskan semua kepadaku, kenapa dia pilih jalan ini. Dia ngaku kepada semua orang Indonesia dirinya adalah pria paling santai dan nggak baperan, tapi hari ini, detik ini, aku tahu, dia berlawanan arah dengan semua kalimat yang dia ucapkan.
"Wulan?"
Wulan? Dia panggil aku Wulan? Yang benar aja, Pak? Tapi, nggak masalah. Ada hal yang lebih penting dan dia masih belum menjawab pertanyaanku.
"Bapak marah sama saya sampai mutusin pergi?" aku mencercanya lagi dengan pertanyaan serupa dan yang kudengar adalah tawa seolah Pak Bhum nggak merasa kalau perbuatannya telah membuat jantungku lari cepat.
"Karena saya, Bapak nekat begini?"
Dijotos mantan, dipermalukan satu Indonesia, kamu bisa bertahan. Masak gara-gara omonganku yang nyuruh kamu berhenti mengejar-ngejar aku, kamu kabur ke Suriah?
Suriah itu bukan tempat mengobati patah hati, tapi cari mati buat yang nggak tahu caranya berjuang.
"Bukan karena kamu."
Jawaban Pak Bhum yang tetap santai membuatku menatap gorden yang tertutup dan napasku seolah macet ketika dia melanjutkan, "Ingat kita pernah bicara? Ada sesuatu yang mesti saya tangani."
"Yang mana?" aku coba mengingat-ingat. Kapan kami pernah bicara tentang Suriah? Kapan kami pernah bicara tentang patah hati?
Pak Bhum mengingatkanku tentang pembicaraan yang dia sebut sebuah misi rahasia. Sayangnya aku nggak mau percaya. Bahkan, untuk pertama kali, aku menyentuh dadaku yang berdegup dengan sangat kencang.
"Bapak bohong."seruku, "Pasti gara-gara saya kemarin. Pasti gara-gara Ulan, kan?" aku meremas tangan kananku, memejamkan mata dan entah kenapa, selain merasa bersalah, aku merasakan sesuatu yang lain, tapi, aku nggak tahu apa dan semakin menjadi saat aku kembali mendengar dia tertawa.
Rasanya, aku ingin berada di sebelahnya, melihat dia tertawa seperti yang saat ini telah dia lakukan di seberang sana.
"Kamu terlalu percaya diri, over confident."
Benarkah? Benarkah aku terlalu percaya diri? Bila aku nggak marah kayak kemarin, belum tentu kamu memutuskan untuk pergi semendadak ini.
"Sebelum ini, Bapak bahkan tidak peduli dengan apa pun yang keluar dari mulut saya." aku membalas cepat, "Tahu-tahu saya dikabari sama Mbak Sasha sendiri. Kenapa Bapak nggak ngomong langsung? Kenapa harus lewat Mbak Sasha?"
Bahkan kalau itu bukan karena aku, kamu tetap harus bicara kepadaku, bukan lewat orang lain.
Menyebalkan.
"Kamu kecewa saya pergi?" sebuah pertanyaan terdengar begitu menyedihkan dan aku memejamkan mata karena teringat lagi pada ucapanku kemarin.
"Saya kecewa karena Bapak memilih lari dari kenyataan," ucapku.
"Bapak nggak mau ketemu saya lagi sejak saya minta Bapak menyerah. Pergi ke sana sama saja dengan cari mati dan saya yakin, Bapak tahu itu." aku membuka mataku tepat saat aku mengucapkan kalimat terakhir, "Bapak lebih memilih mati daripada tetap di sini."
Menghindari aku.
"Jangan terlalu percaya diri, Wulan."
Lihat? Kembali dia memanggilku Wulan, butuh bukti apa lagi yang menunjukkan kalau dia benar-benar ngambek?
"Hidup saya tidak selalu berpusat kepada kamu. Kamu sudah minta saya menyerah, saya menghormati keputusan kamu. Sekarang giliran saya memperjuangkan hal lain, meliput konflik adalah tantangan yang paling diimpikan oleh semua jurnalis. Saya ingin mengalaminya sendiri dan itu bukan karena kamu meminta saya menyerah. Ini memang mimpi saya sejak lama."
Hah? Mimpi? Aku berdecak. Pintar banget aktingmu Pak Bhum.
"Kalau kemarin saya menerima perasaan Bapak, Bapak nggak bakal pergi seperti ini."
Pak Bhum diam dan aku tahu ucapanku tidak salah. Tapi, karena itu juga, aku merasa sesuatu yang menyakitkan muncul makin sering seiring aku bernapas, sesak dan menyebalkan. Aku bahkan nggak tahu harus bicara apa lagi untuk menghentikan kenekatan pria ini. Seperti yang Mbak Sasha bilang, saat ini Pak Bhum berada di bandara, siap berangkat kapan saja, meninggalkan kami semua di TV Lima.
Acara TV kesayangannya, ketenarannya, penggemarnya, semua hal menyenangkan yang selalu berhasil membuatnya tertawa.
I love you, Bulan.
Bahkan kelas Bahasa Inggris kami yang sepertinya berhenti di tengah jalan.
"Saya merasa bersalah, Pak. Orang tua Bapak pasti kecewa kalau Bapak pergi."
Mami Iriana, wanita yang selalu memaksaku memanggilnya Mami, pasti menangis. Pak Bhumi adalah satu-satunya anak yang dia punya. Satu-satunya penerus keluarga Harjanto.
"Mereka menghormati keputusan saya, Wulan. Ini bukan salah kamu."
Tiga kali. Untuk ketiga kalinya dia memanggilku Wulan dan aku nggak tahan lagi. Air mataku luruh begitu saja dan aku yakin, aku benar-benar jelek saat ini, karena aku menangis sesenggukan seperti bocah perempuan yang kehilangan boneka kesayangannya, saat yang sama ketika aku mendengar pengumuman dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, bahwa penerbangan yang kuduga tujuan Pak Bhum, berbunyi.
Dia benar-benar mau pergi? Ini nggak bohong, kan? Secepat ini?
"Pak… Bapak." aku memanggilnya, lalu berpikir, mungkin lebih baik menyusulnya ke bandara, tapi aku nggak yakin bakal berguna. Dia nggak memaafkan aku gara-gara kelabilanku yang bikin kesal.
"Semoga sukses dengan magang, kuliah, dan pernikahan kamu."
Aku memejamkan mata, nggak sanggup menahan lebih lama lagi dan biar saja dia mendengar isakku yang berusaha mencegahnya supaya nggak pergi.
"Maafin Ulan." napasku naik turun hingga aku terbatuk-batuk. Jangan pergi, Pak. Suriah nggak aman, aku melolong dalam hati.
"Pak Bhum, jangan begini." aku memanggilnya kembali, berharap dia bakal luluh. Dia mau aku berubah jadi Wulan yang manis, boleh. Dia boleh menyukaiku, walau aku nggak bakal membalasnya. Tapi, di nggak boleh pergi.
"I am sorry, Wulan. Saya harus pergi."
Aku ingin sekali berteriak kepadanya, jangan panggil aku Wulan. Dia boleh panggil aku Bulan sesuka hatinya, tapi, tangisku terlalu deras dan aku hanya mampu tersedu-sedu.
"Bapak janji harus kembali." aku berteriak dengan suaraku yang sudah serak. Jawabannya membuat aku makin kencang menangis.
"I am not sure about that."
Lah, kenapa kamu nggak mau pulang? Dia bahkan nggak janji mau pulang, memangnya dia nggak cinta lagi sama Indonesia? Sama ibunya?
Sama somay dan bakso yang mesti kita liput dalam acara Bhumigrasi, kamu lupa?
"I have to go now, we have to say goodbye."
Aku menggeleng, nggak sudi dengan kalimat terakhir itu, tapi dia nggak menunggu jawabanku sama sekali dan aku masih terlalu syok untuk percaya bahwa pria gila, super menyebalkan, tukang suruh, si mulut nyinyir, playboy mesum itu rela melepaskan semua kemewahan yang dia punya demi menjauh dariku.
"Pak Bhum…" aku mengerjapkan mata berkali-kali. Pedihnya masih terasa sampai tenggorokanku dan aku terbatuk kembali karena tidak sengaja tersedak air mataku yang jatuh dengan lancang.
"Balik, Pak. TV Lima masih butuh Bapak. Bapak masih harus siaran besok pagi. Ulan mesti bangunin Bapak. Ulan bakalan beli HP lagi, janji. Tapi Bapak jangan pergi. Ulan bangunin siapa kalau Bapak pergi?"
Sambungan telepon kami diputus sepihak olehnya. Dia pasti sudah bergerak menuju ruang boarding, meninggalkan semua kesenangan dan ketenaran yang dia punya demi menjauh dariku.
Tanganku masih gemetar saat aku mengembalikan gagang telepon. Aku kemudian tidak sengaja menyenggol tumbler miliknya yang tergeletak begitu saja di atas meja. Barang paling favorit yang sempat membuat kami bertengkar saat aku ketinggalan benda ini di lokasi syuting, beberapa bulan lalu.
Dia bahkan meninggalkan barang yang paling dia sayang.
Aku mengusap air mataku dan meraih tumbler Pak Bhum dan membawanya ke dalam pelukanku. Gila, hanya memegang tumbler-nya saja, air mataku turun lagi dengan lancang.
"Bapak, kan, manja. Makan aja susah, kenapa milih ke Suriah?" aku memandangi tumbler seolah baru kehilangan anak sendiri. Gimana kalau dia mau makan? Gimana kalau dia lapar? Di sana nggak ada kopi kesukaannya dan juga makanan Jepang, gimana kalau dia nggak makan?
Tubuhku sampai melorot ke lantai dan aku nggak bisa melakukan hal lain kecuali memeluk tumbler milik Pak Bhum dan terisak-isak sampai tidak sanggup membuka mataku.
"Maafin Ulan, Pak. Aku bener-bener menyesal sudah marah sama kamu. Aku bener-bener nggak tahu kalau akhirnya bakalan jadi gini."
Aku menyandarkan kepalaku ke bagian depan meja kerja Pak Bhum lalu melirik ke arah piala di malam penganugerahan yang dia dapatkan karena keuletannya sebagai pembawa acara paling top se-Indonesia.
Dia bahkan nggak peduli lagi dengan semua itu.
"Bhumi…"
Belum pernah seumur hidupku aku menangis sesedih dan sehisteris ini. Aku bahkan hampir nggak pernah menangis, entah saat itu aku sendirian, aku terjatuh, aku kehilangan bonekaku, aku dimarahi oleh istri tetangga yang paling cerewet, saat berpisah dengan ibu dan bapak di bandara yang mengantarku ke Jakarta, atau saat dipinang oleh Mas Arman. Aku nggak pernah sekalipun menitikkan air mata.
Tapi, hari ini, setelah bertahun-tahun, air mataku bobol juga. Aku yang merasa bersalah karena meluapkan kemarahanku kepada Pak Bhum, tidak bisa menampikkan perasaan itu saat kemudian dia memutuskan untuk pergi.
Alangkah banyak hal yang dia tinggalkan, bahkan keluarganya sendiri, demi menjauhiku.
"Pak, kalau Bapak benci, tinggal suruh aja Ulan mengundurkan diri. Bukan malah Bapak yang pergi dan menjauh. Ulan nggak ada harganya, Ulan nggak seberharga itu buat terus bertahan di TV Lima. Kalau Bapak suruh Ulan pergi, Ulan bakal balik ke Jogja."
Kupeluk tumbler Pak Bhum dengan erat dan aku menangis sejadi-jadinya.
"Bapak nggak seharusnya melakukan hal ini demi Ulan. Aku cuma anak magang, nggak berharga, nggak ada artinya buat TV Lima. Nggak ada aku hidup bakal terus berjalan. Tapi, kalau nggak ada Bapak..."
Bakal seperti apa hidupku bila nggak ada kamu?
Aku berharap, hari ini nggak seperti ini, hari ini dia nggak memilih pergi, akan tetapi, hingga aku lelah menangis, hingga azan Magrib berkumandang dan suasana di ruangan Pak Bhum semakin gelap, aku tahu, aku hanya berusaha membodohi dan menipu diri sendiri. Dia telah pergi, tubuh dan jiwanya telah meninggalkan Indonesia, terbang sejauh mungkin karena dia nggak mau bertemu lagi denganku.
"Terus Ulan bangunin siapa, Pak?"
Aku tahu aku menangis terlalu banyak, aku juga merasa bibirku terluka akibat kugigit saat menahan isak yang nggak mau berhenti. Aku bohong kalau bilang kepergiannya nggak buat aku makin bersalah.
Tapi, setelah bertahun-tahun kemudian, aku sadar, hari di mana aku menangisi seorang Bhumi Prakasa Harjanto adalah hari, saat aku ternyata mengalah dan membiarkan setitik demi setitik harapan tentang kembalinya pria itu, sebagai harapan yang terus kutunggu hingga berhari-hari, berminggu-minggu kemudian.
Bahwa aku tak benar-benar membencinya, aku juga tidak benar-benar marah kepadanya. Aku hanya merasa kesal untuk suatu hal yang aku sendiri tidak paham. Aku nggak segila itu, Pak.
Dan yang paling penting…
Aku tak benar-benar memintanya untuk menyerah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top