Empat

"Nggak." Pak Bhum membalas. Nada suaranya kedengaran sekali kalau beliau sedang menertawakanku. Tapi, yang keluar dari bibirnya kemudian membuatku bengong.

"Kamu mau makan? Saya punya biskuit."

Oalah, Gusti. Dikiranya aku beneran kelaparan?

"Bapak, saya nggak lapar. Kan, tadi Pak Bhum minta contoh." aku cepat-cepat berkata. Sialnya, detik yang sama, entah lambung atau usus di perutku bergerak tidak senonoh sehingga kemudian terdengar bunyi menyebalkan hingga membuat bosku itu menarik biskuit miliknya dari dalam laci.

"Makan."

Dia bicara dengan suara tegas setelah merobek bungkus biskuit dan menyodorkannya tepat di hadapanku. Karena aku mengenal sifatnya dengan baik, menolak adalah diharamkan. Pak Bhum bakal marah dan melotot bila aku menolak dan berkata sudah kenyang. Lagipula, kenapa menolak? Biskuit sudah dibuka dan dia bukanlah penggemar makanan manis-manis jadi sudah pasti, Pak Bhum benar-benar menyuruhku makan.

"Iya, Pak. Saya makan. Nggak usah dipaksa juga saya embat." aku menjawab santai sambil mengambil sebuah biskuit dengan tangan kanan. Aku memilih menunduk memandangi tulisan Pak Bhum yang lumayan bagus juga buat seorang cowok.

Ish, kenapa aku jadi pemerhati Pak Bhum, sih? Harusnya aku perhatikan saja Mas Arman yang entah kenapa jadi susah dihubungi. Sinyal di kampung sudah bagus, kok. Kenapa dia jarang balas pesanku, ya?

"Kamu lucu kalau makan sambil cemberut seperti itu." Pak Bhum yang sudah menguasai diri kemudian kembali meraih bolpoin dan kertas, "Shall we continue?"

Aku mengangguk. Dia mulai menjabarkan beberapa kalimat sederhana yang mudah sekali untuk kupahami, lalu beberapa soal yang dimulai dengan subject, verb, yang kadang acak demi melihat responku saat menjawab.

"Very good."

"Kamu bisa membuat kalimat sederhana dan itu sangat bagus." Pak Bhum memuji setelah aku berhasil membuat sekitar dua puluh kalimat dalam waktu lima menit saja. Dia kira aku beneran bodoh, sampai membuat kalimat saja tidak bisa. Mentang-mentang Aisyah Kana Wulandari dari kampung, jadi begonya kebangetan gitu, kan, Pak? 

"Lalu ini…" Pak Bhum menunjuk ke arah kalimat terakhir yang kubuat dengan wajah girang seolah habis menang lotere, padahal aku tadi membuatnya asal-asalan saja soalnya aku sudah tidak tahan lagi duduk memandangi wajahnya. Bukan karena jijik, nggak. Tapi, aku nggak ngerti, kenapa aku melihat muka Pak Bhum seolah-olah aku ingin menangis. Nggak ngerti gimana aku menjabarkannya, tapi kayak kalau kita ke toko kue, lalu lihat sepotong kue tart dengan potongan stroberi atau kue bolu dengan taburan meses, pengen dimakan tapi sayang, nggak tega. Nah, begitulah perasaanku ketika melihat Pak Bhum. 

Bukan berarti aku sayang padanya, tapi…

"I Love you."

Hah?

Telingaku tidak salah dengar, kan? Barusan bosku bilang I love you, bukan?

"Pak?" aku memastikan telingaku tidak salah dengar dan Pak Bhum dengan santai menunjuk ke arah kertas yang tadi dipenuhi tulisanku.

Oalah. Kirain apaan. Jantungku sampai mau copot.

"Coba baca ini." Pak Bhum menunjuk lagi. Aku nyaris mengangguk dan membuka mulut saat kulihat wajahnya makin antusias, padahal aku baru mau membaca, eh, tunggu…

I love you?

Maksudnya aku disuruh mengucapkan I love you di depan Pak Bhum, begitu? Iih, yang benar aja. Terus Mas Arman mau dikemanain?

"Nggak mau." aku melotot dan mengerutkan alis tanda tak suka. Dasar Pak Bhum aneh. Ngapain aku mesti bilang begitu di hadapannya? Bilang cinta ya sama laki sendiri, itu juga nanti, bukan sekarang. Pas sudah sah jadi bini Mas Arman.

"Why not?" 

Huh? Pake nanya lagi. Harus aku jawab, kamu bukanlah orangnya, begitu? 

"Saya nggak love sama Bapak." ujarku dengan wajah masam, "nggak ada kata lain apa? Geli banget, ih." 

Kalau Mas Arman ada di sini, biar dibilang bercanda, aku pasti mau. Toh, kami bakal nikah. Tinggal hitungan bulan. Lah, kalau sama Pak Bhum? Ogah! Bilang cinta itu, kan, nggak sembarangan. Kalau kata Rahul Kana, jatuh cinta satu kali, menikah juga satu kali. Makanya, jangan samakan aku sama Pak Bhum yang doyan bilang love sama cewek. 

Aku ngambek lalu bersedekap. Ogah beneran karena Pak Bhum terus-terusan ngotot. Okelah, nggak sama Mas Arman, nggak apa-apa. Tapi, aku nggak mau objeknya Pak Bhum. Kucing, kek, siomay, kek, aku mau.

"Kita, kan, lagi belajar Bahasa Inggris, bukan Bahasa Cinta." aku mengelak. Awas saja kalau dia masih ngotot.

"Ini, kan, cuma belajar, Bulan. Toh, kamu juga masih salah mengucapkan kata love. It is not lop, but /lʌv/."

Huh, apa-apaan? Bukannya tadi kita masih belajar buat kalimat sederhana? Kenapa Pak Bhum ngotot banget nyuruh aku mengucapkan kata love? Lagian, kupingnya butuh diperiksa. Kapan aku bilang lop? 

"Belajar Bahasa Inggris itu tidak boleh setengah-setengah. Harus total. Jangan malu kalau salah, yang penting berusaha."

Tolong, bagian mana dari upayaku selama ini yang tidak disebut berusaha? Ada dua puluh kalimat dan Pak Bhum memilih kata love buat jadi contoh? Apa dia tidak tahu kalau ucapan adalah doa? Kalau aku sampai bilang I love you sama dia, gimana? Dia juga sinting, maksa-maksa, padahal dari bibirnya aku yakin, sudah beratus-ratus cewek dia rayu menggunakan kata yang sama.

Ih, nggak sudi.

Lap lop lap lop, perasaan aku juga benar tadi ngejanya, kenapa Pak Bhum bilang salah, coba? Gigiku nggak ada yang bolong dan perkara bilang lop saja bikin Pak Bhum segitu ngototnya. 

Pasti kalau gigiku bolong kayak si Mbah, Pak Bhum bakalan ngeledek aku, you juga bisa sikat gigi sambil siul, Bulan.

Sinting. 

Tuh, kan. Aku jadi keingetan lagi wajah Pak Bhum yang syok waktu dijotos mantan pacarnya dulu, aduh. Nggak nyangka orang ganteng kayak Pak Bhum bisa ilang gigi dua.

"Kamu kenapa tertawa?" Suara Pak Bhum yang kebingungan membuatku membuka mata dan nyengir kepadanya sebagai balasan. Memang, sih, sekarang giginya sudah balik. Tapi, aku nggak bisa nggak kebayang. Walau, aku yakin, nggak semua wanita di Indonesia tahu kalau bosku ini pernah nggak punya dua gigi selama beberapa saat.

Untunglah, Pak Bhum nggak curiga dan dia kemudian memintaku untuk melanjutkan kembali pelajaran kami yang sempat terjeda gara-gara kata I love you tadi. Tapi, serius, beneran. Aku nggak bakal bisa bilang I love you dengan mudah walau cuma buat belajar. Bilang kalimat itu, meski cuma main-main di depan Pak Bhum bikin aku merasa seolah-olah aku cinta beneran sama dia. Kan nggak lucu.

"Bilang I love you."

Kembali aku menggeleng. Pak Bhum keras kepala banget, sih? 

"Pak, tolong, deh. Ganti sama kata lain. Saya nggak bisa bilang lop-lop sama Bapak," kataku putus asa, "Sama Mas Arman saja saya belum pernah bilang. Ini, Bapai sudah lima kali maksa saya."

Sumpah, aku lihat bibir Pak Bhum naik sedikit waktu aku bilang belum pernah mengucapkan I love you buat Mas Arman. Tapi, kayaknya, aku salah lihat karena kemudian dia malah mengetuk-ngetuk kertas dan bicara lagi.

"Then, you should try. One day you will say it to your husband." 

Alis mata Pak Bhum menegang dan dia menatapku dengan wajah amat serius hingga aku jadi salah tingkah. Memang, sih, aku bakal bilang gitu sama Mas Arman nanti, tapi, kan, belum kejadian juga. Masa aku tetap mesti bilang begitu?

Mulutku bahkan masih macet walau aku terpaksa membayangkan Mas Arman sebagai objek. Susah banget. Aku nggak bisa mengucapkan hal tersebut pada Pak Bhum dan aku juga kayaknya belum sanggup bilang kata yang sama buat Mas Arman, sementara Pak Bhum ngotot aku mesti nyebut kata itu supaya bisa kabur dari jam belajar nyebelin siang ini.

Dua puluh kalimat dan yang dia pilih kata aku cinta padamu?

Aku cinta padamu, Bhumi?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top