Teror

15 tahun kemudian...
"Ibu!" Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal dan keringat yang membasahi tubuhku. Sudah 15 tahun berlalu sejak kejadian itu, namun beberapa kali saat mendekati hari kematian kedua orangtuaku kejadian itu selalu hadir dalam mimpiku. Seakan mengingatkanku akan dendam kematian ayah dan ibu. Ketika aku beranjak remaja bibi Maddie menceritakan sebab mengapa kejadian itu terjadi. Mereka menginginkan sesuatu yang ada dalam diriku. Entah itu apa bibi Maddie tidak tahu. Mereka adalah segerombolan serigala perusak yang dikenal dengan sebutan rogue. Ayah dan ibu hanya berusaha melindungiku tapi Tuhan berhendak lain. Sejak saat itu aku mendendam pada mereka, rogue, serigala keparat itu.

Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan meraih gelas di nakas. Setelah menghabiskan segelas air putih, aku segera menuju kamar mandi. Kulepas baju tidurku dan memasukkannya ke dalam keranjang di bawah westafel. Kulihat punggungku di cermin westafel. Terlihat tato berbentuk sulur menyebar dari tengkuk ke punggung bahkan semakin melebar menuju lenganku. Sejak lima belas tahun yang lalu setelah kejadian itu, tanda lahirku yang berbentuk bulat hitam ditengkuk berubah menjadi tato sulur yang akan memanjang setiap tahunnya setelah aku bermimpi tentang kejadian itu. Aku tidak tahu mengapa itu bisa terjadi bahkan bibi Maddie juga tidak tahu. Kubalikkan lagi tubuhku dan kulihat tato itu telah menjalar diperut rampingku. Huh kalau begini aku tidak dapat memakai baju seksi lagi. Aku memegang kalung batu rubi yang ibu berikan padaku dan mencium liontinnya. Inilah yang kulakukan jika sedang merindukan ibu karena ini satu-satunya kenangan yang aku miliki darinya. Aku segera menuju shower dan melakukan ritual mandi.

Hari ini aku memakai kaos berwarna putih bertuliskan "Love" dengan kemeja bergaris vertikal berwarna biru yang bagian bawahnya kuikat di pinggang. Kaki jenjangku berbalut celana jeans biru gelap dengan flat shoes sebagai alas kaki. Kuikat rambutku yang berwarna cokelat gelap hanya di bagian atasnya saja sehingga bagian bawahnya tergerai hingga punggung. Sebenarnya aku ingin mengikat seluruh rambutku tetapi tato di leherku terlalu mencolok.

Saat kubuka pintu kamar tercium aroma masakan yang membuat perutku keronconngan. Kulihat Yasmine sedang menghidangkan makanan di meja saji.

"Hm... sepertinya enak nih. Kau masak apa?"

"Hai, Cassy. Aku masak sup jagung kesukaanmu."

Aku memutar mataku. Huh lagi-lagi ia memanggilku Cassy. Aku segera duduk dan mengambil sendok untuk mencicipi sup buatannya. Hm lumayan, ternyata ia cepat belajar juga. Saat aku hendak memasukkan suapan kedua, kulihat ia menatapku dengan mata penuh harap. Aku mencurigai sesuatu darinya hingga kumenyipitkan mata saat membalas tatapannya. "Ah pantas saja kau bangun pagi-pagi dan membuatkanku sarapan di Minggu pagi ini pasti karena ingin sesuatu kan?"

"Kau memang kakak terbaikku," ucapnya penuh semangat dengan mengacungkan dua jempolnya dan tersenyum memperlihatkan deretan giginya yang putih.

"Cepat katakan, aku harus segera ke toko sekarang."

Ia menyodorkan sebuah majalah pria padaku yang telah dibuka pada halaman yang bergambar jaket kulit hitam. "Belikan aku ini, Cassy," ujarnya sambil menunjuk gambar jaket itu.

"Mengapa kau tidak minta pada bibi Maddie saja?"

"Mom tidak akan membelikan jika barang yang kuminta tidak girly," lirih Yasmine. Ia menunduk sedih. Kuusap bahunya memberi semangat.

Huh dasar bibi Maddie, padahal dulu ia tidak girly sama sekali dan sekarang anaknya seperti dia tetapi dilarang keras.

"Baiklah akan kubelikan, nanti sore kujemput, asalkan besok pagi kau juga harus memasak sarapan lagi untukku."

Ia mengangguk girang dan menyusulku makan dengan lahap. Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Dasar anak remaja.

Setelah berpamitan dengan Yasmine, aku segera keluar dari kondominium dan turun menuju parkiran. Kondominium itu merupakan hadiah ulang tahunku yang ke delapan belas tahun dari bibi Maddie dan paman Freddy. Setelah melarikan diri dari desa, bibi pulang ke rumahnya di New York. Bersama paman Freddy dan Anthony yang berusia delapan tahun saat itu, aku kembali menata hidup. Meninggalkan kenangan manis dan menyakitkan dari desa kecil di Minnesota.

Aku menyetir sedan bututku membelah jalanan Kota New York menuju toko buku milik bibi Maddie. Ketika sampai di depan toko kulihat Yoseph, anak kedua bibi Maddie~saudara kembar Yasmine~tengah mengangkut beberapa kardus ke dalam mobil box.

"Hai, Yos, apakah kita dapat pesanan banyak hari ini?" ujarku sambil membantu Yoseph mengangkut kardus berisi buku.

"Kau tahu lebih baik dari itu, San." Bibirnya melengkungkan senyum yang amat menawan. "Dimana adik manjaku itu?"

"Mungkin sedang bersiap untuk bekerja. Kau tahu, dia sangat senang saat diterima di tempat kerjanya. Hari ini ia mendapat giliran pagi masuk kerja paruh waktu."

"Setidaknya dia tidak menyusahkanmu, kan?"

"Tentu tidak, aku senang ia mau menemaniku di kondominium yang sepi itu."

Setelah selesai mengangkut semua kardus, aku segera masuk ke toko, sedangkan Yoseph menyetir mobil boxnya untuk mengantar pesanan buku. Kuhentikan langkahku ketika melihat seorang wanita berambut merah sebahu tengah memilih buku di rak dekat jendela. Bau wanita itu seperti besi berkarat, kupastikan dia adalah vampir. Tetapi aku juga mencium parfum coklat yang ia kenakan. Sejak tato sulurku muncul, aku juga memiliki kemampuan mengenali makhluk abadi dari baunya. Seperti vampir yang berbau seperti besi berkarat, iblis yang berbau seperti abu, dan werewolf yang berbau seperti anjing dan hutan. Kata bibi Maddie, aku menuruni bakat ibu sebagai cenayang karena aku juga bisa melihat hantu. Apalagi hantu kecil yang selalu mengganggu saat di toko.

Tetapi yang menyita perhatian ku adalah wangi parfum yang ia gunakan. Sangat mirip dengan sahabat vampirku yang berasal dari Oklahoma.

"Ehm, permisi." Ia menoleh ke arahku sontak membuatku terkejut. "Beatrice." Aku langsung menghambur memeluknya. Saat kulepas pelukanku ia masih mengerjapkan matanya bingung.

"Tunggu, kau Sandra? Cassandra?" Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Ia kembali memelukku erat melepas kerinduan kami.

"Tris," kulepas pelukanku dan menoleh ke arah suara yang menginterupsi kami.

"Ya, Thony." Beatrice menjawab sapaan lelaki berambut cokelat gelap itu dengan senyum mengembang. Manik hijau khas vampirnya menyiratkan kebahagiaan.

Kulihat lelaki itu dari atas sampai bawah. Aku merasa tidak asing dengannya. Badannya tegap, rahangnya tegas, dan hidungnya mancung mirip paman Fred dengan cuping sedikit mengembang. Ia juga memiliki alis tebal. Bentuk matanya yang kecil dengan warna kornea biru keabu-abuan mengingatkanku pada si kembar Yoseph dan Yasmine.

"Oh Cassy, kau tidak mau menyapa sepupumu ini?" ujar lelaki itu dengan alis terangkat sebelah.

Oh suara ini, jangan-jangan...
"Thony? Anthony?" Ia mengangguk padaku. "Oh Lolly Thony." Aku langsung menghambur ke pelukannya. Kami berpelukan sambil berputar-putar. Melepas rindu yang teramat dalam karena ia menuntut ilmu di negeri kincir angin selama empat tahun di jurusan teknik.

"Please enough. Don't call me Lolly Thony again." Bibirnya mengerucut membuatku gemas ingin mencubitnya. "Aku sudah dewasa, Sandra." Ia melepaskan pelukan kami dan berkacak pinggang serta menaikkan sebelah alisnya.

"Lalu kau sendiri apa? Kau juga memanggilku Cassy padahal aku juga sudah dewasa." Kini gantian aku yang berkacak pinggang dan menatapnya tajam.

"Because you're my little sister." Dia mencubit hidungku. Aku mengerang kesakitan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari hidungku. Sedangkan Beatrice hanya tertawa menonton kelakuan kami. Astaga, ini benar benar sakit.

"Sudah cukup anak-anak. Daripada bertengkar lebih baik bantu aku menyusun buku baru untuk dipajang di rak." Anthony melepaskan hidungku dan kami segera menuju bibi Maddie membantunya menyusun buku. Uh aku benar-benar kesal melihat wajah sepupuku yang masih tertawa karena hidungku memerah akibat ulahnya. Oh hidung mungilku.

Wow, aku kagum melihat banyaknya kardus yang berisi buku dan majalah baru untuk mengisi stok toko kami. Tanganku sudah gatal ingin mencari beberapa buku yang aku incar beberapa bulan ini. Hm sepertinya aku akan pulang sedikit terlambat untuk menyusun buku-buku itu.

Saat kami menyusun buku di rak, aku ingat belum menanyakan pada Anthony bagaimana ia bisa mengenal Beatrice. "Um, Tris, Thony, bagaimana kalian bisa saling kenal?"

Anthony menghentikan aktivitasnya dan menoleh padaku. "Ah iya, aku lupa mengenalkan Beatrice padamu." Ia menghampiri Beatrice dan merangkulnya sehingga Beatrice menghentikan aktivitasnya dan menaikkan sebelah alisnya pada Anthony. "My little sister, Cassy. She is Beatrice DeMortimer, my girlfriend. Kita bertemu saat berada di tempat magang satu tahun yang lalu."

Aku melongo mendengar ucapannya apalagi diakhiri dengan ia mencium kening Beatrice dengan sayang. Meskipun kulitnya pucat, semburat merah di pipi Beatrice sedikit terlihat. Astaga, telingaku sedang tidak bermasalahkan.

Ah, tunggu, apa Anthony tahu kalau sebenarnya Beatrice...
"Tenanglah, Cassy. Aku sudah tahu kalau Beatrice itu vampir. Mom juga sudah merestui hubungan kami," ujarnya menjawab raut khawatir di wajahku.

"Oh iya, bahkan aku sudah mengetahui semua tentang Beatrice 'luar dan dalam'." Aku mengernyit mendengar Anthony. Ha? "Luar dan dalam"? Apa maksudnya? Sambil mengetuk-ngetukkan jari ke dagu, kulihat pipi Beatrice bersemu merah. Oh tidak, jangan-jangan...

"Mesum, dasar mesum. Pergi sana." Aku memukulnya dengan buku kumpulan soal setebal lima sentimeter.

Ia mengaduh kesakitan dan mulai berjalan menuju rak buku. Beatrice tertawa melihat kelakuan kami.

"Kalian sepupu yang manis." Wow, aku tersanjung mendengar pujian Beatrice tetapi setelah melihat Anthony yang menjulurkan lidahnya padaku membuatku risih dengan pujian itu. Manis darimana jika bertemu saja sering bertengkar.

Aku menghampiri bibi Maddie yang tengah membaca tabloid gosip di meja kasir. "Bi, koran yang aku minta sudah disiapkan?" Bibi menyesap tehnya kemudian menoleh padaku.

"Sudah, sayang. Tapi apa kau yakin ingin mencari tahu tentang itu? Aku harap kamu merelakan orangtuamu." Bibi Maddie memegang tanganku berharap aku tidak mengungkit kejadian masa lalu.

Aku pun membalasnya dengan menggenggam tangan bibi. "Aku telah merelakan mereka, Bi. Sungguh. Tapi mimpi itu masih menghantuiku seakan berharap aku tidak sekedar merelakan tanpa berbuat apapun. Setidaknya aku harus tahu mengapa mimpi itu masih menghampiriku."

"Aku hanya takut kau masuk terlalu jauh dalam pencarian itu, sayang." Bibi membelai kepalaku. "Aku sudah janji pada ibumu untuk menjaga keselamatanmu. Kau sudah seperti anakku sendiri." Wajah cantik yang telah berhiaskan sedikit kerutan itu sarat akan kecemasan. Aku menggenggam tangannya lebih erat.

"Tenang saja, Bi. Aku akan melindungi diri sendiri. I promise."

Ia melepaskan tangannya dari kepalaku dan suasana diantara kami menjadi hening. Entah apa yang dipikirkan olehnya, sorot mata kelabu itu redup, sangat redup. Bibir tipisnya tidak memancarkan senyum.

Praang...
Keheningan itu lenyap oleh suara pecahan kaca yang sangat keras. Wajahku memucat dan tanganku bergetar mengeluarkan keringat dingin. Kenangan lima belas tahun silam kembali membayangiku. Bibi Maddie menggenggam tanganku, mencoba menenangkan.

"Suara apa itu?" ujar Anthony menginterupsi kami. Beatrice mengekor dibelakangnya.

"Ibu juga tidak tahu. Coba kita lihat sama-sama," jawab bibi Maddie. Kami pun bergegas memeriksa asal suara itu.

Setelah beberapa menit mencari, terlihat kaca jendela di sayap kiri bangunan pecah membuat lubang yang cukup besar. Sebuah batu yang dibungkus kertas kami temukan di dekat serpihan kaca. Beatrice mengambil dan membuka bungkus batu itu. Aku dan Anthony mulai merapikan serpihan kaca yang tersebar agar tidak melukai kaki pengunjung. Untungnya pagi ini belum ada pengunjung yang datang.

"San..." panggilan Beatrice membuat perhatianku dan Anthony beralih padanya. Kulihat tangannya bergetar hendak memberikan kertas itu padaku. Aku mengernyit saat menerima kertas itu. Berharap kertas ini bukan seperti kertas yang aku dapatkan sebulan yang lalu. Bibi Maddie yang penasaran ikut berjongkok disebelahku.

"MENYERAHLAH CASSANDRA ATAU ORANG TERDEKATMU AKAN TERLUKA LEBIH DARI INI."
Wajahku pias setelah membaca pesan dengan tulisan berwarna merah itu. Bau amis darah tercium dari kertas tersebut. Tulisan itu pastinya ditulis menggunakan darah. Astaga, siapa yang dimaksud peneror itu? Siapa yang terluka? Wajah bibi Maddie juga pias setelah membaca pesan itu.

Anthony yang melihat kejanggalan dari wajah kami langsung mengambil pesan itu dari tanganku dan membacanya.
"Keparat." Ia meremas kertas tersebut. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. "Apa kalian sudah pernah menerima pesan semacam ini sebelumnya?" ujarnya rendah.

"Iya, sekitar satu bulan yang lalu," jawabku dengan suara setengah berbisik.

"Lalu mengapa tidak kamu laporkan pada polisi, Sandra." Ia mengusap wajahnya dengan kasar.

"Jika aku melaporkan kejadian ini, maka peneror itu akan benar-benar membunuh salah satu anggota keluarga kita. Aku telah mencobanya dan paman Freddy masuk rumah sakit setelah ditabrak mobil. Kejadiannya hanya berjarak satu jam setelah aku melapor pada polisi."

"Damn!" Anthony menarik rambutnya sendiri karena frustasi. Aku mulai terisak, takut kejadian yang menimpa paman Freddy terulang kembali. Bibi Maddie memelukku begitu erat. Aku tahu bagaimana perasaannya. Apalagi anggota keluarganya kini terancam karena aku. Sungguh aku keponakan yang tidak berguna.

Kring... Kring... Kring...
Suara dering telepon menyadarkan kami yang tengah kalut dengan pikiran masing-masing. Bibi Maddie bangkit dari duduknya dan mengangkat telepon yang berada tidak jauh dari meja kasir.

"Morriarty Store, ada yang bisa kami bantu?... Ya, dengan saya sendiri... Ya... " Bibi Maddie terlihat was-was saat ia menoleh ke arah kami. Bahkan jantungku tiba-tiba berdegub kencang. "Ba-baiklah... Saya segera kesana." Nada suara bibi Maddie bergetar. Ia kembali menoleh ke arah kami dan tiba-tiba terduduk di lantai. Aku segera berlari ke arahnya dan memeluknya mencoba memberi ketenangan. Ia pun mulai terisak dalam pelukanku.

"Sandra, Thony,... Yoseph... Yoseph... Dia kecelakaan... Dia masuk rumah sakit." Oh tidak, Yoseph. Ya Tuhan, kenapa harus Yoseph. Apakah aku harus menyerah pada peneror itu? Padahal aku tidak tahu siapa dia. Bahkan aku tidak mengerti apa yang ia incar dariku.

Kami pun segera menuju rumah sakit tempat Yoseph dirawat dengan mengendarai mobil sedan butut milikku.

****************************

7 Mei 2017
SILOrStev77

Semoga berkenan di hati readers. Ditunggu vommentnya. ^_^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top