2.8 Terdesak

Keesokan paginya...

Kembali berita heboh menyebar begitu cepatnya. Telah di temukan seorang mayat pria berumur 21 di temukan tewas tergantung di ruang prakter tata boga.

Para petugas keamanan maupun dosen sedang mengevakuasi lokasi kejadian. Garis kuning menandakan dilarang semuanya untuk mendekati area.

"Chin, ngeri banget ya." bisik Malvin.

Chindy hanya terdiam. Tatapannya tertuju lurus ke depan. Ternyata sosok hantu koki juga menatapnya tajam.

"Nggak!" jerit Chindy histeris.

Semua mata pun langsung tertuju kepadanya. Ia tak mempedulikan tatapan mereka.

"Gw harus pergi dari sini!" seru Chindy ketakutan.

Ia langsung pergi meninggalkan lokasi kejadian. Malvin yang berdiri tepat di sebelahnya daritadi berlalu menyusul Chindy.

Setelah jarak di cukup jauh wanita berkulit hitam itu berhenti. Ia mengatur napasnya yang mulai habis karena berlarian.

"Ahhh!" jerit Chindy.

Sebuah tangan menepuk pundaknya cukup kencang. Ia tak berani menolehkan kepalanya.

"Loe kenapa?" tanya suara pria.

Chindy mengenali suara tersebut. Ia pun langsung menolehkan kepala.

"Malvin! Gw kira han- siapa!" serunya hampir menyebut kata hantu.

Ia menjadi salah tingkah. Pandangan matanya tak berani menatap Malvin.

"Han apa? Hansip? Hantu?" tebak Malvin.

"A-apaan sih? Udah ah jangan banyak tanya!" sewot Chindy menutupi rasa gugup serta takut.

Malvin memutar bola mata malas. "Lagian loe aneh, tiba-tiba teriak terus lari gitu aja kaya orang ketakutan."

Perkataan Malvin membuat Chindy terdiam. Ia tak mungkin bilang kepadanya bahwa habis melihat hantu.

"Gw harus jauh darinya." batin Chindy mencari-cari alasan.

Tiba-tiba seorang mahasiswa menghampiri keduanya. Ia melirik ke arah Chindy tepatnya.

"Chin! Loe di cariin tuh sama Pak Arman." ucap mahasiswa tersebut.

"Kebetulan nih. Tapi kenapa Pak Arman mau ketemu sama gw ya?" tanda tanya besar tercantum di pikirannya.

"Owh oke. Thanks ya." balas Chindy.

Mahasiswa itu pun pergi menjauh. Chindy langsung saja ikut pergi tanpa berpamitan kepada Malvin.

Semakin menghilang sosok Chindy, semakin rasa penasaran terniang di hati Malvin.

"Apa dia ada sangkut pautnya sama kejadian ini? Ahh! Ngapain juga gw mikirin masalah orang lain!" kata Malvin kesal sendiri.

Ia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Katanya sih mau ngelanjutin tugas makalah.

🤔🤔🤔🤔🤔

"Van!"

Marsha memanggil sekali namun tak di jawab.

"Vanya!!"

Kedua kalinya pun tak di gubris. Lalu ketiga kalinya...

"Vanya!!!"

Teriakan Marsha membuat telinga Vanya memerah dan kesakitan. Vanya langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.

Ia menatap tajam sang pelaku. Sang pelaku sendiri memasang wajah datar dan tak berdosa.

"Apaan sih teriak-teriak di telinga gw segala? Sakit tahu!" seru Vanya marah.

"Lah? Siapa suruh di panggil sampai tiga kali nggak nyahut?" tanya Marsha santai.

"Bodo ah!" sahut Vanya.

Ia merasa sangat kesal, lalu pergi meninggalkan Marsha sendiri. Marsha menatap kepergian sahabatnya itu datar.

"Yailah, kenapa jadi dia yang ngambek?" gumam Marsha heran. Padahal ia hanya ingin membalas dendam perbuatan Vanya kemarin.

Tanpa berlama-lama ia segera menyusul Vanya. Ada satu hal yang harus ia bicarakan kepadanya.

"Nya! Tunggu!" seru Marsha.

Namun, Vanya tak menggubris. Ia masih kesal dan marah kepada sahabatnya.

"Cks!" decak Marsha kesal.

"Ada yang mau gw omongin sama loe." teriaknya agak kencang.

Vanya langsung berhenti. Ia juga tak ingin membuat Marsha mengejarnya terus ala film India.

"Apa?" tanya Vanya ketus.

"Nah gitu kek berhenti. Gw mau tanya soal Angga. Loe kenal sama dia?" tanya balik Marsha.

"Angga? Memang kenapa?" tanya kembali Vanya.

Marsha memutar bola mata jengah. Daritadi mereka hanya saling bertanya balik tanpa ada yang menjawab.

Vanya bingung. Kenapa Marsha malah menanyakan dia tentang Angga. Padahal ia sendiri tak terlalu akrab dan hanya bertemu selama 3x saja di kampus.

"Gw kenal tapi nggak dekat tuh. Kenapa?" tanya Vanya. Ia membalikan badan menghadap Marsha.

"Hmm... gimana nya." jawab Marsha menggaruk kepala yang tak gatal sama sekali.

Vanya menghentakan kaki di lantai. Ia menunggu jawaban yang jelas dari sang sahabat.

"Kata Alif loe harus jauh-jauh darinya. Soalnya ia merasakan aura buruk darinya. Apalagi loe juga bisa melihat warna aura dia kan." jelas Marsha.

"Hmm... iya sih. Warna aura dia itu memiliki dua warna tetapi salah satunya yaitu hitam sangat pekat sekali." batin Vanya berpikir.

Marsha kesal. Ia sudah menjelaskan panjang lebar tetapi respon Vanya hanya diam saja.

"Ahh! Kelamaan loe, mending kita ke kantin ajah." seru Marsha. Ia menarik langsung tangan Vanya menuju ke kantin.

Vanya sendiri hanya pasrah di tarik sama sahabatnya yang terkadang seperti bocah dan berkelakuan gak normal.

😐😐😐😐😐

Chindy telah keluar dari ruang Dewan Kampus. Ternyata di sana sudah ada seorang pria yang menunggunya.

"Lama banget." kata pria itu.

"Lah kok loe bisa tahu gw di sini." balas Chindy heran.

"Gw ke sini cari loe. Terus kata yang lain loe di panggil sama Dewan Kampus." jelas pria itu.

"Hmmm," gumam Chindy.

Pria itu langsung menarik tangan Chindy ke suatu tempat. Chindy hanya mengikutinya dengan diam. Ia sudah tahu pasti akan membahas kejadian tadi pagi.

Sampainya di halaman belakang kampus. Keduanya berdiri saling memandang dalam diam.

"Ini tentang-"

"Trisna!" potong Chindy.

Pria itu berdecak kesal. Ia paling tak suka pembicaraannya di potong.

"Dia mati terbunuh tergantung di ruang praktek tata boga." kata pria itu. Ia membasuh wajahnya kasar.

"Gw tahu siapa pelakunya." sahut Chindy tiba-tiba.

Pria itu langsung menatap intens Chindy. Ia sedikit terkejut. "Siapa?"

"Loe pasti nggak bakal percaya. Tapi yang jelas gw tadi pagi lihat dia di lokasi kejadian." jawab Chindy agak takut.

"Udah jelasin ajah siapa!" seru pria itu kesal.

"Ardi!" jawab Chindy tegas.

Suasana tiba-tiba menjadi hening. Angin berhembus pelan namun membuat bulu kuduknya berdiri.

"Nga-nggak mungkin!" kata pria itu tak percaya.

Prok! Prok!

Sebuah suara tepuk tangan mengalihkan keduanya. Seorang pria berbadan tinggi muncul dari balik pohon.

"Ridwan!" seru pria itu kaget.

"Kenapa? Loe kaget ada gw di sini?" tanya sosok pria itu yaitu Ridwan.

Ridwan sebenarnya sudah mengikuti pria itu sejak tadi di lapangan basket. Ia merasa gerak-geriknya sangat aneh jadi ia memutuskan untuk mengikutinya diam-diam.

"Kita harus pergi dari sini!" seru pria itu menarik tangan Chindy kasar.

"Aww!" rintih Chindy kesakitan.

"Mau kemana loe... Diza!" kata Ridwan.

Diza. Nama pria itu yang tidak lain adalah teman setim basket dengan Ridwan di kampus.

Tiba-tiba sebuah pisau tipis melesat ke arah mereka. Diza dan Ridwan dapat menghindari serangan itu.

Namun, tidak dengan Chindy. Ia terkena pisau tipis itu tepat di bagian perut.

Cairan berwarna merah merembas membasahi pakaian Chindy. Wajah wanita itu meringis kesakitan dan berubah pucat.

"Chindy!" panggil Diza.

Ia melihat ke arah dimana pisau itu berasal. Kedua matanya melebar sempurna.

Ternyata Diza melihat sosok hantu koki yang berlumuran darah. Ia sangat mengenali sosok hantu koki tersebut.

"Kau harus Mati!" kata hantu koki menyeringai lebar. Pisaunya sudah siap dia arahkan kepada sang pria.

Diza langsung pergi. Ia tak mau menjadi korban selanjutnya dari hantu itu. Tanpa membawa Chindy, ia sudah melarikan diri.

Sosok hantu koki menghilang. Ridwan terkejut atas perbuatan Diza. Ia memanggil namanya namun tak di hiraukan.

"Cih! Dasar pria pengecut!" sindir Ridwan.

Ia langsung menolong Chindy. Kalau dibiarkan begitu saja nyawa wanita itu takkan tertolong akibat perdarahan terus-menerus.

😱😱😱😱😱👻👻👻👻👻👻😱😱😱😱😱

Hallo!

Selamat hari Minggu!

Jangan lupa tinggalkan jejak vomment kalian guys!

(05/08/2018)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top