2.4 Bahaya

Wanda berpamitan kepada Dinda serta Ait dikarenakan saudaranya telah menunggu di rumah. Kini tersisa hanya mereka berdua.

Suasana menjadi sedikit sunyi dan canggung. Hamparan angin terasa membelai wajah mereka.

"Din," panggil Ait.

Dinda menolehkan kepala. "Iya."

"Gw boleh bicara hal serius sama loe?" tanya Ait memastikan.

"Hmm... boleh. Memang mau bicara apa?" tanya balik Dinda.

Ait menghembuskan napas perlahan. Kini ia menatap intens Dinda. Di pegangnya tangan wanita itu lembut.

Deg!

Drtt!

Debaran jantung Dinda berpacu kencang. Ia terhipnotis kepada kedua manik mata indah Fauzan. Terasa sengatan listrik kecil pula.

"Apa loe ngerasain?" tanya Ait.

"Hah?" tanya Dinda bengong. Pasalnya ia menikmati momen seperti ini.

"Apa loe ngerasain hal aneh?" tanya Ait sekali lagi. Ia tetap tersenyum tipis.

"Iya. Seperti ada sengatan listrik kecil..." jawab Dinda. "Dan jantung gw yang berdetak kencang." batinnya.

Fauzan atau Ait tersenyum lebar. Ia nampak terlihat menawan di mata Dinda.

"Berarti selama ini dugaan gw bener." kata Ait. Ia melepaskan pegangan di tangannya.

Perasaan kehilangan begitu di rasakan Dinda saat pria itu melepaskan pegangan tangan. Ia hanya tersenyum tipis menutupi rasa sakit di hati.

"Maksud loe apa? Gw nggak ngerti sama sekali." ucap Dinda polos.

Bukannya menjawab, Ait malah mengacak rambut Dinda pelan. Wanita itu seketika cemberut.

"Loe lucu juga kalau lagi ngambek." puji Ait.

Deg!

"Apaan sih? Gak lucu ah! Udah cepet jawab ajah pertanyaan gw tadi!" kesal Dinda menutupi rasa gugup.

"Saat gw lihat loe pertama kali di Ospek. Gw udah ngerasa loe itu berbeda dari yang lain." jawab Ait serius.

"Berbeda gimana?" tanya Dinda semakin bingung.

Saat Ait akan menjawab, ponsel Dinda berbunyi. Dinda langsung mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Tertera nama 'Bang Devin' di sana.

"Maaf, gw mau angkat telepon dulu." kata Dinda.

Ait menganggukan kepala kecil. Dinda pun berlalu menjauhi bangku taman.

"Halo Bang Devin, ada apa?" tanya Dinda.

"Kamu dimana sekarang?" tanya balik Devin.

"Lagi di taman kampus sama temen. Kenapa?" jawab Dinda.

"Owh... Kamu mau temenin abang ke toko buku?" tanya Devin.

"Hmm... boleh. Yaudah aku otw ke sana." jawab Dinda kembali.

"Iya. Abang tunggu di parkiran mobil. Sampai jumpa." balas Devin.

"Siap Bang!" seru Dinda.

Tutt! Tutt!!

Setelah memutuskan panggilan, wanita cantik itu kembali ke tempat semula. Ia menatap Ait sejenak.

"Ait, sorry ya. Tadi abang gw telepon minta temenin ke toko buku nih." ucap Dinda tak enak.

"Owh yaudah. Loe kalau mau pergi gapapa kok." balas Ait.

"Oke. Nanti kita lanjut bicara lagi nanti malam. Bye Ait." pamit Dinda.

Ait melambaikan tangan. Ia menatap punggung Dinda yang sudah tak terlihat.

"Dia memiliki kemampuan yang hebat. Semoga belum ada yang menyadarinya." gumam Ait.

Kemudian, ia menatap langit yang menunjukan cerahnya sinar sang surya serta hamparan awan putih yang tenang.

😊😊😊😊😊

Di Halaman Belakang Kampus...

Terdapat beberapa orang berkumpul. Wajah mereka nampak serius sekali.

"Ini gawat." seru KeyB datar.

"Teror ini hampir saja merenggut nyawa orang tak bersalah." lanjutnya. Terdengar nada cemas di sana.

Ruth duduk bersebelahan dengan sang kekasih. Raut wajahnya sangat takut dan sedih.

"Tenang saja. Aku pasti akan melindungimu." ucap Bastian lembut sambil membelai rambut sang kekasih.

"Tapi... hampir saja Zalfa di serang oleh hantu itu." balas Ruth sedih.

Bastian memeluk tubuh Ruth. Ia seakan memberikan kekuatan padanya.

Sedangkan Zalfa dan Ridwan terdiam, lebih tepatnya Zalfa. Ia masih saja trauma dengan kejadian di sana.

"Andai gw terkena tuh garpu. Mungkin nyawa gw takkan selamat." batinnya lirih.

Ridwan menatap wanita itu cemas. Ia tak rela bila dia harus terluka walau sedikitpun.

"Kita harus pecahkan kasus ini segera!" seru Ridwan berdiri tegak.

Semua mata memandang ke arahnya. Suasana menjadi sunyi seketika.

"Bagaimana caranya?" tanya Bastian.

"Tch! Kita harus mengungkap siapa sosok hantu itu dan mengurungnya ke buku hitam!" jawab Ridwan emosi.

Entah kenapa akhir-akhir ini sikapnya mendadak berubah. Ia teringat akan sebuah pisau yang hampir saja membunuhnya.

"Gimana mau gitu? Semuanya ajah udah pada nggak kumpul lagi." sahut Bastian protes.

"Terserahlah. Gw paling nggak suka sama orang pengecut seperti mereka!" balas Ridwan kasar.

"Hentikan! Pasti mereka memiliki alasan lain kenapa tidak mau berkumpul lagi." seru Zalfa.

Ia tak tahan dengan perdebatan yang membuat dirinya dan yang lainnya semakin kacau tak karuan.

"Iya, benar apa yang dikatakan Zalfa." sambung Ruth setuju.

KeyB hanya diam. Ia sedang pusing memikirkan cara agar mereka dapat bersatu kembali.

Ridwan menatap temannya satu persatu. Lalu ia beranjak pergi. Tetapi sebuah tangan menghentikannya.

"Lepasin tangan gw!"

Ridwan menghempaskan kasar tangan itu. Ia pun berlalu meninggalkan mereka.

"Ridwan... kamu kenapa jadi seperti ini?" tanya Zalfa lirih. Air mata sudah membasahi wajahnya.

Ruth memeluk tubuhnya. Ia mengerti apa yang di rasakan wanita itu.

"Zalfa sabar ya. Mungkin dia lagi banyak pikiran." ucap Ruth menenangkan.

Bastian tak bergeming. Ia menatap kepergian Ridwan penuh tanda tanya.

"Sebaiknya kita lanjutkan ini besok. Terima kasih." kata KeyB. Dia pun ikut pergi meninggalkan ketiga orang tersebut.

😢😢😢😢😢

Vanya menatap ponselnya intens. Sepertinya ia tengah menunggu kabar dari seseorang.

"Aduh! Kok lama banget sih!" gerutunya sebal.

Ia puk duduk di bangku kelas. Suasana di kelas sudah sepi beberapa menit yang lalu. Tinggalah dia seorang diri.

Tap!
Tap!
Tap!

Terdengar suara langkah kaki dari arah belakang. Vanya ingin melihat namun rasa takut mulai menjalar.

"Berpikir positif. Pasti hanya imajinasi gw ajah." gumam Vanya.

Tap!
Tap!
Tap!

Kembali suara langkah kaki semakin terdengar jelas. Bulu kuduk Vanya mulai berdiri semua.

"Sha! Loe dimana sih?" tanyanya. Ia melihat ponselnya yang tak kunjung berbunyi.

"Kamu harus mati!" bisik suara itu lirih.

"Ahhh!!!" jerit Vanya histeris.

Sosok hantu memakai pakaian ala koki yang berlumuran darah berdiri tepat di sebelahnya. Ia mengangkat sebuah pisau ke arah Vanya.

Jleb!

Pisau itu mengenai meja kampus. Vanya berhasil menghindari serangan itu.

"Duh! Pintunya kok nggak bisa di buka sih!" seru Vanya berusaha membuka pintu kelas yang tiba-tiba saja tertutup sendiri.

Dor! Dor!

Vanya mengentuk pintu kelas kencang. Ia merasakan hantu koki itu di dekatnya.

"Kamu harus mati!" kata hantu koki parau.

"Enggak! Aku nggak mau mati! Pergi!" seru Vanya ketakutan.

Hantu koki melemparkan sebuah pisau kecil yang mengarah langsung ke Vanya. Vanya semakin berusaha semakin membuka pintu.

Ceklek!

Pintu akhirnya dapat terbuka. Vanya buru-buru keluar kelas hingga ia tak menyadari seseorang tengah melintas di depan kelasnya.

Bruk!

Vanya terjatuh menabrak orang itu. Pisau kecil yang mengarah ke Vanya menancap pintu kelas yang tertutup sendiri.

Hantu koki menatap geram, lalu menghilang dari kelas tersebut.

"Hah! Hah!"

Deru napas Vanya terdengar jelas di telinga sang korban yang tertabrak. Keringat bercucuran membasahi sebagian tubuh wanita blonde.

"Loe nggak baik-baik saja kan?" tanya orang tersebut yang teryata seorang pria.

Vanya menolehkan kepala. Ia terkejut melihat sosok pria tersebut.

"Loe!" serunya kaget.

🐾🐾👻🐾🐾

👻👻👻👻👻😱😱😱😱😱👻👻👻👻👻

Hallo! I'm back!

Siapa yang penasaran dengan cowok yang di tabrak Vanya?

Ada yang penasaran Marsha pelukan sama siapa?

Bagaimana kelanjutan cerita ya?

Semua jawaban ada di next chapter!!!

Jangan lupa tinggalkan jejak vomment kalian guys!!

(31/07/2018)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top