Impulsif
Jalanan Shibuya yang penuh hiruk pikuk manusia memaksaku untuk memperhatikan langkah dengan saksama. Beberapa kali aku mencoba menghindari individu yang melewatiku maupun mendahuluiku. Di detik kesepuluh berikutnya, ada oknum tak bertanggung jawab menyenggol bahuku hingga tubuh oleng kemudian terjatuh pada trotoar penuh insan.
"Aduh!" Aku mengaduh dibarengi dengan usapan pada pinggangku, kuangkat pandangan menghakimi sebelum akhirnya bangkit dan menahan pundak pelaku.
"Pakai matamu baik-baik!" hardikku tajam.
Si kepala pink itu menoleh, permen lolipop berwarna merah di tangannya menunjuk padaku secara tak sopan. Bukannya merasa bersalah, orang ini malah membalasku dengan senyum tengil memuakkan sambil berkata—
"Ah! Aku tidak sengaja, Onee-san!"
Tubuhnya berbalik menghadapku, satu tangan masuk ke dalam saku celana. Lolipop tadi kini bertengger manis di mulutnya.
"Amemura Ramuda, salam kenal, Onee-san."
Hypnosis Mic fanfiction
Amemura Ramuda x OC
Dedicated to akanemori_ for belated birthday present
Kenapa?
Pertanyaan yang terus berulang, merotasi dalam tempurung kepalaku sampai-sampai dirasa aku bisa gila karenanya. Kalau saja waktu itu aku tak menahannya, apa mungkin aku akan lebih bisa menjalani kehidupanku dengan masuk akal?
Jika orang-orang mengimpikan berada di posisiku, maka akan kukatakan dengan lantang bahwasannya impian mereka sia-sia. Ramuda tidak sebaik yang terlihat di depan khalayak dunia.
Apa? Ah, kutebak. Sepertinya kau yang membaca cerita ini pasti berpikir bahwa aku terlalu hiperbola, melontarkan kalimat kebencian untuk menarik simpatisan, benar?
Sayangnya, saat kalian tahu siapa sebenarnya Amemura Ramuda, maka selanjutnya adalah suara-suara yang menyeru lantang tidak kesetujuan perlahan akan mengubah pilihan dan masuk dengan memegang pilihan setuju pada pendapatku. Ramuda—barangkali yang terlihat—memang seperti orang-orang pada umumnya. Ceria, hiperaktif, menawan, berpenghasilan, karier yang bagus, paket lengkap bagi kalian yang mendambakan pria mapan lahir batin.
Sebelumnya kukira Ramuda adalah orang iseng kurang kerjaan, katakanlah aku naif pada awalnya, mengira ia cuma lelaki biasa tanpa pesona apapun—atau mungkin aku saja yang terlalu mudah terpesona padanya—. Layaknya cerita-cerita klise dalam romansa picisan, selalu ada kesempatan bertemu, entah sengaja maupun tidak disengaja. Seakan-akan, takdir aneh sedang mengitari kami berdua untuk disandingkan.
Suatu hari, didorong dengan rasa penasaran yang mencapai ubun-ubun, aku mengekorinya kala kami tak sengaja berada disebuah cafe yang sama. Meja kami terpisahkan oleh lima meja, aku duduk di barisan paling belakang dekat jendela kaca. Ketika kulihat ia keluar dari cafe, langkah kakiku tanpa sadar mengejarnya, berjalan santai sambil menjaga jarak, memastikan ia tidak mengetahui keberadaanku.
Yang tadinya kami lewati adalah lautan manusia, Ramuda berbelok ke arah gang kecil, dua gedung pencakar langit yang berdempetan, memberi sedikit celah untuk bisa dilewati oleh empat sampai lima orang. Sudut gang sedikit gelap, kumuh, seolah telah dilupakan mata dunia, kalau di jalanan tadinya penuh akan lalu-lalang manusia, maka di sini kebalikannya. Hanya ada kami berdua, aku dan Ramuda.
Sewaktu Ramuda berbelok lagi ke gang yang lain, semakin masuk ke dalam, ia menghilang dalam sekejap mata saat aku ikut berbelok. Tak ada Ramuda, yang ada hanyalah jalan buntu dengan tong sampah besar di depan sana.
"Apa yang kau rencanakan dengan mengikutiku seperti ini, Onee-san?"
Suaranya yang bertanya dengan rendah mulai disirati hawa dingin dan gelap. Saat tubuh mulai berbalik guna menatap 'orang itu', dia mendorong bahuku hingga bersandar di dinding terdekat. Kedua lengannya mengurungku, membuat kungkungan yang tidak akan membiarkanku lepas.
Di depanku adalah Ramuda, tatapan mata yang kelihatan ceria kini dihinggapi kegelapan, kontras dengan penampilan biasanya. Kerlingan yang dilemparkan padaku saat pertama bertemu bukan seperti ini. Ramuda terlihat berbeda, berbanding terbalik dari waktu itu.
"Nee nee, Onee-san. Apa sekarang kau takut?" Cara bicaranya masih sama, namun suara yang keluar adalah penekanan, datar, tak ekspresif.
Kuberanikan diri menatapnya, tanganku meremas tali tasku sendiri dengan gugup. "Kenapa aku harus takut padamu?"
Ramuda tersenyum, pupil matanya melebar. "Karena Ramuda yang kau tahu, bukan seperti ini."
Memang bukan.
"Lalu? Memangnya kenapa? Apakah ada hubungannya dengan rasa takut?" tanyaku seolah menantang.
Wajahnya mendekat, berakhir di samping kepalaku, tubuhnya semakin condong padaku membuatku memberontak kecil.
"Tidak boleh begitu, Onee-san. Berlagak berani padahal kakimu gemetar begitu. Aku benci pembohong loh."
Dia tidak bohong, kakiku benar-benar bergetar hebat melihatnya yang berbeda. Aku masih menatap lurus, seolah tengah menipu diri dari ketakutan.
Ia menarik wajahnya kembali sambil tersenyum ceria layaknya tidak terjadi apapun sebelumnya.
"Bahaya loh kalau Onee-san kemari, bisa ada orang jahat nanti yang menganggumu!" katanya dengan nada jenaka.
Aku terdiam, menunduk sambil masih meremas tali tas. Ramuda berbisik pelan di samping telingaku.
"Jadi, tolong lupakan yang tadi ya, Onee-san." Suaranya serendah yang sebelumnya.
Kemudian Ramuda pergi, meninggalkan diriku sendirian yang merosot dan memeluk kedua lutut, menenggelamkan kepala di lipatan lutut.
"Menyebalkan, berhentilah gemetar."
**
Hujan dimusim panas memberikan rasa segar terlebih setelah cuaca yang panas menyengat dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku memandangi hujan dari balik jendela perpustakaan pusat kota. Buku tentang metafisika kuanggurkan sejenak, menatap titik-titik air di luar sana dengan pandangan redup.
"Hujan selalu datang tak terduga, huh?" gumamku pelan sambil bertopang dagu menggunakan tangan kanan.
Seseorang mendadak menutup kedua mataku dari belakang. "Tebak siapa aku?"
Dari suaranya pun aku sudah tahu siapa dia, napasku berhenti sebentar sebelum akhirnya aku menghembuskan napas dengan kasar. "Amemura-kun."
Tangannya telah lepas dari mataku, lantas aku berbalik menatap pemuda yang lebih muda beberapa tahun dariku. Kutemukan ia menggembungkan pipi sembari memasang wajah sebal.
"Mou! Sudah kubilang, Onee-san. Panggil aku Ramuda, ingat! R-a-m-u-d-a." Ia mengeja namanya sendiri agar aku paham—yang seharusnya tidak perlu ia lakukan—.
Kurasakan kering mencekat di tenggorokanku. Entah mengapa rasanya aku seperti kehilangan suara untuk menyebut nama Ramuda, terlebih kejadian di sebuah gang waktu itu. Aku tak tahu kenapa rasanya sesulit ini memanggil namanya.
"Ada apa kemari," Aku menelan ludah sejenak sebelum kembali mencoba menyebut namanya. "R-Ramuda-kun?"
"Kebetulan bertemu denganmu di sini, Onee-san. Aku sedang mencari bahan referensi untuk desain bajuku berikutnya, melihatmu membuatku tak bisa menahan diri untuk menyapa," balasnya seraya memperlihatkan buku yang ada di tangannya.
'Oh, dia desainer ternyata.' batinku.
Kuperhatikan penampilannya sekali lagi, sebenarnya aku lupa—dan mungkin tak menyadarinya— bahwa Ramuda selalu stylist di mana saja dalam kondisi apapun. Entah sudah beberapa lama aku terpaku memandanginya penuh kekaguman sekarang. Ramuda melambaikan tangan di depan wajahku.
"Ooi, Onee-san? Moshi moshi?" ucapnya yang membuyarkan lamunanku.
"Eh!? Y-ya, ada apa?" tanyaku gelagapan.
"Kenapa Onee-san memandangiku seperti itu? Jangan-jangan, kau sedang terpesona? Tidak boleh seperti itu, Onee-san." Kulihat dia berkacak pinggang.
"Oh— benar," gumamku.
Ada perasaan lain terselip dalam relung hatiku. Aku tidak tahu kenapa, tapi keganjilan ini terasa hambar di lidahku. Sejujurnya aku tak dapat menjelaskan kondisi yang kurasakan saat ini.
Pahit.
"Aku ingin menjadi yang paling istimewa untuk Ramuda-kun," ucapku gamblang, mengutarakan isi pikiran tanpa berpikir dua kali.
"Istimewa?" tanyanya dengan mimik muka yang sedikit berubah.
Impulsif.
Terkutuklah mulut ini yang bicara dengan sesukanya tanpa seizinku. Sebenarnya aku ini kenapa? Berkata tiba-tiba seperti itu. Terlebih mengatakan hal memalukan di depan Ramuda!
"B-bukan, aku—" Ucapanku terpotong oleh sepatah kata dari Ramuda.
"Baiklah," tukasnya cepat.
Aku terdiam sejenak berusaha memproses situasi saat ini. "Ha? T-tunggu maksudku—"
"Menjadi yang istimewa untukku 'kan? Boleh saja kok, Nam."
Baru kali ini ia menyebut namaku, membuat jantung berdebar keras. Rasanya seperti lupa cara bernapas yang benar. Aku menahan napas sejenak, wajahku terasa memanas, tangan berkeringat dingin.
Aku ini kenapa?
Sebisa mungkin kucari suaraku yang menghilang tiba-tiba tadi. "A-aku…"
Kulihat Ramuda membungkukkan badan, napasnya menerpa dari samping kepalaku, ia berbisik pelan.
"Maka dari itu, kau juga harusnya mengistimewakanku, Nam," bisiknya dengan rendah.
Mendengar nada bicaranya yang seperti itu mengingatkanku akan Ramuda beberapa bulan lalu. Suara rendahnya membuatku tak bisa bernapas lega, tercekat dalam tenggorokan. Jantung terpacu akibat rasa waspada yang meningkat secara drastis.
Apakah langkah ini sudah benar?
Menjadi yang paling istimewa adalah keinginan tersembunyiku. Harusnya aku senang dengan ini, seharusnya aku, bahagia. Tapi, sebenarnya rasa hampa apa ini? Tiada kelegaan, yang ada hanyalah rasa kekangan?
Pilihanku ini, apa benar-benar sudah tepat?
.
.
.
.
-END-
a/n :
Maaf ya beb kalo kurang unch soalnya kubuat ini tanpa kerangka apa-apa, improvisasi gitchu. Kamu jan ngambek lagi ya:(( maapin aku yang baru bisa ngasih kamu ini
Happy belated birthday ya beb akanemori_!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top