9. Kekasih (M)
Chapter ini mengandung adegan yang mungkin triggering bagi sebagian pembaca
Ibu punya kekasih, itu hal yang pertama yang Armita sadari ketika ibunya tidak lagi terlihat lelah atau lesu dengan kantung mata tebal dan mata yang setengah tertutup sayu setiap pulang kerja. Mata ibunya berbinar-binar, senyumnya mengembang, ibunya tampak bahagia.
Saat ibunya bahagia, semuanya terasa lebih mudah, dia bisa tertidur lebih nyenyak dan belajar lebih lama, Anindya tidak rewel dan menangis menganggunya seperti yang sebelum-sebelumnya. Ibunya lebih sabar dan tidak memarahinya karena hal kecil yang membuatnya kesal. Armita juga bisa lebih lama menghabiskan waktu bersama teman-temannya termasuk mengikuti eskul cheer yang ia gemari.
Kebahagiaan yang mereka rasakan terasa seperti balon yang terus mengembang dan membesar bersiap meletus mengagetkan mereka.
"Ibu mau kenalin kamu ke pacar ibu." Suatu hari ibunya mengajak Armita mengobrol bersama di meja makan setelah Anin tertidur.
"Pacar ibu?" Armita mengunyah nasinya lebih lama daripada sebelumnya, nyaris mengemutnya. Apa dia siap menemui pria yang membuat ibunya bahagia selama ini?
"He'em." Ibunya mengangguk, matanya berbinar, senyumnya melebar. Ibunya bahkan merapikan rambut Armita tujuh belas tahun yang berantakan. "Gimana? Namanya Om Heru, dia duda, nggak punya anak." Melihat keraguan di mata Armita, ibunya melanjutkan. "Ibu berharap bisa menikah dengan dia."
Mana mungkin Armita tega menghancurkan kebahagiaan ibunya ini? Selama ini Ibu telah menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga, bekerja dari pagi hingga sore demi Armita dan Anin, bahkan masih menyempatkan waktunya mengajari Anin dan Armita di malam hari. Tubuh wanita di awal empat puluhnya itu seringkali terlihat letih dan lelah, terlampau lelah untuk sekedar tersenyum kepada mereka anak-anaknya.
"Kalau Ibu bahagia .... " Armita bahkan tidak sanggup melanjutkan. Ibunya keburu memberikan senyuman terlebar yang pernah Armita lihat. Mereka bahagia, mereka akan bahagia. Armita berusaha meyakinkan dirinya.
***
"Oh, jadi ini yang namanya Armita?" Pria itu tersenyum kebapakan kepadanya. Armita tersenyum kecil, ia merasa canggung ketika menemui pria yang konon ibunya ingin nikahi ini. "Sekarang Mita sudah kelas berapa?"
"Kelas tiga, Om."
"Kuliah nanti mau jurusan apa?" Armita menggeleng, bayangan kuliah masih jauh daripada apa yang bisa ia gapai saat ini. "Ambil akuntansi gimana? Biar nanti kerja di kantor om."
Ibunya tersenyum lebar lalu melihat ke arah Armia. "Om Heru punya kantor akuntan publik."
Pria paruh baya itu mapan, Armita sudah tahu sejak pertama kali pria itu menginjakkan kaki ke dalam restoran dan menyapa mereka. Pakaiannya, gerak geriknya, bahkan mobil yang dia kendarai. Di mana ibunya menemukan pria seperti Om Heru?
Sejak pria itu datang, nada suara ibunya naik beberapa tone, terdengar jauh lebih ceria daripada sebelumnya. Mereka mengobrol, Om Heru melirik Armita beberapa kali lalu mengomentari bagaimana ibunya selama ini memperlihatkan foto Armita dan Anindya dan menceritakan tentang berbagai hal yang Armita dan Anindya lakukan.
"Matamu lebih cokelat daripada di foto." Om Heru mengomentarinya kembali.
"Haha." Armita tertawa canggung, matanya melirik ke jendela di luar, tangannya memutar-mutar spaghetti yang ada di hadapannya. Anindya makan dengan berantakan, bocah tujuh tahun itu bahkan tidak ambil pusing dengan siapa pria yang mereka temui ini.
"Om suka warna coklat."
"Warna matanya ikut warna mataku." Ibunya menimpali ketika Armita terlihat acuh.
"Hm, matamu juga cokelat." Om Heru tersenyum kepada ibunya. Ibunya terlihat seperti gadis remaja yang tengah jatuh cinta mendengar pujian yang Om Heru lontarkan kepadanya.
Pembicaraan berikutnya diarahkan oleh Om Heru dan ibunya, keduanya mengobrol santai dan menginformasikan kepada Armita dan Anindya kapan mereka akan menikah dan kapan mereka akan mulai pindah ke rumah pria itu.
Ibunya bahkan tidak menyadari tatapan Om Heru yang sesekali terlontar ke arahnya, seolah menunggu reaksi Armita mendengar pernikahan ibunya dan pria itu. Setiap kali tatapan pria itu terarah kepadanya, tenggorokannya terasa kering dan tercekik.
Armita merasa hari ini, pertemuan ini, restoran ini, tawa kekanakan ibunya, tatapan pria itu, semuanya menggelikan dan memuakkan. Perutnya bergejolak mual, keringat dingin merayap di punggungnya, Armita berusaha menyibukkan dirinya, matanya menatap ke mana saja, jendela, langit-langit, piring makanannya, dan lebih baik lagi, Anindya. Entah berapa kali dia melap bibir Anindya yang belepotan saus bolognese hingga bersih, lalu membersihkan meja Anin dengan tissue. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak menggigiti jemarinya saat ini.
Pada hari itu, Armita bahkan tidak sanggup menghabiskan makanannya walaupun biasanya dia tidak akan menyisakan makanan sedikit pun.
Mobil Om Heru berhenti tepat di depan rumahnya. Armita mengambil Anin yang tertidur dan menolak pria itu mengambil alih adiknya dari gendongannya. Armita menggeleng, dia melesat secepat yang kakinya mampu membawanya ke dalam rumah lalu meletakkan Anin yang tertidur lelap di atas kasur. Matanya melihat dari balik jendela, ibunya dan pria itu masih bercengkerama di dalam mobil. Entah apa yang mereka bicarakan hingga cukup lama Armita menunggu sebelum ibunya masuk ke dalam rumah dengan aura bahagia yang terpancar begitu terang dan senyum yang begitu lebar.
"Bu," Armita memanggil ibunya.
"Hm?" Ibunya menuang air dari ceret, lalu meminumnya.
"Ibu harus nikah sama Om Heru?"
Ibunya menoleh ke arahnya, keningnya berkerut tidak mengerti. "Kenapa kamu bilang begitu?" Ibunya mengusap wajahnya lelah, senyuman yang tadinya terpatri dan aura bahagia yang terpancar begitu terang meredup mendengar pertanyaan Armita.
"Aku bahagia cuma bertiga sama ibu dan Anin." Suara Armita mengecil diikuti dengan tatapan ibunya yang menajam. "Sebentar lagi Armita lulus SMA, aku bisa kerja, bantu ibu. Aku nggak akan ngerepotin ibu lagi."
Ibunya mengembuskan napas panjang. "Terus kamu nggak kuliah? Bagaimana dengan Anin? Mit, Om Heru punya kantornya sendiri, dia nggak kerja di orang lain, kamu nggak dengar tadi dia bilang apa? Dia bahkan menawarkan kamu kuliah lalu kerja sama dia. Kalau ibu nikah sama Om Heru, keluarga kita bisa hidup lebih layak, ibu bisa meluangkan waktu buat kamu dan Anin lebih lama, nggak kerja lagi."
Armita terdiam, dia tidak menampik kata-kata ibunya, tetapi juga tidak menyetujuinya.
Melihat kebimbangan Armita, Ibunya melanjutkan kembali. "Tentu aja penting buat ibu kalau anak-anak ibu bahagia, tetapi bagaimana dengan ibu? Kamu nggak mau lihat ibu bahagia?" Kali ini Armita tergugah, dia memang tidak pernah melihat ibunya bahagia seperti ini. "Kamu tahu hidup ibu nggak sama semenjak ayahmu dan Anin meninggal. Anin bahkan belum lahir saat itu." Bahkan kini ibunya membawa-bawa ayahnya yang telah lama tiada. Anin masih berada di dalam kandungan ketika ayahnya meninggal mendadak dan kondisi keuangan keluarganya merosot seketika. "Ibu mau bahagia sekarang, Mit."
Armita termenung. Apakah hidup bertiga bersama Anin dan dirinya membuat ibunya tidak bahagia selama ini? Terlalu banyak tanggung jawab, beban, dan berbagai hal yang selama ini ibunya simpan, membebani tulang punggungnya yang ringkih. Ibunya ingin bahagia, siapakah dirinya yang bisa menghalangi kebahagiaan itu?
Armita terdiam. Ketika dua orang bersama dan hanya salah satu saja yang bahagia, maka pasti karena pihak yang lainnya mengorbankan kebahagiaannya. Selama ini ibunya telah mengorbankan kebahagiaannya demi dirinya dan Anin, kini ganti giliran dirinya untuk berkorban. Dengan berat hati, Armita mengangguk, menyetujui keinginan ibunya untuk menikah lagi bersama laki-laki bernama Heru itu.
***
Pernikahan mereka dirayakan secara sederhana. Bukan pesta besar-besaran. Ibunya tidak keberatan, Om Heru juga tidak keberatan. Lagipula mereka ini dua orang yang telah cukup berumur dan telah membina pernikahan sebelumnya. Asam dan garam kehidupan telah mereka lewati, ada hal lain yang lebih penting daripada pesta pernikahan mewah.
Kehidupan Armita juga berbanding terbalik dibanding sebelumnya. Rumah sempit yang mereka tempati berganti menjadi rumah megah nan besar milik Om Heru. Kini mereka punya kamar mereka masing-masing, tidak satu kamar dan satu kasur yang dibagi bertiga. Anin punya kamarnya sendiri di lantai satu yang berdekatan dengan kamar ibunya dan Om Heru, Armita punya kamarnya sendiri di lantai dua, yang memiliki balkon dan kamar mandi sendiri.
Ibunya bahagia, Anindya bahagia, Om Heru bahagia. Apakah Armita bahagia? Untuk sesaat dia bahagia dan berpikir bahwa ini mungkin adalah pengorbanan paling tepat yang pernah dia lakukan. Sebelum tentu saja, dia lagi-lagi tersadar bahwa semua ini terlalu indah untuk menjadi nyata.
Apa yang Om Heru lakukan kepadanya tidak serta merta dilakukan pada saat itu juga. Om Heru membangun kepercayaannya, membangun kepercayaan ibunya, dan membangun kepercayaan adiknya.
Dimulai dari pujian dan hadiah. Armita bahkan mulanya tidak menyadari tatapan cemburu ibunya ketika Om Heru memberikan oleh-oleh yang lebih banyak kepadanya dari tiap perjalanan dinas yang ia lakukan.
Lalu kemudian sentuhan yang akhirnya Armita tepis karena tidak nyaman.
"Bu, bisa nggak ibu ngga pergi kerja hari ini?"
Ibunya melirik ke arahnya tidak mengerti. "Kok kamu jadi manja seperti ini?"
Ibunya berbohong saat mengatakan akan berhenti bekerja dan fokus untuk Armita dan Anindya. Wanita yang telah bekerja selama bertahun-tahun, tidak mungkin berhenti bekerja begitu saja hanya karena telah menikah kembali. Bekerja sudah seperti menjadi napas wanita itu. Ibunya tidak bisa diam di rumah saja dan tidak melakukan kegiatan produktif.
Armita yang telah menyelesaikan sekolah menengah atasnya kini berada di dalam jeda waktu, sebuah periode untuk menunggu sebelum universitas-universitas membuka pendaftaran kedua karena dia tidak lulus SNMPTN. Otomatis dia lebih sering sendirian di rumah karena Anindya sekolah dan ibunya bekerja.
Sendirian di rumah tidak menyenangkan bagi Armita. Rumah ini terlalu kosong, terlalu besar, terlalu hampa bagi dirinya yang tidak terbiasa dengan tempat ini. Dia merindukan rumah lamanya, dia merindukan tinggal hanya bertiga bersama ibunya dan Anindya.
Armita membuka buku soal latihan ujian, matanya menekuri soal satu demi satu. Sesekali keningnya berkerut ketika mendapati soal yang tidak ia mengerti. Tak terasa jarum jam terus bergerak, hingga matahari sudah berada tepat di atas kepala. Armita melongok ke jendela, perumahan ini kosong melompong, tidak sama seperti rumah lamanya yang diramaikan oleh ibu rumah tangga yang mengobrol di depan rumah atau anak-anak kecil yang berkeliaran bermain bersama teman sebayanya.
Armita menghela napas panjang lalu merenggangkan tangannya. Sudah siang, sudah waktunya makan siang. Hari ini dia akan melihat makanan apa yang tersedia di kulkas lalu memanaskannya, atau mungkin memasak mie instan. Entah kenapa hari ini perasaannya tidak enak, dia bahkan membujuk ibunya tadi untuk tetap di rumah.
Armita turun ke lantai satu, membuka kulkas, lalu melihat-lihat isi tupperware yang berjejer rapi di dalamnya.
Suara mobil yang lewat di pekarangan rumahnya tidak dia indahkan. Pikirannya sibuk tertuju ke kabinet dapur, mencari mie instan yang bisa ia makan bersama salah satu lauk yang ada di dalam tupperware.
Ketika suara pintu terbuka, Armita baru mengangkat kepalanya, melihat siapa sosok yang masuk begitu saja ke rumah ini.
"O-om Heru?" Armita terbata ketika melihat pria itu masuk dengan senyuman lebar tersungging di bibirnya. Jantung berdegup kencang, perasaan tidak enak menyelusup ke relung hatinya.
Pria paruh baya itu tidak melakukan apa-apa pada saat itu juga. Dia hanya berbicara. Armita bahkan tidak mengerti kenapa pria itu pergi meninggalkan kantornya begitu saja.
"Kenapa Om Heru nggak di kantor?" tanya Armita canggung.
"Kamu nggak senang Papa pulang lebih cepat?" Pria ini bersikeras meminta Armita memanggilnya papa. Hal yang tentu saja sulit ia lakukan, berbanding terbalik dengan Anindya yang tentu saja dengan senang hati merangkul sosok ayah yang tidak pernah hadir di dalam hidupnya yang singkat.
Anindya dan ibunya menerima pria ini begitu saja ke dalam hidup mereka, tetapi kenapa Armita tidak bisa? Perasaannya menjerit meneriakkan alarm tanda bahaya setiap kali pria ini ada di dekatnya. Senyuman Anin dan ibunya terlalu lebar untuk dia hancurkan hanya karena sebuah perasaan yang tidak memiliki bukti.
Hari itu, seharusnya Armita bersikeras kepada ibunya untuk tetap tinggal atau bahkan ikut ke mana pun ibunya pergi. Hari itu, mungkin bukan menjadi hari pertama di mana semuanya berputar seolah kebahagiaan tidak pernah berhak Armita raih. Namun, hari itu menjadi sebuah titik pertama, sebuah noda yang menyebabkan ibunya tidak mempercayainya. Hari itu, entah setan mana yang berbisik ke telinga ibunya hingga ibunya menuduh Armita tengah menggoda suaminya dan iri dengan kebahagiaannya. Sementara Om Heru sendiri diam-diam menyunggingkan senyum tipis melihat tatapan ibu dan anak itu.
*****
Author Note:
Perlu saya tambahkan author note untuk chapter ini, karena beberapa hal yang mungkin saja membuat trigger bagi sebagian orang yang mengalami hal yang sama dan membingungkan bagi sebagian orang lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top