8. Kawan dan Lawan

Armita menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan lalu menghitung mundur di dalam hati sebagaimana yang telah diajarkan oleh psikolog yang selama ini menanganinya semenjak hilang ingatan. Dia mulai membaik, Armita kira dirinya seperti itu, setidaknya untuk saat ini. Di mana Ezra kini mulai tahu semuanya, pria itu tidak meninggalkannya seperti yang ia kira, Ezra menerimanya, bahkan menggenggam tangannya lebih erat daripada sebelumnya. Kesalahan apa pun yang telah ia lakukan sebelum hilang ingatan bahkan dimaafkan oleh pria itu.

Tuhan, Armita tak tahu hal apa yang telah ia lakukan sepuluh tahun terakhir hingga pria itu tetap di sisinya seperti saat ini.

"Kamu yakin kamu bisa sendiri?" Ezra bertanya untuk yang kesekian kalinya setelah Armita menyampaikan bahwa hari ini dia akan menemui Naya, Ima, dan Risma, tiga sahabatnya di masa lampau yang kini tidak lagi erat dengannya.

Armita mengangguk. "Bisa, harus bisa." Dia harus bisa berdiri di depan ketiga mantan sahabatnya itu dengan kepala mendongak dan mata menatap lurus, tidak menunduk merasa bersalah. Dia tidak memiliki kesalahan apa pun. Dia yakin itu.

"Radi juga ada di sana?" Ezra melontarkan pertanyaan yang sedari tadi mengganggu hatinya. Dia mungkin memaafkan kesalahan Armita, tetapi itu tidak membuat Ezra bisa yakin seratus persen bahwa pria saingannya itu tidak akan melakukan apa pun untuk membuat Armita kembali ke sisinya.

"Nggak tahu, dia cuma bilang udah yakinin istrinya untuk ketemu aku." Armita menggeleng.

"Kamu yakin nggak mau ditemani? Aku bisa nunggu agak jauhan .... "

"Nggak, Zra. Aku harus bisa hadapin ini sendiri. Lagipula kamu ngantor hari ini." Armita menarik napas dalam. "Surat pengunduran diriku juga harus kamu sampaikan hari ini."

Ezra memejamkan mata sesaat, tangannya terkepal lalu terurai, begitu terus. "Aku nggak yakin bisa lihat muka Heru brengsek itu tanpa mau tinju dia."

"Kamu harus bisa." Armita menyemangati suaminya. Setelah bercerita kepada Ezra semalam, pria itu mempercayainya, begitu saja, dia tidak meminta bukti, atau hal pendukung untuk membuktikan bahwa memang Heru yang memperkosanya dulu. Memiliki satu orang di sisinya yang mendukung dan mempercayainya tanpa butuh alasan merupakan satu-satunya hal berharga yang Armita miliki saat ini. "Oh ya ... Dimas."

"Kenapa Dimas?" Ezra menoleh ke arahnya.

"Sepertinya dia tahu sesuatu." Ujar Armita tidak yakin. "Ingat nggak pas aku ke kantormu?"

"Kenapa?"

"Om Heru datang, Nanda kebetulan di luar lagi ngambilin aku minum .... "

"Dia ngelakuin sesuatu?" Ezra bertanya waswas.

"Nggak sempat. Dimas keburu datang dan sepertinya dia lebih tahu sesuatu daripada kamu."

Ezra mengusap wajahnya lelah. Dia mengabaikan terlalu banyak hal karena sibuk dengan rasa sakitnya sendiri, dia tidak menyadari apa yang telah terjadi di sekelilingnya sementara dia sibuk berkubang dalam amarah dan kecewa kepada Armita. Bahkan orang luar seperti Dimas pun menyadari apa yang terjadi kepada istrinya.

"It is not your fault."

"It is, Mit. You're my wife."

"Kita masih bisa perbaiki ini. Iya kan?" Armita tersenyum kepada Ezra, keduanya saling menguatkan satu sama lain. Ezra mengangguk, napas pria itu terasa berat. "Aku pergi dulu." Armita pamit, tangannya meraih tangan Ezra, mengecup punggung tangan suaminya itu.

"Kalau terjadi apa-apa .... "

"Kamu akan jadi orang pertama yang tahu." Armita meyakinkan pria itu sekali lagi. Entah kenapa terasa begitu berat berpisah dengan pria itu hari ini, apakah karena hari ini akan menjadi titik balik konfrontasi bersama tiga sahabatnya ataukah akan ada hal lain yang membayangi mereka?

***

Restoran itu sepi, pengunjung belum berdatangan di pagi ini. Waktunya masih terlalu pagi untuk makan siang, juga terlalu terlambat untuk sarapan. Beberapa pelayan sibuk mengelap meja, sebagian lagi asyik bercengkerama di belakang. Armita melihat ke kanan dan kiri, belum ada satu pun orang yang ia kenali sebagai salah satu dari tiga sahabatnya di masa lampau. Dia akhirnya memilih duduk di sudut, berdekatan dengan sebuah tanaman hias yang menutupi tatapan tamu lain ke arah mejanya.

Gelisah, bingung, senang, seluruh perasaannya campur aduk, dia tidak bisa benar-benar menggambarkan apa yang dia rasakan saat ini. Apakah dia bisa senang karena setidaknya bertemu dengan kawan lamanya? Orang-orang yang mungkin saja paling mengenal dirinya sepuluh tahun terakhir? Ataukah dia akan sedih karena mereka juga berubah seperti apa yang terjadi kepada orang-orang di sekitarnya?

Armita memesan segelas jus alpukat, matanya berkelana menunggu tiga sahabatnya di masa SMA hadir. Tangannya memutar-mutar sedotan dengan gelisah, tatapannya terus menerus tertuju ke arah jam tangan yang melingkar di tangan kiri lalu ponselnya, memeriksa apakah ada pesan masuk dari Ezra atau Radi perihal kehadiran mereka.

Cukup lama dia menunggu, jauh dari batas waktu yang dijanjikan. Jus alpukatnya telah habis, dia masih menunggu hingga meja-meja yang tadi kosong terisi oleh tamu-tamu lain.

Armita menarik napas panjang, dari perasaannya yang campur aduk kini tersisa kekecewaan hingga akhirnya nyaris habis sama sekali. Apa pun yang dia rasakan beberapa hari lalu, atau beberapa tahun lalu bagi mereka, mungkin tiada artinya.

Baru saja Armita hendak bangkit dan pergi meninggalkan restoran ketika dia mendapati tiga sosok sahabatnya di masa lampau. 

Ima, Risma, dan Naya, gaya mereka mungkin berubah jauh dari sepuluh tahun lalu, tetapi wajahnya masih serupa walaupun tertutupi oleh gurat usia. Ima dan Risma bahkan kini telah mengenakan hijab yang menutupi kepalanya, Naya masih tampak seperti dahulu di masa mudanya.

Tanpa sadar Armita tersenyum, bohong bila dia bilang dia tidak merindukan tiga sahabatnya ini. Bagaimana pun mereka akrab sekali, nyaris tiada hari tanpa tawa dan gurauan dari Ima, Risma, dan Naya. Mereka yang datang kepadanya ketika dia terlalu sibuk menjaga Anin, mereka yang mengusahakan agar dia bisa hidup senormal mungkin ketika ibunya terlalu sibuk bekerja. Walaupun hubungan mereka kini bisa dikatakan tidak baik, Armita tentu saja masih berterima kasih karena berkat mereka dia punya kehidupan yang normal.

"Hey." Armita menyapa terlebih dahulu, tangannya berkeringat, bingung ingin menyapa seperti apa? Apakah dia bisa memberikan uluran tangan ataukah memberikan kecupan di pipi kanan dan kiri seperti wanita-wanita lain yang bertemu dengan teman mereka? Armita mengambil opsi pertama, ia mengulurkan tangannya terlebih dahulu karena tentu saja memberikan kecupan pipi kanan dan kiri terlalu canggung untuknya.

Risma dan Naya mengabaikan tangannya, Ima menyambutnya. Satu dari tiga, setidaknya tidak sia-sia Armita mengulurkan tangannya.

"Kenapa lo hubungin laki gue?" Naya memberikan satu pertanyaan yang tentu saja menohoknya. Wanita itu bahkan belum duduk ketika bertanya kepada Armita.

"Lo bahkan berani telepon Ima duluan buat ketemu, kenapa?" Risma melontarkan pertanyaan lain.

Armita menatap ke arah Ima, menunggu wanita berhijab itu untuk melontarkan pertanyaan lain seperti dua kawannya, tetapi alih-alih melontarkan pertanyaan. Ima duduk di hadapannya. "Apa kabar, Mit?"

"Seperti yang kamu lihat, Ma." Armita menjawab pertanyaan Ima.

"Gue nggak mau basa-basi." Ucap Naya ketus.

"Kenapa lo hubungin gue hari itu? Gue pikir lo udah lupa .... "

Belum sempat Ima menyelesaikan pertanyaannya, Armita menyambar menjawab. "Iya, gue lupa. Gue hilang ingatan. Suami lo nggak bilang apa-apa?" Armita menoleh ke arah Naya. "Radi nggak bilang ke istrinya kalau gue kehilangan memori gue sepuluh tahun terakhir?"

Risma berdecak. "Lo mau pamer kalau elo selingkuh sama suaminya Naya?"

Armita mengerutkan keningnya. "Dari yang Raditya sampaikan ke gue, bukankah Naya yang seharusnya dikatakan merusak hubungan gue dan Radi?" Dia bertanya dengan nada polos, naif, seperti tak tahu malu, mengingat hubungannya dan Radi masih sebatas pacar ketika Naya masuk ke dalamnya. Sedangkan dia sendiri tengah merusak hubungan rumah tangga orang lain. Namun, dia geram, dari tiga sahabatnya sepertinya hanya Ima yang berusaha mendengarkannya. Risma dan Naya datang untuk menyerangnya. Armita bahkan tidak ingat lagi kenapa berusaha bertemu dengan mereka di sini.

Naya menahan amarahnya yang membuncah. "Tapi gue dan Radi sudah nikah saat lo datang!"

"Benar, tapi apa Risma dan Ima tahu kalau elo menjebak Radi buat nikahin lo?" Risma dan Ima melihat ke arah Naya, seolah menanyakan apa yang baru saja Armita katakan. "Lo tahu Radi cowok gue waktu itu, tapi itu nggak menghentikan lo buat akuin anak yang ada di kandungan lo sebagai anak Radi."

"Jangan bawa-bawa anak gue ke dalam ini, Mit." Naya memperingatinya.

"Radi tahu itu bukan anak dia." Armita menjatuhkan bom terakhir, dia tidak bisa menahan pedih yang membuncah di dadanya. Dia tidak ingin menyakiti Naya atau pun salah satu dari tiga sahabatnya ini, tetapi mereka berubah terlalu jauh. Armita bangkit berdiri, dia tidak bisa berbicara lebih jauh dengan mereka lagi. "Gue nggak tahu apa alasan kalian lebih mendengar Naya daripada gue, tapi gue udah ngerti kenapa persahabatan kita nggak bisa dilanjut lagi."

"Mita!" Naya membentaknya. "Gue udah peringatin lo buat nggak bawa-bawa anak gue."

"Lo duluan yang gunain anak lo buat menjebak Radi." Armita menghela napas panjang. "Gue kasihan sama anak lo karena punya ibu kayak lo, Nay. Gue kecewa ternyata setelah sepuluh tahun hubungan kita jadi kayak gini."

"Berhenti bersikap sok suci, Mit." Naya menyembur marah. "Setidaknya gue berusaha mempertahankan anak gue dan cari bapak yang bener buat dia, nggak kayak lo yang bahkan nggak tahu siapa ayahnya anak lo."

"Apa?" Armita mematung membeku.

"Apa suami gue nggak ingetin lo kalau lo aborsi, Mit? Lo nangis-nangis karena nggak tahu itu anak siapa, anak suami lo, selingkuhan lo, atau bapak tiri lo." Naya tertawa sinis, kata-kata tajam wanita itu membuat telinganya berdenging dan matanya berkunang. 

"Nay!" Ima memperingati Naya, sementara Risma sendiri tampak lelah. Beruntunglah mereka karena duduk di sudut terpencil yang jauh dari tatapan pengunjung lain.

Armita berjalan pergi, meninggalkan restoran itu tanpa berbalik ke arah teman-teman lamanya. Kepalanya masih berputar hebat, wajahnya pucat pias. Tangannya membuka ponselnya, pilihan pertamanya adalah untuk menghubungi Ezra terlebih dahulu, tetapi dia berhenti.

"Mit!" Risma menyusulnya, wanita berhijab itu menahan lengannya. "Lo ... gue ... "

"Kalian tahu?" Suara Armita terdengar seperti cicitan tikus, nyaris berbisik. "Kalian tahu bapak tiri gue memperkosa gue?"

Mulanya Risma mengangguk lalu kemudian menggeleng. "Lo berubah banyak, Mit. Sejak saat itu lo .... "

"Apa itu jadi alasan buat ngejauhin gue dan pro ke Naya?"

"Kita pro ke Naya karena kita benar-benar mikir itu anaknya Radi. Hubungan lo dan Radi putus nyambung, Mit. Terus Naya emang udah dari dulu suka sama Radi dan mereka berhubungan pas lo lagi break sama Radi." Risma menjelaskan.

Armita bahkan tak tahu sisi mana lagi yang harus dia dengarkan. Apakah Naya yang merusak hubungannya dan Radi ataukah dia yang merusak rumah tangga orang lain, itu semua tidak lagi penting semenjak dia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan pria itu.

Armita menggeleng, ada hal lebih penting yang harus dia lakukan daripada mendengarkan pembelaan mereka semua. Dia menjauh, sahutan Risma dia abaikan. Kakinya melangkah cepat ke deretan taksi yang berjejer mengantri di depan restoran.

Armita masuk ke dalam salah satu taksi, tangannya yang gemetaran mengeluarkan sebuah kartu nama putih tipis kaku yang selama ini tersimpan di sudut terdalam dompetnya dan nyaris dia lupakan.

"K-ke tempat ini, Pak." Armita menyerahkan kartu nama itu, supir meliriknya sekilas lalu melihat Armita dari kaca spion.

Armita bahkan tidak mampu mengartikan tatapan supir itu kepadanya, kasihan kah? Penasaran kah? Ada apa dengan tempat itu hingga sang supir taksi memberikan tatapan macam itu kepadanya? Armita tak bisa mengartikannya.

Mobil biru berplat kuning itu meliuk-liuk mengikuti padatnya jalanan hingga mereka tiba ke sisi lain kota yang lebih sempit dan padat, kanan kiri ada beberapa klub dan diskotik hingga mereka memasuki area perumahan yang lebih lowong.

Klinik macam apa yang ada di tempat ini? Armita sudah bisa membayangkannya. Dia menyerahkan uang ke supir taksi dan menolak kembalian. Tangannya masih menggenggam erat kartu putih bertuliskan nama dokter kandungan yang serupa dengan plang yang ada di hadapannya.

Praktek Dr. Leony, Sp.OG

Nama dokter yang diberikan oleh 'teman' kantornya. Armita melangkah masuk, aroma pekat rokok dan desinfektan bercampur padu. Keningnya berkerut, melihat wanita dengan rok mini dan rokok yang melekat di bibir saling mengobrol biasa. Dia masih tidak bisa mempercayai dirinya sendiri ketika melangkah semakin jauh, lalu berhenti ke sosok suster yang tengah berbincang dengan suster lainnya.

"Sus, saya pasien atas nama Armita." 

Wanita itu melihatnya dari atas sampai bawah lalu bertanya. "Ibu mau periksa kandungan atau mau ada tindakan lain."

Armita menggelengkan kepalanya. Terlalu pening untuk melanjutkan percakapan itu lagi. Tidak dibutuhkan waktu lama baginya untuk tahu apa tindakan lain yang dimaksud oleh wanita itu.

Buru-buru dia keluar dari klinik yang berbau aneh itu. Perutnya bergejolak tidak enak sedari tadi, ditambah dengan aroma menguar aneh, dan perasaan mencekam yang melandanya. Tiba di luar klinik, Armita memuntahkan isi perutnya. Wajahnya pucat pias, dia tidak bisa mempercayai dirinya sendiri.

"Mit, kenapa lo ngelakuin ini, Mit?" Kedua tangannya gemetar, kakinya lemas, dia nyaris saja terjatuh bila saja bahunya tidak ditahan oleh kedua tangan kokoh milik seorang lelaki yang tidak ia sangka bisa tiba di sini. "Ezra?" Armita memicingkan matanya tak percaya, bagaimana mungkin pria itu bisa tiba di sini, di saat seperti ini?

"Mit," Pria itu melihat plang nama obgyn dan klinik di lingkungan mencurigakan ini. Wajahnya mengeras.

"Darimana kamu tahu aku di sini?"

"Lokasi di hp kamu, nyambung sama hpku." Armita ingin tertawa miris, kini dia tahu kenapa Ezra bisa muncul di saat-saat tertentu secara tiba-tiba, tetapi di saat yang bersamaan dia juga ingin menangis. 

Pada akhirnya Armita memutuskan untuk menangis, dia hancur sehancur-hancurnya. "Zra, gue pembunuh, Zra."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top