8. Deja Vu

Aku tidak serta merta langsung mengingat seluruh memoriku pada satu hari. Ingatan itu datang perlahan, ingatan yang menyakitkan seperti rasa sakit kepala hebat yang menghantam otakku, ingatan yang biasa saja terasa seperti deja vu, sebuah kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.

Suatu waktu, ingatan tentang kecelakaan itu terjadi saat aku tengah menonton siaran tv. Seorang pembawa berita memberitakan kecelakaan di jalan tol tanpa korban jiwa, tapi menyebabkan macet panjang.

Ingatan itu datang, seperti mimpi buruk. Apa yang lebih menyedihkan dari orang yang ingin mati? Orang yang bersusah payah untuk tetap hidup. Tuhan, aku mungkin bukan hambanya yang paling baik atau paling taat di dunia ini, dosaku begitu banyak, tetapi Dia mengabulkan satu lagi doaku yang kuucapkan di tengah rasa takut, bersalah, menyesal, dan berbagai hal lainnya. Aku meminta untuk tetap hidup dan Dia, mengabulkannya.

Waktu demi waktu berjalan, memori demi memori perlahan merangsek masuk ke dalam kehidupanku. Aku berusaha menjalani hidup senormal mungkin, terutama di hadapan Ezra. Lebih baik dia tidak tahu apa yang aku tahu. Pikiranku lagi-lagi kembali ke nol, tidak ingin menyakitinya dengan caraku.

Namun, Ezra, dia tidak kembali seperti Ezra yang dulu.

"Kapan memorimu kembali? Apa jangan-jangan kau tidak pernah kehilangan ingatan, Mit?" Tanya Ezra menyelidik, mata pria itu memicing seolah menilaiku. Ia kemudian menggelengkan kepalanya.

"Apa yang kau bicarakan? Sebentar lagi kita akan melihat akhirnya. Dan pria itu? Akan segera mendapatkan ganjarannya." Aku berusaha bersikap senatural mungkin, tetapi Ezra tidak akan mudah mempercayaiku. Aku tidak mampu menahan senyuman sinisku saat melihat Om Heru yang bersembunyi di balik para pengacaranya. Mereka biasanya tidak akan mempertemukan korban dan pelaku secara langsung, tetapi aku sudah di tahap sangat lelah saat ini. Aku ingin melihat akhirnya dengan mataku sendiri.

Om Heru tidak akan mudah ditangkap dengan tuduhan pemerkosaan. Kejadiannya sudah begitu lama, ditambah sebagai korban, sikapku begitu ganjil dengan tetap bekerja bersamanya di dalam kantor akuntan publik yang dia punya. Polisi tidak akan dengan mudah mempercayainya.

Raditya mengganti tuntutanku dengan pembunuhan berencana, atas dasar apa? Tentu saja atas dasar hubungan haram kami. Rekaman percakapan Om Heru yang mengancam akan membunuhku karena hamil anaknya menjadi salah satu barang bukti. Raditya dan Ezra membersihkan beberapa hal yang menunjukkan bahwa diriku sendiri menjadi penyebab kecelakaan itu. Bengkel mobil dibereskan sedemikian rupa, termasuk montir yang memperbaiki mobilku, dia menerima beberapa suapan uang untuk tetap diam. Surat-surat yang kutinggalkan untuk Radi dan Ezra tentu saja tidak akan pernah terungkap keluar. Semua begitu rapi, hanya tinggal menunggu waktu saja hingga Om Heru ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. 

Meskipun demikian, aku masih menyimpan senjata terakhir bila pria itu masih bisa lolos setelah ini. Kantor akuntan publik yang dia bangun susah payah bisa hancur dalam sekejap bila rekap data para klien itu keluar.

Semua tinggal menunggu waktu. Dan aku? Aku akan beristirahat.

***

Ezra menyadari ingatanku mulai kembali. Sikapku yang defensif kepadanya atau yang menjaga jarak darinya membuatnya menyadari apa yang terjadi.

"Sejak kapan?" Ezra menoleh ke arahku saat hanya kami berdua di atas mobil.

Aku menemukan diriku terdiam selama beberapa detik saat mendengar pertanyaannya. Dari mana aku harus menjelaskan sejak kapan aku mulai mendapatkan memoriku kembali atau kenapa aku berusaha menyembunyikan ini darinya. "Aku tidak mendapatkan seluruh ingatanku secara instan, mereka datang perlahan seperti deja vu." Aku menarik napas dalam, berusaha menjelaskan dengan lebih rinci agar Ezra tidak salah paham. "Seperti saat ini misalnya, kau dan aku, berbicara di mobil ini. Kurasa kita tidak pernah melakukannya? Atau mungkin pernah dan aku tidak pernah ingat."

"Mita," Ezra memanggil namaku. Aku memejamkan mata sekilas, dahiku mengkerut, seolah tengah bersiap untuk beragumentasi dengannya. Sepertinya inilah yang selalu terjadi, aku dan dia, tidak, Armita dua puluh tujuh tahun dan Ezra, kami tidak berbicara, kami berdebat. "Aku minta maaf."

Aku membuka mataku, menatapnya tidak percaya. Tatapan Ezra masih berada di jalanan, tapi tangannya meraih tanganku lalu mengecup punggung tangannya sekilas. "Kenapa?"

"Maaf karena selama ini aku nggak tahu apa-apa tentang kamu. Masalahmu, apa isi pikiranmu. I failed as a husband." Aku berusaha menahan tangis yang tertahan di pelupuk mataku. Armita dua puluh tujuh tahun dan Armita tujuh belas tahun, aku kini tidak bisa lagi membedakan mereka, sifat keduanya begitu berbeda, tetapi kami masih orang yang sama. Aku tidak ingin lagi menahan segala perasaanku ketika akhirnya aku tahu jalan keluarnya. Aku tahu aku tidak lagi benar-benar sendiri. Ada Ezra di sisiku.

"Terima kasih." Aku menangis. Rasa takut, marah, kecewa, sedih, bahkan bahagia terkumpul menjadi satu. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada Om Heru kedepannya, tetapi aku berusaha sebisa mungkin, semampu yang aku mampu. Setelah ini aku akan melupakannya dan memulai hidup yang baru, kali ini tanpa bayang-bayang Om Heru di dalamnya.

"Apa kau ingin tahu apa yang membuatku merasa paling gagal?"

"Hm?"

"Dimas."

"Dimas?"

"Dia tahu sesuatu kan?" Ezra tertawa getir. "It seems everyone know everything except me."

"Dia nggak sengaja tahu." Aku mengangkat bahuku sekilas. Tentu saja aku berterima kasih kepada Dimas karena berusaha menolongku beberapa saat lalu, tetapi hubungan rumah tangga ini sudah cukup rumit dengan kami berdua di dalamnya tanpa perlu ditambah orang lain yang ingin memberitahu apa yang perlu kami lakukan.

"Kali ini aku nggak akan membiarkan orang lain tahu sesuatu sebelum aku, Mit."

"Hm." Aku mengangguk kembali. Mungkin ini saat bagi kami berdua untuk saling membagi apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidup kami.

***

Aku masuk ke dalam rumah dengan wajah lelah ketika tiba-tiba seseorang menghambur memeluk badanku.

"Anin?" Aku melepaskan pelukan Anindya, menatap wajah gadis tujuh belas tahun itu yang lembab dan basah oleh air mata. "Kamu kenapa?" Aku berusaha melap wajah Anin seadanya dengan telapak tanganku.

"Anin nggak percaya Pa-pa t-tega .... " Anindya berusaha melanjutkan kata-katanya di antara tangisan dan tarikan napas.

Aku memeluk Anindya, tidak berkata apa pun hingga akhirnya gadis itu berhenti menangis dan kami berada di atas sofa. Mbak Ani membawa segelas teh hangat, wajah wanita paruh baya itu terlihat prihatin ketika melihatku.

"Ibu di mana?" Aku bertanya kepada Anin meski tahu apa yang akan Anin katakan hanya akan menyakiti hatiku.

Anindya menggeleng. "Ibu ... nggak ...." Seperti dugaanku, Ibu lebih memilih suaminya. Namun, bukankah ini sudah menjadi dugaanku sedari awal? Apa pun yang terjadi, aku bisa saja kehilangan keluargaku. Hanya aku seorang diri. Bukankah hal itu juga yang membuatku memilih jalan paling ekstrim dan menumbalkan diriku sendiri?

***

Ezra masuk ke kamar utama, matanya menatapku yang duduk di atas kasur sembari membaca berbagai tuntutan dan dakwaan yang akan diberikan kepada Om Heru di persidangan nanti.

"Aku harap aku bisa menunda percakapan ini lebih lama lagi, Mit." Aku mendongakkan kepalaku, menatapnya dengan alis terangkat. "Nggak pas ada Anin stay sama kita kayak gini."

"Kamu nggak seneng Anin pindah sementara ke sini?" Aku menyingkirkan kertas-kertas itu dan mempersilakan Ezra duduk di kasur sebelahku.

Anindya memutuskan untuk pindah sementara ke rumahku, hal yang tentu saja ku terima dengan senang hati. Gadis itu jauh lebih baik tinggal bersamaku daripada bersama laki-laki berbahaya itu atau ibu yang tentu saja telinga dan matanya telah ditulikan dan dibutakan oleh cinta. Namun, sayangnya aku melupakan satu opsi lain, tentu saja harusnya aku bertanya terlebih dahulu kepada suamiku perihal kepindahan adikku yang tiba-tiba.

"Anin kabur dari rumah, tapi dia udah cukup dewasa, dia udah punya KTP, sebentar lagi kuliah, dan aku bisa coba arrange tempat tinggal untuk Anin dan aku .... "

"Tunggu Mita," Ezra memotong ucapanku. "Apa maksud kamu tempat tinggal untuk Anin dan kamu?"

"Aku nggak mungkin biarin dia tinggal sendiri .... "

"Seperti yang kamu bilang tadi, dia udah punya KTP, sebentar lagi juga Anin kuliah dan kamu istri aku, Mit. Nggak mungkin aku biarin kamu tinggal sendiri lagi."

"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan?"

"Surat cerai itu." Melihat wajahku yang tiba-tiba mematung dan mengeras, Ezra buru-buru mengoreksi perkataannya sebelum aku menutup diriku lagi dari segala komunikasi. "Aku membatalkannya, Mit. Aku nggak mau cerai sama kamu."

Aku mengangguk, mengerti bila dia tetap memutuskan untuk menceraikanku, tetapi di saat yang bersamaan juga tahu bahwa percakapan ini pernah kita lakukan sebelumnya saat memoriku belum kembali sepenuhnya. "Aku bisa ngerti kalau kamu mau pisah, memoriku udah kembali dan juga ...."

"Mit, aku bilang aku nggak mau cerai sama kamu." Ezra meraih tanganku dan menggenggamnya erat. "Aku serius. Kita bisa datang ke couple therapy, perbaiki komunikasi kita, Mit. Aku berusaha memperbaiki kesalahanku, kamu juga bisa. Nggak ada lagi hal yang perlu ditutupi untuk menjaga perasaan masing-masing."

"Gimana dengan Anin?"

"Apart kamu bisa kamu jual atau Anin bisa tinggal disitu untuk sementara." Wajah Ezra melembut membicarakan apartemenku. "Bukannya aku nggak setuju Anindya tinggal di sini sama kita, but we need this space, Mit. Kamu dan aku, kita coba bangun lagi dari awal. Lagipula Anin sebentar lagi kuliah, kalau dia dapat kampus di luar kota mau nggak mau dia juga akan ngekos dan tinggal sendiri di sana."

Aku mengangguk, mengerti apa yang Ezra katakan benar adanya. Kita butuh tempat untuk memulai semua dari awal, kali ini hanya kita berdua dengan keterbukaan dan apa adanya.

"I love you." Ezra berbisik kepadaku.

"I love you too." Seperti sebuah dejavu, aku mengucapkan empat kata itu. Perasaan yang datang sebelum maupun setelahnya tidak pernah berubah, aku selalu mencintai pria ini. Aku marah, aku kecewa, aku lari, tetapi satu hal yang selalu pasti sedari awal, aku tidak pernah ingin menyakitinya dengan sengaja.

Bonus Chapter The Missing Years (New Year) - THE END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top