7. Hidup
Hidup menjadi lebih mudah ketika kau tahu bagaimana akhirnya dan bagaimana perjalanan menuju akhir tersebut.
Aku berhenti memikirkan tentang masa depan, tentang ibuku, Anin, dan Ezra. Aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku makan apa yang ingin aku makan, aku minum apa yang ingin aku minum, dan pergi kemanapun yang aku mau tanpa peduli sisa berapa uang di tabunganku atau tanggapan orang-orang lain yang mungkin mencibirku. Dalam beberapa hari terakhir ini aku menjadi sosok yang paling bahagia dari sepuluh tahun terakhir hidupku, sosok yang aku kira tidak akan pernah muncul lagi justru muncul di saat aku akan mengakhiri hidupku.
Namun, sama seperti seorang pecandu yang mulai kehabisan efek dari obatnya, masa senang dan bahagiaku dalam semalam tergantikan oleh rasa sedih yang meluap, teror, juga ketakutan. Tuhan, bila surga dan neraka benar-benar ada, apakah ini artinya aku akan berakhir di neraka karena menentukan akhir hidupku sendiri?
Alarm di ponselku kini terpasang di waktu yang tidak wajar, saat gelap malam masih menggelayut di langit. Di malam-malam seperti itu aku menjadi sosok yang paling religius selama umur hidupku. Mimpi burukku kugantikan dengan doa untuk sosok-sosok yang meninggalkanku lebih dahulu, ayahku dan anakku. Diiringi dengan suara tangisan dan permohonan maaf untuk mereka yang telah kusakiti sebelumnya. Surat demi surat kutulis, untuk meminta maaf, untuk mengakhiri semuanya.
Aku berhenti ke psikolog, merasa bercerita tidak akan lagi bisa mengubah hidupku. Namun, obat-obat itu, aku tidak bisa menghentikannya. Dokter memberikan diagnosis depresi dan bipolar. Aku menerimanya begitu saja, tidak mempertanyakan apa pun dan meminum obatnya dengan rutin agar bisa berfungsi sebagai manusia normal setidaknya di siang hari walaupun tentu saja saat malam tiba, mimpi buruk tidak bisa pergi begitu saja, seperti juga keinginanku yang ingin membalas semua perbuatannya dan hidup ini.
"Armita?" Ezra memanggil namaku. Kita bertemu di sebuah kafe yang berada dekat dari lingkungan perkantoranku dan dia. Ini pertemuan kami untuk pertama kalinya sejak berbulan-bulan lalu memutuskan untuk pisah rumah. Ezra laki-laki yang tampan, setidaknya di mataku. Dia juga bertanggung jawab dan setia. Tidak pernah ku dengar pria itu dekat dengan wanita lain sementara kabarku berdekatan dengan Radi berembus begitu kencang bagai angin topan. "Kamu sakit?" Pertanyaan mendadak Ezra membuatku menaikkan alis dan tertawa kecil bahkan cenderung mengejek.
"Nggak." Aku menggeleng. Ezra terlihat begitu menyangsikan diriku, bahkan cenderung tidak percaya ketika melihatku benar-benar datang dan menemuinya bahkan memohon kepadanya untuk menunda perpisahan kita.
Kita memang akan berpisah, tetapi dengan cara yang tidak ia pikirkan sebelumnya. Akan kupastikan dia mendapatkan seluruh hal yang berhak dia dapatkan sekaligus menjaga apa yang akan menjadi hak Anindya saat gadis itu sudah cukup dewasa nanti. Aku telah mempersiapkannya, Ezra hanya cukup tahu ketika aku sudah benar-benar meninggalkan dunia ini nanti.
Aku melihat wajahnya yang tampan, terlihat keraguan di dalam sana. "Om Heru nggak perlu tahu." Aku menekankan kepada Ezra lagi. Pria itu sempat bertanya apa ayah tiriku itu tahu perihal permohonanku menunda perceraian ini atau tidak, tetapi bajingan itu tidak perlu tahu. Hidupku akan segera lepas dari kontrol dan cengkeramannya. Aku tidak bisa lepas darinya ketika dewasa, tidak bisa lepas darinya ketika menikah, maka kali ini dia tidak bisa menghindar lagi, hanya kematian dan penjara lah yang menjadi opsi untuk benar-benar memisahkan diri dengannya.
Ezra tidak tahu apa yang terjadi di dalam hidupku, kita berdua telah salah di awal, aku mengira bahwa rahasia ini akan tersimpan rapat dan terlupakan begitu saja. Sudah cukup ibuku tidak mempercayaiku, aku tidak butuh sosok suami yang akan meragukanku juga atau memperlakukanku seperti boneka kaca karena telah melewati pengalaman traumatis itu.
Ezra terlihat tidak begitu peduli, aku berusaha menguatkan hatiku, entah untuk rasa sakit karena ketidakacuhannya atau karena perpisahan yang kali ini tidak akan terelakkan. Kita berdua sama-sama telah menghancurkan hidup satu sama lain. Seandainya saja aku berani bercerita kepadanya, seandainya saja dia mau bercerita kepadaku. Kita berdua terlalu berusaha untuk tidak saling menyakiti satu sama lain, tetapi malah menjadi asing.
"Aku akan menghubungimu lagi kapan-kapan." Aku beranjak, Ezra menyetujui menunda perceraiannya sudah cukup bagiku. Harta gono gini seluruhnya akan kuserahkan kepada Ezra untuk dikelola, sementara sebagian kecil harta bawaanku akan menjadi milik Anindya dan ibu seandainya saja beliau bersedia meninggalkan pria itu dan memulai hidup kembali dari nol, kali ini berdua bersama Anin.
***
Aku tidak bisa memikirkan hal yang lebih baik daripada mengancamnya. Sepanjang dua puluh tujuh tahun hidupku, aku tidak pernah mengancam seseorang, apalagi sosok seperti Om Heru, tetapi ini kali terakhir hidupku, aku harus melakukan sesuatu untuk menyeretnya ke dalam neraka bersamaku.
"Aku hamil." Aku melempar sebuah tes kehamilan sekaligus foto USG yang sempat kulakukan sebelum menggugurkan janinku. Pria paruh baya itu mengambil tes dan foto USG itu, tampak mempertimbangkannya. "Ini anakmu."
"Akui sebagai anaknya Ezra saja." Bajingan. Om Heru dengan mudahnya melempar perbuatannya kepada orang lain.
"Ini bukan anak Ezra," aku berusaha keras menahan rasa mual dan muakku ketika pria itu mendekat. Ruangan ini tiba-tiba menjadi begitu sempit dan kecil, aku seperti kembali di masa usia tujuh belas tahun, saat pria itu menyentuhku untuk pertama kalinya. Aku menjerit, aku mendorongnya sekuat tenaga, aku memohon, aku terisak, aku menolak, dan tidak ada satu pun teriakan atau jeritan yang terdengar di gendang telinganya, tubuhku yang kesakitan ... aku tersentak sebelum terjebak terlalu lama di dalam memori yang seharusnya kulupakan itu. "Ezra akan tahu karena kami tidak pernah berhubungan selama ini."
"Kalau begitu gugurkan."
"Bajingan." Aku tidak bisa menahan diriku lagi, aku menampar wajahnya. "Kau memperkosaku dan ingin melemparkan perbuatanmu ini ke orang lain."
"Mita, kamu tidak menolakku." Om Heru mengusap pipinya yang memerah, sebuah senyuman sinis mengerikan terbentuk ketika melihatku. Tubuhku mematung, membeku, aku tidak menolaknya karena tahu semuanya akan sia-sia dan rasa sakit itu akan jauh lebih menyakitkan. Namun, siapa yang menyangka keterdiamanku menjadi bumerang bagi diriku sendiri. "Kamu mau cerita ke siapa? Ibumu? Kamu yang menggodaku, Mit. Pakai baju kayak gitu, pria mana yang tidak tergoda. Radi dan Ezra juga bukan?"
Aku menamparnya kembali, kali ini lebih keras hingga tanganku sendiri memerah. "Bangsat, kau manusia tersampah yang pernah aku temui." Aku berusaha keras untuk tetap berdiri dan tidak goyah, aku hanya butuh satu pengakuannya atau setidaknya sesuatu yang bisa kubuat sebagai bukti bahwa dia berusaha menyakitiku. Rekaman suara di ponselku terus berjalan, sementara tasku sendiri berada di atas meja. "Kalau Om masih tidak mau mengakui anak ini, Om tahu apa yang akan terjadi pada klien-klien Om."
"Apa yang kau lakukan?!" Kali ini Om Heru meraung, tidak ada yang lebih berharga untuknya daripada para kliennya.
"Aku tahu apa yang kau coba lakukan, Om. Kau membantu mencuci uang-uang mereka, bekerja sama untuk memanipulasi laporan keuangan mereka. Om, Mita nggak bodoh, Mita kerja udah lama sama Om Heru. Mereka bisa dipenjara kalau laporan aslinya keluar."
Please, please, katakan sesuatu. Aku terus berdoa di dalam hati.
"Mit, kamu nggak bodoh. Coba pikirkan apa yang terjadi sama ibu dan adikmu."
Aku meringis ketika dua sosok itu kembali disebutkan. "Om Heru udah berkali-kali ancam Mita pakai ibu dan Anin, tapi kali ini Mita nggak akan mundur Om. Ibu udah pernah nampar Mita berkali-kali demi belain Om Heru, apa kata Ibu ketika tahu kalau Mita benar? Anak ini akan jadi bukti, Om."
"Bukti kalau kamu pelacur, mungkin itu maksud kamu."
"Mungkin itu yang akan ibu pikirkan, tapi bagaimana dengan klien dan rekan kerja Om Heru? Apa mereka juga akan percaya sama Om Heru?"
"Gugurkan anak itu, Mit. Atau kamu akan rasakan konsekuensinya."
"Apa Om Heru mau bunuh Mita buat singkirkan anak ini? Anak ini ada dalam tubuh aku, nggak akan bisa disingkirkan tanpa menyingkirkan aku dulu."
"Kalau perlu, Mita. Kalau perlu papa akan melakukan apapun untuk mengeluarkan anak itu dari perut kamu. Kalau kamu nggak mau ngerasain konsekuensinya, dengar apa kata papa, Mit."
"You are not my dad, stop act like one. Nggak ada bapak yang perkosa anaknya sendiri sampai hamil. Lo tuh cuma manusia sampah." Napasku naik turun, emosiku membuncah. "Lo bisa coba bunuh gue, laporan aslinya akan segera muncul di media kalau Om Heru nggak ngakuin perbuatan Om selama ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top