3. Armita Dua Puluh Tujuh Tahun

Armita menguncir rambutnya, setelah sekian lama menggunakan gips di tangan kirinya akhirnya dia bisa bebas menggunakan tangannya yang terbelenggu benda itu. Jari jemarinya masih kaku karena lama tak digunakan, tetapi dia berusaha, bukankah itu poin terpentingnya? Dia berusaha, entah untuk tetap melanjutkan hidup atau pun perjuangan panjang yang akan dia hadapi nanti.

Sejak kejadian di rumah Om Heru, Armita belum bertemu dengan ibu dan adiknya lagi. Anin beberapa kali mencoba menghubunginya, tetapi dia tidak sanggup mengangkat teleponnya apalagi bertemu dengan adiknya sejak tahu bila Om Heru adalah sosok yang memperkosanya. Apa Anin tahu bila seseorang yang dia anggap sebagai figur ayah selama ini adalah seorang pria brengsek yang memperkosa kakak kandungnya?

Armita menyelesaikan kuncirannya, matanya menatap kosong ke arah cermin. Gurat-gurat lelah terlihat begitu jelas di matanya. Dia ingin tetap bersama ibu dan adiknya, bagaimana pun di memorinya yang singkat ini, mereka adalah sosok yang jauh lebih familiar dibandingkan Ezra, seseorang yang baru dia temui beberapa bulan ini. Namun, tentu saja apa yang terjadi sepuluh tahun lalu berbeda dengan apa yang terjadi saat ini, Anin bukan lagi bocah tujuh tahun yang dia gendong dan jaga kemana-mana, usia mental mereka setara sekarang, sementara ibunya sendiri tidak lagi berkutat di banyak pekerjaan demi mereka.

Armita memoles sebuah lipstick berwarna merah jambu untuk menyegarkan wajahnya yang sedikit pucat. Dia tampak lebih baik saat ini, setidaknya jauh lebih baik daripada kemarin, atau dua hari lalu ketika Ezra lagi-lagi menolak memberikannya jawaban.

Bila Ezra menolak menjawabnya, Armita sudah bersikukuh akan mencari jawaban itu sendiri. Matanya melihat ke arah jam dinding, masih jam sepuluh kurang. Mbak Ani pasti tengah memasak makan siang, sementara Ezra masih berada di kantor.

Armita menarik napas dalam, dia melihat ponselnya, ponsel baru pemberian Ezra yang hanya berisi beberapa nomor. Dia menggeletakkan ponsel itu di atas meja cermin, meninggalkannya begitu saja sementara kakinya mengendap-endap masuk ke ruang kerja sekaligus kamar tamu Ezra.

Kepalanya menunduk, mencari kotak berisi ponsel lama, dompet, dan aneka kunci yang tersimpan di dalam kotak. Matanya berbinar sesaat melihat kotak itu masih berada di bawah kasur, sebagaimana ia melihatnya terakhir kali. Tangannya mengangkat kotak berlapis debu tipis itu lalu membukanya, ia mengambil seluruh barang-barang yang ada di dalamnya lalu memasukkannya ke dalam tas tangan yang ia bawa.

"Aku perlu tahu, Zra." Armita berbisik lirih lalu meletakkan kotak itu kembali ke bawah kasur. Mungkin dia akan segera tahu kepergiannya, tetapi itu tidak penting. Cepat atau lambat Armita pasti mencari tahu apa yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir, dia harus tahu, bukan dari Ezra, bukan dari Anin, apalagi dari teman-temannya dan Radi, orang yang bisa memberitahunya apa yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir adalah Armita dua puluh tujuh tahun.

Rumah ini jelas tidak familier baginya, bukti yang cukup jelas bila Armita dua puluh tujuh tahun tidak menempati rumah ini. Dia melihat kunci apartemennya, apartemen yang nyaris saja ia masuki bila bukan karena Ezra yang tiba-tiba datang mencegatnya.

Bermodalkan pengetahuannya tentang aplikasi taksi online, Armita diam-diam memesan taksi online menggunakan ponsel lamanya yang retak di berbagai sisi. Dia meminta maaf di dalam hati ketika melihat Mbak Ani yang masih sibuk memasak, tidak menyadarinya yang menyelinap pergi dari rumah.

Di dalam taksi, jantungnya berdegup kencang, kepalanya sakit, entah karena terlalu excited ataukah karena takut. Armita tidak bisa lagi membedakannya saat ini. Matanya mengikuti jalan raya yang ia lewati, dari jalanan perumahan yang lenggang, keluar ke jalan raya yang ramai. Mobil yang ia naiki membawanya ke apartemen yang Armita dua puluh tujuh tahun miliki.

Mobil yang ia naiki berhenti di depan gedung apartemen, seperti pada waktu itu, tidak banyak orang yang berlalu lalang di depan apartemen berhubung saat ini jam kerja. Hanya ada dua orang satpam yang duduk mengawasi, seorang office boy yang membersihkan lobi, dan dua orang resepsionis yang salah satunya Armita kenali sebagai Rissa, wanita yang pernah mengantarnya hingga ke depan pintu apartemennya.

"Ris," Armita menyapa wanita muda itu.

"Loh Mbak Mita, udah lama banget nggak ke sini, kirain udah nggak tinggal di sini lagi Mbak." Rissa tersenyum ramah kepadanya.

Armita tersenyum seadanya, rasa penasaran yang mengusik lubuk hatinya membuatnya tak bisa menahan mulutnya bertanya. "Oh ya, temen cowokku yang juga punya kunci cadangan apartemen sempat ke sini nggak?"

Rissa mengerutkan keningnya, seperti tengah berusaha mengingat-ingat. "Kayaknya pernah sih Mbak, tapi udah lama banget. Kayaknya nggak lama setelah Mbak Mita ke sini itu loh."

"Dia ambil sesuatu?" Armita bertanya kembali.

"Wah kalau itu nggak tahu, Mbak. Soalnya orang keluar masuk juga di sini, saya nggak perhatiin semuanya." Rissa menjawab ala kadarnya dengan wajah meminta maaf.

"Oh oke." Armita menggangguk paham. Dia bisa menduga bila teman pria yang Rissa maksudkan adalah Radi, sosok pria yang katanya berselingkuh dengannya itu, dia bisa keluar masuk apartemennya dengan mudah karena memiliki kunci cadangannya bahkan Radi cenderung lebih mengenal Mita dibanding suaminya sendiri, Ezra.

"Mau dibantu masuk lagi, Mbak?" Rissa bertanya kepadanya.

"Nggak perlu, terima kasih." Armita menggeleng pelan. Dia memperlihatkan gantungan kunci berisi serangkaian kunci apartemennya berikut kartu akses apartemennya.

"Oke, Mbak." Rissa kembali menjalankan tugasnya sementara Armita sendiri berjalan menuju lift lalu memencet angka yang dahulu Rissa tekan untuk membawanya ke apartemennya.

Lamat-lamat aromaterapi yang disemprotkan di dalam lift membuatnya mual, begitu juga dengan musik klasik yang terputar di dalam lift yang Armita tidak sadari sebelumnya. Bunyi 'ding' menjadi penanda bahwa ia telah tiba di lantai apartemennya berada. Lantai dua puluh, apartemen nomor dua puluh tiga. 2023.

Armita sendiri pun tidak mengerti kenapa angka apartemennya dua puluh tiga, mengingat dalam satu lantai ini hanya ada tiga apartemen. Dua apartemen kecil dan satu apartemen besar. Darimana Armita tahu? Tentu saja hasil dari memperhatikan peta tangga darurat yang tertempel di depan ruang pembuangan sampah yang berada tepat di sebelah lift.

Armita bergerak ke apartemen ketiga, paling ujung, berseberangan dengan apartemen lain. Apartemen miliknya hanya salah satu dari apartemen kecil yang ada di situ. Ia menahan napasnya sejenak, lalu memasukkan kunci apartemennya dan memutarnya perlahan.

Armita tak tahu apa yang ia harapkan ketika masuk ke dalam apartemennya. Apakah dia akan segera mengungkapkan segala rahasia yang tidak dia ketahui atau apa? Dia tidak tahu, dia bahkan bingung ingin berekspektasi apa terhadap temuannya yang satu ini.

Pintu terdorong terbuka, Armita masuk ke dalamnya. Selama beberapa detik dia terhenyak diam. Tempat ini familiar untuknya. Dia bisa membayangkan dirinya berada di tempat ini, bergerak, mengisi ruang dan kekosongan yang ada di hatinya begitu pula rongga di kehidupannya.

Tempat ini seolah terhenti tepat kapan Armita mengalami kecelakaan. Piring dan gelas kotor yang masih tergeletak di bak cuci, baju-baju yang berserakan di atas sofa, bahkan pakaian yang masih dijemur di luar sana, sebagian telah terhempaskan oleh angin dan jatuh begitu saja di atas lantai yang kotor nan berdebu.

Armita menarik kuncinya dari luar pintu lalu merangsek masuk semakin ke dalam. Suara debaman pintu bahkan tak lagi ia hiraukan. Tangannya bergerak menyalakan lampu, menghidupkan sumber penerangan selain daripada cahaya matahari di luar sana. 

Dia bahkan seolah bisa ingat dengan jelas di mana kamarnya berada. Ia membuka pintu kamarnya, melihat kasurnya yang berantakan, tangannya bergerak membuka lemari, pakaiannya berada di sini, jauh berbeda dengan kamarnya yang berada di rumah Ezra. Ini seperti dirinya yang ia kenali, bukan pakaian bermerk mahal yang hanya dia pakai sesekali karena takut kotor dan rusak, ini pakaian yang nyaman ia gunakan. Aneka kosmetik yang nyaris habis pun terletak di atas meja cerminnya.

Armita duduk di atas kasur, termenung, matanya tidak berhenti melihat lemari pakaiannya yang jelas berbeda dengan yang berada di kamar Ezra. Dia terdiam, kenapa Ezra berusaha menyembunyikan tempat ini darinya? Apa karena di sini dia bertemu dan memadu kasih dengan selingkuhannya?

Armita membuka laci lemarinya, melihat beberapa aksesoris dan perhiasan yang masih utuh. Mata dan tangannya masih ingin mencari, tetapi berhenti ketika melihat sebuah amplop putih yang tergeletak di meja cerminnya.

Radi.

Satu nama itu terlintas di dalam benaknya ketika menemukan amplop itu. Hanya pria itu yang memiliki kunci cadangan apartemen ini dan hanya pria itu pula yang mungkin saja meninggalkan pesan semacam ini untuknya.

Tangan Armita buru-buru membuka pesan itu, tubuhnya menegang kaku ketika membaca pesan yang tertera di dalamnya.

Dear Armita,

Aku nggak tahu kapan waktu akan membawa surat ini ke hadapanmu dan ke tanganmu. Aku harap bahwa itu benar-benar kamu yang membaca surat ini, bukan orang lain apalagi Ezra dan Om Heru.

Mit, aku orang pertama yang menemukan kamu di kecelakaan itu. Kondisimu kritis, tangan kirimu patah, dan kamu butuh operasi untuk pendarahan di otakmu. Sayangnya aku bukan orang yang bisa memberikan izin untuk operasi itu karena aku bukan siapa-siapa kamu, Mit. I love you, so damn much, yet I cannot do anything about it. Aku juga jadi orang pertama yang meminta rumah sakit untuk menghubungi Ezra, hal yang paling kusesali saat ini.

Kecelakaan itu bukan kecelakaan biasa. Seseorang sengaja melakukannya. Aku berusaha mencari tahu, siapa orang yang berusaha nyelakain kamu Mit. Aku tahu kamu menemui beberapa pengacara lain, selain aku tentu aja, untuk mengurus perceraianmu dan Ezra. Aku nggak tahu kenapa kamu menyembunyikan ini dari aku, Mit. Sepertinya Ezra pun juga tidak mengerti kenapa bukan firma milikku yang mengirimkan surat gugatan cerai kepada Ezra. 

Apa Ezra memberitahumu bahwa beberapa hari sebelum kecelakaanmu dia pergi ke bengkel? Mobilnya bahkan baik-baik saja pada saat itu. Apa dia juga memberitahumu bahwa pada hari kecelakaanmu dia ada dan menunggumu bangun? Pria itu, semenjak kecelakaanmu tidak pernah pergi meninggalkan sisimu, Mit. Aku bahkan nggak bisa nemuin kamu lagi.

Mit, I think it is him. Sepertinya Ezra yang buat kamu kecelakaan. Alasannya? Aku nggak bisa memikirkan hal lain selain, kalian nggak seharusnya bercerai. If he cannot have you, then no one can.

Aku berharap surat ini benar-benar sampai ke tanganmu, Armita.

- R

Armita membaca setiap deret kalimat yang Radi tuliskan dengan tangannya sendiri. Kepalanya pening, matanya memburam karena air mata.

Tangannya mengambil ponselnya yang retak di berbagai sisi. Ia membuka salah satu kontak lalu menekannya dan menunggu beberapa nada dering sebelum pria yang berada di seberang sana menyambut teleponnya.

"Armita?"

"Radi, gue baca surat lo." Radi mengembuskan napas panjang. Dia bisa membayangkan apa ekspresi yang pria itu perlihatkan saat ini. "Kenapa .... "

"Kamu percaya sama dia, Mit. You trust him that much, dan aku belum punya cukup bukti untuk membuktikan bahwa dia pelakunya." Ucap Raditya cepat. "Bagaimana kalau memang dia pelakunya? Kamu kehilangan ingatan saat ini dan dia adalah pihak yang paling diuntungkan dari amnesiamu, Mit."

Armita terdiam. Tiba-tiba teringat kembali bagaimana ekspresi ibu mertuanya atau pun Ezra pada saat itu. Tidak ada satu pun dari mereka yang berharap ingatan Armita kembali. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top