3. Anak Pertama Perempuan
Sebagai anak pertama perempuan, aku tidak memiliki banyak pilihan. Mengikuti eskul cheerleader semasa SMA dahulu adalah sebuah kemewahan yang mungkin tidak akan aku dapatkan seandainya nilaiku tidak cukup mendukung di sekolah. Lupakan les dan berbagai tetek bengek lainnya yang anak-anak seusiaku nikmati di masa sekolahnya, sebagai anak pertama perempuan, aku harus lebih banyak mengalah dan berganti peran dengan ibuku untuk menjaga Anin selagi beliau bekerja.
Dahulu aku merasa setidaknya aku bisa melewati apa pun selagi masih bersama tiga sahabatku. Mereka yang ada di saat-saat aku butuhkan dan tidak meninggalkanku, mereka yang rela meninggalkan hiburan di pusat perbelanjaan dan menemaniku menjaga Anindya di rumah, mereka yang dengan suka hati membawa aneka snack atau makanan yang tentu saja tidak bisa Anin nikmati tanpa mereka. Ima, Risma, dan Naya, mereka yang selalu aku kira akan selalu ada saat aku butuhkan. Namun, tahukah kamu apa yang lebih menyakitkan daripada sendirian? Menaruh harapan kepada manusia. Aku terlalu berharap kepada tiga sahabat karibku ini hingga membiarkan diriku sendiri terlena di dalam kecewa akibat harapan yang ku letakkan kepada mereka.
"Kak, mau makan." Aku menoleh melihat Anindya yang menunjuk ke salah satu menu di restoran cepat saji yang buka dua puluh empat jam ini.
Adikku yang dulu kecil dan menggemaskan itu kini sudah berubah menjadi gadis remaja yang tidak lepas dari ponselnya.
"Ya pesen ajalah." Aku menggeleng sembari berdecak.
"Kan ada Kak Mita." Anindya merajuk, bibirnya mengerucut kesal. "Ayolah kak." Anin menyelipkan tangannya di lekukan sikuku. Seumur hidupku Anindya selalu menjadi prioritas nomor satu bersama ibu. Demi Anin, demi ibu, selama ini motto itu yang ku terapkan di dalam hidupku.
"Gimana nanti kalau kakak udah nggak ada?" Aku mencubit pipinya gemas lalu menyerahkan salah satu kartu kredit milik Ezra.
"Emangnya kakak mau ke mana? Kak Ezra mau pindah? Kak Mita mau ikut Kak Ezra?" Aku terdiam, terpaku mendengar tanya balik dari adikku. Anindya tidak menungguku menjawabnya, gadis itu sudah berlalu sembari bersiul ringan dan memesan makanan dari mesin pemesan yang disediakan resto ini.
Hubungan dan Ezra merenggang semenjak aku menghubungi Raditya kembali. Ezra tidak berbicara denganku, dia tidak marah, dia tidak membentak, dia tidak menanyakan apa pun, tetapi pria itu mendiamiku. Apa kau tahu apa yang lebih parah daripada bentakan dari amarah yang memuncak? Diam. Aku tidak bisa menjelaskan apa pun kepadanya ketika dia menolak berbicara denganku.
Aku tak tahu apakah ini rasa marahku atau sifat egoisku yang mendominasi hingga aku juga memutuskan untuk tetap diam. Bila Ezra tak mau berbicara dan meminta maaf lebih dahulu, maka aku juga tidak akan berbicara kepadanya. Aku menunggu dan menunggu dan menunggu, tetapi tidak ada satu pun dari kami yang berniat membuka mulut dan meminta maaf lebih dahulu. Komunikasi kami berhenti, kami tidak lagi saling berusaha menjaga perasaan satu sama lain.
"Mit, Mita?" Radi memanggilku, menarik nyawaku kembali ke alam sadar.
"Hm?" Aku menoleh kepadanya. Dia menggeleng sekilas lalu menyandarkan badannya di kursi.
"Aku udah ngomong panjang lebar, kamu nggak dengerin."
"Ulangin aja lagi." Aku memusatkan perhatianku sepenuhnya ke kumpulan kertas dengan berbagai pasal hukum dan bahasa yang tidak bisa ku artikan.
"Kamu nggak fokus Mit, ada apa?" Radi memajukan kembali badannya, kedua tangannya terlipat di atas meja, perhatiannya sepenuhnya ke arahku.
"Ezra .... Nggak, nggak ada apa-apa." Aku menggeleng lagi. Membicarakan hubungan rumah tanggaku yang hambar kepada mantan kekasih bukanlah hal yang baik walaupun kini kita memutuskan untuk menjadi sahabat.
Radi mengangguk, tidak memaksaku untuk bercerita lebih lanjut. "Mit, aku bukannya mau pesimis, tetapi jalan kita buntu saat ini."
"I know." Aku mengerti apa maksud Raditya saat berkata jalan kita buntu saat ini. Pemerkosaan yang Om Heru lakukan pertama kali terjadi bertahun-tahun yang lampau, tidak ada bukti visum atas kejadian waktu itu karena aku masih terlalu muda, terlalu penakut, dan terlalu berharap ibu dan adikku akan mengerti dan membawaku pergi begitu saja saat berkata tidak nyaman berada di dekat Om Heru. Poin lainnya, saat ini aku bekerja bersamanya di kantor akuntan publik yang ia miliki, sangat tidak masuk akal bagi orang lain yang mendengar, kenapa aku, sebagai korban pemerkosaan, masih mau bekerja di bawah pelaku pemerkosaku. Ibuku saja tidak percaya kepadaku, bagaimana dengan yang lainnya? Saat ini hanya Radi yang percaya kepadaku.
"Kenapa nggak kamu ceritain ke Ezra?" Radi hendak meraih tanganku, tetapi aku berjengit, menjauh darinya. Mataku memejam teringat kejadian beberapa saat lalu di ruang kerja Om Heru, tubuhku meremang, perutku bergejolak. "Mit, I'm sorry. I'm so fucking sorry." Kata-kata Raditya bagaikan kaset rusak yang terputar di benakku sementara memori waktu itu merampas ketenangan yang menghampiriku. Raditya berdiri di sisiku, suara merasuk kembali ketika berusaha menenangkan gejala serangan panik dan cemas yang menghantamku. "Take a deep breath, you're okay, you're okay. You are not there. Mit, tarik napas, Mit. Kamu baik-baik aja sekarang ini."
"Sorry."
"Nggak, aku yang minta maaf, harusnya aku nggak berusaha nyentuh kamu tanpa izin." Dia hanya berusaha menyentuh tanganku, mungkin meremasnya untuk memberikan sedikit kekuatan, tetapi serangan panik itu bisa tiba-tiba saja terjadi dan merampas kedamaian sesaat yang aku miliki.
"Kamu tahu apa bagian terburuknya, Rad?" Aku memejamkan mataku, berusaha menahan gemetar tanganku. "Aku nggak bisa ngapa-ngapain, aku juga nggak bisa melawan. Tubuhku membeku, Rad. Semuanya .... " Aku membeku, tidak sanggup melanjutkan kata-kataku lagi sementara tangan Radi menggantung di udara, terlihat bingung dan tak tahu bisa melakukan apa.
"Seandainya aja membunuh itu halal, Mit." Suara Radi sarat dengan emosi dan amarah. "Kenapa kamu nggak ngasih tahu Ezra? Dia bisa bawa kamu pergi jauh dari sini, maybe start new life somewhere else."
"Ezra anak tunggal, ayahnya baru aja meninggal Rad, ibunya masih butuh dia." Aku menggeleng. "Egois banget kalau aku minta dia pergi, lagipula Ibu dan Anin juga butuh aku."
"Butuh kamu?" Radi bertanya sangsi. Dia tahu betul ibu Armita seperti apa, wanita itu terlalu sibuk dan lelah dengan pekerjaannya sendiri, bahkan setelah menikah dengan Heru pun, wanita itu masih sesekali meminta gaji Armita entah untuk apa. "Kamu masih ngasih gaji kamu ke ibumu?"
Aku mengangguk, heran Radi bertanya. "Ini udah kebiasaan Rad, nggak ada hubungannya sama sekali dengan Heru."
"You know you can save that money for escape, right?" Radi lagi-lagi mempertanyakan kewarasanku. Bukan hanya Radi, Naya, Risma, dan Ima pun demikian. Mereka semua bertanya, kenapa tidak kabur saja meninggalkan ibu dan Anindya, kenapa bekerja bersama Heru, kenapa menikah dengan Ezra, mereka mempertanyakan kewarasanku, dan kini, saat Raditya berkata mereka berada di titik buntu karena kondisi yang tengah kualami saat ini, aku pun mempertanyakan kewarasan diriku sendiri.
"Mungkin karena ... aku anak pertama perempuan." Aku menjawab dengan nada pelan. "Dari kecil udah terbiasa diberi tanggung jawab dan beban. Tanggung jawab buat jagain Anin pas anak-anak lainnya mungkin main di mall atau ikut les atau eskul sana-sini, diberi beban untuk tahu batas dan tahu diri, karena ibu orang tua tunggal, ada beberapa hal yang tidak bisa aku miliki kayak anak yang ortunya lengkap. Diberi beban untuk turut memberi sumbangsih ke dalam rumah tangga ibu. Itu kebawa terus walaupun ibu sudah nikah dan keadaan hidup kami membaik, Rad."
"Tapi kamu bisa lepas, Armita ... " ujar Raditya gusar. "Kapan terakhir kali kamu mikirin diri kamu sendiri? Udah berapa kali kamu ngalah? Demi Naya, kita pisah. Demi ibumu dan Anindya, kamu bertahan di rumah itu. Demi Ezra, kamu diam aja walaupun ayah tiri kamu udah perkosa kamu. Mita, semua manusia punya batasan, kamu juga, kamu masih manusia. Coba pikirin diri kamu sendiri, Mit."
Mungkin karena aku anak pertama perempuan, aku sudah terbiasa melindungi dan menjaga yang lainnya, mulai dari Ibu dan Anindya. Tapi bagaimana dengan diriku? Kapan aku bisa bersandar kepada orang lain dan berkeluh kesah tanpa membuat mereka muak? Kapan aku bisa menggantungkan diriku kepada orang lain?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top