27. Jelangkung

Pria yang mengaku sebagai suaminya itu seperti Jelangkung. Pergi tak dijemput, pulang pun tak diantar. Setelah mendengar langsung vonis dokter seperti apa, pria itu keluar dari kamarnya bersama dokter yang menanganinya, entah mereka berbicara apa di depan kamarnya.

Armita berusaha melihat dari balik jendela kecil di depan sana, tetapi sejam, lalu dua jam kemudian pria itu berbalik pergi lalu tak kembali lagi. Bisa-bisanya Armita masih menunggu pria itu masuk kembali ke kamar, mungkin menjelaskan seperti apa fenomena yang tengah ia alami saat ini. Namun, dia tidak kembali. Setelah malam berganti pagi dan hari pun berganti, Armita menyadari alasan kenapa dia memutuskan untuk pisah dari suaminya itu. Dia memang brengsek, tidak ada umpatan yang lebih pas daripada memanggil pria itu sebagai Jelangkung.

Armita cemberut, tangannya memainkan sendok yang berada di atas mangkuk bubur. Memutar-mutarnya berulang kali. Dia bosan, tidak hanya bosan, dia juga tidak bisa melakukan banyak hal karena tangan kirinya retak hingga digips sedangkan gegar otak ringan yang ia alami membuatnya pusing hebat hingga beberapa kali muntah-muntah. Siapa yang menyangka sehari sebelumnya dia masih remaja tujuh belas tahun yang tiba-tiba loncat ke masa depan?

Di tengah lamunannya suara ketukan pintu terdengar, tidak lama kemudian seorang gadis remaja berusia sekitar tujuh belas tahun masuk ke dalam diikuti oleh seorang bocah laki-laki yang menggandeng tangannya.

"Anin?" Ingatannya mungkin tengah mempermainkannya kali ini, tetapi dia tidak bisa menampik bahwa sosok yang ada di hadapannya kini adalah Anindya, adiknya yang beberapa hari lalu seingatnya masih berumur tujuh tahun. Sejak kapan Anindya tiba-tiba tumbuh sebesar ini?

"Kakak." Gadis itu tersenyum lembut, persis seperti bocah tujuh tahun yang ada di ingatannya. Adiknya memang selalu manis, bocah kecil penurut itu selalu mendengarkannya karena hanya dia yang peduli kepadanya di dalam rumah itu. "Salim dulu, dek."

Mata Armita membola, melihat bocah yang berada di gandengan tangan adiknya berjalan ke arahnya lalu menyalimi tangannya yang masih duduk bengong di kasur rumah sakit. "Ini siapa?"

"Jangan bilang lo lupa anak lo sendiri."

Tiba-tiba saja cuaca cerah di luar sana berubah menjadi mendung, hujan deras, dan angin puting beliung menghantam-hantam jendela kamarnya. Raut wajahnya menggelap. Sejak kapan dia punya anak? Meskipun Armita saat ini sudah berusia dua puluh tujuh tahun, di otaknya dia masih tujuh belas tahu. Dia masih belum siap punya anak, apalagi anak sebesar ini.

Armita memperhatikan bocah yang menyalimi tangannya, mulutnya yang tersumpal permen loli tidak mengucapkan sepatah kata pun, matanya yang besar hanya melihat adiknya, Anin, yang berdiri di belakangnya dengan senyuman lebar. Armita ganti menatap adiknya, lalu bocah itu, lalu adiknya kembali. Bagaimana mungkin dia bisa lupa telah melahirkan seorang anak? Rasa bersalah menyeruak masuk, menyergapnya di saat ia tidak siap.

Melihat raut wajah kakaknya yang semakin pucat, Anindya tertawa terbahak-bahak lalu memutuskan untuk menyudahi sandiwaranya. "Balik yuk, dek." Anindya keluar dari dalam kamarnya, tidak sampai dua menit, gadis itu kembali ke dalam ruangan, masih dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. "Lo harus lihat muka lo sendiri."

"Dia anak gue?" Armita bertanya kembali.

Anindya kembali tertawa terbahak-bahak, kali ini hingga air mata membasahi pipinya dan tangannya menahan perutnya yang kesakitan. "Aduh beneran, lo harus lihat muka lo sendiri. Gila ini gila." Anindya berusaha menahan deru napas dan tawanya, ia lalu benar-benar berhenti tertawa ketika melihat wajah kakaknya yang menatapnya galak. Persis seperti ekspresi Armita sehari-hari. Anindya berdehem lalu menjelaskan. "Tadi itu anak pasien kamar sebelah. Mamanya nitip karena mau ke apotek bentar."

Armita memutar bola matanya kesal karena telah berhasil dijahili oleh adiknya sendiri. Kini dia kembali menatap jendela, cuaca gelap di luar sana kembali cerah, tetapi tidak dengan hatinya yang masih dipenuhi oleh awan tebal nan mendung.

"Lo ... beneran hilang ingatan?" Anindya maju mendekatinya, takut-takut ia menarik kursi penjaga mendekati kasur Armita.

"Menurut lo?" Armita balas bertanya. Entah kenapa berbicara dengan Anindya saat ini seperti tengah berbicara dengan temannya sendiri, dia tidak keberatan Anindya menggunakan bahasa elo-gue meskipun dia yakin di kehidupan sehari-harinya, Armita dua puluh tujuh tahun akan menggeplak kepala adiknya bila berani bersikap tidak sopan.

"Kok bisa?" Anindya mengangkat alisnya.

"Ya mana gue tahu." Armita menjawab acuh tak acuh.

Kini Anindya duduk tidak nyaman di atas kursinya. "Kak," Anin memanggil kakaknya, tampangnya lebih serius daripada tadi ketika mengerjainya dengan meminjam anak pasien sebelah. "Kamu beneran mau cerai sama Kak Ezra?"

Armita mengangkat alisnya, kepalanya pusing, pertanyaan Anindya membuatnya semakin pusing. Apa gadis itu lupa kalau dia tengah kehilangan ingatan? Jangankan mengingat apa yang terjadi kemarin, ingatan Armita terhenti di sepuluh tahun lalu, di lapangan basket.

"Iya." Armita menjawab singkat, terlanjur kesal kepada Anindya. Kenapa adiknya ini tidak tetap tumbuh menjadi gadis penurut yang selalu mendengar kata-katanya.

"Loh, kenapa?"

"Sebelum gue kehilangan ingatan, gue udah mau ceraiin dia. Setelah hilang ingatan, gue semakin yakin mau menceraikan dia." Tukas Armita, niatnya membulat terutama setelah melihat bagaimana suami itu seperti Jelangkung, meninggalkannya seorang diri di dalam kamar rumah sakit tanpa banyak kata.

"Apa hubungannya?"

"Ya karena gue masih tujuh belas tahun, belum siap nikah. Apalagi sama om-om." Armita menambahkan kembali. Dia yakin betul mereka sebentar lagi berpisah karena Armita telah menyesali menikahi pria itu.

"Lo cuma beda dua tahun doang sama Kak Ezra." Anin memanyunkan bibirnya. "Ingat umur kak, udah dua tujuh." Anin mencibirnya, gadis itu tidak bertanya kembali. Senyum di wajahnya melebar ketika ponsel dengan logo buah di saku jaketnya bergetar, dengan gerakan cepat, jari jemari gadis itu mengetik heboh, dia lalu terkikik sembari mengetik kembali.

Armita melirik ponsel gadis itu, alisnya terangkat, dia tertarik. Sepuluh tahun yang lalu, ponsel touch screen memang telah ada, tetapi jelas tidak secanggih seperti apa yang Anindya pegang saat ini.

"Hp gue di mana, Nin?" Armita bertanya, semakin lama semakin gemas. Dia harus mencari tahu dan tempat pertama di mana ia bisa membongkar seperti apa dirinya sendiri adalah dompet dan ponselnya.

Armita frustrasi, tidak hanya karena kehilangan sepuluh tahunnya yang berharga tetapi juga karena bingung dengan identitas dirinya sendiri saat ini. Kenapa dia seperti tidak mengenal dirinya sendiri? Dia melakukan hal-hal yang bukan dirinya sama sekali.

Bahkan ketika melihat jari jemarinya, dia tidak yakin itu jari jemarinya sendiri. Armita tahu dia seorang penggigit kuku akut, lagipula tangannya juga kasar karena sering berolahraga, mulai dari cheer, basket, hingga membantu ibu cuci piring. Jari jemarinya saat ini terlalu lentik dan halus untuk ukuran Armita, kuku-kukunya terpotong rapi berpoles kuteks warna merah terang yang bukan seleranya sama sekali.

"Hm? Hp lo?" Anindya masih sibuk mengetik di ponselnya. "Kayaknya hilang deh."

"Hah?" Mudah sekali bagi Anindya mengatakan ponselnya hilang, sepuluh tahun lalu, ponsel seperti barang mewah bagi Armita, tentu saja dia tidak akan menyianyiakannya begitu saja. "Pas kecelakaan hilangnya?"

"Nggak tahu." Anindya mengangkat bahunya. "Sebelum kecelakaan lo udah ganti ponsel."

"Kapan?" Armita menyelidik.

"Hmmm .... " Anindya berpikir sejenak, mata cokelat gadis itu balas menatap matanya. "Lima hari yang lalu. Gue ke rumah lo, tapi saat itu lo sibuk banget kak, lagi periksa neraca keuangan. Hp lo udah ganti."

"Lo ke rumah gue? Kita nggak tinggal bareng?" Armita mengerutkan keningnya dalam.

"Ya nggaklah, elo kan udah nikah. Eh, tapi—" Anindya berhenti sejenak. "Tapi elo juga tinggal sendiri, nggak sama Kak Ezra."

Keanehan demi keanehan semkin terlihat jelas. Armita tidak bisa memahami dirinya sendiri, pertama cat kuku warna merah, kedua dia yang dapat dengan mudahnya berganti barang mewah, ketiga rumah yang ia tempati berbeda dari rumah ibu dan Anin, lebih anehnya lagi, dia juga tidak tinggal berasama suaminya. Untuk alasan yang terakhir itu, dia bisa coba mengerti, mungkin saja dia pisah rumah karena mereka sebentar lagi berpisah, lagi pula siapa yang mau tinggal satu atap dengan Jelangkung?

"Lo ngapain ke rumah gue?" Tanya Armita menyelidik. "Berkelahi sama ibu?"

Anindya mengangguk. "Ya pastilah, papa belain aku, tapi ibu malah tambah marah."

"Papa?" Wajah Armita memucat, mereka tidak punya ayah, sejak kapan ibunya menikah lagi?

"Om Heru? Lo nggak ingat?" Anindya balik bertanya.

Armita menggeleng. "Kapan ibu nikah lagi?"

"Pas lo mau kuliah deh kayaknya." Tepat sepuluh tahun yang lalu di kelas 3 SMA, berarti sekitaran waktu itu pula ibunya menikah lagi dengan pria bernama Heru ini. Dari masa lomba basket di sekolahnya hingga masa masuk kuliah, tersisa enam bulan. Armita berusaha mengingat-ingat siapa sosok Heru ini, ibunya tidak pernah mengenalkan seorang pria pun kepadanya, tetapi dalam waktu singkat dia bisa menikah dengan pria itu.

Armita berpikir keras, kepalanya yang pusing semakin pusing ketika berusaha menyatukan kepingan puzzle yang terhampar berantakan di dalam otaknya. Armita melihat ke segala penjuru arah, kamar rumah sakit, jam dinding, hingga akhirnya tatapannya terhenti pada ponsel milik Anin.

"Pinjam hp lo dong."

Anin memutar matanya. "Mau telepon siapa? Emang lo punya teman?" Ah, ingin sekali dia menyambel mulut adiknya ini. Lupakan segala kenangan tentang anak baik nan manis sepuluh tahun lalu, Anindya telah berubah menjadi remaja tengil nan menyebalkan. Sudah tidak sopan terhadap kakaknya yang jauh lebih tua, gadis itu juga beraninya memutar bola matanya dan berkata sarkas di hadapannya. Armita mendelik kesal lalu memelototi Anindya, gadis itu mengkerut. "Kalau lo kayak tadi, serem." Anindya menyerahkan ponselnya. "Serius, kalau lo pelotot-pelotot kayak tadi, lo nggak kayak orang amnesia." Anindya menyangka dagunya di tangan, memperhatikan kakaknya yang tampang bingung sesaat sebelum menekan sederet angka di ponselnya.

Ima, Risma, dan Naya, apa kabar sahabat karibnya sejak SMA itu? Apa mereka baik-baik saja sekarang setelah sepuluh tahun berlalu? Armita sedikit semangat ketika mengetik nomor Ima. Kemarin, ah tidak, sepuluh tahun lalu mereka berempat adalah sahabat terdekat. Tidak mungkin kan mereka pisah begitu saja?

Nada dering terdengar, perasaan lega yang sesaat ia rasakan diganti rasa gelisah. Bagaimana bila Ima telah mengganti nomor teleponnya, bagaimana kalau Ima tidak tahu apa yang terjadi kepada dirinya, bagaimana kalau Ima telah tiada? Berbagai macam kemungkinan terlewat begitu saja di otaknya hingga suara nada dering berhenti terdengar, digantikan oleh sahutan salam dari seorang wanita di seberang sana.

Tidak seperti sepuluh tahun lalu yang dipenuhi oleh gelak canda tawa dan suara kekanakan Ima yang heboh setiap kali bercerita, kali ini suaranya terdengar khas seperti ibu-ibu lainnya, dibalut oleh rasa lelah dan suara anak kecil yang terdengar dari ujung sana.

"Ima?" Armita bertanya ragu, suara anak kecil yang memanggil ibunya jelas membuat bibir Armita tertarik ke atas, tersenyum. Ima masih seperti sepuluh tahun lalu, gadis yang malas belajar dan berharap cepat nikah saja. Dia ternyata cepat menikah seperti impiannya dan bahkan punya anak sekarang.

"Iya, ini siapa ya?" Wanita itu bertanya. Senyum Armita surut, apa mereka tidak pernah berbicara satu sama lain hingga Ima tidak mengenali suaranya.

"Ima, ini gue, Mita." Armita mengenalkan dirinya ragu-ragu. Apa mereka tidak lagi sedekat dulu?

Suara tarikan napas panjang terdengar, wanita itu terkesiap. "Ngapain lo hubungin gue?!" Armita tersentak mendengar bentakan yang tiba-tiba saja Ima keluarkan. "Awas aja kalau lo berani hubungin gue, Risma, dan Naya lagi!"

"Ima!" Armita berusaha menahan wanita itu, tetapi belum apa-apa wanita itu sudah terburu mematikan sambungan teleponnya.

Armita menoleh ke arah Anindya, gadis itu tampak melihatnya kasihan. "Temen lo?"

Armita mengangguk ragu, apa mereka masih bisa disebut teman? Baru kemarin rasanya dia pergi bersama tiga sahabat karibnya itu sembari memakan cimol di kantin sekolah, kenapa bisa jadi seperti ini sekarang?

Tanpa bisa ia tahan, Armita terisak, air matanya tumpah ruah. Rasa bingung dan takut melandanya hebat bagaikan tsunami yang datang tiba-tiba. Dulu ketika masih bersama sahabatnya dia percaya dengan motto "It is us against the world." Tapi sekarang? Tidak lagi, hanya tersisa dirinya sendiri di tempat asing ini. Keluarga yang tidak seperti keluarga juga orang-orang asing yang seolah menilainya setiap saat dan membandingkannya dengan sosok asing yang tidak dia kenal sama sekali, sosok asing yang juga bernama sama dan memiliki wajah yang sama seperti dirinya.

"Kak Mita, kok nangis?" Anindya juga tampak sama bingungnya seperti dirinya, dia tidak pernah melihat kakaknya menangis semenyedihkan ini sebelumnya.

Suara pintu yang terbuka membuat Armita mengalihkan tatapan matanya sekaligus menahan tangisnya yang sesegukkan. Pria Jelangkung itu datang lagi, tanpa dijemput dan pulang nanti pun tidak akan dia antar. Armita sesegukkan, tidak bisa menahan tangisnya lebih cepat sehingga dia cegukan sekarang, dengan hidung memerah dan beringus, ditambah air mata yang masih membasahi kelopak matanya.

Ezra terpaku melihat wanita itu, benar-benar tidak seperti istrinya sendiri. Pria itu berdiri di depan pintu dengan canggung. Bingung hendak bertanya apa kepada adik iparnya atau pun kepada wanita itu sendiri.

"Huwaaaa—" Tangis Armita kembali meledak ketika melihat pria itu. Ah, sialan, kenapa dia justru semakin tidak bisa menahan tangisnya ketika melihat pria Jelangkung itu?!


*****

Author Note:

Iya, judul babnya 27.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top