26. Aku-Kamu
Ezra terpaku di depan pintu kamar rumah sakit, di tangannya ada sebuah kantung plastik berisi bubur ayam untuk istrinya dan satu paket makanan cepat saji untuk adik iparnya. Dia tidak menyangka akan disambut seperti ini oleh wanita jahat itu, dengan sebuah tangisan keras seolah-olah dialah orang terjahat yang pernah ada di kehidupan wanita itu.
Ezra bahkan seperti tidak bisa mengenali wanita itu, dia memiliki wajah dan nama yang sama dengan istrinya, tetapi seorang Armita Tunggadewi bukanlah wanita yang akan menyianyiakan air matanya seperti itu, hanya ada beberapa kali dia menemukan Armita menangis, itu juga bukan di hadapannya.
Ezra tidak pernah menghadapi wanita lain seperti ini sebelumnya. Gegar otak yang dialami Armita mungkin lebih parah daripada yang dokter jelaskan kepadanya kemarin dan bisa saja wanita itu tidak kehilangan sepuluh tahun memorinya, tetapi bisa saja dua puluh, tidak dua puluh lima tahun memorinya. Menangis keras hingga air mata dan ingusnya bercampur menjadi satu lebih mirip seperti bayi berusia dua tahun daripada wanita dewasa di penghujung umur dua puluhnya.
Ezra membuka mulutnya, mengatupnya, lalu membukanya kembali, tidak menyangka dia akan bersuara selembut ini kepada wanita jahat itu. "Kenapa menangis?"
Armita berusaha menahan isakan tangisnya, tetapi apa dikata, semakin ia berusaha berhenti, napasnya malah semakin naik turun tak beraturan, diikuti oleh cegukan dan ingus yang meler ke mana-mana. Armita mengelap ingusnya dengan ujung lengan kemejanya. "A-a-da Je-je-je-langkung." Armita mengucapkannya terbata, tertahan oleh cegukan berikut isakan tangisnya sendiri.
"Hah?" Tidak hanya Ezra, Anin pun bengong melihat tingkah kakaknya, gadis itu membuka mulutnya hingga berbentuk 'o'. Kakaknya tidak kehilangan ingatan, dia kehilangan jati diri dan jiwanya sendiri, ada makhluk halus yang merasuki kakaknya hingga tingkahnya seperti ini.
"Kayaknya Kak Mita butuh dirukiyah." Anin berbisik pelan di sebelah Ezra sementara kakak iparnya itu mengangguk setuju.
***
Armita tidak butuh dirukiyah, siapapun akan merinding ketika mendengar lantunan ayat-ayat Al-Qur'an yang ditujukan untuk mengeluarkan jin dan setan, tidak terkecuali Armita. Wajahnya menekuk cemberut setelah dengan paksaan dari Anindya, dia harus mendengarkan satu set ayat rukiyah lewat headset yang dijejali ke telinganya.
"Masih ada nggak Jelangkungnya?" Anin bertanya dengan kedua tangan menumpu dagu di tepi kasurnya.
"Masih." Armita menjawab singkat, matanya menatap lurus ke arah Ezra, si Jelangkung sesungguhnya. "Ngapain lo ke sini?"
"Hush, nggak boleh pakai elo-gue, pakai aku-kamu dong, oh ya, Kak Ezra kan lebih tua dua tahun, lebih manis lagi kalau panggilnya pakai Kangmas, Aa', atau—" Mulut Anindya terkunci melihat tatapan maut kakaknya yang balas menatapnya sinis.
"Kamu ngapain pakai elo-gue sama gue? Kan aku lebih tua sepuluh tahun." Armita membalas adiknya.
"Hehe," gadis itu tertawa canggung.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada Anindya, tetapi mulutnya bungkam ketika melihat pria yang mengaku sebagai suaminya itu. Dia masih ingat kata-kata pertama yang pria itu keluarkan ketika masuk ke kamarnya setelah kecelakaan, mereka seharusnya dalam tahap perpisahan sekarang, lalu kenapa pria itu tiba-tiba berubah pikiran dan bahkan menjenguknya sembari membawa satu porsi bubur ayam untuknya? Sikapnya terlalu mencurigakan, membuat Armita tanpa sadar menyipitkan matanya dan memperhatikan gerak gerik pria itu.
"Ngapain kamu ke sini?" Armita menegakkan badannya, berusaha menegaskan suaranya setelah melakukan hal memalukan tadi, dia ingin dianggap serius saat ini.
"Apa salahnya suami jenguk istrinya sendiri?" Ezra mengernyitkan keningnya dalam.
Anindya memperhatikan kedua suami-istri itu, dari kanan ke kiri, lalu kanan ke kiri lagi, persis seperti penonton yang tengah menonton siaran badminton.
"Hari pertama kamu nggak dateng."
"Hari pertama aku bicara sama doktermu."
"Iya, habis itu nggak kembali lagi."
"Kamu nungguin aku?"
"Nggaklah, ngapain nungguin Jelangkung." Armita menampik keras, herannya kali ini Ezra tidak segera membalas perkataannya, pria itu lagi-lagi terpaku seolah baru menyadari satu hal.
"Oh, jadi yang Kak Mita maksud Jelangkung itu Kak Ezra." Anindya mengangguk-angguk paham sebelum menutup mulutnya sendiri dan tersenyum bersalah ke arah kakak iparnya.
"Kenapa panggil aku Jelangkung?"
"Siapa lagi yang datang tanpa diminta dan pulang nggak pamitan?"
"Kamu mau aku pamitan sama kamu?"
"Nggak usah."
Lagi-lagi kepala Anindya menoleh dari kanan ke kiri, lalu kembali lagi dari kiri ke kanan.
Armita mendesah keras sebelum pria itu besar kepala dan mengira dirinya menunggunya selama ini. "Aku cuma mau tahu apa yang dokter bilang, kenapa aku bisa amnesia. Kan kamu yang bicara sama dokternya."
"Dokter bilang masih butuh observasi." Tatapan Ezra menyelidik, seolah tengah menilai raut wajah istrinya saat ini. Armita cemberut, jawaban Ezra sama sekali tidak memuaskan. "Mungkin karena kamu gegar otak ringan, makanya kehilangan ingatan."
"Tapi nanti bisa kembali nggak?" Armita bertanya ragu.
Ezra menggelengkan kepalanya. "Tidak tahu, dokter juga masih butuh observasi lebih lanjut."
Armita menatapnya curiga, sepertinya ada hal yang disembunyikan oleh suaminya itu. Namun, selama dia berada di rumah sakit ini, Armita yakin dia tidak akan tahu apa-apa karena Ezra telah berbicara terlebih dahulu dengan dokter rumah sakit, mereka mungkin saja telah bersekongkol untuk menyembunyikan penyebab dia kehilangan ingatan.
Armita menarik napas dalam lalu mengangguk. "Oke deh."
"Oke?" Ezra mengangkat alisnya, tidak menyangka wanita yang bernama dan berwajah sama seperti istrinya ini akan segera setuju dan tidak memaksa lebih lanjut untuk tahu apa isi percakapannya dengan dokter yang menanganinya.
"Iya, kenapa memangnya?"
"Oh, tumben kamu setuju begitu aja." Ezra mengangkat bahunya acuh tak acuh. Sikap Armita yang seperti ini jauh lebih baik daripada sikap wanita itu biasanya sebelum dia kehilangan ingatannya.
"Ya udah, kamu pulang aja." Armita mengusir suaminya itu lelah, lebih berguna kehadiran Anindya di sini daripada kehadiran Jelangkung. Dia tidak bisa menyelidiki lebih lanjut tentang sikap Ima yang tiba-tiba berubah seratus delapan puluh derajat di telepon tadi, rasa sakit di dadanya karena kata-kata kasar Ima tadi masih sangat membekas. Dia masih ingin mengetik serangkaian pesan untuk Ima, mungkin menjelaskan kehilangan ingatannya dan mengajak gadis itu bertemu serta mencari tahu apa yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir sehingga wanita itu bersikap seperti itu.
"Masih mau aku pamit nggak?" Ezra menawarkan diri untuk menyampaikan salam perpisahan, melihat bagaimana wanita itu tampaknya cukup terganggu setelah kepergiannya kemarin.
"Nggak usah." Armita mencebik kesal. Dia membaringkan badannya di atas kasur lalu memejamkan matanya, berusaha tampak terlelap meski pikirannya masih melalang buana. Apa yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir sehingga hubungannya dengan tiga sahabat karibnya merenggang?
Ezra memperhatikan istrinya, tahu bila wanita itu masih belum tertidur walaupun telah membaringkan badannya dan menutup matanya. Manik hitamnya memperhatikan badan wanita itu, dia yakin Armita belum melihat cermin hingga detik ini sehingga tidak tahu separah apa lebam di wajah dan beberapa sudut badannya, bukan hanya tangan wanita dan kepala wanita itu saja yang harus dirawat pasca kecelakaan. Obat bius anti sakit yang diberikan tentu cukup kuat hingga wanita itu tidak merasa sakit.
Mengingat kehadirannya di tempat ini sedari awal tidak begitu diinginkan, Ezra memutuskan untuk mundur. Dia melihat Anindya, adik Armita yang masih berusia tujuh belas tahun, gadis remaja itu sibuk memainkan ponselnya. "Nin, titip kakak kamu ya."
"Siap, Kak." Anindya mengangkat jempolnya.
Ezra melihat punggung wanita itu sekali lagi sebelum meninggalkan kamar pasien.
Mendengar pintu yang tertutup, Armita segera membuka matanya kembali lalu memutar badannya hingga kembali menghadap ke arah Anindya. "Anin."
"Kok belum tidur?"
"Pinjam hp kamu lagi dong." Armita berusaha meminjam ponsel Anindya lagi, dia harus mengirim pesan ke Ima menjelaskan keadaannya, tidak, mungkin akan lebih baik bila dia langsung meminta wanita itu bertemu dengannya. Ima tidak akan percaya begitu saja bila dia bilang dia terkena amnesia, dirinya sendiri pun tidak akan percaya. Ini bukan sinetron, dia juga akan menuduh siapa pun berlebihan bila langsung cerita kalau tengah mengalami amnesia begitu saja.
Anindya menyerahkan ponselnya ke kakaknya, tidak yakin bila ini akan membantu kakaknya. "Tapi nanti jangan nangis lagi." Anindya mengingatkan.
"He'eh." Armita bergumam. Dia mengetik serangkaian pesan kepada Ima, meminta, tidak, lebih tepatnya memohon kepada wanita itu untuk bertemu dengannya. Armita menarik napas dalam-dalam, jantungnya berpacu cepat ketika mengirimkan pesan itu, berharap Ima segera membalas pesannya dan setuju untuk bertemu dengannya.
Menit demi menit berlalu hingga akhirnya Anindya meminta kembali ponselnya. "Balikin dong."
Armita mengembalikan ponsel itu dengan berat hati. "Nanti kalau ada pesan balasannya bilang ya."
"Iya." Anindya kembali sibuk dengan ponselnya sementara Armita menunggu.
"Udah ada balasan belum?" Armita bertanya.
"Nggak ada." Anindya menjawab.
Menit berganti jam, entah berapa kali Armita bertanya, jawaban Anindya pun masih sama. Hingga akhirnya wanita itu tertidur lelap kali ini tanpa mimpi sama sekali, seolah dirinya tengah mengubur dalam-dalam apa pun yang berhubungan dengan segala hal yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir.
***
"Kamu udah boleh pulang." Ezra merapikan bantal yang ada di punggungnya. Hari ini hanya ada Ezra yang menemaninya di kamar karena Anindya kembali masuk sekolah. Lebih sering pria itu meninggalkannya seorang diri di bawah pengawasan dokter dan suster rumah sakit dengan alasan dia memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Entah bagaimana Armita masih tidak bisa mempercayai pria ini. Satu-satunya orang yang bisa dia percaya saat ini hanyalah adiknya, Anindya. Itu pun karena adiknya itu masih berusia tujuh belas tahun, seumuran dengan usia mentalnya saat ini, membuatnya merasa memiliki teman.
"Dokter bilang udah boleh?" Armita menoleh ke atas membuatnya tanpa sadar begitu dekat dengan wajah suaminya. Wajahnya memerah karena malu. Walaupun menyebalkan, pria itu lumayan juga, tidak seburuk kesan pertama yang ia miliki walaupun masih mencurigai pria itu.
"Dokter bilang mungkin kamu akan lebih mudah mendapatkan ingatanmu kembali bila kamu berada di dalam lingkungan yang familier."
"Oke." Armita mengangguk, tangan kanannya sibuk menusuk buah melon lalu mengunyahnya.
Lagi-lagi Ezra mengerutkan keningnya, melihat bagaimana wanita itu begitu penurut dan tidak keras kepala akhir-akhir ini membuatnya diam-diam berharap Armita kehilangan ingatannya selamanya.
"Lebam di wajahku udah berkurang kan?" Armita bertanya kepada Ezra, pria itu menatapnya sesaat, memperhatikan wajahnya lalu mengangguk. "Baguslah, kalau nggak orang-orang nanti kira aku masuk rumah sakit karena KDRT." Armita berhenti mengunyah lalu menyerang Ezra dengan sebuah pertanyaan yang tentu saja membuat siapa pun yang mendengarnya bisa kena serangan jantung. "Apa jangan-jangan aku nggak kecelakaan tapi kamu KDRT makanya masuk rumah sakit?" Tuding Armita.
"Bercandamu tidak lucu." Ezra mendelik kesal, orang-orang yang mendengar pertanyaan wanita itu akan mengira dia benar-benar telah menghajarnya hingga hilang ingatan dan masuk rumah sakit.
"Ya kan siapatahu karena itu aku minta cerai dari kamu." Armita mengangkat bahunya. Dia masih kehilangan ingatannya, tidak ada sekelebat memori apa pun yang lewat di bayangannya seperti film-film yang ia tonton tentang amnesia membuatnya semakin mencurigai berbagai hal yang terjadi di sekitarnya.
"Aku pastikan aku tidak pernah menyentuhmu sedikit pun yang membuatku layak masuk ke penjara, Mita." Ezra menjelaskan dengan sabar. "Dokter bilang kamu sudah bisa pulang nanti sore, aku bawain baju kamu ke sini, kamu ganti, sementara aku urus administrasinya di bawah."
"Oke." Armita mengucapkannya sambil lalu, matanya menatap layar televisi yang ada di hadapannya. Dia benar-benar telah loncat ke sepuluh tahun ke depan, siapa yang menyangka dalam sepuluh tahun ada banyak perubahan yang terjadi di masa depan, bukan hanya ponsel yang berubah, dari trackball ponsel berlogo buah, hingga kini digantikan oleh ponsel berlogo buah lainnya.
"Ini baju kamu." Ezra menyerahkan selembar pakaian berikut sepatu dan dalamannya. Ia memperhatikan ekspresi istrinya yang masih tampak memperhatikan layar televisi.
"O-oke." Armita melirik sesaat ke arah baju itu lalu mengernyitkan keningnya melihat sebuah gaun selutut bermotif bunga-bunga dengan nama brand terkenal. Ada dua hal yang ganjil dari pakaian itu, pertama, brandnya, Armita sepuluh tahun lalu sangat menyayangi uang hingga tidak mungkin membeli satu baju dari brand ternama yang harganya tiga hingga lima kali lebih mahal dari pakaian normal. Kedua, modelnya, dia tidak pernah suka model pakaian seperti itu. Tidak hanya karena itu gaun pendek, tetapi kerah dadanya lebar sekali sehingga menunduk sedikit saja dadanya bisa tumpah ruah. "Apa nggak ada baju lain?"
"Ini pakaian yang sering kamu pakai." Ezra mengawasinya.
"Ini seksi sekali." Armita menolak menggunakan pakaian itu. Lebih baik dia pulang dengan pakaian rumah sakit daripada memakai baju seseksi itu.
"Aku nggak bawa baju lain, Mita. Kamu pakai itu, nanti aku pinjemin jaket." Mau tak mau Armita mengangguk setuju ketika Ezra menyerahkan jaketnya yang kebesaran untuk dipakai wanita itu. "Kamu ganti baju, aku urus administrasi."
***
Armita menggigiti kukunya gelisah, dari hari pertama dia di rumah sakit hingga hari terakhir dia pulang, hanya ada dua orang yang selalu berada di sisinya, kalau bukan Anindya, maka Ezra. Baik ibunya atau pun pria yang katanya ayah tirinya itu tidak pernah datang menjenguk.
Armita melirik pria yang duduk di sebelahnya gelisah, setiap jalan yang dia lewati tidaklah familier baginya. Rumah sakit adalah satu hal lain, tetapi kota ini, jalanan ini, perumahan yang mereka lewati, tidak ada yang ia kenali baik saat ini atau pun sepuluh tahun lalu. Rasa curiga kembali menyeruak.
"Kamu udah urus asuransi buat ambil barang-barangku di mobil kan?"
"Udah." Ezra mengangguk, tangannya dengan lihai memutar kemudi mobil hingga mereka masuk ke salah satu perumahan mewah yang asing baginya.
"Ini di mana?"
"Rumah."
"Rumah siapa?" Armita mencecar.
"Rumah kita." Ezra menoleh, melihat istrinya dan menyadari kuku wanita itu yang rusak karena digigiti. "Berhenti, Mit." Ezra menarik tangan wanita itu, menyadari kegelisahannya yang memuncak.
"Kenapa di sini? Anin bilang aku punya rumah lain yang nggak sama kamu."
Ezra menegang, suaranya terdengar dingin ketika menyahut. "Oh, Anindya bilang begitu?"
Menyadari suara Ezra yang terdengar dingin dan mengambang, buru-buru Armita menambahkan. "Wajar kalau kita pisah rumah, kan kita juga udah mau pisah."
"Anin bilang nggak rumah kamu yang satunya di mana?"
"Nggak." Armita buru-buru menggeleng. "Tapi aku mau di rumah itu aja, aku nggak mau tinggal di sini."
"Kenapa nggak? Karena ada aku?"
Pertanyaan itu menohok, membuat Armita merasa bersalah bila menjawab iya. Dia memang tidak ingin tinggal di rumah itu karena ada Ezra di dalamnya, lagipula mereka sudah diambang perceraian, bukan? Seharusnya tidak ada masalah bila dia kembali ke rumah lain dan berpisah dengan pria itu sesegera mungkin.
"Mit," Ezra memanggilnya lembut, suaranya yang selembut beledu entah kenapa membuat Armita merinding, sebuah alarm berbunyi nyaring di kepalanya. "Daridulu yang mau pisah itu kamu. Aku nggak mau pisah."
"Tapi aku—"
"Mungkin kamu amnesia supaya kamu bisa belajar."
"Belajar apa?"
"Belajar memperbaiki hubungan kita. Beri kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita ini, Mit."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top