25. Ibu

"Belajar memperbaiki hubungan kita. Beri kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita ini, Mit."

Armita memperhatikan gerak bibir pria itu, matanya mengerjap sesekali, tidak bisa menjelaskan fenomena apa yang tengah ia rasakan saat ini. Suara pria itu terdengar mengambang di kepalanya yang seolah-olah tengah berada di dalam air sekarang. Tidak begitu jelas, samar-samar, seolah dia pernah mendengarkan hal yang serupa, tetapi dari orang yang berbeda.

"Mita?" Ezra memanggil namanya, menariknya dari dalam air hingga saat ini dia kembali duduk di dalam mobil di depan sebuah rumah mewah yang tidak familier untuknya.

"Hm?" Mita kembali mengerjapkan matanya.

"Kamu mau kan memperbaiki hubungan kita?"

Armita menggeleng. "A-aku masih .... " Tujuh belas tahun, tetapi itu usia mentalnya, saat ia terakhir membuka matanya dan mengingat segala memorinya. Saat ini dia berusia dua puluh tujuh tahun, Anindya bukan lagi bocah tujuh tahun yang senantiasa dia gendong dulu, ibunya juga tidak lagi bekerja setengah mati dan hanya pulang ketika malam telah larut, dia juga sudah menikah dan tinggal di rumah semewah ini. "Aku masih belum siap." Armita menyelesaikan perkataannya. "Kamu tahu kan, baru beberapa minggu lalu aku kecelakaan, kehilangan memori, nggak ingat siapa kamu, aku juga nggak tahu kenapa aku minta pisah dari kamu, pasti semua ada alasannya."

"Mita." Armita memicingkan matanya, dia masih mencurigainya. "Seenggaknya kasih aku kesempatan sampai memorimu kembali ya?"

Ragu-ragu Armita mengangguk, ini pilihan yang bijak, lagipula hanya dia yang ia kenali di dunia asing ini. Dengan Ima, Naya, dan Risma yang menghindarinya, dia harus tahu apa yang terjadi selama sepuluh tahun ia kehilangan memorinya, apa yang terjadi kepada keluarganya hingga kenapa dia jadi seperti ini. "Oke."

Ezra tersenyum puas. "Ayo." Pria itu mengajaknya keluar dari mobil, memasuki rumah mewah berukuran besar yang ada di deretan perumahan itu. 

"Kerja kamu apa?" Armita memandang segala penjuru rumah, kagum. Desainnya minimalis di dominasi warna putih dengan aksen kayu, membuatnya bertanya-tanya apa yang telah pria ini kerjakan hingga mampu membeli rumah seperti ini.

Ezra terdiam cukup lama sebelum menjawab. "Project management."

"Oh ya? Di bagian apa? Project manager itu jobdescnya apa aja?" Armita tidak berhenti bertanya, setiap hal yang orang kerjakan tentu saja menarik baginya, membuatnya teringat seharusnya dia masuk kuliah dan menikmati kuliahnya, tidak melewatkan sepuluh tahun dalam sekali kejapan mata.

"Kamu pasti capek, istirahat dulu." Ezra mengantarnya hingga ke depan pintu yang ia duga sebagai kamarnya, di tangan pria itu ada sebuah duffel bag berisi perlengkapan dan obat-obatan yang dibawa dari rumah sakit. "Di rumah ini ada pembantu, tapi cuma dari jam delapan sampai jam tiga sore aja. Habis itu Mbak Ani pulang. Selama aku kerja, yang temanin kamu di rumah ini itu Mbak Ani." Dengan lihai Ezra mengalihkan perhatiannya, pria itu mengatur obat-obatannya di atas nakas, sebagian lagi diatur di atas meja rias bersebelahan dengan sebagian kosmetik yang tertata rapi di atas meja.

Armita berdiri mematung di depan pintu kamar, melihat pria itu merapikan barang-barang yang mereka bawa dari rumah sakit, rumah ini familier bagi pria itu, tetapi tidak baginya. Dia melihat deretan kosmetik yang tertata rapi di atas meja, berusaha menerka apa dia menggunakan komestik itu atau tidak.

"Pakaian kamu ada di sini, kamar mandinya sebelah sini, aku siapin ember kecil di sisi kasur kalau kamu muntah tiba-tiba." Ezra menjelaskan kembali.

"Kamu tidur di mana?" Armita bertanya tiba-tiba ketika melihat deretan pakaian perempuan yang bersebelahan dengan deretan pakaian laki-laki di sebuah lemari yang lebarnya satu dinding itu. Dia tidak nyaman tidur di sisi pria itu, walaupun mereka tidur dalam ruangan yang sama saat pria itu menjaganya di rumah sakit, tentu saja berbeda dengan bila mereka tidur di satu kasur yang sama.

"Aku akan tidur di kamar tamu." Ezra menjawab singkat ketika melihat ekspresi istrinya itu. "Kamar tamunya di sebelah kanan ujung sana, kalau kamu butuh apa-apa kamu bisa ke aku."

Ezra memperhatikan setiap sudut ruangan lalu mengangguk, dia sudah menjelaskan berbagai hal penting yang perlu diketahui oleh wanita itu. "Aku pesan makan malam, kamu mau makan apa?"

"Terserah, aku makan apa aja." Armita bukan seseorang yang pemilih, dia akan makan apa saja sepanjang makanan itu layak untuk dimakan.

"Yakin? Kamu biasanya pilih-pilih makanan, mau aku pesanin bubur lagi?" Armita mengernyitkan keningnya, semakin lama dia semakin tidak mengerti siapa sosok yang Ezra tuduh sebagai dirinya.

"Terserah."

Ezra mengangguk lalu meninggalkannya seorang diri di dalam kamarnya yang katanya sempat mereka bagi berdua. Armita duduk di atas kasur, matanya melihat ke lemari yang besarnya nyaris memenuhi satu dinding. Dia bergerak mendekat, melihat tumpukan baju wanita yang katanya miliknya. 

Satu demi satu pakaian itu dia buka, mencari pakaian yang cukup layak ia gunakan untuk tidur, tetapi satu pakaian dan pakaian lainnya tidak ada bedanya dengan baju yang sekarang ia pakai, apalagi pakaian tidurnya yang lebih mirip seperti daster menerawang tipis yang tidak bisa menyembunyikan apa pun di baliknya. Mata Armita melebar ketika mengambil selembar pakaian tidur tipis, dia mengernyit dalam, sejak kapan dia suka mengenakan pakaian seperti ini? Bahkan pakaian lainnya pun begitu, bila tidak terlalu pendek, tipis menerawang, maka belahan dadanya akan lebar sekali.

Armita merinding ngeri, dia seperti seseorang yang telah melakukan transplantasi otak daripada kehilangan ingatannya. Bahkan sifatnya pun berubah seratus delapan puluh derajat. Armita beralih ke lemari bagian pria setelah puas mengacak-acak lemari yang konon katanya miliknya. Ia mengambil selembar baju kaos milik Ezra lalu mengganti gaun yang ia kenakan saat ini, ini akan jauh lebih baik dibanding mengenakan pakaian tembus pandang seperti tadi.

Tangan Armita tiba-tiba berhenti ketika melihat laci di lemari Ezra, jiwa penuh rasa penasarannya bergejolak, diam-diam dia membuka lemari itu, bibirnya cemberut ketika tidak menemukan apa pun yang menarik selain tumpukan-tumpukan kartu nama, bon-bon tua, hingga akhirnya buku paspor atas namanya. 

Kenapa buku paspornya ada di dalam laci lemari Ezra? Wanita itu penasaran, dia membuka paspornya, melihat pas fotonya dengan make up yang lumayan tebal. Armita mengangkat alisnya tinggi ketika melihat foto itu, dia benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Jemarinya membuka-buka lembar demi lembar berisi cap perjalanan yang telah dia lakukan sebelumnya.

"Mita." Pintu yang tiba-tiba terbuka menyentaknya kaget. Ezra memanggil namanya, mata pria itu terarah ke pakaiannya yang Armita kenakan lalu kemudian ke tangan wanita itu yang memegang paspor miliknya. "Makan malamnya udah datang."

"Kok cepet?"

"Pake Gojek." Ezra masih tidak menjelaskan atau pun memarahi Armita karena membongkar laci lemarinya.

"Eh, nggak papa kan aku pakai bajumu?"

"Iya, nggak papa." Pria itu acuh tak acuh. Dia membuka bungkus demi bungkus makanan lalu meletakkannya di atas piring, kemudian menyerahkan satu mangkuk berisi bubur dengan telur berwarna hitam ke hadapan Armita.

"Gojek itu apa? Semacam abang tukang ojek?"

"Iya, aplikasi buat manggil abang tukang ojek buat beliin makanan untuk kamu." Ezra mengambil sendok dan lap lalu menyerahkannya ke Armita dengan cekatan. "Ditiup dulu, masih panas."

Armita meniup buburnya pelan-pelan lalu menyantapnya. Masih ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalanya, tetapi setelah masuk ke rumah ini, ada satu hal yang mengganggunya. Rumah ini cukup besar, bahkan lebih dari cukup untuk mereka tinggali berdua. Kenapa tidak tinggal di rumah ibunya dulu? Atau mungkin di rumah keluarga Ezra? Pria itu belum menceritakan tentang dirinya sama sekali selain menekankan hubungan mereka.

"Kita udah berapa lama menikah?" Armita bertanya tiba-tiba, membuat pria yang duduk di hadapannya itu berhenti menyendokkan nasi goreng ke mulutnya. "Dua? Tiga?"

"Hampir tepat. Kita menikah udah empat tahun."

"Keluarga kamu di mana?"

"Di depanku, kan kamu keluargaku." Ezra melemparkan gombalan yang dimentahkan oleh raut wajah Armita yang tertekuk kesal. "Di sini juga kok."

"Kok nggak tinggal bareng mereka atau sama ibu?"

"Mit, kamu yang minta kita punya rumah sendiri. Nggak sama keluarga aku ataupun keluarga kamu."

Armita bungkam, rumah ini besar tapi kosong sekali. Kenapa dia memutuskan untuk pisah dari ibu dan adiknya? Apa mereka memiliki masalah sehingga Armita memutuskan untuk keluar dari rumahnya?

"Kok Ibu nggak jengukin aku pas di rumah sakit?" Armita bertanya lirih. Dia tahu ibunya bukan orang yang senang membuang-buang waktu seperti menjaga anaknya di rumah sakit, tetapi tidak mengunjunginya sama sekali? Bukankah itu keterlaluan? Berapa minggu dia di rumah sakit, hanya ada Anindya dan Ezra, tanpa teman atau pun tanpa keluarganya.

"Papa tiri kamu yang kabarin aku kalau kamu masuk rumah sakit karena kecelakaan." Raut wajah wanita itu sedih sekali, entah kenapa membuat Ezra turut bersimpati.

"Terus?" Mata Armita tampak berkilat semangat.

"Terus aku datang dan mereka nggak menghubungiku lagi." Kilapan mata wanita itu menghilang mengikuti penjelasan Ezra. Ezra mendengkus di dalam hati. Bukankah ini tujuannya datang ke rumah sakit dan gantian menjaga wanita itu bersama adik iparnya? Karena dia tahu di saat-saat seperti ini tidak ada seorang pun yang bersedia menemaninya. Melihat wajah wanita itu yang semakin sedih, Ezra menawarkan. "Kamu mau ketemu ibumu?"

"Bisa? Kamu nggak kerja?"

"Kerja, nanti aku minta supir yang mengantar."

"Oke." Armita mengangguk semangat. Dia meniup buburnya lalu menyantapnya lebih cepat.

Ezra memperhatikan gerak-gerik wanita itu, bila dia tidak tahu usia wanita itu yang sesungguhnya berapa, sekilas Armita memang terlihat seperti gadis tujuh belas tahun. Tanpa wajah yang dipoles make up tebal dan tanpa bibir yang bersemu merah membara. Wanita itu tampak segar dan kekanakan, membuat Ezra berhenti makan dan memilih memperhatikan wanita itu lebih lama.

"Ditiup dulu." Ezra mengingatkan kembali. Wanita itu benar-benar bukan pemilih makanan, bila ini Armita yang dulu, mungkin dia akan marah karena dibelikan bubur ayam dengan telur phitan. Namun, saat ini, di hadapannya, wanita itu memakannya lahap tanpa banyak protes seperti biasanya. "What happen to you—" Ezra bergumam lirih.

"Hm?" Armita mengangkat wajahnya ketika mendengar suara Ezra yang terlampau pelan untuk ia tahu apa yang pria itu bicarakan.

"Nggak, makan aja." Ezra menyuruhnya kembali makan sebelum ikut menyendokkan nasi gorengnya dan melanjutkan makannya.

"Oh iya, besok kalau ke rumah Ibu, aku gimana?"

"Gimana apanya?" Ezra meletakkan kembali sendoknya, melihat wanita itu tidak mengerti.

"Cara hubungin kamu atau supirnya gimana."

"Oh." Mau tak mau, Ezra bangkit dari atas kursi, pria itu berjalan menuju kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah kotak berisi ponsel keluaran terbaru untuk dipakai Armita. "Pakai ini dulu, nomornya baru, di dalamnya ada nomorku, nomornya Anin, Mas Ijal supirku, dan Mbak Ani pembantu."

Armita menerima ponsel itu dengan senang hati walaupun dipenuhi keganjilan. "Kok nomornya baru?"

"Nomor yang lama ada di hp kamu yang rusak karena kecelakaan, aku nggak bisa daftarin pakai nomor itu di hp yang ini."

"Kenapa nggak?" Armita bertanya polos, meskipun dalam hati dia mencibir curiga. Padahal bila nomornya nomor lama, bisa saja ada orang-orang yang menghubungi di nomor itu sehingga dia bisa tahu siapa teman-teman terdekatnya sekarang, siapa orang-orang yang mencarinya ketika dia sakit, apa yang sebenarnya terjadi kepada dirinya selama sepuluh tahun terakhir.

"Karena hanya pemilik yang bisa mencabut nomor lama dan memasangkannya ke hp baru, Mita." Ezra berucap lelah. "Kamu makan, habisin buburnya lalu istirahat, besok kamu ke rumah Ibu."

"Ezra." Armita memanggil nama pria itu kembali. "Kalau kamu project management, kerja aku apa?"

"Akuntan di kantor ayah tirimu."

***

Harusnya Armita menyadari apa maksud Ezra ketika pria itu bilang dia bekerja di perusahaan keluarga, meskipun pria itu bukan ayah kandungnya dan dia sendiri pun tidak mengenalnya.

Seperti kata Ezra, esok harinya Armita diantar ke rumah ibunya, yang lagi-lagi terletak di daerah perumahan mewah yang ada di tengah kota, rumah yang juga asing baginya, tidak ada sejumput ingatanmu yang timbul ketika melihat rumah itu, apalagi ketika melihat wanita yang wajahnya menyerupai ibunya dengan badan yang lebih langsing dan kulit yang lebih mulus tentu saja. Bukti bila wanita itu melakukan perawatan berbiaya mahal demi mendapatkan hasil yang maksimal seperti saat ini.

"Ibu?" Mata Armita membola melihat ibunya yang tengah menikmati segelas jus jeruk dan roti tawar tanpa selai di meja makan. Satu-satunya yang membuatnya yakin itu adalah ibunya adalah mata wanita itu yang tetap terlihat lelah tidak peduli seberapa banyak tidur yang telah dia dapatkan.

"Oh, Mita?" Ibunya terlihat acuh tak acuh, masih asyik meneguk jus jeruk dan menyantap roti. "Kamu ngapain ke sini?"

Rasa sakit tiba-tiba menyerang hatinya mendengar nada suara ibunya yang begitu jelas tampak tidak peduli. "Ibu tahu aku kecelakaan?"

"Tahu, Ezra kasih tahu ke ibu."

"Kok Ibu nggak datang?" Nadanya lirih, sakit hati. Sepuluh tahun yang lalu ibunya mungkin tidak akan datang karena sibuk bekerja, bekerja untuk membayar sekolah mereka, uang makan mereka, hingga membayar rumah sakit bila dia sakit. Namun, saat ini ketika sudah mendapatkan segalanya, harta, tahta, bahkan keluarga, kenapa ibunya masih tidak datang di saat ia membutuhkannya?

"Kan sudah ada Ezra dan Anin."

"Tapi kan—"

"Mita, berhenti bersikap kekanakan, kamu sudah dua puluh tujuh. Ada apa sih sama kamu ini?!" Ibunya memotong perkataannya, matanya mendelik marah. Sikap dan perkataan ibunya sudah menjadi petunjuk jelas bila wanita paruh baya itu tidak peduli, apa dia mati atau hidup, itu tidak penting. Armita tidak mengerti, daridulu ibunya memang sibuk dan tidak memiliki waktu untuk sekedar menemaninya, tetapi hingga tidak peduli anaknya yang nyaris mati dan tidak tahu anaknya kehilangan ingatan seperti saat ini? Ini adalah hal baru baginya.

"Nis, kenapa sih ribut pagi-pagi?" Suara seorang pria kebapakan yang tengah memasang dasinya membuat Armita tersentak. Jadi ini pria yang merupakan ayah tirinya? "Oh, ada Armita?"

Memori pertama tiba-tiba menerjangnya bagaikan tsunami yang menghantam tubuhnya ketika mendengar suara pria itu.

"Oh, jadi ini yang namanya Armita?" Pria itu tersenyum kebapakan kepadanya. Armita tersenyum kecil, ia merasa canggung ketika menemui pria yang konon ibunya ingin nikahi ini. "Sekarang Mita sudah kelas berapa?"

"Kelas tiga, Om."

"Kuliah nanti mau jurusan apa?" Armita menggeleng, bayangan kuliah masih jauh daripada apa yang bisa ia gapai saat ini. "Ambil akuntansi gimana? Biar nanti kerja di kantor om."

Memori itu datang dan berakhir begitu saja, membuat Armita sontak berjalan mundur ketika melihat Om Heru, laki-laki yang merupakan ayah tirinya sekaligus atasan di kantornya.

"Mita, kata Ezra kamu masih sakit."

"I-iya, Om." Armita mengangguk ragu, entah kenapa rasa takut menjalari tubuhnya. Dia takut kepada pria ini, tetapi kenapa? Dia tidak tahu.

"Nggak papa, ambil istirahat sebanyak-banyaknya, kamu bisa masuk kantor kalau sudah sembuh betul." Tidak ada yang salah dari perkataan ayah tirinya itu, senyumnya ramah, tatapannya kebapakan.

"Armita sudah mau pulang." Ibunya tiba-tiba mengumumkan. "Iya kan, Mit?" Cemburu, itu tatapan yang ibunya berikan kepadanya. Ibunya cemburu kepadanya. Itu bukan tatapan seperti seorang orang tua yang tengah melihat anaknya, tetapi tatapan perempuan yang melihat saingannya. Om Heru setidaknya seumuran dengan ibunya, di awal lima puluhan.

"Iya." Armita mengangguk, kakinya ingin cepat-cepat pergi dari rumah ini.

"Kenapa buru-buru, sudah lama kamu tidak ke sini?" Om Heru mencegatnya, tatapan sinis ibunya menusuknya.

"A-aku ada janji dengan teman." Mita beralasan.

"Dengan siapa? Jangan bilang dengan Radi, apa Ezra tahu kamu masih ketemu sama dia?" Radi? Siapa lagi itu? Armita tidak tahu, jadi buru-buru dia menggeleng sebelum ayah tirinya itu bertanya lebih lanjut.

"Nggak usah ditahan, biarin aja dia pulang. Aku kira kamu udah mau berangkat ke kantor, ngapain masih di sini?" Ibunya menahan lengan suaminya. Tangannya menggapai kerah kemeja suaminya, merapikannya, lalu memasangkan dasi yang masih setengah jadi ini.

"Aku pamit dulu." Armita buru-buru pamit ketika dua orang itu tengah sibuk. Kakinya berjalan cepat melewati taman yang luas hingga akhirnya masuk ke dalam mobil. Keringat dingin membasahi tengkuknya, napasnya memacu, tangannya gemetaran. Apa itu tadi? Apa yang terjadi di dalam sana? Armita melihat rumah itu sekali lagi lalu meminta Mas Ijal untuk segera berangkat. Ada yang tidak beres dengan orang-orang yang di sekelilingnya, bahkan Mita pun yakin, ada yang tidak beres dengan Armita yang berumur dua puluh tujuh tahun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top