24. Apartemen

Datang ke rumah ibunya tidak membuka tabir misteri yang menggelayutinya, melainkan menambahkanya. Memori yang datang tentang ayah tirinya tidak bisa dikatakan buruk ataupun baik, biasa saja, tidak ada yang mencurigakan, selain tentu saja rasa takut yang tiba-tiba menghantamnya seolah-olah seluruh organ tubuhnya, selain otaknya, tahu bila dia harus segera pergi dari tempat itu.

Apa yang terjadi? Armita menggigiti kukunya gelisah. Kuku yang tadinya rapi terpotong berpoles kuteks merah itu telah tiada, tergantikan oleh kulit yang terkoyak akibat ia terus menerus menggigitnya.

"Mau kemana lagi, Bu?" 

"Pulang."

"Ke rumah ibu dan bapak atau apartemen, Bu?" Selain Anindya dan Ezra, sepertinya tidak ada lagi orang yang cukup peduli dia kehilangan ingatan, bagi orang lain sepertinya dia hanya terkena kecelakaan biasa yang menyebabkan tangan kirinya retak hingga harus digips.

"Apartemen?"

"Siap, Bu." Kalimat tanda tanya Armita dianggap sebagai perintah oleh Mas Ijal sehingga pria itu membawanya lagi-lagi melewati jalanan yang tidak familier baginya, mobil demi mobil lalu lalang melewatinya, semuanya baik-baik saja sebelum sebuah truk besar berada di hadapan mobil yang mereka tumpangi. 

Sontak saja Armita melindungi kepalanya, bayangan kecelakaan nahas malam itu terputar. Mobilnya berguling beberapa kali setelah menabrak pembatas jalan, untung saja ia mengenakan sabuk pengaman hingga masih terikat sempurna di kursinya.

"Mit, Mita! Sadar, Mit!" Suara seorang pria memanggil namanya, itu bukan Ezra, Armita menyadari. "Mita! Please, Mit." Pria itu berteriak, menggedor pintu mobilnya yang terkunci. Kenapa dia bisa berada di sana di saat ia kecelakaan?

"Sudah sampai, Bu." Mas Ijal yang seolah tidak menyadari wajahnya yang pucat pias bersimbah keringat dingin akibat memori kecelakaannya memanggil namanya, menyadarkannya kembali. "Ibu mau ditungguin atau saya pulang duluan?"

"Tunggu aja." Armita tidak yakin dia bisa menerima memori lain lagi setelah berturut-turut mendapatkan memori yang aneh seperti pagi ini.

Armita turun dari mobil lalu bergerak ke lobi, sayangnya, begitu tiba di bagian resepsionis dia baru menyadari kalau dia tidak tahu di mana letak apartemennya, dia juga tidak bisa melewati palang pembatas yang hanya bisa dibuka dengan kunci khusus.

Mengandalkan rasa percaya dirinya dan berusaha meniru Armita dua puluh tujuh tahun, Mita memberanikan diri berjalan menuju meja resepsionis dan tersenyum kepada pria yang duduk di belakangnya.

Seorang pria muda berpakaian sekuriti tampak balik menatapnya dari belakang meja resepsionis, seorang wanita muda di sebelahnya terlihat tengah mengetik serangkaian kata di komputer yang ada di hadapannya.

"Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Pria itu menyapanya, terlihat tidak mengenalnya. Armita menjadi gentar, ia ragu bisa melewati palang pembatas itu.

Wanita yang berada di sebelahnya tiba-tiba mengangkat kepala lalu menatap Armita. "Loh, Mbak Mita?"

"Haha, iya." Armita tertawa canggung. "Kunci apart gue ketinggalan, bisa bantu masuk nggak?" Armita melirik papan nama yang tersemat di dada wanita itu. Rissa. Armita menyimpan namanya di dalam hati.

"Bisa, bisa." Rissa bangkit berdiri. "Temen mbak yang cowok itu mana? Dia punya kunci cadangannya kan?"

"Hah?" Armita bengong sesaat. 

"Iya, Mbak. Soalnya aku cuma bisa bantuin sampai depan apart aja, nggak bisa sampai dalamnya, kan nggak punya kunci." Dengan kartu universal yang ada di tangan Rissa, Armita berhasil melewati palang pembatas, Rissa mengikutinya dari belakang sebelum masuk ke dalam lift dan lagi-lagi menggunakan kartu itu untuk menekan tombol lantai. Armita memperhatikan gerakannya, takjub karena apartemen ini memiliki pengamanan yang cukup ketat.

Suara tunggu di lift dan aromaterapi yang sesekali menyerbak dari penyemprot di atas pintu lift menggantikan rasa sesak yang sempat ia rasakan. Dia masih tidak familiar dengan tempat ini atau pun Rissa, semuanya terasa ganjil.

Lift terhenti, Rissa membawanya hingga ke depan sebuah pintu apartemen dengan angka 2023 di depannya. "Mbak belum hubungin temannya itu?"

"Nanti aku hubungi." Armita tersenyum canggung.

"Oke deh, Mbak." Rissa meninggalkannya seorang diri di depan pintu apartemen. 

Armita mondar mandir gelisah di depan pintu itu, apa yang harus dia lakukan sekarang? Begitu dekat sekaligus begitu jauh. Dia ada di depan pintu apartemen, tetapi jelas saja tidak bisa membukanya. Tangannya bolak balik ia remas dan regangkan, berusaha menekan dirinya sendiri agar tidak menggigiti kuku tangannya.

Armita mengambil ponselnya, melihat dua nomor yang tertera di sana, Ezra dan adiknya, Anindya. Ezra sudah jelas tidak bisa ia harapkan, ada alasan kenapa dia meminta cerai dari pria itu. Apa yang dia lakukan selama beberapa hari terakhir tidak bisa menghapus kecurigaannya begitu saja, dia masih pria asing yang berusaha merangsek masuk ke dalam kehidupannya.

Selain Ezra, hanya ada nama Anindya di ponselnya. Armita melihat jam yang tertera di layar ponselnya, apa adiknya masih bersekolah saat ini atau dia beristirahat? Armita mempertimbangkannya sesaat sebelum menekan layar dan menunggu adiknya mengangkat teleponnya.

"Halo, ini siapa ya?" Anindya berbicara dengan nada pelan, latar suara berisik di belakangnya terdengar jelas.

"Nin, ini Kak Mita. Kamu masih di sekolah, Nin?"

"Iya, kenapa Kak Mita telepon?" Armita merasa bersalah karena mengganggu adiknya, tetapi rasa penasarannya ini tidak bisa ditahan lagi, jadi ia memutuskan tetap bertanya selagi adiknya belum memutus sambungan teleponnya.

"Kamu tahu kan apartemen kakak di mana?"

"Iya."

"Kamu tahu kuncinya di mana?"

"Ya nggak tahulah kak. Kan kakak yang selalu bawa kuncinya." Armita mengembuskan napas kecewa, tahu bila mungkin perjuangannya hari ini hanya akan berakhir di depan pintu apartemennya tanpa bisa ia masuki. "Kakak di mana sekarang?"

"Di apartemen." Armita menekan tombol lift. Dia sudah tahu lokasi apartemennya, mungkin lain kali ia akan datang lagi dengan membawa kunci dan kartu apartemennya.

"Loh, Kak Ezra tahu nggak kalau Kak Mita ke sana?" Anindya bertanya bingung.

Armita menggeleng, sadar bila adiknya tidak akan bisa melihat gelengan kepalanya, Armita menjawab dengan nada lelah. "Nggak Nin. Ezra nggak tahu gue ke sini. Kenapa emangnya?" Armita masuk ke dalam lift lalu menekan tombol lantai terendah, tempat lobi masuknya tadi. "Halo, Nin?" Sambungan teleponnya terputus. Armita melihat garis jaringan yang tidak bersisa, pertanda sambungan terputus karena jaringannya yang jelek, bukan karena Anindya yang mematikannya terlebih dahulu.

Mau tak mau Armita menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. Dia melangkah lunglai ke meja resepsionis sebelum matanya terarah ke sosok pria yang berada di depan meja itu. "Ezra?"

"Mit." Tatapan Ezra tidak terbaca, ada ada lelah di nada suaranya, tetapi wajah pria itu lebih seperti tengah menilainya. "Mas Ijal udah pulang duluan, kamu balik sama aku."

Armita tidak mengerti kenapa Ezra tiba-tiba bersikap seperti ini, tidak tertebak dan jauh lebih dingin daripada biasanya. Ia mengangguk lalu mengikuti Ezra yang jalan jauh lebih cepat.

"Mita," Ezra memanggil namanya. Armita menengadahkan kepalanya, tidak tahu bagian mana lagi yang salah sehingga merasa dirinya akan dihukum oleh pria itu. Ezra melihat wajah wanita itu, terpaku. Tidak menyangka bila seorang Armita bisa mengeluarkan ekspresi semacam itu di wajahnya, jauh berbeda dengan wanita yang selama beberapa tahun ini mengarungi biduk rumah tangga bersamanya. "Ayo, jalannya cepetan." Ezra mengembuskan napas panjang lalu menggenggam tangan istrinya itu dan mengajaknya berjalan lebih cepat menuju parkiran di mana mobilnya sudah terparkir dengan sempurna di sana.

Mita menghela napas, ia melihat Ezra membuka pintu lalu mempersilakannya masuk terlebih dahulu sebelum menyusul ke kursi di belakang kemudi. "Kata Mas Ijal kamu biasanya pulang tengah malam. Kok kamu ke sini?"

Ezra melirik sesaat ke istrinya itu sebelum memutar mobil menjauhi apartemen. "Oh, Mas Ijal bilang kayak gitu?" Ezra bertanya kembali membuat Armita menyadari satu hal dari pria itu. Ezra tidak pernah benar-benar menjawab pertanyaannya, pria itu akan bertanya ulang hingga dia melupakan apa inti pertanyaannya yang sebenarnya.

"Iya." Armita menjawab pelan, sudah bisa menebak apa yang akan Ezra tanyakan berikutnya alih-alih menjawab pertanyaannya.

"Kenapa tiba-tiba tanya ke Mas Ijal kapan aku pulang?" Tuh, benar saja, Ezra menjebaknya kembali dengan pertanyaan lain yang tentu saja membuat Armita menekuk wajahnya.

Armita terdiam, dia enggan menjawab pertanyaan pria itu sementara Ezra diam saja, terlihat tidak begitu peduli bila pertanyaan basa-basinya dijawab atau tidak.

"Eh, itu apa?" Armita menoleh ke belakang, melihat sebuah kotak kue berukuran besar dengan hiasan pita berwarna pink terang. "Kue? Untuk aku?" Armita bertanya, berharap.

Ezra melirik kotak kue yang berada di bangku belakang mobilnya. Seharusnya kue itu untuk ibunya yang saat ini tengah mengadakan arisan ibu-ibu sosialita di rumah orang tuanya, tetapi karena keberadaan Armita yang tiba-tiba saja sudah ada di apartemen sontak Ezra memutar mobilnya berbalik arah ke apartemen milik wanita itu.

Armita masih menunggu, dia hendak meraih kotak yang berada di bangku belakang itu dan melihat apa isinya, tetapi tentu saja dia tidak bisa melakukannya tanpa persetujuan si empunya kotak.

"Iya, ambil aja." Ezra memutar mobilnya kembali, entah bagaimana dia memilih untuk mengambil jalan yang lebih jauh menuju rumahnya. Hujan rintik-rintik perlahan turun membasahi permukaan tanah, AC mobil yang dingin berembus kencang, melihat Armita yang suka mengenakan pakaian kurang bahan, tanpa sadar Ezra menaikkan suhu mobil agar lebih hangat.

"Asyik. Buat aku kan?" Armita menjulurkan tubuhnya ke belakang, sebagian roknya tersingkap memamerkan pahanya, Ezra pun menahan napas saat merasakan rambut dan payudara wanita itu tanpa sengaja bergesekan dengan lengannya.

"Hati-hati, Mit." Ezra memperingatkan. Wanita itu hanya nyengir lebar sembari memangku kotak berhias pita pink itu. Pahanya tertutupi oleh kotak pink, Ezra berusaha mati-matian untuk kembali fokus menyetir.

"Kok belinya banyak sekali?" Armita melihat kue itu satu per satu, yang mana yang bisa dia santap terlebih dahulu? Pilihannya jatuh kepada sebuah kue berhias stroberi yang terlihat menggiurkan. Tidak pernah rasanya dia mencoba kue secantik ini di dalam hidupnya.

"Kamu suka makanan manis?" Ezra mengernyitkan keningnya, semakin lama wanita ini semakin tidak ia kenali. Armita yang ia tahu akan minum dua cangkir kopi setiap hari, pagi dan malam. Nyaris tidak pernah ia melihat wanita itu menyantap kue dengan bebas seperti saat ini karena Armita yang dia tahu terlalu menjaga berat badannya.

"He'eh." Armita bergumam, tangannya sibuk memotong dan menyendok kue stroberi itu.

Ezra melirik wanita itu sesaat, ia mengetuk-etukkan jemarinya di permukaan kemudi, berpikir sejenak sebelum bertanya. "Kenapa Mas Ijal antar kamu ke apartemen?"

"Mas Ijal tanya, mau ke rumah atau apartemen." Armita terlalu sibuk memakan kue, hingga dia sendiri pun tidak sadar ekspresi yang tengah Ezra bentuk di wajahnya. "Aku bilang aja apartemen."

"Kenapa?"

"Mau tahu doang." Armita menjawab sekenanya, tidak perlu menjelaskan lebih lanjut kenapa dia sampai memutuskan untuk tetap lanjut naik ke atas apartemen walaupun tidak memiliki kunci. "Oh, sekalian nyari baju juga, siapatahu bajuku banyakan ada di apartemen."

Ezra kembali memperhatikan baju yang wanita itu kenakan. Sebuah gaun berlengan panjang tetapi memiliki rok yang berukuran pendek, seingatnya wanita itu sudah menyingkirkan pakaian itu jauh sebelumnya. Baju yang tidak lagi trend selalu disingkirkan wanita itu dengan mudah. Manusia dan gaun, sama saja di mata wanita itu, dia selalu bisa menyingkirkan apa saja dengan mudah. Namun, anehnya kali ini dia lebih tertarik mengenakan gaun tua itu dibanding pakaian-pakaian lainnya yang jelas lebih baru dan trendi.

Armita tidak terlihat seperti hari-hari biasa sebelum kehilangan ingatan, lebih tertutup, tetapi entah kenapa masih tidak bisa menyembunyikan aura sensual yang wanita itu miliki.

"Nanti aja kita beli baju." Ezra memutuskan.

"Hm." Armita mengangguk, dia mengambil sepotong kue lagi, sebuah eclair berlumur cokelat dengan vla vanilla bercampur rum di dalamnya. "Enak." Wanita itu bergumam, dia menjilat cokelat yang mengotori jemarinya. 

Ezra mengernyit, ia mengambil sebuat tissue lalu menyerahkannya ke wanita itu. "Jangan dijilat, jorok, pakai ini." Seluruh inti tubuhnya menegang sekarang, sementara Armita sendiri tampak tidak menyadari apa efek yang telah ia berikan kepada pria itu. 

Ezra mendengkus gusar di dalam hati, wanita itu tengah kehilangan ingatannya dan dia adalah laki-laki brengsek yang tengah memperdaya wanita itu. Ezra memutar mobilnya menuju rumah sembari mencatat di dalam hati, ada beberapa hal yang perlu ia perbaiki. Satu keteledoran akan membawa keteledoran-keteledoran lainnya. Rencana yang tengah ia susun baik-baik di dalam hati bisa runtuh begitu saja.

"Oh, udah sampai." Armita mengelap tangannya dengan tissue sembari merapikan kotak kue yang berada di pangkuannya. Sudah ada tiga potong kue yang berhasil dia santap, dia tidak sabar kue-kue apa lagi yang bisa ia cicipi nanti. Wanita itu tersenyum kecil sembari mengikat kembali pita pink kotak kue dengan rapi.

Ezra mengernyitkan keningnya melihat mobil hitam yang terparkir di depan rumahnya. "Jangan turun dulu, Mit." Ezra menahan lengan Armita yang hendak turun melawan gerimis.

"Kenapa? Hujannya ringan aja kok, kalau lari nggak bakal basah." Armita tersenyum. Wanita itu mengabaikan perkataan Ezra, ia membuka pintu, lalu menggunakan tangannya sebagai payung kemudian berlari kecil menuju teras.

Baru sebentar ia berdiri di sana dan memanggil Ezra dengan tangannya, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya datang menghampirinya lalu melayangkan sebuah tamparan ke wajahnya. Armita terpaku, tidak menyangka akan ada manusia yang tanpa angin, tanpa hujan--ah, dengan hujan--tiba-tiba datang dan melayangkan sebuah tamparan bersuara keras ke pipinya.

"Mah," Ezra berlari menghampirinya. Rambutnya basah terkena air hujan sementara mereka bertiga masih berdiri di teras.

Armita masih terpaku, kue di tangan kanannya, sementara tangan kirinya terbalut gips, tangan mana yang bisa menahan pedihnya tamparan di pipinya? Dia bingung. Apa yang telah dia lakukan hingga layak mendapatkan tamparan semacam itu di pipinya?

 "Dasar jalang kamu ya! Beraninya kamu masih goda-goda anak saya lagi!" Wanita itu melemparkan serentetan caci maki yang lewat begitu saja di telinganya. Badan Armita membeku, baru saja pagi tadi ibu kandungnya melemparkan tatapan benci kepadanya, lalu sekarang seorang wanita yang tidak ia kenali menamparkanya dan memberikan serentetan caci maki tanpa henti.

"Mah, udah mah." Ezra berusaha menenangkan wanita paruh baya itu.

"Ibu kamu?" Armita bertanya lirih. Ezra mengangguk tipis. Armita melihat wanita paruh baya itu. "Saya pamit dulu ke atas." Ia berlalu melewati wanita itu, kotak kue yang berada di tangannya ia genggam erat-erat.

"Kurang ajar betul! Berani-beraninya dia ngelewatin mama begitu aja!" Wanita paruh baya itu berucap gusar sementara Armita masih melenggang melewati ruang tamu lalu naik ke kamarnya. "Aku minta kamu beli kue untuk arisan mama, ternyata kamu di sini sibuk sama istri kamu yang kurang ajar itu!" 

"Mah, Mita lagi sakit ma."

"Sakit apa? Kamu yakin itu bukan akal-akalannya dia aja supaya nggak jadi cerai sama kamu?!" Langkah kaki Armita terhenti di depan pintu kamar, dia tidak bisa melihat mereka berdua yang sibuk berdebat di depan pintu utama, tetapi telinganya belum tuli, dia masih bisa mendengar apa yang keduanya perdebatkan. "Kamu ngapain sih masih sama wanita seperti dia?! Dari awal mama nggak setuju kamu menikah sama Armita!"

Cukup. Sudah cukup ia mendengarkan perdebatan keduanya, dia yakin tidak ada seorang pun yang mengharapkan kehadirannya di sini. Armita menarik tuas pintu kamar lalu masuk ke dalamnya, air matanya tumpah. Ia lagi-lagi menangis sesegukkan, perih tamparan yang ibu mertuanya berikan kepadanya tidak sebanding dengan rasa kehilangan yang ia rasakan. Dia pun tidak yakin siapa dirinya di usia dua puluh tujuh ini ketika semua orang sepertinya membencinya begitu dalam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top