2. Kenyataan

Tubuh Armita meluruh, merosot turun dengan ponsel yang masih tergenggam di tangannya. Suara Radi terdengar bagai suara statis yang berada di latar, sementara kepalanya sendiri memutar berbagai suara Ezra sedari awal pria itu bertemu dengannya hingga malam kemarin di mana ia masih mendekap pria itu dan berusaha mempercayainya.

"Bila ini caramu untuk menarik perhatianku, kamu berhasil. Papa kamu menghubungiku, kamu belum mengatakan kepadanya bila kita akan segera berpisah. Kenapa?"

"Belajar memperbaiki hubungan kita. Beri kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita ini, Mit."

"Kita pulang aja ya? Rumahku, rumahmu juga."

 "We can always fix this."

Bisakah mereka benar-benar memperbaiki ini?

Armita menelungkupkan wajahnya di antara kedua lututnya yang tertekuk, tubuhnya lelah, pikirannya lelah. Semenjak terbangun di dalam tubuh dua puluh tujuh tahunnya, dia tidak pernah benar-benar beristirahat. Semuanya terasa asing, Ibunya, Anin, bahkan Ezra dan Radi, mereka semua terasa asing baginya.

Di dalam apartemen, satu-satunya tempat di mana Armita dua puluh tujuh tahun bisa menjadi dirinya sendiri, Armita tujuh belas tahun berusaha mengistirahatkan pikirannya dan tubuhnya.

Tanpa ia sadari ia tertidur di dalam apartemennya, hingga langit yang tadinya cerah telah berubah menjadi gelap. 

Armita mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan dengan kegelapan yang menyelimuti kamarnya. Dia meregangkan badannya yang kaku, tubuhnya tersentak menyadari ada selimut yang menyelimuti bahunya. Seseorang datang ke tempat ini saat dia tertidur.

Armita bangkit. Perlahan kakinya membawanya ke ruang tamu. "Radi?" Wanita itu memanggil, tetapi langkah kakinya terhenti melihat sosok yang berada di hadapannya. "Ezra?"

"Apa kamu mau bertemu Radi di sini?" Ezra tengah membersihkan dapurnya, mencuci gelas dan piring yang tergeletak begitu saja di bak cuci. "Ini pertama kalinya aku masuk ke apartemenmu." Pria itu terus mencuci lalu mengelap permukaan meja dapur hingga mengkilat. 

Armita menahan napasnya sejenak, dia tidak tahu apa yang bisa dia katakan kepada pria itu saat ini. Matanya tertuju ke arah pisau yang berada di dekat Ezra, pikirannya berkelana. "Apa kau akan membunuhku sekarang?"

Ezra mengangkat alisnya, matanya mengikuti arah tatapan mata Armita, dia menghela napas gusar. "Aku nggak pernah berniat membunuh kamu, Mit." Ezra mengelap tangannya yang basah lalu mengusap wajahnya lelah.

"Tapi .... "

"Apa kamu lebih percaya Radi sekarang?" Ezra bertanya kepadanya. Tatapan mata pria itu terarah ke kertas yang tergeletak di meja makan. Itu surat dari Radi. Tentu saja Ezra telah membaca suratnya sebelum Armita bangun.

"Apa kamu tahu rasanya tidur di sisi orang asing, Zra?" Armita bertanya. Semua terasa asing baginya. "Tidak hanya di sisi orang asing, di tempat yang asing, di situasi yang asing, semuanya berbeda dari yang aku kenali sepuluh tahun lalu. Seharusnya aku bisa percaya kamu, Zra, tetapi aku nggak bisa menampik rasa asing yang terus menyusup ke pikiranku."

"Apa kamu merasa lebih aman berada di tempat ini?" Ezra tidak bisa menyembunyikan nada getir dan sakit hati yang keluar dari bibirnya.

"Bagaimana aku bisa percaya kamu, Zra? Kamu aja nggak mengungkapkan semua hal yang kamu tahu. Kamu menyembunyikan banyak hal dari aku!" Armita membentaknya marah. "Gimana kamu bisa masuk apartemen ini? Kunci cadangannya hanya Radi yang punya."

"Aku udah ngegandain kunci kamu sejak lama."

"Zra!" Armita membentaknya. "Apa cuma aku yang bego banget dan nggak tahu apa-apa di sini?"

"Mit, apa lagi yang ingin kamu tahu? Bukankah kita semua ingin bergerak maju dan move on dari situasi ini?"

"Is it you?" Armita berbisik lirih, berusaha mempersiapkan dirinya untuk tahu yang sebenarnya. "Apa itu kamu yang merusak mobilku?"

"Mit," Ezra memohon kepadanya saat ini untuk berhenti bertanya.

"Kenapa? Apa itu kamu? Zra, kamu ke bengkel beberapa hari sebelum kecelakaanku, kenapa?"

"Armita, kamu nggak akan siap dengerin ini."

"Aku nggak akan siap untuk tahu kalau bukan hanya ayah tiriku sudah memperkosaku? Aku nggak akan siap untuk tahu kalau sahabatku selingkuh bersama pacarku? Aku nggak akan siap untuk tahu aku hamil entah anak siapa dan nggak lama kemudian menggugurkannya? Aku nggak akan siap untuk tahu siapa orang yang ingin menyingkirkanku dari hidup ini?"

"Armita!" Ezra yang sedari tadi berusaha menahan nada suaranya tanpa sadar meninggikannya.

"Seperti yang aku duga, nggak ada seorang pun yang berharap Armita dua puluh tujuh tahun kembali."

"Mit, ini nggak seperti yang kamu pikirkan."

"Terus menurutmu apa yang aku pikirkan? Isn't it better if I'm gone?"

"No, Mit. Nggak pernah kayak begitu. Aku nggak pernah berniat membunuh kamu atau nyelakain kamu sedikit pun." Ezra bergerak mendekatinya, Armita berjalan mundur. "Mit, please."

"Sebenarnya hubungan apa yang tengah kita jalani saat ini, Zra? Apa semua ini benar-benar bisa diperbaiki?"

"Mit, aku juga punya banyak kesalahan sama kamu. Aku nggak pernah ada dan nggak pernah percaya sama kamu di saat-saat yang paling kamu butuhkan. Kalau ada orang yang perlu disalahkan, mungkin aku orangnya."

"Kenapa? Karena kamu udah mempersiapkan dokumen perceraiannya? Kamu tahu kalau sedari awal aku nggak punya siapa-siapa di sini." Sembur Armita dengan isakan. "Aku tahu Armita dua puluh tujuh tahun jahat ke kamu. Dia selingkuhin kamu, dia sakitin kamu. Tapi apa aku berhak dapat perlakuan yang sama ketika aku sendiri nggak tahu salahku apa, Zra?"

Ezra mengangguk lalu kembali bergerak mendekati Armita, kali ini wanita itu diam mematung, tidak berjalan mundur atau menjauhi pria itu. "Aku tahu, aku salah, aku minta maaf." Ezra memeluknya, mengelus puncak kepala wanita itu. "Aku salah karena pernah berpikiran jahat untuk meninggalkan kamu saat kamu lagi di posisi paling terpuruk." Ezra memeluknya erat, seolah enggan melepaskan wanita itu sedetik pun.

Armita terisak di pelukannya, ingin ia memukul pria itu, mengucapkan berbagai sumpah serapah. Namun, tidak ada satu pun yang keluar dari bibirnya selain tangisan yang membuncah.

"Aku nggak akan menyerah, Mit. Nggak kali ini." Ucap Ezra kepadanya. "Aku nggak tahu apa-apa tentang Armita dua puluh tujuh tahun, aku juga masih nggak tahu apa-apa tentang kamu." Ezra menunduk, matanya menatap kedua bola mata Armita yang berwarna kecokelatan, tangannya yang besar mengusap air mata yang membasahi pipi wanita itu. "Maaf karena aku berusaha menyembunyikan berbagai hal ini dari kamu."

"Kenapa, Zra?" Armita bertanya lirih. "Apa lagi yang kamu sembunyiin?"

"Kamu nggak pernah cinta sama aku." Ezra berbisik kepadanya. "Dan bahkan hingga sekarang pun, kamu mungkin nggak pernah benar-benar percaya sama aku, Mit."

"Aku nggak bisa percaya kamu kalau kamu nggak bilang yang sebenarnya, Zra!"

Ezra menunduk dalam, pria itu perlahan berlutut hingga hanya tangannya yang menggenggam kedua tangan Armita agar wanita itu tetap di sisinya. "Mit."

"Apa kamu tahu siapa pelaku kecelakaan itu sebenarnya?" Armita memberikan pertanyaan yang membuat Ezra memejamkan matanya. Pria itu mengangguk perlahan, membuat Armita tak mampu berkata-kata. Keheningan menyerbu keduanya, tak ada lagi tangis atau isakan, digantikan oleh keheningan pekat diikuti oleh suara detak jam yang terus bergerak. "Siapa?"

"Kamu."

"Apa?"

"Pelakunya kamu sendiri, Mit." Ezra memejamkan matanya erat. "Kamu ingin mengakhiri hidupmu sendiri."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top