19. Kerja
Armita ingin kembali hidup normal. Normal di kamusnya berarti bekerja atau belajar, dari pukul delapan hingga lima, pulang, lalu bermain sebentar sebelum beristirahat. Kemudian besoknya akan mengulangi hal yang sama.
Sayangnya, kemampuan otaknya ini terhenti saat usianya tujuh belas tahun. Artinya, meskipun Armita dua puluh tujuh tahun telah kuliah dan mendapatkan jenjang yang tinggi di kantornya, dia masih harus belajar kembali dari nol. Memulai les akunting lagi atau menyerah, duduk diam di rumah menjadi istri yang budiman seperti yang Ezra harapkan.
"Kamu yakin mau kerja lagi?" Ezra bertanya untuk kesekian kalinya.
Armita mengangguk. Entah kenapa suaminya ini seperti tidak setuju dia kembali bekerja. "Aku harus belajar lagi."
"Kamu masih sakit loh, Mit." Ezra mengingatkan, Armita mendelik curiga, tetapi tentu saja delikan mata sekaligus ekspresi curiganya itu dia simpan rapat-rapat. Sejak tahu Ezra memasang aplikasi penyadap di ponselnya, dia jadi lebih jarang menggunakan ponsel, bahkan lebih sering menelpon Anindya menggunakan sambungan telepon rumah.
"Kamu kenapa telepon Anindya terus pakai telepon rumah? Kalau pakai hp bisa video call loh." Ezra pernah bertanya suatu hari ketika mendapati istrinya selonjoran di atas sofa, tangannya memainkan kabel panjang telepon sementara kakinya yang jenjang diletakkan di atas sofa berwarna putih itu.
"Nggak ngerti pakai hp." Sebenarnya mudah saja baginya untuk belajar teknologi baru itu, tetapi demi memuluskan rencananya, Armita memutuskan untuk tidak menggunakan ponselnya itu sebisa mungkin.
Pertama, dia harus bisa lepas dari kungkungan Ezra, dan itu artinya adalah kembali bekerja, mendapatkan gaji lalu pindah sejauh mungkin. Kedua, rencana kedua ... er, Armita belum tahu. Dia sebenarnya ingin sekali mengenal apa yang terjadi pada Armita dua puluh tujuh tahun, tetapi dia lebih takut bila kebenaran tentang dirinya itu jauh lebih menyakitkan. Apa dia siap bila tahu seburuk apa dirinya dahulu hingga orang-orang membencinya? Tidak, Armita belum siap.
"Tapi aku bosan di rumah." Armita merajuk, menyadari bila Ezra lebih cepat luluh bila ia merajuk manja seperti ini. Sepertinya pria itu punya fetish aneh terhadap dirinya, Armita sadar bila Ezra cenderung lebih suka bila ia menurut, merajuk manja, atau mungkin melakukan hal-hal yang sepertinya berbanding seratus delapan puluh derajat daripada sifat asli Armita dua puluh tujuh tahun. Meski jijik dan cringe dengan dirinya sendiri setiap kali merajuk seperti itu, Armita menyadari itu adalah sebuah kelebihan yang mau tak mau harus dia lakukan.
"Kan ada Mbak Ani." Tentu saja suaminya tidak akan dengan semudah itu menerima alasannya yang jelas saja tidak masuk akal. "Kamu bisa telepon Anin dan minta dia datang ke rumah kalau bosan." Ezra menutup pembicaraan, pria itu mengambil setangkup roti, menggigitnya lalu berjalan ke arah Armita dengan dasi yang belum terikat di lehernya dan tangan yang sibuk memakai jam tangan.
"Apaan sih?" Armita mengerutkan keningnya, bingung.
"Bantuin." Ezra melirik ke arah dasinya yang masih menggantung di leher.
Armita cemberut, ia menarik dasi itu lalu memasangnya lebih dahulu di lehernya sendiri kemudian melonggarkannya dan menyerahkannya kembali ke Ezra.
Ezra selesai memasang jam tangannya, ia tersenyum sekilas melihat wajah Armita yang tampak serius memakai dasi miliknya yang pada akhirnya kembali ke tangannya sendiri. Sebenarnya mudah saja ia memasang dasi itu seorang diri tanpa bantuan istrinya itu, tetapi daripada membiarkan istrinya kebosanan menontonnya bersiap ke kantor, setidaknya ia bisa memberikan satu tugas pasangan yang tentu saja bila Armita tidak kehilangan ingatannya, tidak akan ia lakukan.
"Aku pamit dulu."
"Iya." Armita menjawab jutek, tangannya meraih remot tv dan menyalakan tv, satu-satunya hal yang bisa dia lakukan di rumah sepanjang hari.
Ezra terdiam sesaat, ia lalu mengusap puncak kepala Armita tanpa sadar. "Kamu nggak langsung kerja gimana? Les dulu."
"Beneran?" Wanita itu sontak berbalik dengan senyum merekah lebar.
"Les akuntansi." Ezra mengangguk. "Siap-siap dulu sebelum ngantor."
"Oh, oke! Makasih ya." Armita tersenyum lebar sekali, membuat Ezra sadar kalau ia malah menghancurkan dirinya sendiri dengan bersikap lemah seperti saat ini. Suatu hari wanita itu akan mengingat semuanya kembali, apakah dia siap bila saat itu tiba?
"Iya." Ezra menghela napas dalam diam-diam sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan bangunan bercat putih yang akhir-akhir ini ia sebut sebagai rumah. Sejak kapan tempat itu menjadi rumahnya? Armita atau pun dirinya tidak pernah tinggal di sana layaknya suami istri pada umumnya. Dia bahkan tidak tahu apa jawaban yang bisa dia berikan kepada Armita tiap kali wanita itu bertanya kepadanya, kenapa mereka menikah?
***
Armita menonton sebuah serial drama korea di TV besar yang ada di ruang tamu sementara Mbak Ani memasak makan malam untuknya. Manik matanya menatap serius ke arah layar yang menampilkan adegan perselingkuhan seorang pria beristri dengan wanita muda. Armita memperhatikan adegan itu dengan seksama, dia masih tidak habis pikir kenapa seseorang bisa selingkuh. Kenapa tidak menyelesaikan satu hubungan terlebih dahulu sebelum loncat ke hubungan lainnya?
Armita menarik napas panjang, mengingat dirinya sendiri, di usia dua puluh tujuh tahun pun memutuskan untuk berselingkuh dari suaminya dengan seorang pria yang merupakan suami orang pula. Kenapa?
Armita harus mengakui walaupun Ezra cenderung kaku dan mencurigakan, setidaknya tampang pria itu lumayan cenderung tampan, mengingat rumah yang ia tempati saat ini juga kehidupannya yang termasuk ke dalam kategori nyaman, Ezra punya pemasukan yang cukup dan pria itu juga bertanggung jawab. Apa jangan-jangan Armita dua puluh tujuh tahun tidak suka dengan Ezra karena pria itu mengekang dan punya fetish aneh? Mungkin saja dia punya kelainan seksual sehingga Armita ingin berpisah dengannya.
Pikiran Armita teralihkan ketika mendengar suara terkesiap dari Mbak Ani juga adegan yang kini ditampilkan di layar TV berukuran besar.
"Sepertinya orang tuamu belum tahu kamu hamil, Dakyung-ssi."
"Wah." Mbak Ani terkesiap, tangan wanita itu penuh sabun, perhatiannya seluruhnya teralihkan ke layar TV sementara air di bak cucian masih mengalir deras. Makanan telah tertata rapi di atas meja, sementara panci dan wajan sisa masak tadi masih sementara dibersihkan.
"Mbak, airnya dimatiin dulu sebelum ke sini." Armita mengingatkan. Melihat adegan yang ada di hadapannya tentu saja Mbak Ani terkaget dan segera ikut menonton di sebelahnya.
"Selingkuhannya hamil to bu?" Mbak Ani berkomentar, Armita mengangkat alisnya. Di otak dan mentalnya yang berhenti di usia tujuh belas tahun, dia tidak pernah berpikir selingkuh itu akan sejauh itu. Namun, dari hasil apa yang ia pelajari dalam waktu yang singkat ini, dia tahu, selingkuhnya orang menikah itu berbeda dengan orang pacaran. Tahap sms-an atau teleponan dengan panggilan mesra termasuk biasa, tidur bersama hingga hamil baru luar biasa.
Armita tiba-tiba merinding, dia bangkit berdiri, TV masih menyala, menayangkan adegan demi adegan yang membuatnya berpikiran negatif. Armita berjalan menuju kamar, membuka tas tangannya lalu menatap kartu nama pemberian 'temannya' itu lamat-lamat.
Setahun yang lalu dia dan Ezra berencana punya anak. Lalu apa yang terjadi berikutnya? Apa mereka gagal? Berhasil? Sampai mana prosesnya? Armita menelan ludahnya sendiri, di umur yang ketujuh belas, hal terjauh yang pernah ia lakukan bersama lawan jenis adalah berpegangan tangan. Namun, sebagai anak yang punya rasa ingin tahu tinggi tentu saja Armita mencari tahu dan tahu bagaimana seorang anak terbentuk.
Kertas putih ini seharusnya tidak menjadi apa-apa bila dia tidak menonton drama tadi. Segala pikiran buruk membayang di kepalanya, kenapa, apa, siapa, apa yang sebenarnya terjadi hingga dia berada di situasi yang seperti ini? Kepada siapa dia bisa bertanya? Anindya? Tidak, adiknya itu masih terlalu muda untuk mengerti apa yang terlintas di otaknya saat ini. Ezra? Tidak, suaminya itu terlalu mencurigakan.
Lama ia termenung ketika suara ketukan pintu terdengar, buru-buru Armita memasukkan kembali kartu nama itu di selipan dalam tasnya lalu membuka pintu.
"Mita?" Ezra melongok ke dalam kamar, keningnya mengernyit menyadari wajah pucat pias Armita juga rambutnya yang berantakan. "Kamu baik-baik aja?" Ezra melangkah maju ke dalam kamar.
Armita menegakkan badannya lalu mendorong Ezra menjauh dari kamarnya sebelum menutup pintunya. "Aku baik-baik aja." Armita menjawab singkat. "Kamu udah pulang?" Armita bertanya heran sementara kakinya melangkah terlebih dahulu ke lantai satu sementara Ezra mengekor di belakangnya.
"Aku bawa kerjaan pulang ke rumah."
Armita melirik ke arah tas berisi laptop milik Ezra, dia hanya mengangguk singkat seolah memahami apa yang Ezra maksud. Hubungan mereka ... tidakkah aneh? Bukankah pria itu bilang mereka sebentar lagi bercerai? Melihat bagaimana Ezra menarik kursi untuknya, mempersilakan dirinya duduk terlebih dahulu di meja makan lalu mengatur piring, sendok, garpu, dan gelas di hadapannya sebelum duduk di seberangnya membuatnya ragu. Pria yang awalnya terlihat begitu memusuhinya, kenapa sekarang bersikap semanis ini kepadanya?
"Jadi udah dapat les akuntansi buat aku?" Armita bertanya sambil lalu, tangannya mengambil sesendok nasi yang letaknya cukup jauh. Ezra dengan mudah mendorong periuk nasi ke arahnya.
"Belum." Ezra menjawab singkat, ia mengambil lauk berupa tempe dan sepotong paha ayam lalu meletakkannya di atas piring Armita.
Armita memperhatikan lauk yang berada di atas piringnya, Ezra selalu melakukan hal ini tanpa sadar, memberikan potongan yang Armita sukai, menyisakan bagian yang tidak ia sukai untuk pria itu makan. Seolah-olah pria itu telah mengenal Armita jauh lebih baik daripada Armita mengenal dirinya sendiri.
"Kok belum?" Rasa kesal menumpuk di dadanya, dia harus tinggal bersama pria asing ini, pria yang bahkan tidak memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat kecelakaan nahas itu. Ponselnya, dompetnya, kunci mobil, kunci apartemen, semuanya tersimpan rapi di dalam sebuah kotak pandora yang berada di dalam ruang kerjanya. Pria itu juga meletakkan sebuah alat pelacak di ponselnya. Ibunya, adiknya, semuanya terasa asing di sini. Ah, lagi-lagi ia ingin menangis dan menumpahkan segala kekesalannya.
"Mit, tangan kamu belum sem .... " Ezra menghela napas panjang, ia melihat Armita hanya memainkan makanannya, menggeser ke sana ke mari. Tiba-tiba ia teringat peristiwa beberapa hari lampau, saat Armita menangis sesegukkan dan ingin pulang ke rumah lamanya. Sementara rumah lama itu telah tiada, digantikan oleh bangunan baru yang jelas jauh berbeda dari sebelumnya. "Kenapa terburu-buru?" Ezra mengalihkan pertanyaan.
"Aku mau kembali ke tempatku."
"Tempat kamu?"
"Iya, tempat aku di sini itu apa, Ezra?" Armita nyaris berteriak sekarang. Mbak Ani diam-diam menyingkir dan pamit pulang sebelum percakapan mereka meledak ke arah yang lebih buruk.
"Kamu istri aku, kakaknya Anindya, anaknya mama kamu." Ezra menjelaskan dengan sabar dan tenang.
"Bohong." Armita menudingnya. "Kamu bilang sebentar lagi kita cerai kan? Jadi posisi aku di sini itu apa?" Armita mendengkus kesal. "Kakaknya Anindya? Dia nggak sama seperti Anin yang dulu aku kenal. Anaknya ibu aku? Kamu nggak lihat gimana tatapannya Ibu ke aku? Zra, tempat aku di sini itu nggak seperti yang kamu bilang."
"Mit," Ezra memanggil namanya. Armita mengabaikannya.
"Mau kamu apa sih sebenarnya Zra?" Armita menegakkan badannya, kesal, sedih, marah, semuanya bersatu padu, kebetulan saja meledak kepada Ezra yang berada di hadapannya ini. "Kamu tinggalin aku di rumah sakit, berapa hari itu? Aku aja nggak ingat berapa lama. Kamu yang bilang sebentar lagi kita pisah. Kamu juga yang tiba-tiba ngajakin aku tinggal di rumah ini, tiba-tiba bilang untuk memperbaiki hubungan ... yang sebenarnya itu aku juga nggak tahu hubungan kita itu apa, gimana, mama kamu tampar aku, Zra. Menurut kamu kenapa mama kamu sampai kayak begitu?" Armita mencerocos tanpa henti, semua hal yang ia rasakan selama terbangun di masa sepuluh tahun ke depan ia luapkan begitu saja.
"Mita, tenang Mit." Ezra bangkit berdiri lalu duduk di sebelahnya, pria itu mengisi gelas minum Armita lalu menggeser ke arahnya. "Mita, coba minum dulu,"
"Udah deh. Aku muak sama kamu." Armita menampik tangan Ezra, membuat gelas itu tiba-tiba pecah berkeping-keping. Kepalanya terasa pening, napasnya terasa sesak, perutnya bergejolak mual, sebuah memori menghantam ingatannya.
"Mita," suara Ezra memanggil namanya. "Apa kamu mau tetap ketemu dia?"
"Kamu nggak punya hak buat ngelarang aku, Zra."
"Aku masih suami kamu, Mita."
Armita mendengkus. "Kenapa sih kamu nggak cereiin aku aja biar nggak usah susah-susah kayak gini?"
Ingatan itu berakhir, bersamaan dengan semburan muntah yang Armita keluarkan, mengotori celana dan pakaian yang Ezra kenakan, hingga lantai yang tadinya bersih. Tangannya gemetaran, wajahnya pucat pasi.
Dengan tangan yang gemetaran, Armita berusaha membersihkan kotoran yang ia ciptakan. "M-maaf." Setelah memuntahkan segala kekesalan, luapan emosi, serta kesedihan yang ia rasakan dengan cara paling tidak sehat yang ia tahu, Armita baru menyadari apa yang telah ia lakukan. Lantainya tidak hanya kotor karena muntahannya, tetapi juga pecahan beling dari gelas yang ia tepiskan dengan sengaja dari tangan Ezra.
Armita menunduk, berusaha memungut pecahan beling atau membersihkan muntahannya. Apa saja yang bisa ia lakukan untuk mengatur kembali pernapasannya sekaligus menata kembali perasaannya.
"Nggak usah." Ezra menahan pergelangan tangannya. "Kamu duduk aja." Sebagian pakaian pria itu kotor karena muntahannya.
"Ezra, a-aku minta maaf. Aku beneran nggak tahu kenapa .... " Armita menyadari kata-katanya juga terdengar seperti bualan saat ini.
"Kamu kena gegar otak, wajar sih kalau muntah." ucap pria itu sambil lalu seolah berusaha mengecilkan apa yang telah ia lakukan tadi. Ezra membersihkan pakaiannya sekilas di wastafel lalu kembali duduk di sebelahnya, ia mengambil segelas air lalu menyerahkannya kembali ke Armita. "Minum dulu."
Armita meminum air putih itu patuh. Selepas itu ia kembali menunduk, berusaha melakukan apa pun untuk untuk membersihkan kekacauan itu.
"Mit, udah." Ezra menahannya kembali.
"Mbak Ani udah pulang."
"Iya, nanti aku yang beresin." Ezra terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Lantainya kotor, ada pecahan beling. Boleh nggak aku gendong kamu ke atas?" Ezra meminta izinnya. Armita mengangguk, rasa bersalah memenuhi hatinya. Ezra mengangkatnya dengan hati-hati. "Kok berat kamu nambah sekarang?" Pria itu berkelakar, berusaha memecahkan kecanggungan akibat tumpahan emosinya tadi.
"Maaf."
"Kamu udah minta maaf berkali-kali." Ezra mengingatkan, pria itu meletakkannya di atas kasur dengan hati-hati. Mereka bahkan belum menyentuh makan malamnya ketika Armita muntah tadi. Siapa pun tentu tidak akan berselera setelah melihat kejadian itu. "Nanti aku pesen makan malam lagi ya." Ezra mengusap puncak kepalanya lalu beranjak dari situ.
"Kenapa," Ezra berbalik mendengar cicitan kecil yang keluar dari bibir Armita. "Kenapa kamu nggak biarin aja?" Pertanyaan Armita ambigu, apakah maksud wanita itu adalah makanan yang berada di bawah, pecahan beling dan kekacauan di sana, ataukah wanita itu sendiri?
"Aku juga nggak tahu kenapa, Mit."
"What are we?" Armita menahannya kembali dengan satu pertanyaan yang ia lontarkan tanpa ia pikirkan.
"Husband and wife." Ucap Ezra seolah status mereka tidak pernah jelas sebelumnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top