17. Tujuh Belas
Tujuh belas. Usia ketika kamu telah dianggap dewasa di Indonesia. Usia di mana akan dirayakan besar-besaran oleh sebagian orang, sweet seventeen kata mereka. Di usia tujuh belas tahun, sebagian besar telah memiliki SIM, apalagi KTP. Sebagian juga telah kelas tiga, sebentar lagi memasuki jenjang perkuliahan yang artinya mereka sebentar lagi masuk usia dewasa muda.
Di usianya yang ketujuh belas, Armita berpikir, apa yang telah dia lakukan? Sebagian teman-temannya sudah menikmati masa remaja mereka dengan memiliki kekasih, les di berbagai tempat, teman dari berbagai kalangan.
Dirinya? Armita berpikir kembali. Dia memang punya teman. Namun, bisakah mereka disebut teman?
Teman-teman cheersnya yang hanya menghubunginya saat latihan tiba atau bertukar sapa dengannya saat berpapasan di sekolah. Selepas itu? Tidak, mereka tidak pernah menghubunginya lagi.
Jangankan kekasih, kehidupan Armita di masa SMAnya terlalu sibuk dengan kegiatan belajar, dan klub wajib seperti cheers saat sekolah. Sepulang sekolah dia akan menjaga Anin yang masih umur sepuluh tahun. Beberapa cowok pernah menembaknya semasa sekolah dulu, tetapi dia menolaknya karena terlampau sibuk. Sibuk belajar, sibuk menjaga Anin karena ibunya bekerja. Bahkan di ulang tahunnya yang ke tujuh belas, Armita sibuk menjaga Anindya alih-alih merayakannya bersama teman-temannya, bahkan tiga sahabatnya sekalipun. Mereka membeli seloyang kue yang dinikmati bersama, lalu kemudian dia akan pulang dan tidak dapat merayakannya lebih lanjut karena ibunya harus bekerja dan Anin akan sendirian di rumah.
Armita penasaran apa yang terjadi selama sepuluh tahun hidupnya, pada tahun-tahun yang hilang dari ingatannya. Apa yang ia lakukan sehingga ia memilih untuk masuk jurusan akuntansi, jurusan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bukan cita-citanya. Apa yang telah ia lakukan hingga ia lost contact dengan tiga sahabat karibnya? Apa yang telah dia lakukan sehingga dia berubah seratus delapan puluh derajat? Seperti bukan dirinya sendiri. Apa yang telah Armita lakukan?
Hari-hari sebelumnya Armita masih berpikir keras, mencari tahu kenapa, tetapi hari itu, di dalam kedai es krim itu, ketika bibir Ezra yang dingin menyentuh bibirnya yang tidak kalah dinginnya, segala hal yang ia pikirkan sebelumnya terlewatkan begitu saja.
Tak peduli apa yang Armita dua puluh tujuh tahun lakukan, tidak peduli apa yang terjadi kepada tiga sahabat karibnya, Armita bahkan tidak lagi ingin mengorek kejadian di masa lalunya sebelum ia kehilangan ingatan, Armita ingin tetap seperti ini. Lepas, bebas, tanpa tanggungan apa pun. Tidak perlu merawat Anindya dan terkurung di rumahnya, tidak bebas bermain seperti teman-temannya yang lain. Tidak perlu repot memasak, belajar, dan berbagai hal lainnya, karena ia sudah melewatinya.
Kecapan di bibirnya berakhir ketika Ezra menarik wajahnya menjauh. Wajah Armita bersemu kemerahan. Armita dua puluh tujuh tahun mungkin melakukan kesalahan karena berselingkuh dari pria ini, tetapi Armita tujuh belas tahun bisa memperbaikinya. Dia tidak mengenal Ezra, tetapi dia bisa mengenal pria itu. Dia bisa jatuh cinta kepada pria itu, memperbaiki pernikahannya, dan hidup dengan tenang dan nyaman. Ini adalah pilihan yang tepat, bukan? Iya kan?
Suara denting bel dan deheman ringan dari belakang etalase berisi aneka rasa es krim dan gelato menyadarkan keduanya. Mulanya Ezra yang tersenyum lalu tertawa, bibir pria itu melengkung ke atas, matanya menyipit ke bawah, rambut hitam ikalnya berantakan karena usapan canggung tangan pria itu yang mengacaknya, Armita ikut tersenyum lalu tertawa, tanpa sadar tangannya maju, merapikan rambut Ezra yang acak-acakan. Ezra tiba-tiba berhenti tersenyum, sementara Armita masih merapikan rambutnya.
"It is so embarrassing," Wanita itu berkomentar tanpa sadar di sela-sela tawa kecilnya. "Kita di tempat umum."
"Mita," Ezra menarik turun tangannya.
Armita yang masih tersenyum perlahan memudar melihat raut serius dan pandangan mata Ezra yang berubah. "Kenapa?"
Ezra menunduk, menatap cup berisi es krim yang kembali Armita santap dengan lahap untuk menyembunyikan rasa malu dan canggungnya. "Nggak kenapa-napa." Untuk sekilas ia mengira Armita kembali ke dirinya yang dua puluh tujuh tahun, hanya beberapa detik saja, tetapi sikap wanita itu mengingatkannya Armita yang dewasa, Armita yang membuatnya bagaikan pria dungu. "Kamu mau ke mana habis ini?" Ezra mengalihkan pembicaraan. Ia menatap ke jendela luar, untung saja kedai ini cukup terpencil, tidak ada orang yang melihat ciuman mereka tadi, selain tentu saja, si pramusaji yang berada di belakang etalase es krim.
"Ke mana ya?" Armita mempertimbangkan, bingung. Dia sudah menyantap es krimnya hingga habis, selanjutnya apa?
"Makan siang?" Ezra mengingatkan rencana mereka hari ini.
"Boleh deh." Armita mengangguk.
Ezra berdiri, mengulurkan tangan kirinya untuk digandeng Armita. Armita menurutinya, menggenggam tangan pria itu tanpa canggung lagi. Keduanya meninggalkan kedai es krim itu, diikuti oleh tatapan iri nan tidak habis pikir dari pramusaji yang menjadi saksi kemesraan mereka.
"Aku baru sadar kamu strict soal jam makan." Ezra membuka percakapan kecil, hal yang sudah ia sadari sedari awal bersama Armita, tetapi tidak pernah ia ungkapkan karena selama ini ia mengira Armita strict soal jam makan karena tidak ingin gendut. Namun, melihat sikap wanita itu hari ini, sikap strictnya ternyata punya dasar yang lebih dalam selain ingin menjaga berat badan.
"Karena Anin." Armita menjawab singkat. "Anindya nggak suka makan." Armita tersenyum kecil sebelum melanjutkan. "Dulu sih. Waktu dia masih kecil, di bawah sepuluh tahun. Dia rewel kalau disuruh makan. Harus disogok dulu pakai jajanan."
"Jajan?" Ezra menyadari hal lain lagi, wanita yang menjadi istrinya ini tidak selalu hidup bergelimang harta. Armita pernah tinggal di rumah kecil yang kini berubah menjadi ruko, Armita juga tidak segan duduk di emperan kaki lima. Berbeda jauh dengan Armita dua puluh tahun yang jijik dengan berbagai hal.
"Es susu, putu ayu, lemper, apa lagi ya? Es ting tong juga. Dulu banyak banget penjual makanan yang sering lewat depan rumah." Armita bernostalgia, dulu itu seperti masih beberapa hari lalu, dia menyogok Anindya es krim walls dua ribuan yang lewat depan rumah agar bocah itu mau makan. Sekarang Anindya sudah dewasa, sudah tujuh belas tahun, sudah punya KTP dan sebentar lagi punya SIM.
"Oh ya, aku nggak tahu." Ezra menggandeng tangannya, dengan lihai membimbimbing langkah kakinya melewati toko demi toko hingga mereka tiba di sebuah restoran padang.
"Resto padang?"
"Iya, mau kan?" Ezra mengajaknya masuk. Mereka duduk di hadapan sebuah meja besar, pramusaji dengan sigap membawa banyak piring yang berjejer di lengan kanan dan kiri mereka lalu menatanya dengan rapi hingga piring-piring itu nyaris memenuhi meja. "Mau kan?" Ezra bertanya kembali.
"Mau kok, aku suka makan apa aja." Armita berdecak. "Tapi tanganku?"
"Mau aku cuciin?" Ezra menawarkan, keduanya berjalan menuju wastafel dengan cekatan pria itu menyabuni tangannya, celah-celah jemarinya, lalu kemudian kuku-kukunya. Armita terpaku, jantungnya degdegan, sungguh ini hanya adegan cuci tangan yang biasa saja, sejujurnya Armita juga bisa melakukannya seorang diri, bila hanya ala kadarnya saja. "Nah beres." Keduanya kembali ke meja mereka.
Armita melirik satu per satu, matanya terarah ke rendang daging yang terletak di pojok. "Mau itu."
"Ini." Dengan sendok dan garpu, Ezra mengambilnya lalu meletakkannya di atas piring Armita.
"Ikan asin sambel ijo juga." Armita menunjuk kembali. Hari ini ia sungguh bak seorang princess yang tidak perlu mengangkat tangannya bila membutuhkan sesuatu. Dia tersenyum lebar melihat lauk pauk di atas piringnya. "Armita yang kamu kenal suka makan apa?"
Ezra terdiam, lauk yang berada di tangannya menggantung di udara. Pertanyaan Armita terdengar ganjil dan tak masuk akal di telinganya. "Maksudnya?"
"Kamu daritadi mastiin aku suka makan ini atau nggak, emangnya biasanya aku makan apa?" Armita menyuap nasi menggunakan tangannya. Hal lain yang ia sadari tadi ketika Ezra mencuci tangannya, dia tidak memakai cincin, baik di tangan kanan atau kiri, di mana cincin kawinnya?
"Kamu nggak suka kotor." Ezra terdiam sejenak. "Jadi lebih suka makanan yang simpel aja, nggak ribet, nggak bikin tangan kotor, atau mulut belepotan makanan. Sebenarnya aku jarang lihat kamu makan."
"Kenapa?" Armita penasaran. "Apa kita nggak pernah tinggal serumah?"
"Mit," Ezra memotong pertanyaannya. "Let's enjoy our date today, okay?"
Armita menutup mulutnya, permintaan Ezra masuk akal. Apakah mereka harus merusak hari ini dengan rasa penasaran yang ia sudah putuskan tadi akan ia kubur dalam-dalam dan memulai hari yang baru?
***
Kencan mereka hari ini, bisakah itu dikatakan sukses? Mereka berpegangan tangan, berciuman, lalu saling berbagi kisah satu sama lain. Mereka bercerita, tentang apa saja yang Armita dan Ezra sukai. Armita setidaknya menyadari ada beberapa hal kesamaan mereka yang mungkin saja menjadi alasan keduanya menikah dahulu. Mereka berdua suka membaca, Ezra suka baca buku fantasi, dan Armita tentu saja suka baca cerita roman.
Setelah tahu cerita yang Armita tunggu-tunggu sepuluh tahun lalu telah mengeluarkan sekuelnya, Ezra mengizinkannya masuk ke ruang kerja slash ruang tidur pria itu.
Pria itu bersender di kusen pintu ketika Armita melihat-lihat rak buku yang tingginya hingga ke langit-langit lalu melihat deretan novel, buku terjemahan, hingga buku filsafat dan kuliah yang pria itu miliki.
"Kamu punya banyak buku." Armita menarik satu buku dengan punggung buku berwarna merah. "Hm ... klasik." Sebuah buku terjemahan berlatar merah dengan gambar mata seorang pria menyambutnya. "Kalau novelnya ... " Armita mencari teenlit atau chiclit, atau mungkin sekarang dia bisa membaca adult karena dia adalah seorang wanita dewasa berusia dua puluh tahun, bukan lagi bocah tujuh belas tahun. Armita menarik keluar sebuah buku dengan punggung buku bercover cokelat. "Outlander?"
"Buku favoritmu." Ezra berkomentar.
"Oh ya?" Armita membuka secara acak halaman bukunya, matanya tersentak melihat sederet demi sederet kalimat romantis nan erotis yang tertera di buku itu. "Gue baca ini?"
Ezra membaca bagian yang tak sengaja Armita lihat tadi. Wajah wanita itu memerah, salah tingkah, seperti bocah yang baru saja kedapatan gurunya membaca cerita porno. "Oh ini nggak ada apa-apanya."
Armita menegak salivanya, canggung, pria itu memang suaminya yang sah, dan mereka baru saja berciuman tadi, tetapi bukankah situasinya berbeda jauh antara tadi dan sekarang? Tadi mereka berada di kedai es krim, di tempat umum, sedangkan sekarang mereka berada di rumah, lebih tepatnya lagi di kamar tamu Ezra. Walaupun hanya ada satu kasur kecil di situ, kasur tetaplah kasur.
Entah bagaimana dari satu adegan yang ada di dalam novel itu mereka praktekkan saat ini. Ezra kembali mencumbunya, membelai bibirnya halus dengan lidahnya, lalu menyusup masuk, menyesap sari-sari rasanya yang membuatnya canggung, aneh, dan rasa lain yang tiba-tiba menyergap ikut serta. "Can I do something more?" bisik pria itu terengah-engah di antara ciumannya dengan jarak yang setipis embusan napas.
Melakukan hal apa? Apa yang lebih daripada ini? Armita menunggu, jantungnya bertalu-talu, matanya memejam erat. Apa sih yang ia tahu?
"Bilang iya, atau tidak, Mita." Ezra juga menunggu. Tangan pria itu menyapu kulitnya dari balik kemeja yang ia kenakan.
Hey, sejak kapan tangan pria itu sudah berada di sana? Armita saja tidak sadar.
Ya atau tidak? Armita menegak ludahnya, matanya berkabut, oleh nafsu juga sensasi baru yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
Armita mengangguk ragu.
"Itu artinya ia atau tidak?" Ezra mencium rahangnya, Armita memegang erat buku di tangan kanannya. Ezra menciumnya kembali, bibirnya, dengan gerakan sensual nan menggoda.
Namun, berbeda jauh dengan sebelumnya, tiba-tiba tubuh Armita menegang dan mendingin. Sekelebat memori menghantamnya, tetapi seperti yang sudah-sudah, ini juga bukan memori yang menyenangkan. Ini salah satu memori yang menjadi pemicunya. Salah satu memori yang ingin dia kubur dalam-dalam dan simpan rapat-rapat.
Seorang pria yang tidak ia tahu siapa menciumnya. Memaksanya lebih tepatnya. Tangan pria itu bergerak ke sana ke mari, atasannya telah dilucuti, dadanya mengacung terbuka, bibirnya terisak, matanya menangis mengeluarkan air mata. "Mita, Mita, Mita." Pria itu menyebut namanya, memperingatinya, sementara tangannya melecehkannya. Armita runtuh seketika. "Ezra." Bibirnya berucap lirih, memanggil nama pria itu.
"Mita." Ezra berhenti, melihat wajah Armita yang pucat pias ketakutan.
"Ezra?" Armita menatap nanar ke arah pria itu. Perlukah ia memberitahu, apa tidak? Apa memori itu tadi hanya tengah mempermainkannya? Apa itu betul-betul Ezra?
"You okay?"
Pada akhirnya Armita memilih bungkam. Ia mengangguk lalu mendorong pria itu menjauh, tangannya berusaha merapikan kemejanya yang terbuka akibat ciuman mesra tadi. Ezra membantunya, Armita menepis tangan pria itu.
"Kenapa?" Ezra tampak terluka, melihat tiba-tiba wanita itu mundur seolah jijik dan takut dengannya.
"I guess I'm still seventeen." ucap Armita lirih.
Tujuh belas tahun, usia di mana kamu masih remaja, masih anak-anak, tetapi kini dihadapkan dengan situasi kamu disuruh untuk berpikir dewasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top