14. Kantor
Armita duduk di bangku penumpang yang berada di sebelah pengemudi, tangan kanannya mencari-cari seatbelt sebelum Ezra mendahuluinya dan membantunya memasang tali pengaman itu.
"Udah?" Ezra bertanya kepadanya. Armita mengangguk ragu. Pakaiannya lebih sopan hari ini, celana kulot, kemeja lengan pendek, dan sebuah jaket yang ia gantung di tasnya. "Cantik banget kamu hari ini."
"Eh, apa?" Pipi Armita bersemu merah. "Apaan sih?"
"Cantik banget, serius. Orang-orang kantor bakalan percaya aku sudah punya istri." Ezra tersenyum lebar, ujung bibirnya terangkat naik seolah tak bisa ia tahan lagi.
"Emangnya aku beneran nggak pernah ke kantormu sama sekali?"
"Nggak." Ezra menggeleng, pria itu memundurkan mobil lalu mengemudi dengan tenang di jalanan yang mulai ramai. "Mau makan dulu nggak?"
"Makan apa?"
"McD?" Ezra menawarkan. Pria itu berbelok ke arah drive thru McD yang juga ramai dengan mobil yang mengantri. "Mau breakfast apa?" Pria itu membaca menu yang terpampang.
"Jadi aku nggak pernah ke kantor kamu, orang kantor kamu nggak tahu rupaku seperti apa, tapi mereka tahu kamu udah punya istri?"
"Semacam itulah." Ezra masih menatap menu di depan mukanya dengan raut serius. "Kamu mau es krim juga nggak? Eh, tapi nanti meleleh."
"Nggak papa, nanti aku bisa pegang terus satunya disimpan di sini." Armita menunjuk tempat minum yang berada di belakang tuas transmisi, wanita itu akhirnya mengikuti apa kata Ezra, makan es krim lagi di pagi hari, diikuti dengan dua porsi big breakfast yang dibungkus untuk mereka makan nanti di kantor.
"Ah," Ezra menoleh ke arahnya, melihat tangan Armita yang penuh dengan dua es krim McFlurry rasa oreo. "Sekarang aku menyesal beli es krim."
"Kenapa?" Armita menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. "Kamu juga mau es krim? Aku bisa suapin." Armita mengambil sesendok es krim lalu menyodorkan tangannya ke mulut Ezra, pria itu melahap es krimnya, masih dengan raut wajah yang berkerut dalam. "Kenapa?"
"I still regret it tho. I want to hold your hand. Can I hold your hand?" Pipi Armita bersemu kembali, ia tidak bisa mempercayai apa yang Ezra katakan. Pria ini berubah seratus delapan puluh derajat sejak mereka bertemu pertama kali. Daripada jelangkung yang ia temui pertama kali, yang menghilang begitu saja dari hadapannya dan hanya datang pada saat butuh saja, Ezra kini mengulurkan tangan kirinya lebih dahulu membuka telapaknya dan meminta izinnya untuk menggenggam tangannya.
Armita tertawa kecil lalu menyelipkan tangannya di tangan Ezra. "Kamu kenapa sih? Aneh banget hari ini."
"Tanganmu dingin." Ezra mengomentari tangan Armita yang dingin karena baru saja memegang es krim. "Tapi nggak papa."
"Kamu kenapa sih Ezra?" Armita tersenyum lebar. Mata pria itu menatap lurus ke jalanan, melihat jalanan yang berada di depannya.
"I just need to hold you." Ezra mengambil tangan Armita lalu mengecup punggungnya, membuat wanita itu lagi-lagi bersemu kemerahan. "This is just like a dream for me and you can suddenly vanish."
"Aku kan di sini." Armita tertawa kecil. "You're getting weird."
Armita tertawa tidak menyadari raut wajah Ezra yang mengeras atau genggaman tangan pria itu yang menguat. Apa yang Ezra rasakan hari ini bukan tanpa alasan, wanita ini bisa menghilang begitu saja seperti kemarin atau hari-hari sebelumnya. Armita bisa saja kembali mengingat seluruh memori yang telah ia kubur dalam-dalam lalu pergi.
***
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah gedung yang terletak di antara gedung-gedung perkantoran lainnya.
"Ini kantor kamu?" Armita memandang takjub ke arah gedung-gedung perkantoran yang ada di depannya.
"Salah satu lantai di sini, nggak satu gedung kok."
"Oh," Armita tidak mengindahkan perkataannya, mata wanita itu sibuk menatap dari ujung gedung ke gedung lainnya dengan tatapan penuh rasa takjub. Beberapa bulan lalu wanita itu bahkan tidak peduli dia kerja di mana dan sebagai apa, pemandangan seperti ini bahkan tidak akan membuatnya merasa terkesan sedikit pun.
"Ayo masuk." Ezra menggandeng tangannya, sementara tangan lain pria itu menenteng tas kertas berisi sarapan yang mereka pesan tadi.
Armita masih tertakjub-takjub melihat dekorasi megah dan mewah gedung tempat Ezra bekerja. Di lantai satu ada lobi dengan resepsionis, karena Armita bukan salah satu pegawai di situ, maka ia harus menitipkan ktpnya. Orang-orang berlalu lalang, sebagian melihat mereka yang tentu saja terlihat aneh karena berpacaran terang-terangan di area perkantoran. Armita berusaha menarik tangannya, tetapi Ezra tidak membiarkannya.
"Kita lewat sini." Dengan satu kali tap Ezra menggunakan kartu pegawainya untuk melewati palang yang berhadapan langsung dengan lift, Armita melakukan hal yang sama dengan kartu pengunjungnya.
Banyak orang menunggu di depan lift, tetapi tidak semua lift memiliki tujuan lantai yang sama, beberapa lift hanya ditujukan untuk lantai satu hingga sepuluh, sebagian lagi hanya untuk lantai sepuluh hingga dua puluh. Ezra berdiri di depan lift untuk ke lantai sepuluh hingga dua puluh, Armita hanya mengekor di belakangnya.
"Kantormu lantai berapa?"
"Sebelas." Ezra menjawab sambil lalu ketika lift terbuka pria itu masuk dan turut menarik Armita yang masih ada di gandengannya.
"Ezra, bro!" Seorang pria dengan cengiran lebar ikut masuk ke dalam lift bersama mereka. "Gue kira elu masih cuti." Pria itu terkekeh dan menampilkan gigi geliginya yang lebar. "Eh, siapa nih? Cewek lu?" Pria itu mengalihkan perhatiannya ke Armita yang berusaha sebisa mungkin berbaur dengan orang-orang yang ada di tempat ini.
"Istri gue. Mit, ini Dimas, teman kantorku." Ezra mengenalkan pria itu kepadanya.
"Istri lu?" Dimas mengernyitkan keningnya dalam. "Armita?"
"Armita." Armita ingin mengulurkan tangannya, tetapi itu tidak mungkin mengingat tangan kirinya masih tergips sedangkan tangan kanannya berada di genggaman tangan Ezra.
"Eh, serius ini Armita?" Dimas tampak terkaget-kaget melihatnya di sini. "Jangan bilang elu cuti karena istri elu sakit?" Tatapannya tidak lepas dari wajah Armita lalu tangan kiri wanita itu yang masih tergips.
Belum sempat Ezra menjawab, pintu lift terbuka lebar, kantor Ezra terletak di keseluruhan lantai sebelas, sebuah papan nama bertuliskan Weekend Inc. menyambut mereka.
"Selamat pagi Pak Ezra." Seorang wanita yang duduk di meja resepsionis di depan mereka menyambut dengan senyuman lebar, senyuman wanita itu surut ketika melihat Armita yang ada di sebelah Ezra, tampak bingung. "Selamat pagi Pak Dimas." Wanita itu menyapa Dimas yang membuntuti mereka dari belakang masih dengan wajah kaget.
"Pagi, Nan. Tolong diinfo ya sebentar meeting jam berapa." Ezra membalas sapaan wanita itu, ia lalu berjalan cepat menuju salah satu ruangan yang ada di lantai sebelas.
"Bapak tidak lewat zoom, Pak?" Wanita dengan panggilan 'Nan' itu mengikuti mereka. Sama seperti Armita, sepertinya seluruh karyawan di tempat kerja Ezra lebih kaget melihat pria itu datang menggandeng wanita daripada tahu bila bosnya datang di saat cuti.
"Kan saya sudah di sini, Nanda." Ezra mengangkat alisnya, pria itu mengembuskan napas panjang lalu menoleh ke arah Armita. "Ini kantorku, Mit. Ini Nanda, sekretaris perusahaan."
"Armita," kali ini dengan sekuat tenaga Armita menarik tangannya dari genggaman tangan Ezra lalu mengulurkannya kepada Nanda.
"Nanda, Bu." Wanita bernama Nanda itu membalas senyumannya sopan.
"Nanda, ini istri saya. Hari ini dia menemani saya bekerja di sini." Ezra mengenalkannya lagi dengan lebih jelas daripada sebelumnya. "Oh ya, sebentar saya ada meeting kan? Kamu bisa temani Armita dulu di sini?"
"Meeting?" Armita menoleh ke arah Ezra, apa dia akan ditinggal seharian di dalam ruang kerja pria ini sementara Ezra meeting di luar sana.
"Meetingnya masih di kantor kok. Cuma ya, pasti agak lama sih. Nanti aku minta Nanda kenalin kamu ke anak-anak kantor di sini." Ezra menjelaskan penuh kesabaran ke arah Armita, pria itu meletakkan tas kertas berisi sarapan mereka di atas meja kopi yang berseberangan dengan meja kerja pria itu. "Kamu sarapan dulu."
Nanda takjub melihat atasannya itu meletakkan sarapan dan menyusunnya di atas meja dengan rapi supaya istrinya tidak perlu kesulitan untuk membuka berbagai kemasannya.
"Aku nggak perlu kenalan sama orang-orang kok." Armita merajuk, rasa canggung meliputi hatinya. "Aku di ruanganmu aja."
"Oh, ya udah. Nanti Nanda tetep temenin kamu kok." Ezra berbicara kepada Armita, mengabaikan Nanda yang masih berdiri di depan pintu kerjanya yang masih terbuka lebar. "Iya kan, Nan?"
"Iya, Pak. Nanti saya yang menemani Ibu di sini." Nanda bersiap dengan senyuman lebar. Di belakangnya, orang-orang kantor melongok ke dalam ruangan Ezra, menatap penasaran ke sosok wanita yang dibawa-bawa oleh pria itu.
"Itu Armita, istrinya Ezra." Dimas menepuk kepala salah satu junior dengan tumpukan kertas yang berada di tangannya.
"Pak Ezra masih nikah? Kirain udah cerai, Pak."
"Hush, keliatannya mereka langgeng banget gitu loh." Satu demi satu menimpali, mengomentari pemandangan langka yang ada di hadapan mereka kini.
"Eh, eh, tahu nggak tadi gue lihat Pak Ezra bawa-bawa cewek di lobby .... " Suara heboh itu membuat Ezra tersadar, ia mengangkat kepalanya, melihat pintu ruang kerjanya masih terbuka lebar lalu menutupnya dengan wajah dan decakan kesal. "Eh Ya Allah, itu beneran Pak Ezra sama perempuan?" Wanita itu heboh.
"Istrinya."
"Istrinya."
"Inget ya, namanya Armita, istrinya Pak Ezra." Satu demi satu menanggapinya. Kedatangan Armita hari ini sungguh jauh daripada apa yang ia bayangkan.
***
Kasak-kusuk di luar sana bukan berarti luput dari perhatian Armita atau pun Ezra. Pria itu tampak tidak peduli, sementara Armita sendiri masih tampak canggung, terutama saat Nanda yang masih berada di dalam ruangan seperti melihat keajaiban saat Ezra memotong-motong Hash browns dan English muffin McD untuk Armita.
"Nan, kamu bisa kasih detail perwakilan kantor klien yang datang nanti?"
"Siap, Pak." Nanda keluar dari ruangan, meninggalkan Ezra dan Armita berdua di dalam sana.
"Makan dulu, Mit." Ezra mengulurkan sarapannya yang sudah terpotong-potong rapi. "Sebentar aku ada meeting sama klien, menjelaskan proyek terbaru yang aku tangani." Ezra berjalan ke meja kerjanya, ia mengambil setumpuk kertas yang ada di atas sana. "Ini kerjaanku." Ezra memperlihatkan pekerjaannya kepada Armita lalu menjelaskannya dengan penuh semangat. "Kira-kira menurut kamu gimana?"
"Bagus." Armita berkomentar singkat. Dia tidak tahu seperti apa klien Ezra, tetapi melihat bagaimana passionatenya pria itu menjelaskan proyek ini kepadanya, Armita tahu bila Ezra mencintai pekerjaannya dan dia tidak mengerti kenapa pria itu memilih untuk mendahulukannya terlebih dahulu, seseorang yang berselingkuh darinya. "Kalau kamu rapat nanti .... " Kata-kata Armita terpotong saat suara ketukan pintu terdengar.
"Pak, ini detail kliennya, terus katanya mereka udah di jalan." Nanda mengulurkan iPad dengan slide berisi data klien yang akan Ezra tangani.
"Oh, oke. Nan, temani Armita ya." Ezra tersenyum ke arah Armita, Armita membalas senyumannya. Pria itu mengusap puncak kepala Armita. "Bilang apa ke suamimu?"
"Semoga sukses, Mas." Armita menghela napas panjang, Ezra terkekeh. Lagi-lagi pria itu mengusap puncak kepalanya.
"Titip Armita dulu ya, Nan."
"Siap, Pak." Ezra pergi, meninggalkannya berdua saja dengan wanita yang ia kenali sebagai sekretaris kantor ini.
Armita menyuapkan makanannya satu demi satu sementara Nanda menatapnya penuh rasa penasaran. "Kenal sama Pak Ezra di mana, Bu?" Armita terus memasukkan makanannya tanpa henti, agar tidak perlu bebicara, tetapi wanita ini ternyata lebih kekeuh daripada yang ia kira.
"Waktu kuliah dulu." Armita menjawab singkat lalu menusuk Hash Browns dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
"Udah nikah berapa lama, Bu?"
"Berapa lama ya?" Armita berusaha mengingat-ingat, tapi dia lupa.
"Saking lamanya pacaran jadi lupa ya?"
"Hehe, iya." Armita tertawa canggung. Dia kembali menyuapkan satu sendok makanan dan mengunyahnya.
"Bapak sering dikira duda loh karena nggak pernah kenalin istrinya ke anak-anak." Armita tersedak, Nanda menatapnya khawatir. "Aduh Bu, mau minum?" Teh panas yang menjadi bagian dari sarapannya tidak cocok ketika makanannya nyangkut di lubang pernapasannya. Bila ia meminumnya, bisa saja Armita lebih dahulu tersedak. Nanda menepuk-nepuk punggungnya khawatir. "Saya ke pantry dulu ambil minum, Bu."
Armita buru-buru mengangguk, dia terbatuk-batuk, makanannya sudah tidak nyangkut lagi di tenggorokannya, tetapi tentu saja rasa seret akibat makanan itu masih ada. Seseorang masuk ke dalam ruangan, awalnya Armita mengira itu Nanda yang membawa segelas air putih, tetapi sosok pria yang datang membuatnya keringat dingin.
"Mita." Om Heru, suami ibunya, ayah tirinya ada di dalam ruang kerja Ezra. "Kok kamu datang ke sini nggak singgah ke kantor dulu?"
"Pa-papa?" Apa itu kata yang pantas untuk dia ucapkan ke pria ini? Namun, kata itu keluar begitu saja, memorinya teredam, tetapi tubuhnya dingin, napasnya berpacu cepat.
"Aku lihat kamu masuk ke sini sama Ezra tadi."
Om Heru terus menerus berbicara, kepala Armita pening, tubuhnya keringat dingin, tangannya seolah membeku. Tubuh Armita seolah bisa melayang kapan saja. Berada di dalam satu ruangan berdua saja dengan pria ini membuat perutnya bergejolak mual. Ketukan pintu kembali terdengar, Nanda masuk membawa nampan dengan sebuah gelas berisi air putih di atasnya. Di belakang Nanda ada seorang pria, Dimas, alis pria itu terangkat naik, tatapannya terarah dari Armita lalu ke Om Heru.
"Gue mau ambil materi rapat yang ketinggalan." Dimas menjelaskan. "Pak Heru, kantor bapak kan di gedung sebelah."
"Kamu mungkin tidak tahu, saya ayahnya Armita, mertuanya Ezra." Heru tersenyum, pria itu mengulurkan tangannya.
Dimas melihatnya sekilas. "Maaf tangan saya penuh, Pak." Tidak ada niat sekali pun untuk menurunkan barang-barang yang ada di tangannya dan membalas uluran tangan itu. "Mit, lu dicari Ezra."
"Oh, okay." Armita bangkit, ia meminum air putih yang Nanda bawa lalu mengikut ke arah Dimas. Om Heru menahan lengannya. "Pa," bulu kuduknya meremang, rasa jijik menyergapnya.
"Singgah ke rumah nanti, ibumu cari kamu." Om Heru melepaskan lengannya. Armita hanya menggangguk lalu meninggalkan ruangan itu bersama Dimas yang berada di depannya.
"Itu beneran ayah lu?"
"Ayah tiri." Armita menjawab singkat.
"He did something didn't he?" Jalan Armita melambat ketika mendengar perkataan Dimas. He is indeed did something. Memorinya mungkin terkubur dalam, tetapi ia tahu reaksi tubuhnya yang tidak biasa.
Dimas membuka pintu ruang meeting yang dilapisi dinding kaca, pria itu menarik kursi paling belakang seolah mempersilakan Armita melihat meeting dari pintu itu. Ezra tampak serius menjelaskan power pointnya, sementara Armita menatap pria itu lamat-lamat. Ayah tirinya melakukan sesuatu dan Ezra, pria itu tidak tahu apa-apa. Rasa kecewa melandanya, menyusup ke relung hatinya yang terdalam. Kenapa dia bisa tidak tahu?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top