13. Keluarga

"Hey," Ezra menyelesaikan presentasinya dengan sukses, satu per satu orang-orang yang tadi bersamanya di dalam ruang meeting keluar dan saling berdiskusi satu sama lain. Ezra keluar urutan paling belakang sebelum Dimas sementara Armita masih berdiri menonton dari luar ruang kaca. "Kenapa nggak masuk tadi?"

"Hey," Armita tersenyum kecil, matanya melihat ke arah Dimas yang mengangkat alisnya seolah menunggunya mengatakan sesuatu tentang apa yang terjadi di ruang kantor Ezra tadi. "Karena takut ganggu."

"Nggak kok." Ezra berjalan di sisinya, Dimas yang berada di belakang pria itu memutar matanya seolah memaksa Armita untuk menceritakan apa yang terjadi sekarang atau pria itu yang akan berbicara.

"Ez .... " Dimas bersuara.

"Ezra, Papa tadi datang, ngajakin makan di rumah." Armita berbicara lebih dahulu, memotong perkataan Dimas.

Dimas mendengkus, entah kenapa pria itu terlihat lebih tahu daripada Ezra, Armita tidak suka.

"Oh ya? Kapan kamu ketemu Papamu?"

"Tadi dia datang." Nada Armita terdengar mencicit semakin kecil.

Ezra berbalik ke arahnya, mata pria itu menatapnya dalam sebelum menarik napas panjang.  "Dim, gue bicara dulu ya sama istri gue?" Ezra melihat ke belakang Armita, di mana Dimas berdiri mengikuti mereka dan bahkan turut memperhatikan pembicaraan mereka.

"Sure." Dimas tersenyum singkat lalu melewati mereka hingga kini hanya tersisa Armita dan Ezra di tengah lorong di depan ruang meeting berdinding kaca.

"Kapan Papa kamu datang?"

"Barusan aja. Tadi." Armita menjawab singkat, bingung dengan perubahan hati Ezra yang tiba-tiba. "Aku kira kamu sering bicara sama Om Heru?" Kening Armita berkerut semakin dalam. "Zra?" Armita bertanya kembali setelah menunggu sekian lama dan Ezra tidak kunjung berbicara. Pria itu diam, memperhatikannya seolah tengah menimbang apa yang sebaiknya ia katakan berikutnya. 

Ezra menghela napas. "Apa aja yang Papamu tadi bicarakan?"

"Apa yang Om Heru tahu?"

"Dia tahu kamu kecelakaan. Om Heru yang aku hubungi pertama kali."

"Kamu sembunyiin kondisi aku ke keluargaku?" Armita tidak mengerti. Kenapa Ezra menyembunyikan banyak hal darinya atau tentangnya kepada orang-orang sekitar.

"Nggak, keluarga kamu tahu."

"Selain Anin?" Armita sangsi keluarganya betul-betul tahu seperti apa kondisinya. Saat ia baru sadar dan masih berada di rumah sakit, yang datang menjenguknya hanya Anin dan Ezra.

"Papa dan Ibumu juga tahu. Kamu pikir kenapa aku biarkan kamu ke rumah keluargamu? Itu karena mereka tahu, Mit." Ezra menjelaskan dengan nada pelan dan sabar.

"Kok mereka nggak datang?" Rasanya seperti de javu, Armita pernah bertanya hal yang sama kepada Ezra sebelumnya. "Kalau mereka tahu, kenapa mereka nggak datang?"

"Mit, kamu lupa." Ezra mengusap kepalanya canggung. Matanya melihat lurus ke arah ruang meeting, orang-orang kantornya berkerumun di sana, melihat ke arah mereka penasaran. Setelah melihat mata Ezra yang menatap ke arah mereka, satu per satu dari mereka bubar. "Boleh nggak kita bicarakan ini di luar kantor?"

Armita mengangguk, Ezra menggandeng tangannya. Satu per satu pandangan orang kantor mengikuti mereka hingga punggung keduanya masuk ke dalam lift lalu mereka berbicara satu sama lain, kali ini dengan suara yang tidak lagi dikecilkan.

"Apa tuh tadi? Pak Ezra udah pulang gitu aja?"

"Kenapa ya bininya?"

"Mereka habis bertengkar?"

"Nggak kok, wong tadi baik-baik aja pas bininya ngeliatin meeting dari luar."

"Mereka ngapain sih?"

"Hush, urusan rumah tangga orang nggak usah ikut campur." Dimas menjadi pemecah suasana yang tadi heboh itu. Satu per satu diam, masih ada yang berusaha bersuara tetapi kemudian bungkam begitu mendengar kata-kata Dimas berikutnya. "Hati-hati nanti kalian susah jodoh terus rejeki seret, kalau bicarain urusan rumah tangga orang."

"Ah, Pak Dimas nggak seru." Mereka mundur, kembali ke pekerjaan masing-masing setelah tahu tidak bisa bergosip di area kantor terang-terangan dengan adanya Dimas.

"Pak Ezra nggak marah kan, Pak?" Nanda, sekretaris yang tadi menemani Armita bertanya ragu ke arah Dimas.

Dimas menarik napas panjang. "Tadi kenapa Pak Heru bisa masuk kantor?"

"Ya kan harusnya saya yang jagain di depan, tapi saya lagi nemenin Bu Armita terus ambilin minum buat beliau .... " Semakin lama suara Nanda semakin mengecil menyadari alasan yang dia berikan tidak akan membuat wajah kusut Dimas membaik. "Maaf, Pak." Ucap Nanda, mengetahui kata maaf adalah satu-satunya jalan keluar terbaik walaupun dia tidak yakin salahnya apa.

"Ya udah, nggak papa. Untung aja tadi Pak Heru cuma sebentar di sini." Dimas kembali melanjutkan pekerjaannya, seperti apa yang dia katakan tadi, hubungan rumah tangga Ezra dan Armita bukan urusannya. Walaupun tentu saja, dia menyadari perubahan mendasar dalam diri wanita itu, sesuatu yang jelas sekali membuat Armita jauh berbeda dengan yang dulu dia pernah temui.

***

Setahun lalu Dimas pernah bertemu dengan Armita di sebuah acara kantor yang diadakan di dalam sebuah gedung hotel yang juga masih di pusat kota. Saat itu wanita itu beda jauh seratus delapan puluh derajat dari wanita yang ia temui hari ini. Waktu itu Armita tampak percaya diri dengan pulasan make up tebal, lipstick merah merona, gaun hitam berpotongan dada rendah dan rambut bergelung rapi di belakang tengkuknya. Di sebelah wanita itu ada seorang pria yang jelas saja bukan Ezra, sahabatnya sekaligus temannya mendirikan perusahaan jasa marketing yang kini mereka kelola bersama.

"Radi, gue ambil minum dulu ya." Wanita itu melepaskan diri dari pria yang di sisinya, kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi melewati kerumunan tamu yang asyik berbincang.

Dimas penasaran, apa yang istri sahabatnya lakukan di tempat ini hingga ia mengikuti wanita itu. Awalnya tidak ada yang mencurigakan, wanita itu hanya mengambil segelas mocktail, menyesapnya pelan-pelan dengan tatapan kosong ke arah panggung yang diisi hiburan artis ibukota. Dimas bahkan hanya memperhatikan dari jauh dan bahkan hendak memutuskan menghentikan aksi mata-matanya. Mungkin wanita itu sedang berada di acara kantornya, sama seperti Dimas saat ini. Mungkin juga pria yang bersama Armita hanya salah satu teman kantornya, bukan kekasihnya.

"Armita." Dimas batal pergi menjauh ketika mendengar suara pria mendekati Armita, bukan pria yang tadi berada di sisi wanita itu. "Kamu bikin apa sama Radi?"

"Apaan sih?" Armita melihat dari atas hingga bawah pria itu lalu mencemooh. "Kamu nggak bisa macam-macam, di sini banyak orang."

"Nggak ada yang perhatiin kamu." Pria itu Pak Heru. Dimas kenali sebagai pemilik kantor akuntan publik yang gedungnya bersebelahan dengan mereka. Tidak seperti yang Pak Heru katakan, diam-diam ada Dimas yang memperhatikan keduanya. Bahkan ikut membuntuti mereka ketika Pak Heru menarik paksa lengan Armita hingga keduanya berada di luar ruangan dan bahkan masuk ke dalam satu ruang berisi perabot.

"Apa-apaan sih! Saya bisa teriak tahu. Lepasin tangan Anda." Suara pekikan Armita kencang, tetapi kalah kencang dengan suara musik yang nyaring di telinga. Apalagi ketika Pak Heru membawa wanita itu masuk ke dalam ruang perabot. Suara pekikan Armita semakin menjadi-jadi. "Tolong lepasin tangan saya ya!"

"Memangnya ada yang peduli sama kamu?" Pak Heru menahan lengan Armita keras hingga bisa diyakinkan akan ada bekas memar membiru di lengan wanita itu besoknya. "Diam kamu! Pilih mana kamu atau adikmu .... "

Belum usai Pak Heru berbicara, suara decihan terdengar. Armita meludah tepat di wajah pria itu. Tak dinyana, Pak Heru mengangkat tangannya dan menggampar wajah Armita. "Pukul aja terus, biar Ezra bisa tahu!"

"Dasar pelacur kamu!"

Mendengar suara ribut itu, Dimas tentu saja tidak bisa tinggal diam, dia harus bergerak cepat sebelum wanita itu babak belur. Mau itu istri sahabatnya atau wanita asing yang tidak dia kenal sekali pun, tidak mungkin dia membiarkan Pak Heru berbuat bejad kepada seseorang.

Suara gebrakan pintu terdengar, seseorang masuk, pria yang tadi bersama Armita. "Radi!" Armita memekik, rambutnya yang tadinya bergelung rapi kini sudah acak-acakan. Bukan hanya tangannya yang memerah karena genggaman tangan Pak Heru, tetapi juga wajahnya yang jelas saja merah karena tamparan.

"Diam kamu, ini urusan saya dan anak saya." Pak Heru menghentikan langkah Radi sehingga pria itu tidak bisa mendekat.

"Saya, Raditya Adhitama." Radi mengulurkan sebuah kertas pipih berbentuk kotak panjang kepada Pak Heru. "Pengacara Armita."

Pak Heru melepaskan pegangan tangannya, membuat Armita tertawa meremehkan di sebelahnya. "Brengsek, apa gue harus kasih tahu laki-laki dulu baru lo mau lepasin gue?"

"Anda bisa dituntut pasal penganiayaan kepada klien saya." Radi menatap khawatir ke arah Armita yang perlahan bangkit dan merapikan kembali make up dan rambutnya.

"Ingat ibu dan adikmu." Pak Heru turut merapikan jas dan kemejanya. "Kamu tahu ibumu seperti apa kan?" Pak Heru keluar dari ruang perabot, pria paruh baya itu terlihat terburu-buru dengan raut kesal, ia bahkan tidak menyadari keberadaan Dimas yang berada tepat di depan ruangan. 

"Mit, you okay?" Radi membantunya bangkit. "Kenapa kamu nggak kasih tahu Ezra?"

"Kamu nggak dengar apa yang dia bilang tadi? Ibu dan adikku bisa kenapa-kenapa, Rad."

Dimas meninggalkan tempat itu, sepertinya Armita baik-baik saja dan siapa pun pria itu tadi, dia sudah membantu Armita sehingga Dimas tidak perlu turun tangan. Apa pun yang terjadi hari ini, Dimas kira sudah berakhir dan telah Ezra ketahui. Tentu saja perkiraannya itu salah ketika yang ia tahu berikutnya Ezra ingin bercerai dari istrinya lalu beberapa saat berikutnya mereka tidak jadi bercerai dan bahkan datang bergandengan tangan seperti dua bocah kasmaran di kantor.

***

Armita menunggu Ezra berbicara, memberitahu kepadanya apa yang sebenarnya terjadi kepada keluarganya. Kenapa ibunya bersikap seperti itu kepadanya, kenapa ayah tirinya membuat tubuhnya bereaksi tidak nyaman, kenapa ingatannya mengacau setiap kali ia berusaha mengingat sesuatu.

"Zra." Armita memanggil nama pria itu, ia menarik tangannya dari genggaman tangan Ezra, tetapi pria itu enggan melepaskannya. "Kenapa sih kamu nggak jujur aja?"

"Mit, yang minta kita tinggal terpisah dari orang tua kamu, dari ibu aku, itu kamu." Ezra melihat kedua manik matanya, tangannya menggenggam Armita semakin erat. "Kamu nggak pernah cocok sama ibumu dan papa tirimu."

"Kenapa nggak? Terus kenapa kerja di KAPnya Om Heru kalau nggak cocok?"

Ezra menggeleng. "Aku nggak tahu."

"Apa kamu beneran nggak tahu atau kamu menyembunyikan sesuatu dari aku?"

"Aku harap aku punya semua jawaban untuk setiap pertanyaan yang kamu keluarin, Mit." Armita sangsi dengan pernyataan Ezra, ada banyak hal yang pria itu pilih untuk tetap sembunyikan darinya dan ini artinya dia tidak bisa bertanya lebih lanjut kepada Ezra, dia harus mencari tahu sendiri. Dimulai dari keluarganya.

***

Sore itu, setelah mandi dan bersiap di rumah, mereka berangkat menuju rumah orang tua Armita. Sebuah rumah mewah yang pernah ia datangi beberapa waktu lalu bersama Mas Ijal. Rumah yang sama sekali asing dan tidak terasa seperti rumah baginya.

Di sebelah kanannya, Ezra duduk mengemudi, tatapannya lurus ke depan, pria itu terlihat tidak begitu senang dengan ajakan makan malam dadakan oleh ayah tirinya. Namun, mau tak mau Armita harus mendatangi tempat ini, dia harus tahu apa yang terjadi.

"Zra, sejujurnya kamu nggak ngejelasin apa-apa ke aku." Ucap Armita ketika mobil mereka berhenti tepat di depan rumah ibunya. Armita melepaskan seatbeltnya lalu beranjak keluar dari mobil sebelum Ezra sempat mengatakan apa pun.

"Mit." Ezra terburu-buru ikut keluar dari mobil, tetapi apa pun yang hendak ia katakan tadi terpaksa ia telan terlebih dahulu melihat ibu kandung Armita bersama ayah tirinya keluar dari dalam rumah menyambut mereka.

"Mita." Ibunya mengangguk ke arahnya, tatapan matanya lurus ke arah Armita yang tersenyum singkat. "Ezra apa kabar?"

"Baik bu." Ezra salim kepada ibu mertuanya itu, di sebelahnya Armita turut melakukan hal yang sama.

"Ayo masuk, makanannya udah disiapkan." Ibu Armita buru-buru mengarahkan mereka masuk ke dalam sebelum Om Heru berkata apa-apa.

Di ruang makan sudah ada aneka makanan yang tersaji lengkap, di ujung kursi ada Anin yang sibuk bermain ponsel, tampak mengabaikan kakak dan kakak iparnya yang baru datang.

"Nin." Armita memanggil adiknya, Anindya mendongak sekilas lalu tersenyum lebar.

"Kak Mita!" Rasanya sudah lama sekali tidak melihat Anindya walaupun masih bisa terhitung beberapa hari lalu mereka berbelanja bersama di Mall. "Kelihatannya kakak udah mendingan."

"Hahaha, iya." Armita tertawa canggung. Entah dari sisi mana Anindya melihat kakaknya sudah jauh lebih baik ketika jantungnya saat ini berdegup cepat dan keringat dingin mengalir dari pelipis hingga punggungnya, membuatnya gelisah dan merasa mual setiap saat. 

 "Mita?" Laki-laki yang menikahi ibunya itu memanggil namanya. "Udah lama banget ya kamu nggak ke sini. Biasanya kamu nggak pernah mau ke sini, tapi yang lalu kamu malah datang duluan." Senyum kebapakan pria itu membuat perutnya mulas.

Armita menelan ludah, dia bahkan belum duduk saat Om Heru berbicara kepadanya. "Haha, kenapa ya aku nggak pernah mau ke sini." Ibunya mendelik tajam mendengar tawa sarkastis yang keluar dari mulutnya. "Kayaknya karena aku nggak merasa diterima di sini deh."

"Mita!" Ibunya marah dan saat ibunya marah, Armita ingat kembali kejadian beberapa hari lalu sebelum ia loncat ke sepuluh tahun mendatang. Ibunya yang terlalu sibuk dan lelah bekerja tiba-tiba menjadi lebih sering tersenyum, Armita menikmati perubahan ibunya yang lebih bahagia, tetapi di saat itu pula sikap ibunya berubah. Armita tidak tahu ibu macam apa yang dia harus hadapi hari itu, apakah ibu yang tersenyum bahagia berbunga-bunga atau ibu yang akan marah besar tanpa alasan. 

Matanya melihat ke arah Om Heru yang duduk tenang sembari menikmati tehnya, seolah hal ini adalah hal yang biasa baginya. "Ibu nggak tahu aku hilang ingatan atau ibu emang nggak peduli?!"

Sebuah tamparan keras terdengar, merah mewarnai wajahnya. Pengang mengisi gendang telinganya. Rasa mual kembali menyerangnya. Sepertinya sakit yang ia rasakan berhari-hari yang lalu tidak ada bedanya dengan rasa sakit yang dia rasakan sekarang ini. Ibunya menamparnya.

*****

Author Note :

Apa ada yang masih menunggu dan membaca cerita ini? Apa bagian yang paling kalian suka dan apa bagian yang kalian tidak sukai? Ini pertama kalinya saya menulis thriller/mystery, tapi sepertinya lebih terasa misterinya daripada thrillernya.

Grey010

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top