1. Napas

Chapter ini mungkin triggering bagi sebagian pembaca.

Apa yang membedakan manusia yang masih hidup dan yang telah mati? Mereka yang masih hidup bernapas, mereka yang sudah mati berhenti bernapas. Mereka yang masih hidup memiliki jantung yang berdetak kencang, memompa kuat darah. Mereka yang sudah mati, jantungnya berhenti berdetak, darahnya berhenti mengalir.

"Satu dua, embuskan napasnya. Inhale ... exhale .... " Pelatih yoga memberikan instruksi. Aku mengikuti. Tarik napas, embuskan. Tarik, embuskan. "Posisi downward dog ini adalah posisi di mana kita mengambil napas sebanyak mungkin." Mataku memejam, kilatan demi kilatan memori menghantam kepalaku yang pening karena aliran darah yang memusat ke bawah di posisi ini. "Armita, perbaiki posisinya."

Aku menggelengkan kepalaku sesaat, menarik napas dan mengembuskannya cepat lalu memperbaiki posisi downward dog yang tidak ada bedanya dengan huruf A. Mereka bilang salah satu cara tercepat untuk memperbaiki dirimu adalah dengan olahraga, mereka juga bilang yoga adalah salah satu cara meditasi tersehat untuk menenangkan pikiran, hidup sehat, makan makanan sehat, berhenti menegak alkohol, berhenti mengisap berbatang-batang rokok. Aku kembali menarik napas, aku sudah melakukan semuanya. Semua yang dikatakan oleh deretan psikolog dan psikiater yang menanganiku. Semuanya kecuali menjauhi orang-orang toksik yang ada di dalam hidupku.

Aku mengembuskannya gusar. Pantas saja mereka muak denganku, aku saja muak dengan diriku sendiri. Aku membenci diriku yang seolah terkurung di dalam pikiranku sendiri.

Bagaimana dengan Ibu? Bagaimana dengan Anin? Bagaimana dengan ... aku?

Tubuhku terlentang dalam posisi savasana, posisi cool down ketika kelas yoga berakhir. Mataku terpejam, suasana hening dan tenang selain alunan musik menenangkan yang selalu diputar di akhir kelas, bahkan lampu pun turut dimatikan untuk membuat suasana semakin menenangkan.

Dua puluh tujuh tahun, berarti sudah sepuluh tahun berlalu semenjak hari itu. Hari di mana aku mengenal pria itu untuk pertama kalinya.

Namanya Heru Hendrawan. Pria paruh baya yang pertama kali kukenali sebagai kekasih ibu, lalu kemudian suami ibu. Dari awal perkenalan hingga saat ini aku masih memanggilnya Om Heru. Dia tidak pernah pantas dipanggil ayah. Laki-laki jahannam yang pernah menodaiku itu bukan seorang ayah, bahkan bila dia bersandiwara sebagai suami yang baik dan ayah yang penuh panutan di depan ibuku dan Anindya.

Aku ingat saat pertama kali pria itu menyentuh tanganku. Sentuhan yang bila dilihat sekilas begitu polos tak bermakna, tetapi begitu menjijikkan di mataku. Tangannya, jemarinya entah sengaja atau tidak menyentuh jemariku yang hendak memungut tupperware yang jatuh. Jarinya beberapa detik lebih lama daripada seharusnya dan otakku beberapa detik terlambat menyadari apa yang tengah dia berusaha lakukan.

Menjijikkan. Aku ingat betul apa yang kupikirkan pertama kali pada saat itu. Perutku bahkan masih bergejolak mual tiap kali mengingatnya. Kenapa aku tidak bisa menolak? Kenapa otakku bergerak beberapa detik lebih lambat untuk menyadarinya?

Alunan musik berakhir, begitu juga pikiranku yang sedari tadi melalang buana. Mataku terbuka, mengikuti lampu yang kembali dinyalakan dan orang-orang yang mulai melipat kembali matras yoga mereka.

"Mit, mau lanjut makan nggak?" Aku menyadari maksud ajakan itu. Bukan 'makan' seperti orang-orang biasanya. Makan di sini adalah harapan mereka bahwa aku akan membayar makanan apa pun yang mereka makan lalu lanjut ke salah satu rooftop bar atau di mana saja untuk kelanjutannya. Mereka tidak berteman denganku, mereka berteman dengan sebuah kartu tipis milik Ezra yang berada di dalam dompetku.

"Boleh," dengan bodohnya aku mengiyakan. Bukan karena aku menyukai mereka, orang-orang yang memanfaatkanku ini. Namun, karena aku kesepian hingga bahkan orang-orang seperti ini pun dengan rela aku temani, dengan ikhlasnya aku merasa 'tak masalah bila yang mereka inginkan bukan aku, asalkan mereka bersamaku'.

"Asyik. Mandi dulu ya." Aku mengangguk. Satu per satu bergerak meninggalkan studio yoga menuju ruang ganti di mana ada deretan loker berisi pakaian para member dan juga kamar mandi di sana.

Aku memejamkan mataku, berusaha mengingat apa yang pelatih yogaku katakan. Bernapas. Tarik dan embuskan perlahan. Tarik pelan-pelan, sembari menghitung di dalam hati, satu ... dua ... tiga ..., bayangkan paru-parumu mengembang seperti balon hingga penuh lalu embuskan perlahan.

Tuhan, aku lelah.

***

Beberapa jam setelah kelas yoga berakhir bagaikan film yang dipercepat, aku bahkan tidak mengingat sebagian besar yang telah aku lakukan sepulang dari studio yoga.

Makan di salah satu restoran. Lalu seperti biasa, lanjut ngopi di salah satu gedung tinggi. Ketika kopi saja tidak cukup di akhir pekan, maka akan dilanjutkan dengan ke bar. 

Mereka menari, mengabaikan dentuman musik yang memekakkan telinga, mengabaikan tangan yang menggerayangi tubuh yang bergerak mengikuti irama musik. Aku menonton dari sudut tergelap yang ada di ruangan sembari menyesap segelas es teh manis. Bibirku menyunggingkan senyum tipis kepada setiap mata yang memandang ke arah meja, tanganku menyodorkan gelas es teh seolah itu adalah minuman dengan kadar alkohol paling tinggi yang ada.

Mereka, teman-temanku atau mungkin lebih tepatnya orang-orang yang membawaku ke tempat ini mengabaikanku. Tidak masalah aku tidak bergabung bersama mereka di lantai dansa sepanjang aku tetap di sini dan membayarkan makanan dan minuman yang mereka pesan.

Aroma rokok dan alkohol yang pekat bercampur dengan aroma keringat dan parfum yang memuakkan. Aku beranjak, tidak lupa meninggalkan beberapa lembar uang berwarna merah di atas meja. Kakiku berjalan menuju meja kasir membawa sebuah kartu plastik berwarna hitam milik Ezra yang bertuliskan namaku di atasnya.

Beberapa juta habis dalam semalam. Aku mendengkus, ini tidak ada apa-apanya bagi Ezra, dia tidak akan keberatan aku menghabiskan uang ini dalam semalam.

Aku menoleh ke belakang, melihat orang-orang yang kupanggil teman itu masih tidak menyadari kepergianku. Aku memejamkan mata sekilas lalu berjalan menuju parkiran di mana mobilku masih terparkir rapi di sana.

Hidup memang melelahkan, tetapi apa yang lebih melelahkan daripada lupa jati dirimu sendiri? Aku memandang langit yang kosong tanpa bintang. Mana mungkin bintang bisa terlihat di kota yang terang benderang seperti ini?

Mobil kulajukan secara perlahan di jalanan yang lengang. Sebagian manusia sudah bersembunyi di balik selimut mereka, tertidur dengan tenang, sebagian lagi mungkin seperti teman-temanku yang sibuk di dalam bar yang berisik.

Suara podcast mengisi mobilku yang sepi tanpa suara berisik teman-temanku.

Sepi, sendiri, aku memang menyedihkan. Aku menarik napas dalam, berusaha menahan air mata yang hendak melesak turun membasahi pipiku. Tuhan, kenapa hidup semelelahkan ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top