1. Akhir Yang Baru

Beberapa hari sebelum kecelakaan.

"Aku ingin menunda perceraian kita." Armita membuka suara untuk pertama kalinya mereka bertemu setelah berpisah rumah berbulan-bulan.

"Kenapa?" Ezra menyangsikan perkataan wanita itu. Armita yang dia kenal tidak akan mengubah keinginannya secepat cuaca berubah, beberapa waktu yang lalu wanita itu meminta bercerai, lalu kenapa tiba-tiba ingin mengubah pikirannya? 

"Apa kamu mau bercerai?" Armita menatapnya, kedua manik cokelat wanita itu membuat tanpa sadar Ezra menelan ludah. Dia mencintai wanita ini, tetapi rasa cintanya terlalu sakit untuk tetap diteruskan.

Ezra mengeraskan hatinya sebelum berkata. "Emang sudah waktunya kita berpisah, Mit." Seharusnya sudah sedari dulu mereka berpisah, entah alasan apa yang membuat Ezra ragu-ragu untuk mengajukan perceraian ke pengadilan agama dan entah alasan apa pula yang membuat Armita kini ingin menunda perceraian mereka.

"Apa itu yang kamu mau?" Armita bertanya kembali.

Bila itu yang wanita itu katakan, Ezra tak mampu menjawabnya. Tidak ada seorang pun yang ingin bercerai. Dia hanya ingin menikah sekali di dalam hidupnya, tetapi tidak seperti ini, tidak dengan Armita yang belum bisa melepaskan masa lalunya dan berselingkuh terang-terangan di hadapannya. "Ini adalah akhirnya Mit. Kita memang harus berpisah."

"Aku tahu," Armita mengangguk setuju. "Aku nggak bilang kita nggak akan berpisah, aku cuma bilang mau menunda perpisahan kita."

"Kenapa?" Ezra bertanya lelah. Dia lelah menghadapi wanita ini yang selalu bersikap semau-maunya kepadanya. Dia memperhatikan raut wajah Armita, setelah berbulan-bulan tidak menemui wanita ini dan melihatnya kembali, Ezra harus mengakui ada yang berbeda dari Armita, wanita itu terlihat lebih lelah, lebih kurus, dan lebih pucat daripada biasanya.

"Sebentar saja, ada hal yang ingin aku urus dulu sebelum kita berpisah."

"Apa papamu sudah tahu?" Ezra bertanya kembali, ia melihat tubuh wanita itu menegang sesaat sebelum rileks kembali. Om Heru merupakan ayah tiri Armita, pria itu mungkin salah satu orang yang paling berpengaruh dalam hidup Armita selain ibu dan adiknya. Dialah pria yang mengangkat derajat keluarga Armita ketika menikahi ibunya dan bahkan turut serta dalam mengembangkan bakat Armita serta hendak menjadikannya penerus usaha yang pria itu miliki. Entah bagaimana meski hubungan ibu mertuanya dan Anindya cukup baik dengan Om Heru, Armita seolah menjaga jarak yang cukup dengan pria itu. Tidak terlalu dekat, tetapi juga tidak terlalu jauh. Ezra sendiri pun sulit mencernanya karena dia hanya bertemu pria itu ketika bersama Armita sedangkan wanita itu sendiri nyaris tidak pernah membicarakan ayah tirinya itu.

"Apa dia perlu tahu?" Bisikan lirih yang keluar dari bibir Armita tidak luput dari pendengaran Ezra. Tatapan wanita itu terlihat kosong sesaat sebelum kembali menatap Ezra. "Zra, aku mohon, aku minta bantuan kamu satu kali ini aja. Tolong tunda perceraian kita, untuk sesaat sebelum kamu bisa bebas dari aku selamanya."

Ezra menyanggupi permohonan wanita itu. Bukan karena masih memiliki rasa kepada Armita, tetapi karena untuk pertama kalinya, wanita bertemperamen keras, galak, licik, menyeramkan, seperti Armita memohon kepadanya untuk menunda perceraian mereka.

Sekelumit senyum terbentuk di bibir wanita itu. "Thanks, Zra." Hanya ucapan terima kasih yang tidak lebih dari dua kata.

Sesuatu jelas terjadi kepada Armita pada hari itu, sayangnya Ezra tidak ingin peduli kembali. Mereka sebentar lagi berpisah, bisa saja ini hanya satu dari sekian hal yang Armita lakukan untuk menyakitinya.

***

Pihak bengkel menghubungi Ezra. Anehnya mereka menghubunginya untuk menanyakan mobil Armita. Mobil milik Armita, atas nama Armita, dan Ezra tidak memiliki sangkut paut apa pun terhadap mobil itu.

"Pak, kami sudah coba hubungi Bu Armita tapi nomornya tidak aktif." Pria itu meminta kepadanya untuk memberikan penjelasan.

Ezra lelah menghadapi tingkah Armita yang lainnya, mau tak mau dia pergi ke bengkel untuk menyelesaikan masalah apa pun yang ada kaitannya dengan istrinya itu.

"Kami belum punya sparepart untuk bagian yang rusak itu, pak." Ezra hanya mengangguk-ngangguk berpura-pura paham terhadap apa pun yang pria itu jelaskan kepadanya. "Mobilnya bisa dibawa tapi harus lebih berhati-hati."

"Iya, Pak." Lagi-lagi Ezra hanya mengiyakan apa pun yang montir itu katakan kepadanya.

"Tapi, Pak ... " Pria itu menunda perkataannya sekilas. "Ibu Armita kenapa ingin modifikasi mobilnya ya?" Ia melanjutkannya kembali.

Ezra mengangkat alisnya sekilas. "Dikerjain aja lah, Pak." Dia tidak peduli dan tidak mau tahu apa yang istrinya itu kerjakan.

***

"Kalau lo nggak benar-benar peduli, kenapa lo datang?" Bila kata hati terkecilnya bisa berbicara, mungkin dia juga akan mengatakan hal yang sama seperti yang Dimas lontarkan saat ini.

Dia tidak peduli. Dia tidak mau tahu. Sudut hatinya yang paling tersakiti dan ternodai berbicara, tetapi di sudut terkecil lainnya mengingatkannya.

"Gue nggak peduli, Dim." Ezra mengabaikan celotehan sahabat sekaligus rekan kerjanya itu. 

"No, you care that's why you come. Itu remeh banget Zra, lu bisa suruh Pak Ijal buat cek di bengkel. Kenapa dikerjain sendiri?" Dimas lagi-lagi melontarkan perkataan menohok yang jelas saja mengusiknya.

"Ya, gue cuma penasaran aja mobilnya diapain sampai bengkel telepon gue dan suruh gue datang." Ezra menyibukkan dirinya dengan pekerjaan yang ada di hadapannya.

"Terus apa kata bengkelnya?"

"Ya remnya ada yang rusak, masih bisa dipake kok."

"Zra." Dimas memanggilnya kembali. "Itu rem loh, krusial banget kalau ada apa-apa. Lo udah kasih tahu Armita?"

"Armita sendiri yang bawa ke bengkel, pasti dia tahu kan kenapa?" Ezra balas bertanya, tetapi di dalam dirinya sendiri pun dia tidak yakin. Ada sesuatu yang aneh pada Armita sejak hari wanita itu memintanya untuk menunda perceraian mereka. "Paling dia lagi cari perhatian."

Dimas menghela napas panjang, tidak habis pikir dengan pasutri ini. Ezra yang menolak mendengarkan kata hatinya yang terdalam atau Armita yang diam-diam saja. "Gue nggak ngerti kenapa kalian masih nikah."

Ezra menarik napas. "Gue juga nggak, Dim."

"You still love her."

"No, I don't. I hate her."

***

Armita kecelakaan. Bayangan pertama yang terlintas di benak Ezra adalah kebencian dan kecemburuan, karena orang pertama yang menemukan Armita dalam kondisi terkapar di mobilnya adalah Radi. Pengacara, teman, sekaligus selingkuhan Armita. Sosok yang tidak bisa ia singkirkan dari sisi wanita itu bagaimana pun dekatnya hubungan mereka.

Dia mencintai Armita, sementara wanita itu sendiri hatinya masih berada di Radi. Lalu kenapa wanita itu menerima pinangannya ketika ia tidak bisa melupakan pria itu? Ezra tidak tahu.

Ada begitu hal yang Ezra sadari tidak ia kenali dari Armita ketika wanita itu kehilangan ingatannya. Dia berubah, seratus delapan puluh derajat. Bila ada sesuatu yang membuatnya jatuh cinta kepada Armita dua puluh tujuh tahun, wanita itu telah menghilangkannya, merusaknya, dan menghancurkannya. Namun, Armita yang hilang ingatan, Armita yang ini membuatnya mengingat kembali kenapa dia mencintai wanita itu. Perasaannya berkecamuk, dia membenci wanita itu, tetapi wanita itu tidak memiliki siapapun di sisinya. Dia ingin memanfaatkan rasa tidak berdaya yang wanita itu miliki sekarang lalu menghancurkannya dengan seketika.

Ezra melanjutkan rencananya, untuk menceraikan Armita. Hanya karena wanita itu kehilangan ingatannya bukan berarti perjanjian yang telah mereka sepakati akan batal begitu saja, bukan?

"Ini bukan kecelakaan biasa." Dia tahu, nyaris semua orang yang mengetahui apa penyebab kecelakaan itu tahu. Rasa bersalah menyusup ke hatinya, apakah dia pelaku kejahatannya karena tahu apa yang terjadi pada mobil Armita, tetapi membiarkannya?

Namun, bukankah pihak bengkel sendiri yang mengatakan bahwa Armita yang ingin memodifikasi mobilnya sedemikian rupa? Kenapa?

Ezra melihat raut wajah Armita yang tengah tertidur lelap. Ingin rasanya dia tahu apa yang ada di dalam otak wanita itu, apa yang tengah wanita itu pikirkan, rencanakan, dan kenapa mereka harus berakhir seperti ini?

***

"Apa?"

"Pelakunya kamu sendiri, Mit." Ezra memegang kedua tangan Armita erat-erat. "Kamu ingin mengakhiri hidupmu sendiri."

Tangan Armita gemetar. Armita dua puluh tujuh tahun ingin mengakhiri hidupnya? "Kenapa?" Tidak, bukan kenapa pertanyaan yang tepat. Ada begitu banyak alasan Armita ingin mengakhiri hidupnya, tetapi bagaimana, kenapa .... "Kenapa? Kenapa harus aku yang mati?" Tolak Armita tidak terima. Dia tidak bisa menerima dirinya hendak mengakhiri hidupnya sendiri. Tidak, seharusnya tidak seperti ini.

"Kamu nggak bisa melihat jalan lain, cara lain ... untuk mengakhiri ini semua." Ezra berusaha menjelaskan dengan nada tertatih, menyadari betapa tidak kompetennya dia sebagai seorang suami, sebagai manusia, dia tidak tahu apa-apa.

"Bagaimana kamu tahu?" Armita bertanya gusar, ia hendak menarik tangannya dari genggaman Ezra, tetapi pria itu tidak melepaskannya sedikit pun. "Apa ini akal-akalanmu saja?"

"Mit," Ezra terisak. "Mungkin aku emang punya andil karena tidak berusaha untuk lebih mengerti kamu, tetapi bukan aku yang merencanakan kecelakaanmu. Itu kamu sendiri, Mit. Kamu bahkan udah siap mati saat itu."

"Apa yang kamu bicarakan?! Aku nggak mungkin bunuh diri." Armita berteriak gusar, suaranya serak, matanya nanar.

"Pengacara perceraian kita ... bukan Radi. Dia nggak tahu apa-apa." Ezra berusaha menjelaskan meski nadanya pahit. "Isinya memang gugatan cerai, tapi bagian tentang pembagian harta gono gini di dalamnya aneh, Mit."

"Apa maksud kamu?"

"Kamu nggak ngambil sepeserpun harta bersama kita, semua kamu serahkan kembali ke aku. Uang yang kamu tabung berikut apartemen ini dan mobil juga kamu berikan untuk Anin dan ibumu." Ezra berusaha memahami apa isi gugatan cerainya yang terpisah dari pembagian harta gono gininya. "Kamu menuntut cerai, tapi kamu tahu kan prosesnya nggak bisa semudah itu? Kita harus melewati tahap mediasi terlebih dahulu sebelum hakim ketuk palu. Itu pun bila kedua belah pihak sepakat untuk bercerai. Karena kondisimu yang masih sakit dan hilang ingatan akibat kecelakaan, proses perceraian kita ditunda lebih lama lagi. Aku punya waktu cukup lama untuk mempelajari semua gugatan."

"Kapan kamu menyadari itu semua?"

"Ibuku yang pertama kali ngangkat ini. Karena katanya mungkin aja kamu pura-pura amnesia agar tidak jadi cerai atau mungkin juga ini cuma alasan aja biar hartaku kamu yang bawa." Ezra menahan isakannya. Ia berusaha keras untuk tidak hancur dan runtuh di hadapan wanita ini, ketika yang paling dibutuhkan Armita adalah tiang yang kokoh agar bisa bersandar di kala lelah.

"Apa itu kenapa pertama kali kamu ketemu aku di rumah sakit, kamu bilang aku cari perhatian?" Ezra mengangguk perlahan, rasa bersalah menyusup kembali.

"Karena itu aku cari tahu, aku berusaha buat cari alasan kenapa kamu tiba-tiba hilang ingatan. Alasan yang masuk di logikaku, Mit." Ezra menahannya kembali. "Aku mencari tahu, sesuatu apa aja, yang mungkin menjadi alasan buat kamu."

"Kunci, handphone, dompet, kenapa kamu sembunyikan itu semua?"

"Karena aku egois, Mita. Karena aku takut bila kamu lihat itu semua, kamu akan kembali jadi Armita yang dulu." Ezra menunduk dalam-dalam, penyesalan lekat di wajahnya, bahkan di suaranya yang serak. "Karena aku yang nggak berusaha lebih keras untuk mengerti kamu dan ketika aku sadar, kamu udah berusaha ... nggak cuman ninggalin aku, tapi ninggalin dunia ini juga."

"Bagaimana kamu tahu?"

Ezra menahan napas sejenak. "Aku mencari kemana-mana, tapi aku lupa mencari di satu tempat."

"Di mana?"

"Cincin nikah kamu." 

Armita melihat tangan kirinya. Dia terhenyak, tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari bahwa Armita tidak pernah mengenakan cincin pernikahannya. Selama ini ia berpikir bahwa bisa saja hal itu terjadi karena tangan kirinya patah dan di gips karena kecelakaan, tetapi sepertinya apa yang terjadi lebih daripada apa yang ia bayangkan.

"Tempat di mana kamu simpan cincin pernikahan kita." Ezra mengulurkan cincin milik Armita ke tangan wanita itu, lalu sepucuk surat yang wanita itu tinggalkan untuknya. "Mit, kamu ingin mengakhiri hidupmu karena kamu merasa bahwa itu adalah satu-satunya jalan."

"Jalan apa?" Armita tidak terima. "Apa hubungannya sama cincin ini?"

"Kamu meninggalkan ini, untukku. Sementara kecelakaan itu ... kamu merekayasa kecelakaan itu seolah-olah itu adalah pembunuhan." Ezra menatap kedua bola mata Armita. Wanita itu menggelengkan kepalanya, seolah tidak terima dengan apa yang Ezra katakan. "It is you, Mit. Pelakunya itu kamu."

"Nggak mungkin, Zra."

"Kamu nggak melihat jalan lain, Mit. Kamu ingin orang-orang tahu apa yang terjadi dengan kamu seandainya kamu beneran terbunuh dalam kecelakaan itu. And they will know, mereka akan tahu apa yang terjadi sama kamu, mereka akan tahu perkosaan yang kamu alami, bayi yang kamu gugurkan, semuanya, Mit. It is ride or die for you." Ezra berucap lirih. "Kamu udah siap meninggalkan semuanya, agar mereka tahu apa yang kamu alami, agar mereka peduli."

"Nggak, Zra." Armita masih menolak menerima kenyataan bahwa Armita dua puluh tujuh tahun berusaha mengakhiri hidupnya sendiri.

"Mit, percaya sama aku, bila penyelidikannya diteruskan, kira-kira siapa pelaku kecelakaan itu?" Ezra berusaha meyakinkannya, meski ini pun sakit baginya. "Kamu berusaha mengakhiri ini semua, dengan mengorbankan dirimu sendiri. It's all written in here." Ezra menyerahkan surat itu kepada Armita, membuat wanita itu menahan napasnya sejenak. "Pelakunya kamu, Armita."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top