🧭 3rd Page 🧭

—🧭—

"Apa yang membuatmu merasa nyaman? Apa yang membuatmu merasa bahagia? Apa yang membuatmu bersemangat? Ceritakan semua kepadaku!"

—🧭—

—🧭—

Schirpophaga Nivella

"Siapa mereka, Metana?"

Aku terlalu terpaku dengan batu akik yang dipercaya para monyet sebagai batu sihir sampai tidak menyadari kehadiran seorang nenek dengan setelan musim dingin berwarna merah. Nenek itu duduk sila di atas batu seraya melambai menyambut kedatangan kami bertiga.

"Mereka berdua adalah manusia yang aku bicarakan kemarin," jawab Metana. Si monyet besar kemudian sedikit mendorong kami berdua untuk mendekati si nenek.

Mengetahui ada manusia lain yang hidup di Arcgis membuatku sedikit bingung. Aneh sekali karena si nenek hidup seorang diri di dalam gua, jauh dari keramaian para monyet. Metana juga tidak berinteraksi banyak dengan nenek itu, si monyet besar terkesan tidak ingin berlama-lama di gua. Aku rasa kehidupan yang sunyi ini tidak cocok untuk monyet.

Ngomong-ngomong tentang setelan musim dingin yang dipakai si nenek, aku merasa dia tidak cocok untuk tinggal ditempat itu dan perlu lebih banyak kayu bakar untuk menghangatkan tubuh. Suhu gua juga terlalu dingin dan kayu bakar di perapian juga terlalu sedikit untuk menghangatkan tubuh tua renta.

"Sebenarnya aku tidak mempunyai nama, kalian berdua bisa memanggilku apa saja," kata si nenek seraya menyentuh kedua tanganku. "Siapa nama kalian?"

Berbeda dengan suhu gua yang dingin, tangan si nenek terasa hangat dan bersahabat, seolah-olah mengatakan gua dingin itu tidak menyurutkan semangat untuk hidup. Aku sama sekali tidak menyangka kulit-kulit keriput itu mampu beradaptasi dengan rasa dingin. Sudah berapa lama dia tinggal di tempat ini?

"Nenek bisa memanggil si tampan ini Helico dan gadis galak Nive. Kami berdua ingin mempelajari sihir," jawab Helico riang seraya menepis tanganku kemudian menggenggam tangan si nenek dengan ekspresi berlebihan. Tingkah lakunya benar-benar buaya dan aku segera menjauh dari orang ini.

Helico benar-benar pemuda yang aneh. Apa dia kerasukan setan Arcgis?

"Tentu saja kalian bisa belajar sihir, tetapi sebelum itu, kita harus tahu jenis sihir kalian berdua," kata nenek dengan ramah. Dia meletakkan tangan Helico di atas batu setinggi satu setengah meter. Meskipun tidak banyak cahaya, aku bisa melihat tulisan-tulisan aneh terukir dibatu itu. Sebagai penyuka sejarah, aku langsung tahu kalau batu dengan tulisan aneh itu adalah prasasti.

Ketika tangan Helico menyentuh prasasti itu, seluruh tulisan mendadak bercahaya. Cahaya yang dikeluarkan Helico menyatu dengan cahaya batu sihir, membuat gua yang awalnya minim cahaya menjadi terang dadakan seperti baru saja memasang lampu. Aku tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya, tetapi cahaya itu mampu membuatku percaya bahwa sihir memang ada.

Apa ini yang dinamakan revolusi lampu?

"H-hebat!" ucap Helico kagum hampir menangis karena terharu. "Jadi ini yang namanya energi sihir."

"Apa setiap orang memiliki sihir yang sama?" tanyaku penasaran, mengabaikan Helico yang mulai terisak.

"Setiap individu mempunyai sihir, mantra, dan karakter yang berbeda. Meskipun ada beberapa yang mirip, aku percaya ada perbedaan aliran sihir. Helico mempunyai sihir angin seperti Helico si pendeta," jawab nenek.

"Aku sama sekali tidak menyangka kalau sihir ini sama dengan tahanan itu. Seberapa kuat aliran sihir Helico, Nek?" tanya Helico seraya menyeka air matanya yang sangat melegenda.

Setelah tangan pemuda itu tidak lagi menyentuh prasasti, cahaya yang menyinari seluruh gua menghilang, kembali redup seperti sebelumnya--aku juga mendengar deru napas Metana yang sedikit berat seperti sedang memikul beban. Si monyet terlihat lebih gugup daripada kami berdua.

"Apa tidak terasa aneh ketika menyebut namamu sendiri? Aku tidak bisa membayangkan Nive yang cantik ini mempunyai kemiripan dengan Nive sang kriminal. Seperti aku yang tidak terlihat seperti aku," tanyaku kepada Helico.

Helico meletakkan kedua tangannya disaku celana, bergaya untuk alasan yang tidak bisa aku terima dengan akal. "Pertanyaanmu membingungkan sekali. Tentu saja menjadi buronan karena alasan konyol sangat keterlaluan, pokoknya kita harus mencari Helio dan mengembalikan buronan itu ke penjara."

"Sekarang giliranku," ucapku dengan lantang dan terdengar sangat bersemangat. "Jika kau mempunyai sihir, aku pasti juga mempunyai sihir."

Helico menyingkir begitu aku mendekati batu prasasti, tidak terlalu jauh, tetapi cukup membuatku tahu kalau dia siap melindungiku jika terjadi sesuatu--sikapnya tidak seperti atlet pada umumnya. Entah mengapa aku geram kepada Helico karena dia terlalu menganggapku lemah seperti slime dan serapuh kayu lapuk.

Sejauh ini, aku belum pernah melihat batu prasasti dan hanya melihat melalui gambar dibuku sejarah sekolah. Prasasti di Arcgis tentu berbeda dengan prasasti peninggalan kerajaan yang pernah berkuasa di Indonesia, aku menduga kalau prasasti ini menyimpan mantra kuno untuk mengetahui sihir orang lain atau mantra lain yang jauh lebih kuat.

"Apa yang kau tunggu?" tanya Helico seraya mengintip dibalik bahuku karena aku terlalu lama mengamati batu prasasti.

"Tidak ada," jawabku pelan seraya meletakkan tangan di atas prasasti, seperti yang dilakukan oleh Helico. "Hanya teringat masa lalu."

"Hah? Ternyata kau tipe orang yang selalu mengingat masa lalu," ucap Helico lebih kepada dirinya sendiri.

Tulisan-tulisan aneh itu bercahaya lagi, tetapi kali ini cahaya itu berwarna merah. Kuat dan terasa panas. Metana berteriak kesakitan karena api tiba-tiba membakar ekornya. Sementara nenek membantu untuk memadamkan api itu, aku merasa punggung Helico menyentuh punggungku.

"Apa yang terjadi?" tanyaku panik karena kekacauan itu.

"Jangan terkecoh!" uca Helico tak kalah panik. "Bertahanlah."

Aku meringis kesakitan karena api juga mengenai tangan, tak terlalu parah seperti yang dialami Metana. "Apa di sini tidak ada petugas damkar?"

"Entahlah mungkin monyet-monyet di sini ada yang mempunyai sihir air. Tunggu sebentar, apa monyet juga punya sihir?"

Pertanyaan Helico yang sangat menyebalkan tentu membuat fokus yang aku pertahankan dengan sekuat tenaga terpecah. Batu prasasti meledak dan mengeluarkan asap kehitaman yang samar-samar bisa aku lihat. Aku dan Helico terlempar kebelakang kemudian menabrak dinding gua yang dingin dan lembab, bersatu dengan kepingan-kepingan batu.

Berbeda dengan keadaan batu prasasti yang hancur lebur, si batu akik masih bersinar gagah menyinari gua yang masih dikelilingi asap. Aku hanya mendapat luka lecet disiku, Helico mendapat luka gores dipipi dan terlihat baik-baik saja, dan ekor Metana sudah padam dari api.

"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Metana seraya mengamati wajah kami berdua dengan teliti. Selain berperan sebagai raja yang berwibawa, rupanya Metana juga mempunyai sisi manis yang peduli dengan makhluk jenis lain.

"Kami sudah merasakan hal yang seperti ini, jadi kau tidak perlu khawatir," jawab Helico dengan riang. "Kenapa tiba-tiba muncul api? Apa Nive melakukan kesalahan seperti menyulut korek api?"

Aku menendang kaki Helico, wajah ini mungkin saja sudah memerah karena marah. "Apa kau bilang? Aku hanya menyentuh batu itu selama satu menit dan gua ini hancur."

"Itu karena kekuatan Helico," ucap Metana. "Angin sangat cocok dengan api. Sihirmu api, Nive."

Helico menggerutu seraya menjauh dariku. "Yeah, api sangat cocok untukmu. Dasar pemarah!"

"Tapi kau yang menghancurkan batu itu, jadi kau yang salah," ucapku seraya menunjuk Helico.

"Kau juga yang membakar ekor Metana. Apa yang akan terjadi jika si raja monyet terkena sihir dari orang amatiran?" Helico tampak tidak terima dengan tuduhanku dan untung saja dia tidak menyerang, gua akan hancur jika dia menggunakan sihir anginnya.

Metana tertawa gugup mendengar perdebatan kami berdua, dia langsung merangkul Helico untuk meredakan amarahnya. "Ekorku akan sembuh, Etana mempunyai sihir penyembuhan yang baik, kalian tenang saja."

"Tetapi batu itu hancur, Metana!" kata kami berdua dengan kompak.

Si nenek tertawa kencang seraya menunjuk sesuatu yang berada di belakang kami semua. "Kalian berdua tidak sadar, batu seperti itu banyak di gua ini. Monyet-monyet di sini sering menghancurkan apa saja, jadi aku sudah punya cadangan."

Aku merasa linglung dan tubuhku mendadak lemas seperti agar-agar. Alis Helico mengkerut, membuat wajahnya semakin menyebalkan dan tampak seperti orang berandalan, pemuda itu kemudian menghela napas berkali-kali.

"Dunia ini ... apa namanya?" tanya Helico. "Terasa tidak asing."

Seperti biasanya, aku bisa mengerti apa maksud dibalik perkataan Helico yang terlalu ambigu. Aku tidak tahu alasan kami bisa cocok satu sama lain di situasi tertentu, mungkin karena kecocokan sihir juga mempengaruhi.

"Dunia ... sedia payung sebelum hujan?" Aku tidak tahu bagaimana pribahasa itu muncul dipikiranku. "Sial. Kalau seperti ini bisa saja kita--"

"Menganggap dunia ini seperti tanah air sendiri ... terlalu familiar," potong Helico.

Apakah semua itu pertanda buruk untuk kami berdua?

Dunia yang masih menjadi misteri dengan sihir yang dianggap segalanya, serta sesuatu yang tidak asing. Aku harus selalu waspada.

—🧭—

Love

Fiby Rinanda 🐝
21 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top