🧭 2nd Page 🧭

—🧭—

"Mengakui ketakutan adalah tindakan yang paling berani."

—🧭—

—🧭—

Helicoverpa Armigera

Sudah terhitung tiga hari menjadi tamu istimewa raja monyet yang mendiami Hutan Arcgis, aku merasa masinmh terbayang rasa takut. Metana mengatakan kalau kepala kami berdua sangat istimewa melebihi ribuan koin emas atau batu berlian dengan harga langit. Jika dia menginginkan harta, sudah dipastikan aku dan Nive menjadi arwah gentayangan.

Jangan tertawa, wahai sobat. Kematian memang layak untuk ditakuti bahkan untuk kalian yang merasa suci. Aku yang hanya manusia biasa ini pernah bermimpi seseorang berjubah hitam dengan sabit besar hendak membunuhku.

"Kau salah besar, Metana. Aku bukan tahanan seperti yang kau katakan," ucap Nive dengan nada tersinggung, gadis itu kemudian melirikku dengan matanya yang tajam menakutkan. "Dia juga sama."

Metana tertawa terbahak-bahak, menampilkan gigi runcing yang membuat bulu kuduk berdiri--aku masih tidak menyangka kalau monyet ini bisa berbicara, akal sehatku masih belum menerimanya. Monyet besar itu menyodorkan minuman berwarna hijau lumut ke arah kami, sepintas warnanya sangat menjijikan namun aroma yang dikeluarkan sangat harum sehingga dapat membuat perutku bergerumuh meminta jatah.

"Kalian memang bukan tahanan, tetapi kalau ditelusuri kalian memang tahanan," kata Metana misterius.

"Apa maksudmu?" tanyaku dengan kening mengkerut tidak mengerti. Aku berpikir bahwa tiga hari cukup untuk memahami bahasa monyet, ternyata perkataan Metana jauh lebih sulit dari jawaban soal matematika. "Secara tidak langsung kau mengatakan kalau kami adalah objek yang meragukan."

"Jangan membuat waktu kami terbuang sia-sia, masih ada hal yang harus kami kerjakan," desak Nive.

"Baiklah, aku akan menceritakan semua kepada kalian berdua. Lima tahun yang lalu ada tiga tahanan yang berhasil kabur dari penjara bawah tanah. Tahanan ini mempunyai kekuatan sihir yang sangat hebat dan mereka adalah orang-orang yang jenius. Kerajaan yang tidak ingin mendapat amarah rakyat membuat berita palsu bahwa ketiga tahanan ini menghilang bukan melarikan diri seperti cerita aslinya. Aku masih belum tahu alasan bagaimana para tahanan berhasil kabur dan alasan kerajaan berbohong kepada rakyat. Sejak saat itu, Arcgis tidak akan ikut campur dalam urusan kerajaan. Situasi akan semakin berbahaya untuk kalian berdua karena nama kalian sama dengan nama para tahanan yang kabur."

Nive melotot tidak percaya, gadis itu menunjuk Metana dengan geram. "Hanya karena kesamaan nama, kami harus mati. Aku tidak percaya hal sebodoh ini!"

"Aku setuju," kataku. "Apa kalian pikir, nyawa kami sebuah permainan?"

Metana menunduk muram--walau sebenarnya wajah si monyet sama saja karena aku tidak bisa membedakan ekspresi primata. "Manusia mungkin akan kesulitan, tetapi sebagai binatang yang diberkati sihir, kami bisa membedakan kemiripan antara kalian berdua dengan para tahanan. Kalian sangat mirip, bukan hanya nama tetapi aliran sihir yang ada didalam tubuh."

"Kami berdua bukan penyihir!" ucapku lantang sampai membuat Nive berjengkit kaget.

"Kalian berdua mempunyai sihir yang sangat hebat dan juga berbahaya. Kalau kalian lengah sedikit saja, Kesatria Sihir akan menangkap kalian."

Aku menutup mulutku, menahan rasa mual karena keanehan ini. Tubuhku terasa tegang, jantung berdetak sangat cepat, dan telapak tangan terasa dingin ketika disentuh. Semakin aku takut semakin pula aku merasa gugup, perasaan ini tidak pernah terjadi sebelumnya.

Aku selalu gugup dan takut sewaktu pertandingan, hanya Helio yang bisa membuatku lebih berani dan percaya diri. Hal itu juga berlaku untuk Helio, jika dia takut maka aku akan membuatnya menjadi lebih tenang. Orang bilang, anak kembar mempunyai berbagai cara untuk saling menguatkan. Namun saat ini tidak ada orang yang bisa mendorongku untuk bangkit.

Ini terasa ... aku sangat pengecut.

Apakah hidupku harus dipermainkan dengan kejam oleh Tuhan? Apa Dia tidak berniat untuk membantuku ... minimal untuk mengatakan kalau Helio baik-baik saja?

Apa Tuhan tidak menyuruh seseorang untuk berada di sampingnya?

"Helico? Apa kau baik-baik saja?" tanya Nive dengan raut wajah khawatir.

Berkat suara Nive, aku mungkin akan terus mengutuk Tuhan dan hampir saja menjadi hamba yang durhaka. Aku merutuki kebodohan ini, Tuhan akan selalu mendengar doa setiap hambanya.

Aku masih berharap Helio bisa melewati masalah ini.

"Hanya sedikit pusing," ucapku lemah ditambah dengan senyuman lebar untuk mencegah Nive bertanya macam-macam. "Yo, Metana! Meski kau adalah seorang raja, aku menolak untuk tunduk kepadamu. Kau bukan rajaku."

Nive memukul pelan lenganku. "Apa yang kau katakan?"

Aku sedikit mengacak rambut Nive dan tersenyum ke arah Metana. "Aku lebih menyukai kalau kita menjadi teman, hubungan seperti itu terasa lebih hangat 'kan?"

Aku memang bukan orang suci yang menebar kebaikan dimana saja, namun juga tidak sejahat karakter antagonis. Apa pun caranya, aku harus bertahan hidup di dunia ini. Seharusnya Nive lebih paham daripada aku, dia adalah seorang detektif yang jauh lebih berpengalaman dari seorang atlet voli. Dia pasti tahu langkah apa yang tepat untuk saat ini.

Nive masih menatapku linglung. "O-oh, aku rasa itu cukup bagus ...."

Apa Nive belum menyadarinya?

"Metana, apa kau tidak keberatan untuk berteman dengan kami?" Nive menatap Metana dengan serius, sementara aku diam-diam tersenyum licik.

Untuk menghindar dari Kesatria Sihir, kami berdua harus bersekutu dan mencari perlindungan atau kekuatan tambahan. Para monyet di Hutan Arcgis menjadi batu loncatan yang cocok untuk mengembangkan kekuatan, selain itu aku bisa mendapat informasi yang tidak bisa didapatkan di kota.

Aku harus memanfaatkan Metana dengan sebaik mungkin. Lagi pula aku tidak ingin mati sia-sia di dunia antah berantah ini.

"Ide bagus," ucap Metana.

—🧭—

Metana membawa kami ke sebuah gua tidak jauh dari istana rumah pohon para monyet. Gua ini tidak segelap bayanganku tetapi permukaan yang basah bisa membuat seseorang jatuh kapan saja. Gua ini juga sangat sempit--aku dan Nive hampir selalu menahan napas hanya untuk melewati lorong-lorong gua yang sempit. Postur tubuh Metana yang tinggi besar membuatku terheran, monyet itu dengan mudahnya meliukkan tubuhnya seperti balerina profesional.

Apa dia tidak bisa lebih aneh lagi?

"Kenapa kita harus ke gua?" tanyaku dengan suara pelan, meski begitu suaraku menggema dengan keras sampai beberapa kelelawar mengepakkan sayapnya karena kaget.

"Seperti uji nyali," gumam Nive. Matanya menelusuri dinding gua dan mengamati dengan teliti--gadis ini benar-benar aneh. "Aku pernah uji nyali di gua, rasanya seperti kembali ke masa lalu."

"Kalian berdua akan belajar sihir," jawab Metana. "Sebentar lagi kita akan tahu seberapa mirip sihir kalian dengan para tahanan."

Aku menahan perutku karena mual. Mengingat para tahanan sama saja dengan mengingat Helio, terlalu menyeramkan. "Para tahanan itu terdengar menyebalkan."

"Aku setuju," ucap Nive. "Jika sihir memang ada, aku pasti lebih kuat dari mereka."

"Percaya diri sekali," kataku hampir saja tertawa kencang karena ucapannya yang terdengar mustahil, mendadak aku tidak merasa mual lagi. "Detektif amatiran sepertimu mana mungkin setara sama si tahanan."

Nive mendesah kesal. "Aku lebih baik daripada atlet beban sepertimu."

"Apa kau bilang?"

"Kau beban!"

"Gadis amatiran!"

Metana menggeram kemudian tertawa pelan. "Kita sudah sampai. Kalian berdua cepat berdiri di depan batu itu."

Aku terlalu serius berdebat dengan Nive sehingga tidak menyadari pemandangan aneh di depanku. Metana dengan bangganya menunjukkan benda magis yang disebut 'batu' kepada kami berdua.

"A-apa?" Sama sepertiku, Nive juga terkejut.

Sihir dan penyihir, pemandangan seperti itu bisa kami lihat hanya di televisi. Namun, ada juga yang masih mempercayai sihir dan penyihir, mereka menganggap semua itu hanya ilmu hitam yang dapat membahayakan nyawa manusia.

Namun 'batu' milik para monyet ini sungguh familiar. Apakah benar 'batu' ini benda magis?

"Pasti aku salah lihat," sangkal Nive. "Batu sekecil itu bukan batu yang ada dipikiran kita 'kan?"

Aku menggaruk pipi, merasa bingung harus berekspresi seperti apa. Nive menatapku dengan tajam--menyuruh untuk mengatakan kalau matanya mungkin bermasalah.

"Seharusnya kau senang!" bentakku seraya menggoyangkan tubuh mungil Nive. "Kita bisa mengenali batu itu."

Nive berteriak seraya membenturkan dahinya ke dahiku. Rasanya sakit dan kami berdua sama-sama berdarah, Metana yang kebingungan hanya bisa menatap dari jauh tanpa ada niat untuk melerai. Mungkin sebagai monyet dia tidak berniat untuk tidak ikut campur dalam masalah manusia.

"Ini bukan mimpi," kata Nive seraya membersihkan darahnya. "Aku masih sadar."

"Kau memang tidak bermimpi, bodoh! Batu yang kita lihat memang batu akik. Kita tidak bisa menyangkal."

—🧭—

Love

Fiby Rinanda🐝
2 Mei 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top