My Everything - alnuraputri

Author note: Cerita ini sebagian besar akan berisi flashback. Untuk memudahkan membaca tulisan dengan font garis miring adalah cerita flashback. Dan untuk tulisan dengan font normal adalah cerita masa sekarang. Jadi selamat membaca dan semoga suka, maaf jika ada kesalahan dalam penulisan.

by alnuraputri

***

Aku sudah berdiri di depan rak buku besar ini sejak lima belas menit yang lalu, tetapi belum juga berhasil mendapatkan buku yang aku mau. Dalam situasi seperti ini, aku menyalahkan tubuh kecilku yang bahkan tak lebih dari 155 cm. Sekarang sudah pukul empat sore dan perpustakaan akan segera tutup, sedangkan aku masih belum berhasil mendapatkan buku yang aku mau. Aku heran, kenapa sejak tadi hampir tidak ada satu orang pun siswa yang lewat, petugas perpustakaan yang seharusnya bisa membantuku juga mendadak hilang entah ke mana.

Tidak mau berlama-lama, aku putuskan untuk mencoba mengambilnya sendiri. Buku itu ada di rak paling atas. Dengan modal nekat, kuangkat tanganku tinggi untuk meraih buku bersampul merah itu. Dan gagal. Sekali lagi aku coba angkat tanganku semakin tinggi sembari berjinjit dengan dua ibu jari kaki dan hasilnya tetap nihil.

Rasanya sungguh lelah, helaan nafasku terasa memburu hanya karena aku berusaha mengambil buku untuk tugas sejarah. Aku lelah terus mencoba melakukan hal konyol yang bahkan tak akan berhasil kulakukan. Aku jadi sadar bahwa tinggiku yang tak seberapa ini tidak mungkin bisa meraih buku yang ada di tingkat tertinggi itu.

Baru saja aku menyerah dan memilih pergi, seorang laki-laki tinggi dengan tiba-tiba mengukungku. Keterkejutan membuatku refleks mendongak hanya untuk mendapati seorang laki-laki berahang tegas berada tepat di atasku. Awalnya aku pikir dia tidak melihatku hingga seenaknya melakukan hal seperti itu, tetapi ternyata aku salah. Dia hanya mengambilkan buku yang kuinginkan untukku.

"Kau ingin mengambil ini bukan?" Dia bertanya padaku tepat ketika buku itu ditunjukkan padaku.

Aku terdiam untuk sesaat. Suara beratnya membuatku terpana begitu saja.

"Hei ... kau mendengarku?"

"Ah ... iya, aku ingin mengambilnya," gagapku menjawab pertanyaannya. "Terima kasih." Aku tersenyum sambil mengambil buku itu dari tangannya.

Ada perasaan aneh yang bergelanyar di hatiku. Jantungku berdetak sangat cepat tanpa tahu apa alasannya. Sungguh. Untuk pertama kalinya aku merasakan hal seperti ini hanya karena seorang laki-laki yang tak aku kenal. Aku terkejut. Wajahnya yang bak tokoh anime membuat nafasku seakan berhenti karena keterkejutanku.

"Taeyong." Suaranya mengalun mulus masuk ke telingaku dan aku tak tahu harus meresponsnya seperti apa.

"Hei ... kau melamun?" Lambaian tangan di depan wajahku menyadarkanku sepenuhnya dari pikiran-pikiran random.

"Ah ... Nara. Namaku Nara." Aku tersenyum sambil membalas uluran tangannya.

"Nara, nama yang indah."

Blush....

Pipiku terasa panas sesaat setelah Taeyongㅡnama laki-laki ituㅡmengucapkan dua kata keramat. Pujian yang dia berikan membuatku semakin sulit mengendalikan diri.

"Kau akan pulang?" tanyanya.

"Ne. Ini sudah sore dan aku takut kemalaman sampai di rumah," jawabku lancar setelah berhasil mengendalikan diri.

"Mau kuantar?"

"Antar?" tanyaku terkejut.

"Kita searah, jika kau belum tahu." Senyum manisnya benar-benar membuatku melayang. Indah. Sungguh senyum itu terlihat begitu indah.

"Kau tahu rumahku?"

"Apartemen Yongshil. Apa aku salah?"

Lagi-lagi dia membuatku terkejut. Apakah dia mengikutiku hingga tahu rumahku? Atau jangan-jangan dia penggemar rahasiaku?

"Bagaimana kau tahu?" tanyaku bingung.

"Aku sering melihatmu masuk ke gedung apartemen itu. Rumahku tak jauh dari sana," timpal Taeyong membuatku paham. "Jadi bagaimana? Mau pulang bersamaku?"

Pertanyaan Taeyong membuatku bingung. Aku dan Taeyong secara resmi baru saja berkenalan meskipun aku sering melihatnya, tetapi tiba-tiba dia mengajakku pergi bersama. Rasanya cukup aneh.

"Apakah tidak merepotkan?"

"Tentu saja tidak. Aku mengendarai motor, kau tidak masalah?" tanyanya.

"Tidak masalah."

"Kalau begitu, ayo! Sebelum turun hujan." Aku mengangguk mengiakan ajakan Taeyong.

Hari ini untuk pertama kalinya aku pulang bersama seorang laki-laki yang bahkan baru kuketahui namanya. Cukup canggung memang, tetapi tidak jadi masalah karena setidaknya aku sudah tahu namanya.

***

Ingatan tentang bagaimana aku bertemu dengan Taeyong kembali masuk ke dalam pikiranku. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana akhirnya aku bisa bersama dengan Taeyong hingga sekarang. Sambil masih merapikan tatanan make up dan rambut, kuambil sebuah gantungan kunci Micky Mouse milik Taeyong di atas meja. Gantungan kunci ini sangat berarti bagi Taeyong. Aku ingat dia menceritakan bagaimana dia mendapatkan hadiah pertama dari mendiang adiknya berupa gantungan kunci Micky Mouse itu.

Enam tahun lalu, saat kami memutuskan untuk berpacaran, Taeyong memberikan gantungan kuci berharga itu padaku. Awalnya aku tidak mengerti alasan apa yang membuat Taeyong memberikan gantungan kunci itu padaku. Tetapi setelah dia menjelaskan bagaimana berharganya gantungan kunci kecil itu, aku mengerti bahwa alasannya adalah karena aku berharga baginya.

Hari ini adalah hari di mana Taeyong menyatakan cintanya padaku. Hari di mana aku dan Taeyong mulai menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Hari ini, enam tahun lalu, aku melihat bagaimana Taeyong yang cuek dan pendiam melakukan hal paling konyol yang pernah aku lihat.

***

Sejak pagi aku merasa aneh dengan perubahan Taeyong. Entah apa yang terjadi padanya hingga membuatnya bersikap tidak seperti biasa. Bayangkan saja! Taeyong yang pendiam mendadak sangat cerewet. Sejak dia datang menjemputku di apartemen, Taeyong tak berhenti membicarakan tentang bagaimana pertemuan pertama kami hingga hal-hal aneh yang pernah terjadi.

"Tae." Taeyong menoleh ke arahku begitu mendengar suara pelanku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Apa kau salah minum obat?" Kernyitan jelas terlihat di dahinya.

"Tidak. Ada apa memangnya?" tanyanya bingung.

"Kau aneh," kataku to the point.

"Apanya?"

"Kau cerewet. Biasanya kau bahkan hanya berbicara dua kata saja." Dia terkekeh mendengar ucapanku.

Apanya yang lucu? Aku sedang kebingungan dengan perubahan sikapnya yang drastic, tetapi dia malah tertawa. Sungguh benar-benar aneh sikapnya hari ini.

"Tunggu sebentar!" Taeyong berdiri dari duduknya kemudian berlalu ke luar kafe tempat kami makan siang.

Aku semakin dibuat bingung dengan ulahnya yang satu ini. Sebenarnya apa yang sedang dia rencanakan? Memikirkannya membuat kepalaku pusing. Dia yang aneh, tetapi aku yang sakit kepala.

Triing....

Suara bel dari pintu yang terbuka membuat atensiku terganggu. Baru saja aku akan menyuap pasta carbonara, aku sudah dikejutkan dengan kedatangan sosok laki-laki yang aku kenal. Mataku membola karena terkejut dengan kehadiran laki-laki yang sejak tadi sudah aku pikirkan. Di ujung sana, aku melihat sosok yang kukenal tengah berdiri tegap dengan buket bunga berukuran sedang di tangan kanannya.

"Apa yang kau lakukan, Tae?" tanyaku pelan pada Taeyong, laki-laki yang berhasil membuat perhatian seluruh pengunjung kafe hari ini.

"Kim Nara.. Aku tahu aku bukan laki-laki yang menjadi idamanmu. Aku tahu aku bukan laki-laki romantis yang humoris. Aku tahu masih banyak kekurangan yang aku miliki." Taeyong berhenti sejenak lalu berjalan mendekat ke arahku.

"Nara...," ucapnya pelan ketika dia berhenti di hadapanku.

"Apa maksudnya, Tae?" tanyaku tanpa suara.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Taeyong malah berlutut sambil menyodorkan buket bunga itu padaku. "Maukah kau menjadi kekasihku?" Mataku semakin lebar terbuka mendengar ucapannya.

"Jangan bercanda, Tae!" ucapku masih berbisik.

"Aku serius, Ra. Maukah kau menjadi kekasihku?" tanyanya sekali lagi.

Aku tidak pernah menyangka Taeyong akan melakukan hal seperti ini. Jujur saja aku menyukai laki-laki berwajah dingin ini. Taeyong memang bukan dalam kategori laki-laki idamanku, tetapi entah kenapa bersama Taeyong selalu membuatku merasa nyaman. Sejak satu tahun lalu, aku sudah menyadari perasaanku padanya, tetapi Taeyong yang cuek dan dingin selalu saja tidak peka dengan perasaanku. Berkali-kali aku mencoba memberinya kode, hasilnya bahkan tak pernah sesuai harapanku.

"Tae...." Taeyong tersenyum sangat manis sebagai respons dari panggilanku.

"Believe me!" ucapnya pelan.

Aku tahu, Taeyong paham bagaimana aku sulit mempercayai tindakannya hari ini, tetapi munafik jika aku menyangkal bahwa aku bahagia dan mengharapkan semua ini. Tidak ada jawaban lain selain "Ya" yang ada di otakku kali ini. Menarik napas panjang, aku akhirnya memantapkan hati untuk menjawab pernyataan cinta Taeyong.

"Aku mau," jawabku pelan.

Taeyong tersenyum semakin lebar setelah aku mengatakan jawaban yang dia harapkan. Aku tidak mau membohongi perasaanku sendiri dengan menolak pernyataan cintanya. Aku hanya meyakinkan hatiku dan bersiap untuk hari ke depannya bersama dengan Taeyong.

***

Mengingat bagaimana Taeyong mengatakan cinta padaku di saat dia bahkan memiliki tingkat rasa malu yang tinggi membuatku tersenyum. Banyak hal yang telah kami lewati selama kami berpacaran. Cemburu, marah, suka dan duka menjadi hal yang hampir setiap hari mewarnai hubungan kami. Kami melaluinya dengan sangat baik hingga hari ini.

Menjadi bagian dari hidup Taeyong adalah hal yang paling membahagiakan untukku. Aku yang seorang anak yatim piatu akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh seorang pria baik. Berkat Taeyong, aku juga bisa merasakan bagaimana bahagianya mendapat kasih sayang dari sosok orang tua.

Aku tidak mengerti kenapa orang tua Taeyong begitu menyayangiku. Aku ingat bagaimana Taeyong merajuk setiap kali ibu Taeyong lebih banyak menghabiskan waktu denganku daripada dengan Taeyong. Atau saat Taeyong mendapat omelan dari ayahnya karena menjahiliku ketika sedang makan. Mengingatnya membuat hatiku menghangat.

Berkat orang tua Taeyong juga akhirnya Taeyong berani melamarku satu tahun yang lalu. Malam itu, di rumah orang tua Taeyong, di tanggal yang sama seperti hari kami berpacaran pertama kali, Taeyong melamarku di hadapan orang tua dan keluarganya. Hari itu adalah hari yang membuatku merasa seperti seorang putri kerajaan yang akhirnya menemukan pendamping hidup. Hari itu menjadi langkah pertamaku memulai kehidupan baru bersana Taeyong.

***

"Apakah lebih baik kau menikah dengan anak teman Appa saja, Ra?"

"Uhuk...." Aku tersedak minumanku sendiri saat mendengar ucapan ayah Taeyong.

"Appa...." Taeyong juga ikut berteriak tidak terima mendengar ucapan ayahnya.

"Anak itu sepertinya tidak serius denganmu, lebih baik mencari yang lebih serius!" tambah ayah Taeyong membuat suasana mendadak canggung.

"Apa yang dikatakan Appa-mu benar, Ra. Anak teman Appa-mu sangat tampan, dia sedang mencari istri." Aku hanya bisa tersenyum canggung mendengar ucapan ibu Taeyong.

Perlahan aku menoleh ke arah Taeyong dan kulihat wajahnya mulai menekuk karena kesal. Suasana yang canggung tak menghentikan ucapan demi ucapan dari ayah dan ibu Taeyong mengenai rencana perjodohanku.

"Tidak boleh!" suara lantang Taeyong menggema di seluruh penjuru ruangan.

Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya memerah menahan marah. Nafasnya memburu dengan tangan mengepal kuat. Tanpa buka suara sedikit pun, Taeyong melangkah menuju ke kamarnya lalu membanting pintu dengan keras. Ini kali pertama aku melihatnya seperti ini dan sungguh mengejutkan.

"Eomma, sepertinya Taeyong marah," kataku pelan pada ibu Taeyong yang duduk di sebelahku.

"Tenang saja! Anak itu akan segera kembali," ucap ibu Taeyong menenangkanku.

Mau bagaimanapun ibu Taeyong menenangkanku, aku tetap tidak bisa tenang. Bagaimana jika Taeyong benar-benar marah dan memutuskan hubungan kami? Atau bagaimana jika Taeyong tidak mau bertemu denganku lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalaku sekarang.

Brak....

Suara pintu terbuka mengalihkan perhatianku. Di ujung sana, aku melihat Taeyong baru saja membuka pintu kamarnya. Dengan langkah tegas dan mantap, dia melangkah mendekat ke arah kami lagi. Aku ikut berdiri karena ingin mendekatinya sebelum dia mengangkat tangannya untuk menghentikanku.

Aku bingung apa yang dia lakukan. Selain menunggunya, tidak ada hal lain yang bisa kulalukan. Perasaanku tak karuan menunggu Taeyong berjalan menghampiriku. Perasaan ini bahkan lebih campur aduk dibanding saat aku sedang menunggu pengumuman hasil sidang kelulusan.

"Aku akan buktikan keseriusanku." Ucapan Taeyong membuat semua orang di dalam ruangan ini diam, termasuk aku.

"Taeㅡ"

"Biarkan aku berbicara, Nara-ya!" Ucapanku terpotong saat Taeyong menginterupsi.

Setelahnya tidak ada yang berbicara di antara kami. Aku dan semua orang di dalam ruangan ini hanya bisa memperhatikan Taeyong yang berdiri kaku tak jauh dari kami.

"Nara-ya...." Taeyong mendekatiku perlahan dan berhenti tepat di hadapanku. Aku mendongak. Dengan bingung kutatap wajah Taeyong untuk mencari jawaban apa yang sebenarnya dilakukan oleh Taeyong.

"Tae, ada apa?" tanyaku lirih.

"Maukah kau menikah denganku?" Taeyong berlutut di hadapanku secara tiba-tiba dengan sebuah kotak kecil berisi cincin di tangannya.

Aku refleks menutup mulut dengan tangan karena terkejut. Semua orang yang ada di ruangan ini juga sama terkejutnya denganku. Begitu tiba-tiba Taeyong mengutarakan ucapan yang bahkan belum aku pikirkan.

"Tae ... kau serius?"

Taeyong mengangguk mantap.

"Tapi kenapa tiba-tiba?" tanyaku sekali lagi.

"Seharusnya aku mengatakannya saat ulang tahunmu satu minggu lagi, tetapi ayah dan ibuku ternyata memiliki niat jahat untuk hubungan kita." Taeyong menghela napas sebentar sambil melirik ke arah orang tuanya yang memalingkan wajah. "Aku harus ambil tindakan cepat agar hubungan kita tidak berakhir," lanjutnya.

Mendengar ucapannya membuat hatiku menghangat. Senyumku muncul begitu saja setelah mendengar ucapannya. Aku tidak menyangka bahwa dia sudah merencanakan semua sejauh ini. Aku tahu kesibukannya sebagai seorang polisi hingga aku tidak pernah mau mendesak untuk segera menikahiku, tetapi ternyata priaku memang sangat gentle untuk melakukannya tanpa aku minta.

"Kau melakukannya karena ucapan Eomma dan Appa?" tanyaku.

"Iya, tetapi aku memang ingin melamarmu. Waktunya saja yang aku percepat." Dia menjawab cepat pertanyaanku. "Jadi, kau mau menjadi istriku?" tanyanya sekali lagi.

Aku terdiam sejenak memikirkan pertanyaan Taeyong. Sesekali kulirik sekelilingku untuk melihat bagaimana reaksi dari orang-orang yang ada di ruangan ini. Ayah dan ibu Taeyong terlihat sangat menantikan jawabanku, sedangkan yang lain begitu antusias untuk mendengar keputusanku.

"Aku...." Kuhela napasku pelan, "mau menikah denganmu," lanjutku dengan senyum semanis mungkin di bibirku.

"Kau serius?" Aku menganggukkan kepalaku sebagai jawaban. "Yes!" Dia bersorak kegirangan sambil mengangkat kedua tangannya.

Taeyong meraih tangan kiriku lalu menyematkan cincin putih di jari manisku. Dengan sangat erat, dia memelukku sambil berputar-putar. Aku bahagia akhirnya bisa bersamanya dalam ikatan suci pernikahan. Doa dan harapanku akhirnya terkabul karena Taeyong dan aku sangat bahagia.

***

Malam itu, aku merasa bahwa kehidupan baruku akan segera dimulai. Menikah dengan seorang pria yang mencintaiku adalah satu-satunya impian dalam hidupku. Hidup sendirian sejak kecil selalu membuatku ingin merasakan bagaimana bahagianya hidup bersana menghabiskan sisa hidup dengan orang yang paling aku cintai. Sejak malam itu, aku selalu merasa bahwa kehidupanku semakin indah dengan adanya Taeyong.

Berbagai hal kami lakukan bersama untuk mempersiapkan pernikahan kami. Dengan entengnya kami mengatakan bahwa kami akan mengurusnya sendiri tanpa bantuan wedding organizer. Kami yang sedang dimabuk asmara dan kebahagiaan terbuai dengan rencana-rencana mengenai pernikahan hingga tanpa sadar melupakan fakta bahwa kesibukan kami akan menghambatnya.

Kata orang, hari-hari sebelum pernikahan adalah hari-hari yang penuh cobaan dan tantangan, dan kami merasakannya. Berdebat dan bahkan bertengkar mewarnai hari-hari menjelang pernikahan hingga akhirnya kami menyerah untuk mempersiapkan semuanya sendiri. Beruntung karena kami dikelilingi oleh orang-orang baik yang siap membantu. Berkat mereka, semuanya terkendali dengan baik. Taeyong yang sibuk bertugas sebagai polisi tetap bisa bekerja dengan baik dan aku yang sibuk dengan pekerjaanku sebagai pengacara juga bisa bekerja dengan baik.

"Nara-ya...." Suara seseorang menginterupsi kegiatanku.

Di antara pintu yang terbuka, aku bisa melihat Lunaㅡsahabatkuㅡsedang tersenyun ke arahku. Aku juga tersenyum sebagai jawaban atas panggilannya.

"Semuanya sudah siap," ucap Luna pelan. Aku mengangguk mengerti.

"Sebentar lagi aku akan turun." Luna mengerti. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi selain berlalu dari kamar tempatku bersiap.

Hari ini, setelah lama aku menanti akhirnya sampai di hari yang aku tunggu-tunggu. Tepat di hari jadi kami yang keenam akhirnya hari yang telah aku dan Taeyong persiapkan tiba juga. Dengan senyum yang mengembang di bibir, aku berdiri dari dudukku untuk bersiap turun. Di depan kaca tinggi yang kugunakan untuk bersiap, aku rapikan gaun putih yang menjadi pilihan Taeyong. Rasanya sungguh tak karuan. Banyak hal bercampur dalam hatiku sekarang ini.

"Aku siap Tae," ucapku pelan sambil kupandangi foto Taeyong yang terpasang rapi di dinding kamar Taeyongㅡtempatku bersiap sejak tadi.

Aku menghela napas berkali-kali untuk menenangkan diri yang gugup. Dengan langkah pelan, aku memantapkan hati untuk segera turun. Semua orang pasti sudah menunggu dan aku tidak mau membuat Taeyong menunggu semakin lama.

Pelan-pelan, langkah kecil membawaku untuk menuruni tangga menuju ke ruang tengah kediaman keluarga Taeyong. Aku bisa melihat dengan jelas bahwa semua orang sudah berkumpul di sana. Ayah Taeyong, ibu Taeyong, Johnnyㅡsahabat Taeyong, Luna, dan hampir semua orang yang aku kenal sudah ada di sana.

Melihat semua orang telah berkumpul, langkahku terhenti tepat ketika aku melihat Taeyong juga sudah ada di sana. Di tengah-tengah anak tangga aku berhenti untuk melihat bagaimana Taeyong sudah ada di sana dengan tuxedo putih pilihanku.

"Are you okay?" Luna bertanya padaku. Aku bahkan sampai tidak menyadari bahwa Luna telah menghampiriku.

"I am okay," jawabku pelan.

"Semua akan baik-baik saja, Nara-ya." Ucapan Luna membuat air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah juga.

Seharusnya hari ini menjadi hari yang bahagia bagi aku dan Taeyong. Tetapi nyatanya, hari ini menjadi hari paling menyakitkan bagiku. Hari ini yang seharusnya dipenuhi dengan tawa harus berganti dengan tangisan. Hari yang selalu aku tunggu dan aku nantikan menjadi hari yang tidak pernah aku harapkan.

"Nara-ya...." Ibu Taeyong memelukku dengan lembut.

"Kau harus bersabar, Nara!" Johnny mengusap pundakku pelan.

Bersama ibu Taeyong aku mendekat ke arah Taeyong yang telah beristirahat dengan tenang di dalam peti jenazah yang sangat aku benci. Wajahnya terlihat sangat tampan dengan rambut hitamnya dan tuxedo putih lengkap dengan celana panjang dan pantofel hitam menghias tubuh tegapnya. Jika bukan karena peti jenazah ini, aku yakin tidak akan ada yang tahu bahwa Taeyongku sudah tiada. Wajah tenangnya seolah hanya menunjukkan bahwa priaku sedang tertidur.

"Seharusnya hari ini kita berbahagia, Tae. Seharusnya hari ini kita bisa menghabiskan waktu bersama, Tae. Tapi sekarang kenapaㅡ" Tangisku pecah tanpa bisa melanjutkan perkataan yang ingin kuungkapkan.

Aku lelah menangis sejak semalam, tetapi kenapa air mata ini masih terus membanjiri pipiku. Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk tetap tegar dan tidak menangis hari ini, tetapi nyatanya aku gagal mempertahankan usahaku.

"Ikhlaskan Taeyong, Nara-ya!" Ayah Taeyong mengusap punggungku pelan mencoba menenangkan.

"Taeyong sudah tenang bersama Tuhan, Nara-ya. Eomma sama kehilangannya denganmu," Ibu Taeyong menarik pundakku pelan lalu menatap mataku. "Tapi Eomma sudah mengikhlaskan kepergian Taeyong," lirih Ibu Taeyong dengan senyum sendu di bibirnya.

"Taeyongku pergi, Eomma. Dia meninggalkanku sendirian seperti orang tuaku. Taeyongㅡ" ucapanku terpotong saat ibu Taeyong memeluk tubuhku erat.

"Jangan seperti ini, Nara! Taeyong tidak akan bahagia jika kau seperti ini," ucap ibu Taeyong pelan sambil terus mengusap punggungku.

Aku masih belum bisa menghentikan tangisku. Suasana masih terasa sangat sendu di dalam ruangan ini. Semua orang merasa kehilangan atas kepergian Taeyong yang mendadak. Tidak ada satu pun isyarat bahwa Taeyong akan meninggalkan kami.

Semalam, saat aku sedang mempersiapkan semua hal untuk hari penting kami, sebuah panggilan masuk menghancurkan semuanya. Tadi malam, Johnny menghubungiku hanya untuk mengatakan bahwa Taeyong menjadi korban kecelakaan dan meninggal di lokasi kejadian. Tadi malam, duniaku runtuh begitu saja hanya dengan mendengar kabar kepergian Taeyong.

Aku tidak bisa melakukan apa pun hingga Luna dan Johnny datang menjemputku. Tanpa persiapan apa pun, aku pergi menemui Taeyong di tempat yang aku tidak pernah pikirkan sebelumnya. Di rumah duka tadi malam aku menemui Taeyong yang telah terbaring tidak bernafas di dalam peti jenazah. Tangisan ibu Taeyong begitu menyayat hatiku. Melihatnya menangisi kepergian putra tunggalnya sungguh menghancurkan hatiku semakin dalam.

"Taeyong harus segera dimakamkan." Suara Ayah Taeyong membuatku melepas pelukan Ibu Taeyong. Ayah Taeyong tersenyum lembut padaku seolah mengatakan 'Semua akan baik-baik saja, Nara.'.

"Ikhlaskan Taeyong ya!" suara ibu Taeyong kembali masuk ke telingaku. Senyum sendu ibu Taeyong membuatku sadar bahwa bukan hanya aku yang kehilangan sosok pria tampan itu, tetapi orang tua dan orang-orang terdekat Taeyong lainnya.

"Appa...." Ayah Taeyong menoleh ke arahku tepat saat aku memanggil. "Izinkan aku melihat Taeyong untuk yang terakhir kalinya!" lirihku.

"Lakukanlah, Nak!"

Aku mendekat ke arah Taeyong. Bertumpu pada tepian peti jenazah, aku pasrahkan diriku untuk memandangi wajah Taeyongku sebelum harus melepasnya. Kuusap rambutnya pelan, lalu wajahnya yang tampan, hingga dada bidangnya yang selalu jadi tempat sandaranku. Rasanya baru saja aku masih memandangi wajahnya, tetapi sekarang aku harus merelakan kepergiannya.

"Kau tahu aku sagat mencintaimu. Kau tahu hanya kau yang memiliki hatiku," ucapku tersenyum sangat tipis. "Terima kasih sudah menjadikanku wanita paling bahagia, Taeyong-a. Terima kasih untuk semua cinta yang sudah kau berikan padaku." Air mataku menetes begitu saja di pipiku.

Rasanya masih berat untuk mengikhlaskan kepergian Taeyong. Aku baru saja merasa bahagia karena rencana pernikahan kami, tetapi sekarang aku hancur karena kepergiannya. Tidak mudah bagiku untuk begitu saja merelakannya.

"Aku belum bisa merelakan kepergianmu." Kuusap wajahnya yang tampan berkali-kali. "Tapi aku berjanji akan segera merelakan kepergianmu. Aku akan bahagia jika kau menginginkannya, Taeyong-a," lirihku sekali lagi.

"Nak...." Ibu Taeyong memegang pundakku lembut. "Sudah waktunya. Kasihan Taeyong jika kita menahannya terlalu lama," ucap ibu Taeyong pelan.

"Pergilah dengan tenang, Sayang! Jangan khawatirkan aku karena aku akan baik-baik saja! Aku mencintaimu," ucapku pelan sambil kukecup kening, kedua matanya, kedua pipinya, juga bibir pucatnya.

"Appa bisa menutup peti jenazahnya," lirihku sambil memeluk ibu Taeyong lagi.

Rasanya aku tidak sanggup jika harus menyaksikan secara langsung bagaimana tubuh Taeyong berada dalam peti jenazah itu. Suara ketukan palu terdengar jelas menandakan bahwa proses penutupan peti jenazah telah dilakukan. Rasanya hatiku benar-benar hancur saat kusadari bahwa setelah ini aku tidak akan bisa melihat Taeyong lagi.

"Ayo kita pergi, Nak!" Ibu Taeyong mengajakku untuk pergi mengikuti yang lain menuju ke tempat peristirahatan Taeyong yang terakhir.

"Aku takut, Eomma," bisikku.

"Kau kuat, Sayang. Anak Eomma sangat kuat, kau bisa, Sayang. Ada kami di sisimu." Ibu Taeyong terus menenangkanku.

Hari ini, saat seharusnya menjadi hari yang bahagia bagi kami, ternyata harus menjadi hari yang begitu menyakitkan bagi semua orang. Aku ingin Taeyong merasakan bagaimana rasanya berjalan berdampingan denganku di hari pernikahan, hal ini yang membuatku memutuskan untuk memakai gaun pernikahanku. Gaun yang seharusnya menemani kebahagiaanku berubah menjadi teman untuk kesedihanku.

"Berbahagialah di surga, Sayangku." Doaku dalam hati tepat saat peti jenazah Taeyong di masukkan ke dalam liang lahat.

Hari ini, di tempat ini, aku tetap akan menempatkanmu dalam bagian terpenting dalam hati dan ingatanku. Cintaku Lee Taeyong, sekarang dan selamanya, kau akan tetap menjadi segalanya untukku.

-THE END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top