My Epiphany - Momnomnom
A short story by Momnomnom
✨
Semilir angin musim panas menerpa kulit putih perempuan berbaju violet. Rok berbahan satin yang ia gunakan nampak indah membalut tubuhnya. Senyuman hangat berhias jelas di bibir berwarna merah muda itu. Ia membawa seperangkat pernak-pernik aksesori di dalam tas karton berwarna putih. Hari ini, hari di mana ia menghadiri sebuah acara yang telah dinantikan begitu lama. Harapannya untuk bertemu para idolanya menjadi kenyataan.
Bangtan Sonyeondan, sebuah grup boyband ternama Korea Selatan yang belakangan mendunia. Grup ini mengadakan acara jumpa penggemar atau lebih dikenal dengan fan sign, di mana mereka dapat secara langsung bertatap muka dan berinteraksi dengan para penggemarnya. Bukan hal mudah bagi seorang penggemar untuk bisa menghadiri acara tersebut. Hanya orang-orang beruntung yang mendapat tiket yang tidak dijual sembarangan, setiap penggemar harus mengikuti undian untuk mendapatkan tiketnya.
Seperti halnya penggemar fanatik lain, gadis itu sudah tidak sabar ingin bertemu dengan bias-nya, Kim Seok Jin.
KIm Seok Jin, seorang lelaki tampan berbibir tebal. Ia merupakan anggota tertua di grup tersebut. Dikenal dengan suara silver voice dengan nada tinggi saat melantunkan lagu-lagu indahnya. Suara yang indah nampak selaras dengan wajah yang rupawan. Tidak heran jika penggemar begitu memuja dirinya. Selain ketampanan dan talenta, sifat periang dan humoris khasnya merupakan nilai tambahan.
Ketujuh pria tampan itu sudah berdiri di podium. Sorak-sorai penggemar terdengar riuh menyambut mereka. Setelah mengucapkan salam dan menyapa, mereka mulai duduk di tempat masing-masing dan bersiap melakukan tanda tangan.
Gadis itu sudah berada dalam barisan. Tubuhnya terasa sedikit gemetar, sesekali ia mengelap dahi dengan tisu. Sebisa mungkin merapikan dandanannya, ia ingin terlihat cantik di depan idolanya. Jantungnya berdetak semakin kencang, beberapa langkah lagi ia akan bertemu dengan mereka.
"Hai. Siapa namamu?" tanya pria berambut coklat terang di hadapannya.
Pria berlesung pipi itu menyapa dan tersenyum dengan sangat ramah padanya. Jantung gadis itu rasanya mau berhenti seketika saat kedua netra mereka bertemu.
"Na ... Nayanika." Gadis itu menjawab terbata.
Mendengar nama gadis itu sang pria bernama Kim Namjoon tersenyum, ia mengangkat sebelah alis dan memandang wajah sang gadis.
"Nayanika? Nama yang asing, tapi cantik seperti kamu."
Gadis itu tersenyum, ia tidak bisa menahan air matanya.
"Kau menangis?" Namjoon memegang kedua tangannya dengan lembut.
"Ayo hapus air matamu. Kau tidak boleh menangis, kau sudah cantik sekali hari ini." Lelaki itu mencoba menghiburnya.
"Oppa. Usiaku lebih tua lima tahun darimu. Bolehkah aku memanggilmu Oppa?" tanya Nayanika.
"Sure. Darimana asalmu Nayanika?" Namjoon menulis beberapa kalimat dan tanda tangan di memo milik perempuan itu.
"Indonesia. Pernah mendengarnya?"
Namjoon mengangguk. "Indonesia. Bali. Aku ingin sekali pergi ke sana. Katanya tempatnya bagus."
"Iya. Sebenarnya banyak tempat lain yang lebih indah dari Bali. Kuharap kau bisa mengunjungi negara kami segera," ucap perempuan itu.
Nayanika memberikan Namjoon sebuah gelang mutiara khas Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia memasangkan gelang berwarna silver dengan ornamen mutiara berwarna putih itu di pergelangan tangan Namjoon.
"Meskipun ini hanya gelang mutiara, tapi aku harap Oppa mau menerimanya." ucap perempuan itu.
"Terima kasih karena telah membuat lagu-lagu yang bagus. Jujur saja lagu kalian membuat aku merasa ingin hidup. Aku tidak bahagia dalam pernikahanku."
Namjoon tersentak kaget saat perempuan itu berbicara tentang kehidupannya. Nayanika melihat wajah terkejut Namjoon, ia tersenyum.
"Tidak usah khawatir Oppa. Sekarang aku baik-baik saja," ucapnya.
Nayanika membuka sebuah map putih di hadapan Namjoon. "Oppa ... sejak aku mengenal kalian. Aku tahu bahwa tiada siapa pun yang lebih mencintaiku selain diriku sendiri."
"Dan hanya aku yang bisa mengubah hidupku sendiri."
Saat perempuan itu hendak maju menuju meja selanjutnya, Namjoon tiba-tiba saja menahannya.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Namjoon.
Nayanika menoleh, ia tidak menyangka Namjoon akan berbicara seperti itu padanya. Di lubuk hatinya, ia tahu Namjoon mengerti sesuatu tentang dirinya meskipun ia tidak berbicara secara lugas pada lelaki itu.
"Tentu saja."
Nayanika memeluk pria itu dengan erat. Sontak membuat semua penggemar termasuk para member Bangtan kaget dan berteriak. Bagi banyak penggemar, momen interaksi mereka termasuk langka. Nayanika memang beruntung.
Ia bergeser menuju meja selanjutnya. Seorang pria berkulit putih seputih salju menyambutnya.
"Halo. Nayanika?" Pria itu membaca namanya di buku yang sudah ditandatangani oleh Namjoon.
"Kulihat Namjoon memelukmu?" Pria bernama Min Yoongi itu menuliskan tanda tangannya.
"Iya ... beberapa tahun lalu aku harus pergi menemui dokter, tapi aku mendengar lagu kalian."
Yoongi mendengarkan ucapan Nayanika, menatap wajahnya lekat.
"Setelah aku mendengar lagu-lagu kalian, aku merasa aku baik-baik saja," ucapnya sambil memberikan gelang mutiara berwarna hitam.
Yoongi membiarkan perempuan itu memakaikan gelang di pergelangan tangan kanannya.
"Lalu apa kau masih berkonsultasi pada psikiater sekarang?" tanya Yoongi.
"Tidak. Aku dinyatakan sembuh, tapi pernikahanku tidak begitu lancar. Kurasa ... hari ini mungkin aku akan membuat keputusan besar."
Yoongi mengernyit, tak paham dengan perkataan Nayanika. Perempuan itu mendekatkan wajahnya pada Yoongi dan berbisik.
"Suamiku ada di barisan belakang sana. Mungkin saat ini dia sedang cemburu pada kita." Ia menunjuk ke seorang lelaki berkemeja biru yang tengah duduk di barisan ketiga tribun atas. Perempuan itu terkekeh, begitu juga Yoongi.
"Apa kau tidak bahagia dengan pernikahanmu?" tanya Yoongi.
Nayanika tersenyum, menggerakkan pundaknya seraya menghela nafas. Ekspresi perempuan itu membuat Yoongi tertawa. Baru kali ini ia melihat seorang penggemar yang mencurahkan isi hatinya dengan begitu santai di acara fan sign.
"Kupikir aku harus menghadapi kenyataan. Bunuh diri tetap tidak mengubah apa pun. Aku pikir itu hanya cara pengecut untuk melarikan diri dari masalah."
Yoongi mengangguk, setuju dengan ucapannya. Tatapan lelaki itu menjadi teduh, ia tahu bahwa perempuan di hadapannya ini tidak dalam keadaan baik. Namun, sosok berbaju violet yang nampak anggun itu terlihat kuat di matanya.
"Yoongi-ya. Aku tidak bisa bercerita banyak."
Jika diperbolehkan, tentu saja ia ingin berbicara lebih banyak.
"Aku tahu. Kau perempuan hebat, apa pun keputusanmu aku yakin kau bisa melakukannya." ucap Yoongi. Lelaki itu membelai rambut hitam Nayanika. Mereka saling melambaikan tangan, perempuan itu bergeser pada meja selanjutnya.
Perempuan itu terus bergeser menuju meja berikutnya. Ia mengambil sebuah mahkota kecil dari dalam paper bag miliknya. Park Jimin, telah menantinya. Pria bermata sipit itu terus tersenyum menyambut penggemarnya. Perempuan itu kembali tersenyum.
"Annyeong." Ia menyapa sang idola.
"Bolehkah aku memasangkan ini padamu?" ucapnya memperlihatkan mahkota kecil itu.
Jimin tersenyum mengangguk, melihat Nayanika tanpa ragu memasangkan mahkota kepada lelaki itu. Jimin bisa mencium wangi parfum dari tubuh perempuan itu, aroma yang lembut dan manis.
"Kau memakai parfum apa?" tanya Jimin.
"Aku hanya memakai lotion," jawab Nayanika.
Jimin meraih tangan perempuan itu dan berkata, "Hmm benar tanganmu harum. Aku menyukainya."
"Benarkah? Apa kau akan mengingatku hanya dengan bauku?" Nayanika tertawa, begitu juga Jimin.
"Mungkin," jawab Jimin tidak pasti.
"Karena fanmu sangat banyak. Mana mungkin kau mengingatku, ya 'kan?"
Jimin tetap memegangi tangan perempuan itu, tatapannya terlihat sedih.
"Maafkan aku yang kurang berusaha. Aku sangat ingin melihat dan bercengkerama dengan semua ARMY. Aku rasa aku harus mempertajam ingatan ku," ucap Jimin.
"Ah tidak. Aku memahaminya. Bertemu dengan kalian saja, aku sudah cukup bersyukur karena mampu mengobati luka hatiku." Tatapan mata Nayanika mengawang, genangan air mata mulai terlihat di sudut matanya.
"Gwenchana?" Lelaki itu bertanya.
Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum tipis. Nayanika membetulkan mahkota yang tampak miring di kepala Jimin. Jimin bisa melihat memar kebiruan di balik lengan baju violet itu. Lelaki itu langsung meraih tangan perempuan di depannya.
"Apa kau punya masalah?" tanyanya khawatir.
Perempuan itu hanya tersenyum. "Iya, tapi hari ini aku akan menyelesaikannya dengan baik."
"Aku mohon tetaplah membuat karya yang bisa menyemangati orang sepertiku. Dan kau Jimin-ssi, jaga dirimu supaya tetap sehat."
"Nayanika,"panggil Jimin.
"Ne?" Perempuan itu menoleh.
"Kuharap aku bisa mendengarkan ceritamu, sungguh. Kau mau aku menuliskan nomorku?" Jimin mengedipkan sebelah matanya. Nayanika tertawa. Tawa renyah nan lepas itu membuat member lain menoleh ke arah mereka berdua.
"Aku tidak tahu kalau seorang Park Jimin pandai merayu fannya," bisik perempuan itu ditelinga kiri sang artis. Ia menggelengkan kepalanya lagi.
"Tidak perlu. Aku tidak ingin berbagi kesedihan karena setelah ini aku akan menciptakan kebahagiaan seperti kalian."
"Sungguh. Aku serius, Jimin. Saranghae." Sambil melambaikan tangan, ia pergi menuju meja selanjutnya untuk bertemu dengan Kim Taehyung.
Laki-laki berambut hitam dan ber-boxy smile langsung menyambutnya. Pria itu tampak sangat tampan, seperti bukan manusia. Mungkin perumpamaan yang tepat adalah pria blasteran surga. Seperti itulah orang-orang memanggilnya.
Nayanika bergeser ke arahnya, lelaki itu mengucapkan salam pada penggemar yang lebih dulu menghadapnya. Saat pandangan mata mereka bertemu, Nayanika tidak mampu menutupi rasa gugupnya. Wajahnya sedikit kemerah-merahan. Bukan karena malu, tapi menahan air mata yang hendak keluar saat ia bersama Jimin tadi.
Taehyung tiba-tiba saja langsung memegangi kedua tangannya, membuat perempuan itu sedikit kaget. Saat mereka bertatapan, riuh penggemar terdengar. Taehyung tertawa saja, sementara Nayanika langsung mengambil sebuah cincin cantik berwarna hijau topaz yang diukir sedemikian rupa.
"Bolehkah aku memasangkan cincin ini padamu?" tanya perempuan itu.
"Cincin yang indah, apa kau yang membuatnya sendiri?" Taehyung tampak sangat menyukai cincin itu.
"Tidak, tapi aku mendesainnya. Kuharap kau menyukainya." Perempuan itu langsung memasangkannya di jari manis tangan kanan Taehyung.
Pria itu tersenyum dan berkata, "Rasanya aku seperti sedang dilamar gadis cantik."
"Sayangnya aku sudah menikah."
Taehyung tertawa. "Sayang sekali," katanya.
"Aku mendengar pembicaraanmu dengan Jimin. Sebenarnya aku khawatir, tapi aku tidak tau apa yang sedang menimpamu. Kuharap kau baik-baik saja setelah ini."
Kedua tangan mereka berpegangan. Nayanika mengangguk, sebutir air mata jatuh di pipinya. Taehyung mengusap air mata itu dengan lembut.
"Kau harus berusaha kuat. Kuharap kita bisa bertemu kembali. Saat itu aku ingin mendengar dan melihat kau lebih ceria. Jangan terlalu kurus, kau sudah cantik. Pasti akan jauh lebih cantik lagi," ucap lelaki itu.
Nayanika tersenyum, ia bersiap untuk maju ke meja selanjutnya. Langkahnya terhenti saat Taehyung menarik salah satu tangannya, lalu tiba-tiba memeluk perempuan itu dengan erat. Tentu saja hal ini menarik perhatian semua orang. Nayanika memeluk balik lelaki itu, pelukan persahabatan.
"Aku berjanji akan baik-baik saja," ucapnya berbisik di telinga Taehyung.
"Aku mempercayaimu." Lelaki itu mempersilakan ia pergi.
Kini ia berdiri tepat di depan seorang pria muda berwajah tidak kalah tampan. Kulit putih dengan mata tajam dan senyuman manis memperlihatkan gigi putihnya.
"Annyeong." Nayanika menyapanya.
"Annyeong," ucap pria itu sambil tersenyum.
"Jungkook-ah. Boleh aku memasangkan ini padamu?"
Ia mengambil sebuah gelang mutiara berwarna ungu dari kantongnya. Lelaki itu tersenyum sambil mengulurkan pergelangan tangan.
"Jungkook-ah. Banyak anak muda terinspirasi olehmu. Aku harap kau juga menikmati kehidupanmu."
Tak butuh waktu lama untuk berbicara dengan seorang Jeon Jungkook, si Golden Maknae. Pria muda yang menyenangkan itu selalu penuh senyum dan tawa. Giliran Kim Seokjin, sosok yang ia tunggu-tunggu. Nayanika benar-benar merasa tegang, ia bisa melihat bias-nya yang sangat tampan duduk di hadapannya.
Seokjin heran melihat perempuan itu terdiam menunduk. Jika sebelumnya Nayanika nampak lancar berkomunikasi dengan anggota member lain, lain halnya saat ini.
"Annyeong." Seokjin mengintip wajah Nayanika yang tertunduk.
Nayanika mengangkat kepalanya. "Annyeong." Ia memberanikan diri menatap lawan bicaranya.
Seokjin tertawa. "Kupikir aku bertemu Sadako."
Lelaki itu tertawa. Nayanika merasa malu. Wajar saja Seokjin menyebutnya Sadako, ia sempat terdiam beberapa saat dengan rambut terjuntai menutupi wajah.
"Seokjin-ah. Tadi aku sudah berbicara banyak dengan teman-temanmu. Aku datang untuk berterima kasih. Lagu Epiphany yang kau nyanyikan menyelamatkanku."
"Benarkah? Aku hanya menyanyikannya saja." Seokjin menandatangani note milik perempuan itu.
"Tetap saja. Itu menolongku. Seokjin, pernikahanku tidak bahagia. Tahun lalu aku di rawat di rumah sakit jiwa, saat aku mencoba mengakhiri hidup ...." Perempuan itu terisak.
Seokjin menghentikan kegiatannya. Pria itu memegang kedua tangan Nayanika dengan tatapan hangat memperhatikan. Seolah mengatakan ia ingin mendengar ceritanya. Nayanika melanjutkan kisahnya.
"Aku depresi. Saat aku mendengar lagumu aku sadar, hanya aku yang bisa mengubah keadaanku. Pernikahan kami sudah tidak sehat pada awalnya. Tapi masing-masing dari kami enggan saling melepaskan. Kupikir itu bukan cinta, kami hanya mencoba bertahan."
"Aku bahkan bingung, apakah kami mencoba bertahan atau menunda perpisahan?"
Seokjin mengambil sebuah tisu dan mulai mengusap air mata perempuan itu.
"Seokjin-ah."
"Ne ...," sahut Seokjin.
"Aku sadar. Aku harus bisa memutuskan sendiri jalan hidupku. Aku harus mencintai diriku sendiri. Aku berharga dan pantas untuk bahagia."
Seokjin memandangnya lalu tersenyum.
"Kau cantik. Kau harus bahagia, semua tentangmu di masa lalu, lupakanlah. Mari fokus pada masa depan. Aku atau pun kamu pasti pernah mengalami masa sulit," ucap Seokjin.
Perempuan itu mengangguk dan tersenyum.
Seokjin menyentuh pergelangan tangan perempuan itu. Ada tanda biru memar di sana.
"Jangan biarkan siapa pun menyakitimu. Termasuk dirimu sendiri." Wajah Seokjin nampak sedih.
Perempuan itu membuka sebuah amplop besar berwarna putih. Dalam amplop itu terdapat beberapa buah kertas. Seokjin tidak mengerti apa yang sedang dilakukannya. Nayanika mengeluarkan sebuah cap tanda tangan merah.
"Seokjin-ah."
"Selama ini aku tidak berani mengutarakan perasaanku pada siapa pun. Hari ini aku akan membuat keputusan. Aku ingin kau menyaksikan keberanianku."
Nayanika menandatangani sebuah surat di depan Seokjin. Seokjin memahami keadaan perempuan itu, tanpa harus banyak bertanya atau memberi nasihat. Seokjin tahu sebagai manusia dewasa, Nayanika yang baru ditemuinya ini punya hak untuk mengatur hidupnya sendiri.
"Aku selesai, Seokjin. Terima kasih banyak."
"Boleh aku memelukmu Nayanika?"
Perempuan itu mengangguk, ia menerima pelukan hangat Kim Seokjin. Ia berjalan meninggalkan tempat itu. Sebelum sampai menuju pintu keluar perempuan itu kembali menoleh ke arah Seokjin.
"Bangtan-ah!" Nayanika memanggil ketujuh idolanya.
Mereka pun menoleh ke arahnya, sekali lagi ia membungkuk mengucapkan terima kasih dari lubuk hati terdalam. Seokjin melambaikan tangannya sambil tersenyum.
"Nayanika. Nama yang indah. Berbahagialah." Seokjin bergumam sendiri sambil memandang kepergian sang penggemar.
Nayanika sampai di pintu keluar. Ia bisa menghirup udara segar. Ia masih memegangi amplop berwarna putih itu.
"Sayang." Seorang lelaki berkemeja biru muda menghampirinya. Nayanika menoleh ke arah pria itu, memandang wajah tampan berkulit sawo matang itu lekat. Beribu kenangan menari di benaknya. Dari kenangan yang indah sampai yang terburuk. Pria itu melangkah mendekatinya.
"Alex." Perempuan itu tersenyum tulus.
"Alex. Ayo kita berpisah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top