Eternally You - vaniandona
A short story by vaniandona
Song for this story:
Jeon Sang Keun - Stay With Me
✨
Sebuah ruangan berukuran cukup luas sudah penuh sejak sepuluh menit lalu. Kursi panjang yang tersusun dari depan sampai belakang pun tidak ada celah kosong. Seluruh umat yang berada di sana refleks mengalihkan pandang ke arah lelaki berpakaian jas hitam dengan celana senada yang berjalan menuju altar. Langkah tanpa ragu serta senyum mengembang yang terukir di wajahnya menunjukkan bahwa hari itu teramat spesial. Dilihatnya sosok yang lebih tuaㅡtapi begitu dikenalㅡterduduk di bangku kedua, menebarkan simpul kebahagiaan melalui raut wajah yang terlihat. Menyambut dua insan yang sudah dianggap seperti anak sendiri.
Begitu sampai di depan altar, riuh tepuk tangan mereda. Dengan penuh harap bercampur gugup, laki-laki yang sejak tadi menjadi pusat perhatian menghela napas sejemang kemudian kembali tersenyum. Tepat ketika gadis yang sesaat lagi menjadi pendamping hidupya dipersilakan masuk, ia memusatkan atensi pada pintu yang terbuka. Diiringi alunan nada mendayu yang begitu romantis, gerakan kaki sang pengantin perempuan mengayun pelan.
Gaun panjang menjuntaiㅡdengan aksen bunga di bagian atas serta bagian bahu yang sedikit lebih rendahㅡmembuat penampilan gadis itu sangat menawan. Buket bunga mawar putih digenggam erat, seakan menampilkan kesungguhan dan kasih yang terjalin dalam pernikahan mereka. Namun, ekspresi yang terlukiskan menyangkal segalanya.
Kedua ujung bibir gadis itu terangkat sedikit, pun tatapannya dilayangkan lurus ke depan. Bukan memperhatikan lelaki yang tengah berdiri menanti, melainkan terfokus pada beberapa peristiwa dalam ingatan. Ada waktu yang begitu ia hargai, terlampau jauh ke belakang. Terputar kembali di saat-saat ia harus menggapai bahagia miliknya, seorang diri.
"Kau ada di mana?" tanya gadis yang tengah terduduk di sebuah taman. Dari nada yang terlontar, juga air muka yang tampak, ia bak seseorang dilanda kasmaran.
Tidak kunjung mendapat tanggapan dari suara di ujung sana, Nayoung mengulangi pertanyaan sekali lagi. Sedikit mengerucutkan bibir lantaran khawatir jika lelaki yang dinantinya membatalkan pertemuan secara sepihak. Namun, rupanya sang kekasih sengaja mengabaikan pembicaraan Nayoung di telepon. Sembari tersenyum, ia mengamati gerak-gerik Nayoung dari belakang. Kadang juga terkekeh kala mendapati gadis yang terpaut usia satu tahun lebih muda darinya itu berbicara kesal sendiri.
Tidak lagi mendekatkan ponsel pada telinga, laki-laki berkemeja putih itu berteriak, "Go Nayoung!"
Sang pemilik nama segera menoleh ke belakang kemudian beranjak. Berlari kecil guna menghampiri manusia yang selalu membuat harinya berbunga. Sedikit berjinjit ketika sudah tiba di hadapan kemudian mengalungkan lengannya tanpa perlu mendapat izin.
"Park Jihoon." Hanya kalimat itu yang disebutkan sekilas sebelum Nayoung melepas rindunya lebih lama. "Rasanya sudah lama aku tidak melihatmu."
Mendengar pengakuan Nayoung, Jihoon melepas gelaknya. "Kau begitu rindu denganku?"
Nayoung mengembuskan napasnya kasar, tapi tetap mempertahankan posisiㅡmenenggelamkan tubuh dalam pelukan Jihoon. "Apa kau masih layak bertanya seperti itu setelah melihat apa yang kulakukan?"
"Hmm?"
Jihoon tidak banyak bicara seperti biasa ketika mereka bertemu. Namun, suara penuh kehangatan meski hanya dalam satu dehaman sudah cukup menenangkan perasaan Nayoung. Salah satu alasan utama gadis itu selalu ingin bertatap muka langsung dengan Jihoon. Katakanlah jika Nayoung bersikap berlebihan saat mengungkapkan bahwa hari lelahnya mampu hilang seketika usai mendengar lontaran kata dari Jihoon. Semesta memang serasa milik berdua saja, indah nyatanya.
"Atau jangan-jangan kau sengaja menghindar, ya? Biar kuingat-ingat, sudah berapa kali kau membatalkan pertemuan kita."
Tiba-tiba saja Nayoung tidak lagi melingkarkan lengannya pada Jihoon, beralih fokus ke arah jemari yang membuka seiring dengan rentetan angka yang disebutkan. Gadis itu juga menjabarkan beberapa lokasi dan waktu yang seharusnya mereka datangi bersama. Sesekali mengoreksi kalimat karena jangka yang begitu lama membuatnya sedikit lupa.
Jihoon melipat kedua tangan di depan dada kemudian memiringkan kepala. Mengawasi tingkah gemas sang kekasih. Jika Nayoung mengagumi Jihoon dan suara menenangkannya, Jihoon justru mencintai Nayoung dengan banyak bicaranya. Gadis yang tengah menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun terakhir seolah tidak pernah mengizinkan sepi singgah dalam hari-hari Jihoon.
"Tujuh!" pekik Nayoung seraya mengangkat kepalaㅡkembali melihat ke arah Jihoonㅡdan mengangkat jemarinya sejajar dengan wajah. "Tujuh kali? Aku benar-benar baru menyadari. Tidak salah lagi, kau memang sengaja."
"Tidak, ada sesuatu yang harus kuurus," tampik Jihoon, tapi nada bicaranya terlampau santai untuk menanggapi Nayoung yang mulai mengintimidasi.
Bibir bawah Nayoung sengaja dikerucutkan begitu mendengar tanggapan Jihoon, alasan yang selalu lelaki itu katakan. "Tapi ...."
Alih-alih membuang wajah karena kecewa dengan perkataan Jihoon, Nayoung justru mempertemukan netra cokelat tuanya dengan milik lelaki itu. "Aku tidak mau terus mengingat hal-hal tidak menyenangkan, aku hanya ingin ada suka di antara kita. Lagi pula, yang penting sekarang kau sudah ada di sini."
Merekahkan senyum setelah menuturkan kalimat tersebut, Nayoung mendapat balasan serupa dari Jihoon. Lantas keduanya melangkahkan kaki, menyusuri area dengan beberapa pohon tinggi berjajar serta kelopak merah muda yang terbang bersama angin.
Menoleh ke wajah angkasa yang tengah ditemani sang baskara, Nayoung sedikit menyipitkan mata. Terik yang menyengat membuat gadis kucir satu itu lelah kala menghabiskan waktu dengan berjalan di taman.
"Kita istirahat saja, ya? Di ujung sana ... ada kedai es krim yang selalu kita datangi dulu. Bagaimana kalauㅡ"
Ucapan Nayoung terhenti ketika tidak lagi menemukan Jihoon di sisinya. Kedua alis gadis itu menaut, pun keningnya mengernyit. Sebuah decakan lolos dari bibir Nayoung usai mendapati kamera yang menyorot ke arahnya dari belakang. Tidak perlu menebak siapa sosok di balik alat potret tersebut. Hanya saja, Nayoung hampir lupa jika Jihoon dan kameranya adalah kesatuan yang tidak bisa terpisah.
Nayoung akhirnya benar-benar membalikkan tubuh sambil berkacak pinggang. "Kau harus membawa benda itu ke mana pun? Bahkan saat bersamaku juga?"
Jihoon segera menurunkan kameranya. Mengamati raut wajah Nayoung, kelihatannya gadis itu benar-benar merasa terganggu. Jihoon mendekat sebelum mengutarakan jawaban atas pertanyaan Nayoung.
"Sepertinya kau yang paling mengerti dengan kesukaanku. Di dunia ini, tidak ada yang selamanya, Nayoung. Aku, dan mungkin juga kau, bisa saja melupakan saat ini ketika hari sudah berganti. Aku hanya berusaha menjadikannya abadi."
Sempat tertegun dengan penuturan Jihoon, tubuh Nayoung mematung sesaat. Ada keseriusan dari sorot mata lelaki itu ketika mengucapkan satu per satu katanya. Terlebih lagi, Jihoon sempat tertawa getir sebelum akhirnya mengembalikan pandang ke benda hitam di genggaman. Nayoung merasa bahwa ia telah membatasi gerakan Jihoon dan itu adalah kesalahan.
"Kau benar, aku mengerti," ujar Nayoung kemudian menarik satu helaan napas. "Tapi kau benar-benar hanya ingin memperhatikanku dari sana? Yang benar saja, aku bahkan sudah berdandan cantik seperti ini untuk bertemu denganmu."
"Jadi, kau sedang marah denganku? Baiklah," tanggap Jihoon seraya mematikan kamera. Jihoon tidak gusar atau kecewa dengan perilaku Nayoung. Perkataan Nayoung benar, hari ini seharusnya hanya milik mereka berdua. Untuk waktu bersama yang sering Jihoon sia-siakan, layaknya lelaki itu mengerti.
"Apa itu?" Nayoung sama sekali tidak mengerti maksud dari Jihoon yang sekarang menyodorkan sebuah kertas kecil berwarna putih gading.
"Ambillah dan katakan padaku apa yang tertulis," pinta Jihoon seraya menggerakkan kertas tersebut.
Begitu kertas telah berpindah ke tangan Nayoung, hanya ada tiga kata yang tergores di sana. Gadis itu refleks menoleh ke arah lelakinya dan tertawa akibat rasa tidak percaya.
"Kartu permintaan Nayoung. Kau masih mengingatnya?"
Jihoon mengangguk usai mengangkat kedua ujung bibirnya. Ia tahu jika cara ini selalu berhasil membawa senyum milik Nayoung kembali. "Sebutkan satu permintaanmu dan aku akan mengabulkannya."
Tampak menimbang-nimbang permohonan apa yang kali ini harus diwujudkan, Nayoung melirik ke arah lengan Jihoon yang sengaja disembunyikan di balik punggung. "Kameramu."
"Apa?!" Kedua mata Jihoon terbelalak. Salah satu lengan yang sejak tadi bersembunyi pun ditunjukkan bersama benda yang baru disebutkan oleh Nayoung. "Kau tahu kalau ini sangat berarti untukku, 'kan? Aku mengerti kau tidak suka melihatku terus memotret atau mengambil video dengan benda ini, tapi apa kau tidak berlebihan? Kau ingin memintanya dariku?"
Kepanikan yang ditunjukkan oleh lelaki itu ternyata justru mengundang tawa Nayoung. Gerakan mata Jihoon yang mengamatinya dan kamera secara bergantian, juga kalimat yang terbata-bata diucapkan. Tidak hanya itu, Jihoon pun kembali menyimpan benda miliknyaㅡsama sekali tidak rela menjadi pusat atensi Nayoung yang kini justru mengerikan.
"Aku hanya ingin foto bersamamu dengan kamera itu. Mengapa kau berpikir terlalu jauh?"
"Apa?" tanya Jihoon penuh hati-hati seraya mengamati anggukan kepala lawan bicaranya. "Ya! Kenapa kau tidak langsung mengatakannya saja? Berbicara setengah-setengah hanya menimbulkan salah paham."
"Harusnya kau bisa melihat ekspresimu tadi," celetuk Nayoung. Gelaknya mereda ketika menyadari bahwa Jihoon tidak juga ikut tertawa dengannya. "Aku hanya ingin membuat hubungan kita abadi, seperti katamu."
Bayang-bayang yang terus menghantui pikiran Nayoung semakin lama menghilang. Gadis itu sudah bisa menyadari kembali posisinya saat ini. Berdiri berhadapan dengan seseorang yang sesaat lagi akan menjadi pelabuhan terakhir hatinya. Disaksikan oleh orang banyak, pun dengan sorak-sorai bahagia yang dielukan. Nayoung tidak pernah menyangka bahwa peristiwa ini akan terjadi.
Lelaki di hadapannya meraih jemari Nayoung, sesekali menyempatkan untuk tersenyum. Seraya menyematkan perhiasan pada jari manis Nayoung, ia berucap, "Go Nayoung, terimalah cincin ini sebagai tanda cinta dan kesetiaanku."
Ada air mata yang tertahan di pelupuk mata Nayoung. Bahkan ketika gadis itu seharusnya menatap pasangan lelakinya dengan penuh kasih sayangㅡmenyambut janji yang terucapㅡia hanya menundukkan kepala. Gemuruh di dadanya seakan ingin menolak, tapi raganya tidak mampu. Tidak ingin mengecewakan satu pun kerabat dan keluarga yang hadir, Nayoung menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri.
Nayoung mengambil cincin milik pasangannya. Jemari gadis itu sedikit bergetar kala hendak memasangkan benda tersebut untuk menyempurnakan hubungan keduanya. "Kang Daniel ...."
Pemilik nama itu menyadari sikap Nayoung. Ia juga bisa mengerti mengapa gadis itu merasa tertekan. Daniel menyondongkan tubuh ke depan kemudian berbisik, "Tidak perlu terburu-buru mengatakannya. Ambil sedikit waktu untuk menenangkan diri, aku tidak apa-apa. Sejak awal, aku sebenarnya tidak ingin kau menyesal atas keputusanㅡ"
"Terimalah cincin ini sebagai tanda cinta dan kesetiaanku," lanjut Nayoung, memotong pembicaraan Daniel setelah meyakinkan diri.
Begitu kedua cincin telah tersemat, Nayoung memejamkan mata sembari merasakan tubuhnya dibawa mendekat ke arah Daniel. Lelaki itu mengecup kening Nayoung, seseorang yang telah sah menjadi istrinya.
Apa yang telah berlangsung hari itu, sama sekali bukan keinginan Nayoung. Ia hanya ingin membuat seseorang bahagia. Seseorang yang sama dengan pemberi tawa pada setiap harinya, penenang pada setiap masalah hingga lelah tidak berani menampakkan diri. Sudah selayaknya Nayoung membalas dengan hal setimpal hingga sosok yang tidak lagi bersamanya mampu tersenyumㅡmeski dari kejauhan. Teramat jauh karena berapa kali pun Nayoung berlari, ia tidak pernah bisa menemukannya lagi.
***
"Mendekatlah. Apa kau harus membuat jarak seperti itu denganku?" tanya Nayoung. Tangannya ikut memegang kamera milik Jihoon, membawanya mendekat.
Lelaki itu memang sengaja maju beberapa langkah dari Nayoung supaya area potret menjadi lebih luas. Namun, rupanya pemikiran Jihoon ditolak mentah-mentah oleh Nayoung. Ia pun mengalah, merapatkan tubuhnya di sisi gadis yang baru saja menyampaikan keluhan.
"Seperti ini?" goda Jihoon sambil merangkul bahu Nayoung.
"Eung." Telunjuk Nayoung segera menekan tombol kamera. "Hitungan ketiga!"
Ketika kamera sudah berhasil menangkap potret mereka, Nayoung segera mengambil alih benda tersebut. Memastikan apa hasil bidikan itu sudah baik atau sebaliknya. Jihoon tidak lagi mendaratkan lengan pada pundak Nayoung dan perlahan menjauh karena sebentar lagi pasti gadis itu akan berkomentar.
"Park Jihoon!" teriak Nayoung sambil menatap kekasihnya tajam. "Seharusnya kau melihat ke kamera saja dan bukannya ke arahku."
"Kau ingin kita foto bersama, sudah kukabulkan," bela Jihoon kemudian merebut kameranya dari tangan Nayoung.
"Aish!" Setiap protes yang terlontar dari mulut Nayoung selalu membuat Jihoon puas karena sudah berhasil meledeknya. Gadis itu melipat kedua tangannya dan berlalu dari hadapan Jihoon. Pergi menjauh seraya menggerutu, "Aku perlu mendinginkan kepalaku dengan es krim. Sudah lama tidak bertemu, berbicara denganmu jadi begitu melelahkan. Mengapa susah sekali mengajakmu bergaya di depan kamera? Mengapa hanya aku yang selalu kau sorot?"
Ingatan Nayoung tentang hari itu tidak pernah terlupakan. Ketika rekaman sosok dirinya dari waktu ke waktuㅡtentu atas ulah seorang penikmat momenㅡterputar pada layar di hadapan, Nayoung merasa jika tujuan dari pengambilan video yang dilakukan oleh Jihoon bukan hanya untuk mengabadikan peristiwa. Ada pesan yang tidak pernah gadis itu tahu sebelumnya.
Nayoung tidak pernah mendengar jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan di taman waktu itu. Ia sudah melangkah jauh lebih dulu, mengabaikan Jihoon yang masih tetap bergeming di belakang. Namun, gadis itu juga tidak pernah memikirkan atau mempunyai niat untuk mengetahui alasan Jihoon bersikap demikian. Sampai hari ini, di sebuah ruangan yang sudah menggelapㅡhanya ditemani cahaya yang terpancar dari layar besarㅡNayoung menemukan jawabannya.
"Semua selalu punya alasan atas keberadaannya, tidak terkecuali kau, Nayoung. Kau adalah alasan terkuat untukku bertahan, tapi sekarang aku justru khawatir jika ...."
Jihoon menjeda kalimatnya, tapi tetap mengarahkan kamera pada tubuh Nayoung yang makin menjauh. Lelaki itu hanya menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya. Sementara itu, Nayoungㅡyang masih memfokuskan tatapan pada rekaman tersebutㅡmenggigit bibir bagian bawah. Sebisa mungkin menahan rasa sakit yang memenuhi seluruh ruang hatinya.
"Tidak mampu mengungkapkan seberapa berartinya kau dalam hidupku sebelum waktu itu tiba. Terlalu banyak hal menyenangkan yang kutemukan pada dirimu, sampai aku tidak tahu harus mengatakannya mulai dari mana. Aku tidak benar-benar sengaja membuatmu kesal. Aku hanya takut jika hari-hari berikutnya tidak lagi bisa menatapmu lebih lama ... seperti tadi."
Air mata Nayoung seketika tumpah. Jemarinya menggenggam erat bantal merah muda yang sejak tadi ada di dekapan. Isak gadis itu memenuhi ruangan, bersahut-sahutan dengan suara Jihoon yang tidak juga berhenti bicaraㅡmeski ada getaran pilu yang jelas-jelas terdengar di setiap kata.
"Kau harus terus bahagia, Nayoung. Ada ... atau tidak ada aku. Bila semesta kelak memberi waktu lebih panjang untuk bersamamu, aku juga akan sangat bersyukur."
Tidak lagi menatap layar, Nayoung justru menundukkan kepala dan sesekali meredam tangis. Semua yang gadis itu lakukan hanya sia-sia. Selamanya, kepedihan dalam lubuk hati Nayoung tidak akan pernah terobati. Semua suara menenangkan yang dulu gadis itu kagumi dari Jihoon telah sepenuhnya berubah menjadi luka.
Laki-laki yang sejak tadi berdiri di daun pintu sudah berhenti mengamati gerak-gerik Nayoung. Daniel mengerti jika apa pun yang dilakukannya sekarang tidak akan mengubah keadaan, pun membuat istrinya tenang. Namun, ia tetap memilih untuk menghampiri Nayoung, mendudukkan tubuh di sisinya kemudian memberi dekapan hangat.
"Kuharap kau tidak menganggap keberadaanku di sini sebagai pewujud keinginan Jihoon saja, walau memang itu tujuan utamanya. Aku benar-benar ingin menjagamu sama seperti janji yang telah kuucap pada Jihoon. Aku akan terus menyayangimu lebih dari yang Jihoon lakukan, sampai rasanya kau tidak perlu lagi menangis karena kepergiannya."
"Kalau saja Jihoon mengatakannya langsung padaku," sela Nayoung di tengah tangisnya, "aku tidak akan pernah mau berpisah darinya hari itu. Kalau akhirnya seperti ini, mungkin bukan permintaan seperti itu yang kukatakan pada Jihoon."
Semua kata penuh sesal tidak ada gunanya. Jihoon tidak akan pernah kembali. Ternyata semesta tidak memberinya waktu lebih, ia tidak mengabulkan permohonan lelaki itu. Pertemuan Nayoung dengan Jihoon di taman bahkan menjadi saat terakhir keduanya bersama. Selepas itu, Nayoung tidak pernah lagi bisa menghubunginya.
Memang ada keganjilan ketika lelaki itu tidak banyak berbicara seperti biasa, tapi Nayoung tidak pernah mempermasalahkannya. Andai kala itu Nayoung tidak menganggap remeh intuisinya, ia bisa bersikap lebih baik danㅡyang paling pentingㅡbukan menjadi orang terakhir yang mengetahui kondisi Jihoon.
"Sudah hampir lima tahun kejadian itu berlalu dan kau masih menyesali kesalahan yang bukan karenamu?" tanya Daniel seraya melepas dekapan. Tangannya beralih pada bahu Nayoung usai mengusap pucuk kepala gadis itu lembut. Jemarinya juga menghapus sisa air mata yang masih membasahi pipi Nayoung, serta-merta menuntun wajah gadis di hadapan untuk melihat ke arahnya.
"Bukankah hari ini Jihoon juga bergembira atas kita? Keinginannya sudah terpenuhi dan kau harus mencari makna bahagia yang lain ... bersamaku."
"Even if no matter how much I feel sad alone because you left me, it should be the end."
— Jeon Sang Keun
✨
Satu one shot untuk Meraki Project selesai kutulis dengan penuh emosi yang nggak terduga karena ... kenapa juga aku bikin cerita yang sedih-sedih begini lagi. 😭
Tapi, teman-teman, terima kasih buat yang udah singgah dan baca cerita singkat ini. One shot ini kubuat sebagai pembuka cerita baruku yang akan tayang Februari mendatang di akunku ini juga. Anggaplah ini spoiler sebagian kecilnya aja hihi. Semoga kalian menikmatinya. 😆
Dengan judul yang sama, aku bakal menuntun kalian ke kisah mereka yang lebih kompleks lagi. Tentunya juga ada beberapa perbedaan antara one shot dan versi novelnya nanti.
Selamat bertemu mereka lagi, nantikan ya! 💞
Oh, dan jangan lupa masih banyak karya-karya menarik setelah ini. Meraki Project akan menemani akhir pekan kalian!
See you again!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top