30. Hello, Sweet Memories (END)

Jihoon membawa Ara keluar dari ruangan itu. Ia hanya ingin bicara dengan gadis itu, benar-benar berdua saja. Jihoon menatap Ara, sementara yang dipandangnya terus terlihat gelisah. Khawatir tentang apa yang ingin dikatakan oleh Jihoon. Seumur hidup Ara, baru kali ini ada laki-laki yang mengajaknya bicara serius seperti ini---setelah Jinyoung.

"Aku mau mengucapkan terima kasih karena kau telah datang," ujar Jihoon.

Perlahan, Ara mengangkat kepalanya dan ia bisa bernapas lega. Bukan hal aneh-aneh yang dikatakan oleh Jihoon. Anak itu ternyata khawatir berlebihan.

Lantas, ia menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Bukannya tidak sopan jika ada orang yang mengundangmu, tapi kau tidak datang?"

Jihoon terkekeh sambil menggaruk tengkuk kepalanya. "Syukurlah kau tipe orang yang berpikir seperti itu. Aku senang."

Ah, anak ini bicara apa? "Ngomong-ngomong, selamat karena kau telah berhasil. Aku ikut senang," ucap Ara.

Laki-laki yang diajaknya bicara itu semakin melebarkan senyumnya. Sengaja ia mengintip sesuatu yang ada di belakang punggung Ara. Gadis itu jelas-jelas menyembunyikan sesuatu---meski Jihoon juga sudah bisa melihatnya lantaran ukuran yang cukup besar.

"Hanya itu?"

Ara mengangguk perlahan. Ia tidak mengerti memangnya apa lagi yang Jihoon harapkan dari Ara.

Jihoon dengan segera meraih lengan Ara yang sejak tadi disembunyikan di belakang punggung dan mengangkat buket bunga tersebut.

"Kalau ini? Untuk siapa? Bukan untukku?" tanya Jihoon, tapi kemudian mengangguk mengerti. "Ah, Jinyoung, ya?"

Gadis itu segera menggeleng kemudian dengan canggung ia juga mengangguk. "Untuk semuanya, bukan hanya kau saja. Tapi karena kau yang ada di sini, aku akan berikan ini padamu."

Ara menyodorkan bunga itu sambil setengah menunduk. Tidak bisa dibohongi kalau untuk mengatakan kalimat seperti itu saja ia melakukan perang batin dengan hatinya. Sesungguhnya, Ara senang punya kesempatan untuk membuat kenangan lagi bersama Jihoon. Bukan yang buruk seperti lalu-lalu, melainkan yang indah.

Jihoon terkekeh. Ia mengambil bunga tersebut kemudian menghirup aromanya.

"Jangan lupa untuk sampaikan salamku untuk yang lainnya juga. Itu bukan hanya untukmu," ucap Ara mempertegas.

"Kalau sudah ada di tanganku berarti benda ini milikku saja," balas Jihoon sembari melirik ke arah Ara disertai seringaian yang membuat Ara semakin ingin pergi dari hadapan Jihoon.

Bukan apa-apa, tapi gadis itu sudah bisa merasakan panas di pipinya. Kalau Jihoon melihat rona merah di wajahnya, apa lagi yang bisa ia lakukan?

Ara berdecak kemudian memukul asal lengan Jihoon. Dengan cepat, ia membalikkan tubuhnya. "Aku mau pergi saja."

Tapi gerakan kakinya juga kalah cepat dengan laki-laki yang kini sudah mencegat tubuhnya. Jihoon membentangkan tangannya. Ia bergeleng. Dari yang Ara lihat, tatapan mata Jihoon terlihat lebih serius ketimbang saat mereka berbicara tadi.

"Jangan pergi dulu. Tujuanku mengajakmu bicara hanya berdua seperti ini bukan hanya untuk mengucapkan hal itu."

Gadis yang diajaknya bicara itu mengangkat kedua alisnya. "Lalu apa lagi?"

Mata Jihoon melirik ke segala arah, selain ke wajah Ara. Ia hanya ingin menghindarinya selagi ia mengutarakan kalimat yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Tiba-tiba saja suasananya terasa canggung.

Ara masih menunggu Jihoon. Kini ia melipat kedua tangan di depan dadanya sembari memiringkan kepala. "Apa yang mau kau bicarakan? Kalau tidak segera bicara, aku akan benar-benar pergi."

"Seseorang memintaku untuk menjaga dan membuatmu bahagia," ujar Jihoon cepat. Sengaja, ia tidak berucap dengan jeda. Kini laki-laki itu sengaja memejamkan matanya dan menunduk.

Sementara itu, tubuh Ara mematung. Ia hanya terdiam dan tidak menanggapi apa yang barusan didengarnya. Gadis itu menanti kalimat yang sudah lama ingin didengarnya. Lama sekali. Apa mungkin ini saatnya? Ara menepis pikirannya, Jihoon belum berbicara apa-apa. Kalimat yang tadi dikatakannya bukan berarti apa-apa.

"Memangnya aku anak kecil yang harus dijaga?" Ara tertawa kecil sembari bergeleng, berusaha menyembunyikan rasa yang Ara sendiri tidak tahu itu apa. Sama seperti Jihoon, ia juga tidak ingin memandang wajah lelaki itu untuk saat ini.

Jihoon menggigit bagian bawah bibirnya. Ia mengepalkan tangannya, tanda bahwa ia sudah yakin dan benar-benar akan melakukannya. Laki-laki itu menarik napas panjang kemudian meletakkan kedua tangannya di bahu Ara.

Jemari lelaki itu meraih dagu Ara dan mengangkatnya supaya Ara dapat melihat wajahnya dengan jelas. Dari tatapan matanya, Ara jelas terlihat kebingungan. Jantungnya sudah berdegup tidak karuan.

"Aku menyukaimu."

Dua kata singkat itu benar-benar menghentikan detak jantung Ara beberapa detik. Sekarang, ia malah tidak tahu harus menanggapi Jihoon seperti apa. Ara senang, tapi ia juga takut.

"Tiba-tiba saja?" tanya Ara. Bukan menyia-nyiakan kesempatan, tapi gadis itu ingin menghilangkan rasa penasarannya. "Karena Ara yang ini sudah berubah? Bukan lagi seperti dulu?"

Ara tidak bisa mengelak bahwa ia takut kalau Jihoon bersikap seperti ini hanya sementara. Mencampakkan Ara yang buruk di masa lalu kemudian datang menyambut Ara yang sudah berubah menjadi lebih baik dengan senang hati. Hanya saja ... Ara takut hatinya terluka, lagi.

Jihoon menggeleng. "Bukan seperti itu. Aku minta maaf, benar-benar minta maaf dengan sikapku yang dulu sampai-sampai membuatmu khawatir seperti ini. Kali ini, aku sungguh-sungguh."

"Lalu kenapa sekarang kau datang padaku?"

"Karena aku sudah yakin ... kau orang yang bisa memahamiku dengan baik. Aku merasa nyaman saat ada di dekatmu dan khawatir saat kau jauh."

Ara terdiam lagi. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apa laki-laki di hadapannya ini sedang berbicara sungguh-sungguh? Kalau begitu, sesuatu yang ditunggunya bertahun-tahun benar menjadi kenyataan?

"Biar aku yang mengubah memori burukmu tentang kita menjadi memori yang indah."

Jihoon tersenyum, benar-benar tulus. Ara mampu melihatnya sekarang dari sorotan mata lelaki itu. Usai menghela napas, gadis yang berdiri di hadapan Jihoon itu mengangguk. 

Seperti pepatah yang mengatakan selalu ada pelangi usai hujan, begitu juga hidup Ara. Terkadang orang memang harus merasakan kesulitan sebelum akhirnya mendapat kebahagiaan yang akan membayar segala rasa sakit hatinya.

Kali ini, semakin lengkap alasan Ara tidak perlu takut lagi dengan masa lalunya. Ia punya banyak sahabat yang peduli dan laki-laki yang akan selalu ada di sampingnya, Park Jihoon. Hari ini biar menjadi awal di mana kisah manis keduanya bermula.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top