22. It's Not Like What You Think

Alih-alih pergi ke ruang administrasi, Ara justru pergi menjauh dari tempat terakhirnya berdiri. Ia juga begitu saja meninggalkan Jinyoung dan ketiga laki-laki yang ada di sana. Ia butuh tempat untuk menyendiri. Mungkin terlalu berlebihan, tapi gadis itu masih bisa merasakan sakitnya.

Ara menyeka air matanya yang masih mengalir di kedua ujung matanya. Setelahnya, ia merogoh ponsel di saku. Mencari nama seseorang yang langsung terbesit di pikirannya.

Aku akan mengakhiri semuanya.

Usia mengetikkan beberapa kata tersebut, Ara menekan tombol kunci yang terletak pada sisi ponsel. Gadis itu tertunduk dan menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Bagi Ara, ejekan seperti tadi sudah biasa ia dengar meski tak menyangka kalau ia akan mengalami hal serupa juga di sekolah ini. Gadis itu sedih, pasti. Namun, yang membuatnya paling sedih adalah menyadari seseorang yang sudah ia anggap sebagai teman baik seperti Park Jihoon tidak melakukan apa pun baginya. Lelaki itu kembali dingin seperti dulu, bukan lagi Jihoon yang menyapanya hangat ketika ia pertama kali masuk kelas. Kini Jihoon pasti hanya akan terus mengoloknya ketika bertemu atau mungkin lebih parah, menjauh.

Sekali lagi, Ara kehilangan kesempatan. Jangankan untuk membalas dendam seperti ide yang Kyung Mi pernah sampaikan, untuk mendekatinya saja Ara merasa malu. Pasalnya, lelaki itu tahu persis bagaimana Ara di masa lalu.

"Ara-ya? Kim Ara?" Suara yang dikenal Ara di ujung telepon itu mengalihkan pikirannya. "Ara, waeyo? Kau jangan bertingkah macam-macam. Jangan dulu mati, Ara. Aku sama siap---"

"Kyung Mi, kau bicara apa? Aku tidak sebodoh itu." Ara memanyunkan bibirnya kemudian menghapus sisa air mata yang mengalir.

"T-tapi tadi kau bilang?" Kyung Mi telah menyudahi kekhawatirannya dan sekarang berubah menjadi penasaran. Apalagi yang membuat sahabatnya mengatakan hal seserius itu.

Gadis yang diajaknya bicara menarik napas panjang. "Jihoon sudah tahu siapa aku."

"Apa?! Bagaimana bisa? Apa ingatannya sekuat itu tentangmu?"

"Bukan begitu. Ini karena fotoku di masa lalu yang ketahuan oleh seseorang dan kebetulan Jihoon juga ada di sana. Tidak hanya Jihoon, hampir semua anak-anak sekolah sepertinya akan mengetahui hal ini."

"Tunggu, tapi bagaimana denganmu? Kau tidak apa-apa, 'kan?" tanya Kyung Mi penasaran. Biasanya di saat-saat seperti itu, ia selalu ada di sebelah Ara. Tentu saja untuk menenangkannya, tapi sekarang mereka terpisah oleh jarak.

Pertanyaan Kyung Mi sebenarnya adalah pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Harusnya gadis itu sudah tahu pasti.

"Ketakutanku benar terjadi...."

"Jinjja? Siapa? Siapa yang mengejekmu? Harus berurusan denganku! Seenaknya saja. Aku ke sana, ya?"

Ara menggelengkan kepala meski Kyung Mi tidak bisa melihatnya. "Tidak perlu, sudah teratasi. Jinyoung ... anak itu membantuku."

Dari sambungan teleponnya, Ara bisa mendengar kalau sahabatnya tengah bernapas lega. "Sedikit banyak aku merasa berterima kasih dengannya karena sudah menjaga sahabatku."

"Hmm ... aku juga merasa seperti itu. Ah iya, Kyung Mi, aku mau bertemu denganmu. Aku ingin ke rumahmu, tidak apa-apa?"

"Eoh? Kau yakin? Bukan aku saja yang ke rumahmu?"

"Tidak, aku mau pergi sejenak dari sini. Ingin menenangkan diri, di tempatmu saja."

"Baiklah kalau begitu. Rumahku selalu terbuka untukmu."

🔼🔽🔼

Semua murid sudah terduduk manis di kelas. Kurang lebih sepuluh menit lagi, pelajaran akan dimulai. Namun, masih ada satu kursi kosong dan itu terletak tepat di depan Jihoon.

Mata laki-laki itu mulai memandangi ke arah pintu masuk, tapi seseorang yang dicarinya tidak kunjung datang.

Bel sudah mau berbunyi, tapi anak itu benar-benar menghilang ke mana?

Tiba-tiba ia teringat dengan benda yang tempo hari pernah diberikan oleh gadis itu.

Kalau ada keadaan menekan, ini bisa membuatku tenang.

"Benar ... Waktunya benda ini melakukan pekerjaan yang seharusnya," ucap Jihoon pelan.

Baru saja ia ingin beranjak dari kursi, tapi perkataan Woojin yang ada di sampingnya membuat Jihoon mengurungkan niatnya. Lelaki itu terus berkata dan tidak habis pikir dengan apa yang dilihatnya tadi.

Apa saja. Tentang anak-anak murid yang dengan begitu teganya mengejek Ara. Tentang gadis itu dan penampilan masa lalunya yang begitu mengejutkan. Juga tentang rasa penasarannya tentang Jihoon yang bahkan bersikap tak acuh.

"Kenapa tadi kau bisa bersikap diam saja? Padahal yang kutahu, kau itu orang terdekatnya," komplain Woojin.

"Tentang itu...." Jihoon berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. "Aku---"

"Baguslah kalau Jihoon bersikap seperti itu," timpal seseorang yang menjadi dalang dari kejadian tadi.

Woojin berdecak. "Dan Youra, kau ada masalah apa dengannya?"

"Aku tidak suka melihatnya dekat dengan Jihoon."

Mata Woojin membulat kemudian bergantian menatap Jihoon yang bersikap biasa saja. Ekspresinya tidak berubah. Artinya lelaki itu mungkin sudah tahu dengan alasan Youra.

"Tapi apa kau tidak memikirkan perasaan Ara? Anak itu juga tidak salah," bela Woojin. "Jihoon, kau jangan diam saja. Ini juga karenamu."

Jihoon tiba-tiba memundurkan kursinya dan berdiri. Fokus Woojin dan Youra refleks tertuju padanya. Lelaki itu melihat ke arah mata Youra. Gadis itu tersenyum tipis.

"Woojin benar. Kau keterlaluan," ucap Jihoon singkat. Tatapan matanya tajam. "Jangan dulu bicara padaku kalau kau belum meminta maaf pada Ara. Tentang Daniel hyung, aku juga akan menjelaskannya tentang ini supaya ia tidak lagi memaksaku untuk dekat denganmu."

Raut wajah Youra berubah, sementara Woojin yang masih terduduk di bangkunya itu hanya terkekeh. Sahabatnya memang sejak tadi terus tutup mulut. Namun, sekali ia berbicara bisa membuat Youra diam.

"Loh? Jihoon, kau tidak bisa begitu," gerutu Youra. Namun, lelaki itu malah melengos pergi.

Sebelum ia benar-benar meninggalkan tempatnya, ia sengaja menjatuhkan pemutar musik milik Ara ke dalam tas gadis itu.

"Makanya kau jangan berulah, lihat sendiri akibatnya," ledek Woojin, memanaskan suasana.

"Kau benar-benar menyebalkan." Gadis itu membalikkan tubuh, matanya mengikuti ke arah Jihoon pergi. "Ya! Jihoon kau mau ke mana? Kau mau mencari Ara? Hah, yang benar saja?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top