20. Well, I Know You (2)
Area sekolah sudah hampir sepi karena bel sudah berdering sekitar satu jam lalu. Namun, laki-laki yang memakai headband hitam di kepalanya itu masih tidak mau beranjak dari ruangan yang dipenuhi dengan ruangan. Suara musik dari pengeras suara terdengar mengecil. Laki-laki itu baru saja memutar tombol berwarna hitam dan kini ia bersandar pada pengeras suara tersebut.
Ia membuka asal headband yang melingkar di kepalanya. Tangannya merapikan rambut yang terkibas berantakan. Ia mengatur napasnya yang terengah-engah karena sejak tadi melakukan gerakan tari.
"Kurang dari sebulan, tapi gerakanku masih saja kacau," keluhnya. "Yang benar saja, masa seorang Jihoon mau menjatuhkan harga dirinya sebagai penari terbaik sekolah?"
Lelaki itu terus saja merutuk pada dirinya sendiri. Sementara itu, gadis kuncir tengah sedang memperhatikannya dari balik jendela.
Apa aku harus coba mendekatinya? Ia membatin dalam hati sambil sesekali mengalihkan pandangan ke benda yang ada di tangannya. "Ini bisa membantunya. Seharusnya."
Jihoon meraih tas selempang kecil miliknya, mengambil sesuatu dari dalam sana. Banyak latihan membuat tenggorokannya terasa kering dan ia sudah kehabisan stok minum. Mau tidak mau, lelaki itu harus berjalan menuju kantin.
Kakinya melangkah menuju pintu. Siapa sangka saat pintu terbuka, sudah ada seorang gadis yang berdiri di sana. Ia tertunduk dan tidak bergeser meski tahu keberadaannya menghalangi jalan bagi Jihoon.
"Ah, mwoya?!" gerutu Jihoon. "Dengan kau berdiri di sana, kau sangat menutupi jalanku. Tidakkah kau sadar dengan tubuhmu?"
"Eung?" Gadis itu mengangkat kepalanya. Sorotan matanya sendu. Tidak menyangka kalau kalimat itu juga terlontar dari mulut laki-laki yang disukainya.
"Wae? Wae? Masih tidak mau menyingkir? Apa yang kau lakukan di sini?"
Gadis bertubuh gempal itu menggigit bibir bawahnya. Setiap kata yang terucap itu terdengar menyakitkan.
"Sebelumnya aku mau memberikan ini yang mungkin bisa membantumu merasa lebih baik. Aku sudah mengumpulkan semuanya di sini," jelas gadis itu secara cepat. Bahkan tanpa menatap wajah Jihoon yang bisa saja membuatnya menangis di depan laki-laki itu.
Bukannya menerima pemberian tersebut, Jihoon malah tertawa getir. Ia meraih tangan gadis di hadapannya---yang masih mengenggam benda kecil berwarna putih---kemudian mengguncang-guncangkannya. Lantas, hal itu membuat lawan bicaranya refleks menatap ke arah Jihoon.
"Apa ini salah satu caramu untuk mendekatiku? Menunjukkan perhatianmu seperti ini?" Jihoon tersenyum menyeringai. "Kalau begitu, cara ini tidak berguna."
"Aku tidak tertarik padamu."
Gadis itu mengenggam benda di tangannya semakin erat. Kepalanya perlahan menunduk, menyembunyikan rasa malu yang harus ia rasakan. Bodoh, aku harusnya tidak perlu bertingkah seperti ini. Laki-laki seperti dia tidak akan menganggapku.
Ia melepas pegangan tangan Jihoon dengan paksa. Sebelum gadis itu berlari, terdengar suara sesenggukan. Namun, Jihoon tidak melakukan apa-apa, pun merasa bersalah.
"Harusnya kau sadar siapa dirimu dan---"
Sebelum menyelesaikan kalimatnya, gadis itu sudah lebih dahulu berlari dari hadapan Jihoon. Ketimbang mendengar makian dari laki-laki di depannya, cara itu adalah yang terbaik.
"Aneh," ujar Jihoon singkat sembari menutup pintu aula yang masih terbuka kemudian pergi meninggalkan ruangan tersebut.
"Apa mungkin?" Lamunan Jihoon tentang masa lalu terusik. Ia kembali memandangi benda berwarna putih di tangannya.
"Aku sempat melihatnya sekilas, tapi aku yakin ini sama dengan pemutar musik yang...."
"Wah, tidak, tidak. Perempuan itu benar-benar Kim Ara?"
Pikiran Jihoon kembali mengingat saat pertama kali lelaki itu berkenalan dengan Kim Ara yang berstatus sebagai murid baru di kelasnya. Netra cokelat milik gadis itu sama seperti milik seseorang yang sempat dikenalnya ketika SMP.
"Woah, jinjja? Bagaimana aku bisa tidak sadar? Dia benar-benar sudah berubah sekarang dan...."
Lelaki itu melepas kedua headset yang terpasang di telinganya. Mengangkat pemutar musik itu hingga sejajar dengan wajahnya. Ia berdecak.
"Waktu itu ... apa aku terlalu kasar kepadanya?"
🔽🔼🔽
"Gomawo, Jinyoung-ah," ucap Ara ketika keduanya sudah sampai di depan rumah Ara.
Hari ini, Jinyoung sengaja meminta izin kepada hyung-nya untuk pulang terlambat. Tentu saja, ia ingin mengantarkan Ara pulang. Karena gadis itu bisa saja masih sakit, tidak ada alasan untuk Jinyoung tidak menemaninya sampai ke rumah dengan selamat. Laki-laki itu benar-benar mengkhawatirkan keadaan Ara.
"Sama-sama, Noona. Kau bisa panggil aku kalau butuh sesuatu," balas Jinyoung diiringi dengan senyuman.
Ara tersenyum tipis. "Kau baik sekali. Aku menyesal tentang hari itu...."
"Ah, gwenchana, Noona. Tidak perlu kau bahas lagi." Lelaki itu menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung kemudian tersenyum lebar. "Hmm ... apa aku sudah jadi laki-laki terbaik yang pernah kau temui?"
Sekali lagi, tingkah Jinyoung yang terlalu polos selalu bisa membuat Ara tertawa. Bahkan ketika hatinya masih bersedih. Sambil tersenyum, gadis itu mengangguk. Hal yang tentu saja membuat Jinyoung terlihat ikut tersenyum malu.
"Kau mau masuk dulu? Kau bisa makan bersama kami kalau mau," ajak Ara, tapi dibalas dengan gelengan kepala oleh Jinyoung.
"Tidak, Noona. Hyung mungkin sudah menungguku, jadi aku harus segera pulang. Yang penting kau sudah selamat sampai di rumah."
"Ah, baiklah. Hati-hati, Jinyoung-ah. Aku masuk dulu," pamit Ara.
"Ne, ne. Semoga keadaanmu lekas membaik, Noona." Jinyoung melambaikan tangannya sampai gerbang rumah itu ditutup oleh Ara.
Gadis itu tidak langsung masuk ke dalam rumah, melainkan terdiam setelah menghilang dari hadapan Jinyoung. "Park Jihoon ... Bae Jinyoung ... Dua-duanya sama saja, aku pusing."
Drrt! Drrt!
Ponsel di dalam saku Ara bergetar. Satu-satunya orang yang selalu sibuk menghubunginya hanya satu, yaitu Kyung Mi. Kali ini, ia juga menelepon Ara dan gadis itu sudah bisa menebak kalau sahabatnya akan bertanya satu hal yang sama terus-menerus.
"Ara, eottae? Kau tidak pernah cerita-cerita lagi tentang misimu. Ada kemajuan?"
Tepat. Kyung Mi hanya terus membahas masalah ide gilanya yang sampai sekarang masih Ara lakukan.
"Misiku? Ani, ani, itu misimu. Ketimbang bercerita tentang itu, aku lebih pusing dengan Jinyoung yang semakin sering mendekatiku. Ah, jebal ... padahal aku pindah sekolah ke sini supaya bisa lebih fokus dengan kegiatan apa yang kusuka, bukan yang seperti ini."
"Hmm, menarik."
"Ya! Apanya yang menarik? Apa lagi yang kau pikirkan, huh?"
"Anak itu bisa membantumu dalam misi ini, 'kan? Kau bilang kau sudah dekat dengan Jihoon sekarang, bagaimana kalau kau gunakan Jinyoung untuk memanasi perasaan Jihoon?"
"Mwo?!"
"Ideku menarik, bukan?"
"Gila! Aku sudah cukup gila mengikuti idemu dan tidak mau melakukan hal bodoh dua kali."
"Ish, padahal ini benar-benar bisa membantumu untuk menyakiti hati Jihoon sedikit saja."
"Kyung Mi-ya, ada apa dengan dirimu? Bisa jadi jahat seperti ini. Aku yang terluka, tapi kenapa jadi kau yang lebih kejam padanya?"
"Apa lagi? Tentu karena aku tidak terima dengan tingkahnya kapan itu. Apa dia pikir mempermalukan seseorang di depan banyak orang adalah hal yang baik? Itu sama jahatnya, Ara."
"Tapi bukan begini cara membalasnya, kan?"
"Kau terlalu baik. Baiklah, lakukan saja sesukamu. Aku akan membantumu sebisa yang kulakukan."
"Begitu lebih baik, terima kasih, Kyung Mi."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top