19. Well, I Know You (1)

"Istirahat saja, aku mau kembali ke aula," ucap Jihoon usai mengantarkan Ara.

Gadis yang masih mengusap kakinya hanya terduduk di atas tempat tidur. Namun, tangannya dengan cepat menahan lengan Jihoon. Lelaki itu pun menoleh.

"Terima kasih, tapi kenapa sikapmu cukup berubah belakangan ini?" tanya Ara. Ia memang berusaha menghindari Jihoon setelah apa yang dikatakan Youra, tapi gadis itu tidak bisa menutupi rasa penasarannya.

Jihoon bergeleng. "Kau sebaiknya istirahat." Sebisa mungkin, ia mau mengabaikan pertanyaan-pertanyaan itu karena Jihoon pun tak tahu bagaimana mengatakannya.

"Jihoon?"

"Tidak perlu kau pikirkan."

"Tidak bisa, kau teman pertamaku di sini dan aku patut khawatir dengan perubahan sikapmu," jelas Ara kemudian setelahnya menunduk.

Melihat reaksi Ara, laki-laki yang sudah beranjak dan bersiap untuk keluar itu menjadi tidak tega. Ia ingin menjelaskan, tapi bingung harus mulai dari mana. Lantas, Jihoon kembali mendekat dengan tempat tidur Ara.

"Maaf, tapi sebenarnya aku dekat denganmu adalah demi Jinyoung. Waktu pertama kau datang, aku mengajakmu bicara duluan dan kau memang orang yang menyenangkan. Namun, setelahnya aku bersikap begitu semata-mata ingin membantu Jinyoung kenal dan dekat denganmu."

Ketika bicara, Jihoon bahkan tidak mampu menatap mata lawannya. Ia tidak mengerti apakah dengan begini Ara akan membencinya dan menjauh atau tidak. Yang ia tahu, cepat atau lambat gadis itu harus tahu.

"Dan sekarang Jinyoung sudah berani mengutarakan perasaannya kepadamu. Kurasa tugasku sudah cukup. Aku mau menjaga jarak denganmu. Kau tahu ... Jinyoung sahabatku," jelas Jihoon kemudian menghela napas dan membalilkan tubuh.

Ara perlahan mengangkat kepalanya. Bukan begini yang seharusnya terjadi. Bukan lagi Ara yang harusnya merasakan kekecewaan, tetapi Jihoon. Namun, nyatanya lelaki itu berhasil membuat hatinya hancur untuk kesekian kali.

"Aku pikir ... kita teman," ucap Ara dengan nada yang semakin melemah, "yang baik."

Jihoon merasa tertohok dengan kalimat yang baru disampaikan Ara. Di saat seperti ini, ia merasa seperti dia adalah orang yang jahat. Membuat status pertemanan sebagai permainan.

"Aku masih akan tetap jadi temanmu, tapi---"

Ceklek!

Suara pintu yang dibuka membuat Jihoon dan Ara terdiam serta meletakkan fokusnya ke pintu berwarna putih tersebut. Seseorang yang dikenalnya muncul dari balik pintu.

"Noona? Gwenchana?"

"Jinyoung? Kau ada apa ke sini?" tanya Jihoon sembari menunjuk lelaki yang masih berdiri di dekat pintu itu.

"Aku melihat Noona dari kelas tadi, pergi ke arah UKS. Jadi, aku izin untuk pergi ke toilet dengan guru, tapi aku sengaja datang ke sini."

Kelas Jinyoung memang berada dekat dengan UKS. Siapa pun yang ada di dalam kelas dapat melihat jelas ke luar karena letak jendela ruangan yang tidak begitu tinggi. Dan luar biasanya, ia bisa-bisanya bukan fokus ke pelajaran yang sedang diberikan dan malah melihat kemunculan Ara.

"Noona, tidak apa-apa?" Jinyoung langsung berjalan mendekati gadis itu dan melewati Jihoon begitu saja.

"A-ah, kau seharusnya tidak perlu repot begitu. Aku tidak apa-apa," balas Ara. Namun, pandangannya tidak sepenuhnya ada pada Jinyoung. Samar-samar ia justru mengamati Jihoon, tepatnya punggung Jihoon karena laki-laki itu tidak lagi membalik badannya sejak berniat untuk keluar dari ruangan.

Jihoon mendeham. "Ada Jinyoung, kurasa aku bisa kembali ke aula sekarang."

Lelaki itu beralih pergi tanpa perlu mendengar tanggapan dua orang di sana. Raut wajah Ara muram. Ia tidak tahu apa harus sedih, kecewa, marah, atau bahkan senang. Di hadapannya kini hanya ada Jinyoung yang sejak tadi terlihat mengkhawatirkan keadaan Ara. Hal itu jelas terlihat dari tatapan matanya.

Jihoon yang sekarang ternyata tidak ada bedanya dengan yang dulu.

🔽🔼🔽

Sebuah tas ransel berwarna hitam sengaja ia lemparkan di atas ranjang. Ia menarik kursi dan duduk di sana. Sejak beberapa jam lalu, ia tidak bisa menjauhkan pikirannya dari seorang gadis bernama Ara. Gadis yang baru-baru ini dikenalinya, tapi entah sudah berapa kali membuatnya pusing.

"Apa lagi yang aku pikirkan? Sudahlah biarkan mereka dekat saja. Lagi pula aku juga kenapa? Memang aku menyukainya sampai harus susah-susah berpikir begini dan merasa bersalah?"

Park Jihoon, laki-laki yang sedang dilanda kebingungan. Bingung mengartikan perasaannya sendiri. Bingung dengan keadaan yang dihadapinya sekarang.

Sambil masih menyandarkan punggungnya dengan kursi, lelaki itu memiringkan kepalanya. Menatap benda berukuran persegi panjang berwarna putih. Lengkap dengan headset yang terpasang di sana. Setelah memperhatikannya cukup lama, Jihoon memutuskan untuk mengambilnya.

"Dari Ara."

"Ah, tidak perlu. Hanya akan membuatku semakin ingat dengan dia kalau begini."

Jihoon meletakkan benda itu kembali. Mencoba mengalihkan pandangannya ke segala sisi di ruangan, tapi sulit karena ia lebih penasaran dengan kemampuan benda kecil di mejanya. Pemiliknya bilang kalau itu bisa menenangkan.

"Sekali saja. Oke."

Kedua headset sudah terpasang di telinganya. Sebelum menyalakan pemutar musik itu, Jihoon lebih dulu memperhatikan penampakan benda di tangannya. Tidak asing. Benar, ini seperti pernah kulihat.

Nada sebuah lagu mengalir di telinga Jihoon. Lelaki itu memejamkan matanya, ikut terlarut dalam alunan lagu indah yang kenyataannya benar mampu menenangkan. Tapi....

"I-ini ... lagu kesukaanku sejak SMP. Ara punya selera musik yang sama denganku atau ...."

"Tunggu, aku tahu lagu-lagu ini. Aku tahu pemutar musik ini. Kim Ara apa benar Kim Ara yang sama dengan ...."

Jihoon menegakkan tubuhnya, otaknya mengingat sesuatu di masa lalu. Matanya membulat sesaat telah menyadari sesuatu. "Kim Ara?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top