15. I Like You, But ....
"Aku menyukai Noona."
Tepat di hadapan Ara, Jinyoung berhasil membuat detak jantungnya berhenti sesaat. Tubuhnya mematung, memandang lelaki itu dengan penuh ketidakpercayaan. Sementara itu, kedua netra Jinyoung masih memandangnya dengan intens.
"Ne?"
Hanya satu kata singkat yang terlontarkan dari bibir Ara. Sesekali ia melirik Jihoon, tapi laki-laki itu tidak bereaksi apa-apa. Sepertinya Jihoon juga sama terkejutnya dengan Ara melihat pengakuan Jinyoung.
Tidak hanya itu, lelaki setinggi 178 cm di depannya meraih kedua tangan Ara. Ia tersenyum, tapi juga tidak bisa menyembunyikan rona wajahnya lantaran malu.
"Aku jatuh cinta pada Noona sejak saat itu. Mungkin terlalu tiba-tiba, tapi aku benar tidak rela jika Noona bersama laki-laki lain."
"B-Bae Jinyoung? Kau?" Ara mengerjapkan matanya berkali-kali. Namun, tidak mampu berkata apa-apa lagi ketika Jinyoung semakin erat menggenggam kedua tangannya.
"Aku tidak salah kalau menyukaimu, bukan? Sebelum ada orang lain yang mengatakan hal serupa kepadamu, aku mau jadi yang pertama.
Bagaimana denganmu?"
"Kau bercanda," balas Ara diselingi dengan kekehannya kemudian menunduk.
"Memangnya mukaku menunjukkan kalau aku sedang bercanda?"
Sebelum gadis itu menjawab pertanyaan dan rasa penasaran Jinyoung. Bunyi derap langkah kaki dan tepuk tangan dari belakang berhasil membuat keduanya menoleh.
Ia melangkah maju sambil menggelengkan kepala. Salah satu ujung bibirnya terangkat. Laki-laki yang sering dipanggil Park Jihoon itu bergabung dengan mereka setelah sejak tadi hanya memperhatikan dari jauh.
"Wow, Bae Jinyoung!"
"Hyung, kan sudah kuperingatkan---"
Perkataan Jinyoung terhenti saat sebuah tepukan mendarat di bahunya. Wajah Jihoon mendekat ke telinga Jinyoung. Lelaki itu mulai berbisik, tetapi diawali dengan tawaan kecil.
"Aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepadamu untuk hal ini."
Jinyoung mengernyitkan dahi kemudian bergumam. Ia sedikit menoleh dan melihat kalau Jihoon sedang tersenyum. Namun, bukan senyum yang biasa dan justru terlihat seperti meledek.
"Selamat," lanjutnya kemudian beralih pergi ke luar ruangan.
Sesampainya di dekat pintu, lelaki itu memegangi knop pintu kemudian membuang napasnya. "Woah, jam istirahat sudah mau selesai. Sampai tidak sadar karena terlalu serius latihan. Jinyoung, Ara, aku pamit duluan."
"Jihoon-ah...." ucap Ara pelan. Matanya mengiringi langkah Jihoon yang semakin jauh dari ruangan tersebut.
Apa yang dibicarakan Jihoon dan Jinyoung tadi sampai-sampai sikapnya berubah secara tiba-tiba? Dia jadi aneh seperti ini.
"Noona?" Suara Jinyoung mengalihkan perhatian Ara. Hingga gadis itu sadar bahwa di hadapannya masih berdiri laki-laki yang menggenggam kedua tangannya.
Ara melepaskan tautan jemari Jinyoung perlahan. Ia menurunkan tangan lelaki itu dan menangkup salah satu punggung tangan Jinyoung dengan telapaknya. Mata Ara menatap dengan sendu.
"Mianhae, Jinyoung-ah."
Gadis itu segera berlari usai mengucapkan kalimat yang membuat Jinyoung bingung. Namun, ia tidak mengejarnya. Yang dilakukan oleh Jinyoung hanyalah memperhatikan punggung tangannya sembari menghela napas.
"Mianhae?"
Kim Ara menutup rapat-rapat pintu kamar mandi sekolahnya. Ia mendaratkan kedua tangannya di atas wastafel. Mengatur napasnya yang terengah-engah lantaran berlari dan memandangi refleksi wajahnya di cermin.
"Tidak, aku tidak percaya. Untuk pertama kalinya.…"
Aku menyukai Noona. Aku menyukai Noona. Aku menyukai Noona.
"Ada laki-laki yang menyatakan perasaannya kepadaku."
Kedua tangan Ara menangkup wajahnya kemudian ia menggeleng. Matanya terpejam.
"Tapi kenapa harus di saat aku sedang mendekatkan diri dengan Jihoon. Parahnya lagi, mereka bersahabat."
"Aku akan kehilangan kesempatan untuk bersama Jihoon kalau begini. Dan lagi, aku bisa merusak pertemanan mereka."
"Jinyoung tidak buruk, tapi aku tidak mungkin menerimanya."
Ara terus-menerus berbicara sendiri. Hatinya benar-benar tidak karuan saat ini. Laki-laki yang dipertemukan dengannya dengan cara tidak sengaja malah mengganggu pikirannya. Rasanya tidak mungkin, ia bahkan tidak bisa percaya.
Gadis itu memutar kran air di depannya. Membiarkan air itu mengalir begitu saja sebelum akhirnya ia gunakan untuk membasahi wajah.
"Astaga!" pekik Ara tiba-tiba. Ia menghentikan aliran air. "Kalau aku langsung berlari seperti tadi bukannya malah menunjukkan kalau aku adalah perempuan yang aneh? Bisa-bisanya aku kabur tanpa menjelaskan apa pun padanya. Aku tidak mau ia salah paham."
Langkah gadis ceroboh itu terdengar di lorong sekolah. Cepat-cepat ia kembali ke aula. Berharap bahwa Jinyoung masih berada di sana. Namun, kenyataannya tidak.
"Bae Jinyoung?"
Tidak ada seorang pun, kecuali bayangan dirinya yang terlihat di kaca. Ruangan itu kosong. Jinyoung tidak lagi ada di sana dan bahkan Ara tidak tahu di mana ia bisa menemui Jinyoung.
"Ya sudahlah. Nanti saat aku bertemu dengannya, akan aku bicarakan lagi."
🔼🔽🔼
Waktu istirahat sudah hampir habis. Kebanyakan murid telah duduk manis di ruangan kelas. Ada yang sibuk membaca buku dan berbincang-bincang. Namun, tidak untuk Jihoon karena sejak tadi laki-laki itu hanya memangku dagunya dan terdiam.
"Ji, pulang sekolah nanti kita mampir ke toko permainan dulu ya. Ada games yang baru dirilis! Hah, aku benar-benar harus mengumpulkan banyak permainan supaya tidak cepat bosan," ucap Woojin dengan semangat sembari memperhatikan preview games yang baru rilis dari ponselnya.
Jihoon hanya bergumam. Menanggapinya dengan malas.
"Lihat, lihat! Karakter ini hebat. Harus kudapatkan ini nanti dan kita harus bertarung!" Lelaki itu mengesampingkan ponselnya supaya Jihoon bisa melihat apa yang ingin ditunjukkannya.
"Jihoon!" panggil Woojin sambil memukul lengan bagian atas Jihoon.
"Wae? Wae? Wae?!" Jihoon mengusap lengannya kemudian menoleh. "Kau bisa pelan-pelan saja memanggilku, tidak perlu memukul segala."
Woojin mengerucutkan bibirnya. "Bicara saja sendiri. Sejak tadi aku sudah memanggilmu, tapi kau tidak merespon apa pun."
"Lihat," ulang lelaki itu sembari menunjukkan apa yang tertampil di layar handphone miliknya.
"Hanya untuk memberitahuku permainan ini?" Jihoon mendecak.
"Hei, tidak biasanya. Masa kau tidak tertarik dengan ini?" tanya Woojin kaget. Ia tahu betul kalau sahabatnya itu tidak beda jauh dengannya. Keduanya sangat gila permainan, bahkan sampai lupa waktu jika memainkannya.
"Kau itu sedang ada masalah?"
Jihoon langsung menoleh dan mengerutkan keningnya. "Aku ... hmm."
Laki-laki di sebelahnya itu melipat kedua tangan di atas meja kemudian memperhatikan Jihoon. Menanti apa yang akan dibicarakannya.
"Bukan apa-apa," lanjut Jihoon disertai dengan decakan Woojin. Ia kecewa karena tidak mendengar apa yang seharusnya ia dengar.
"Payah. Kau kenapa? Untuk apa aku ada di sini kalau bukan untuk mendengarkan ceritamu?" Woojin mengomel sendiri. "Cepat, aku menunggu."
"Akan kukatakan kalau aku memang sudah ingin menceritakannya kepadamu," balas Jihoon kemudian beranjak dari kursinya.
Mata Woojin bergerak mengikuti ke mana Jihoon pergi. Laki-laki itu berjalan menuju meja yang terletak di dekat pintu masuk. Menghampiri murid-murid perempuan yang sedang asyik berbicara.
"Kang Youra," panggil Jihoon, menghentikan obrolan yang sedang berlangsung.
"Nanti malam, ayo kita pergi nonton. Kau masih menyimpan tiket itu, 'kan?" lanjutnya dengan menampilkan sebuah senyum tipis.
Youra refleks berdiri sementara teman-teman di sekelilingnya terus berbisik dan menutup mulutnya karena terkejut.
"Jihoon? Yang benar?"
"Iya, tapi tidak apa-apa kalau ajakan itu sudah tidak berlaku. Lain kali saja."
"A-aniyo, Park Jihoon. Masih! Aku akan berdandan yang cantik untukmu nanti malam." Youra menunjukkan senyum terlebarnya hari ini. Benar-benar seperti impian yang menjadi nyata bisa memiliki waktu berdua saja dengan Jihoon.
Jihoon hanya mengangguk-angguk. "Kalau begitu, jam enam kita bertemu di bioskop langsung."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top