10. I Can't Believe It
"Benar apa yang kubilang, 'kan? Tidak ada seseorang yang mengenaliku."
Faktanya apa yang dikatakan oleh Jihoon itu benar. Sejak tadi, belum ada orang yang menghampirinya untuk sekadar menyapa atau meminta foto. Bahkan Ara berpikir mungkin laki-laki di sampingnya tidak setenar yang ia kira.
"Sebentar, kau tunggu di sini dulu, ya!" perintah Jihoon yang langsung pergi tanpa memberi Ara kesempatan untuk bicara.
Gadis yang belum banyak mengenali sudut di Kota Seoul itu hanya mengerucutkan bibirnya. Ia memilih untuk menepi dan menunggu apa yang akan Jihoon tunjukkan kepadanya.
Tidak lama, laki-laki itu terlihat keluar dari sebuah toko. Kedua tangannya dipenuhi dengan makanan manis dan dingin.
"Makanan terbaik sepanjang masa yang tidak mungkin kau tolak," ujar Jihoon ketika sudah sampai di hadapan Ara. Es krim rasa cokelat menjadi pilihan Jihoon untuk menemani sorenya bersama Ara.
Ara mengambil es krim miliknya kemudian kembali melihat Jihoon. "Bagaimana kau bisa tahu kalau aku suka es krim cokelat?"
"Ne? Kalau begitu berarti seleramu sama denganku. Aku juga menyukainya," balas Jihoon dengan kekehan.
Ara mengalihkan wajahnya dan terus melangkah beriringan dengan lelaki itu. Selama perjalanan, ia hanya berfokus pada es krim di tangannya saja dan tidak berinteraksi apa-apa lagi dengan Jihoon. Keduanya sama-sama diam.
Mereka sudah sampai. Sebuah taman yang cukup ramai. Pepohonan tumbuh rimbun dengan bunga bunga berwarna merah muda, sedikit putih. Orang-orang banyak beristirahat di taman dengan duduk santai menikmati pemandangan. Tidak sedikit pula anak-anak kecil mengendarai sepedanya.
Jihoon memilih tempat yang tidak jauh dari keramaian, sedangkan Ara hanya mengikuti ke mana laki-laki itu pergi.
"Salah satu taman di Kota Seoul," ucap Jihoon. "Kau suka?"
Ara menoleh ke arah Jihoon kemudian mengamati sekelilingnya. Ia berdeham. "Tentu. Aku menyukai suasana alam seperti ini, ditambah dengan bunga-bunga yang cantik."
"Ah, iya, benar. Kebanyakan perempuan suka dengan bunga. Lalu bunga apa yang paling kau suka?"
"Hmm ...." Ara melihat ke langit sambil menyandarkan punggung di kursinya. "Sederhana. Mawar."
Jihoon mengangguk-angguk kemudian memakan es krimnya kembali. Percakapan mereka berakhir. Ara merasa canggung berada di samping laki-laki itu dan memutuskan untuk menghabiskan makanannya saja.
Sesekali Jihoon melirik ke arah Ara. Gadis itu terlihat manis dari samping dengan rambut kuncir kudanya. Namun, bukan berarti Ara tidak sadar kalau Jihoon memperhatikannya. Sebisa mungkin, ia bersikap biasa saja supaya keadaan tidak semakin canggung.
Suasana seperti ini bukan yang Ara harapkan. Lantas, Ara mengeluarkan suaranya kembali untuk mengembalikan suasana dan mengalihkan fokus Jihoon kepada dirinya.
"Kalau kau?" tanya Ara tanpa melihat mata lawan bicaranya. "Apa yang kau suka?"
"Na? Kalau kau bertanya tentang hobiku, jawabannya adalah menari."
Ara mengangkat kepalanya dan melihat wajah Jihoon kali ini.
"Sejak kecil aku menyukainya bahkan sampai bermimpi menjadi seorang idol. Makanya aku memutuskan untuk menjadi trainee di sebuah agensi ... dan sekarang aku bersyukur bisa meraih semuanya."
"Bicara tentang masa lalu, aku jadi ingat dengan percakapan kita tadi pagi. Tentang kau yang takut untuk bergaul."
"Ada yang ingin kau jelaskan tentang itu?" lanjut Jihoon.
"Eh? Masih harus kuceritakan kepadamu? Kenapa kau masih ingat saja?" tanya Ara. Membicarakan tentang masa lalu sama saja mengungkap siapa Ara sebenarnya di masa lalu. Rahasia yang susah payah ia tutupi dengan mengubah penampilannya sampai saat ini.
Jihoon menggeleng. "Tapi aku tidak memaksa. Hanya kalau kau ingin cerita saja."
Ara berpikir sejenak. Kalau aku cerita, mungkin akan menambah perhatiannya kepadaku dan itu menguntungkan. Asal jangan sampai ia menyadari apa yang sebenarnya kubicarakan.
Ia masih diam sambil melihat wajah Jihoon. Lelaki itu tersenyum tipis sembari mengangkat kedua alisnya. Sepertinya ia memang menunggu jawaban dari Ara. Kalau begitu, berarti memang tidak ada pilihan lain selain membicarakan ini dengannya.
"Baiklah kalau kau mau tahu, tapi kau jangan menertawakan atau mengejekku," pinta Ara.
Jihoon mengangkat jari kelingkingnya. "Janji."
Gadis berambut cokelat itu menghela napasnya. "Aku takut bergaul, mungkin juga trauma, karena dulu aku sering menjadi korban bully. Kau tahu itu hal yang menyedihkan, bukan?"
Ara melihat Jihoon yang cukup tertegun mendengar cerita singkatnya. Cerita yang membuat Jihoon sedikit teringat akan seseorang. Laki-laki itu menarik salah satu sudut bibirnya.
"Aneh, tapi ceritamu mengingatkanku dengan seseorang. Aku pernah kenal orang yang menjadi korban seperti itu. Kalau dipikir-pikir juga na---"
"Ah!" pekik Ara sembari beranjak. Apa Jihoon menyadarinya? "Bukan tidak mungkin kalau beberapa sekolah punya kasus bully yang mirip, kau tahu maksudku?"
Jihoon bergeming sambil memperhatikan wajah Ara, tapi setelahnya ia mengangguk. Setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ara.
"Aku mau pulang saja," pinta Ara dan langsung berjalan meninggalkan Jihoon. "Kau tidak perlu---Aaaa!"
"Kim Ara!" teriak Jihoon yang segera berlari menghampirinya.
Apa ceroboh adalah nama tengah Ara? Lagi-lagi gadis itu bersikap bodoh. Berjalan sambil bicara menengok ke belakang bukan ide yang baik karena sekarang ia terduduk lemas di bawah.
Anak kecil yang membawa sepeda berwarna hitam itu berulang kali minta maaf kemudian beralih pergi ketika Jihoon sudah ada di dekat Ara. Sementara itu, Ara hanya mengelus bagian kakinya yang sempat tertabrak sepeda.
"Siapa yang menyuruh kau untuk pergi tiba-tiba seperti ini? Sekarang lihat apa yang kau dapatkan," gerutu Jihoon sambil membantu Ara berdiri. Ia melingkarkan lengan Ara di bahunya, memapah gadis itu supaya tetap bisa berjalan meski perlahan.
Gadis yang dibantunya itu hanya meringis. "Mianhae."
Jihoon melepaskan rangkulan tangan Ara dari pundaknya. Membiarkan gadis itu berdiri sendiri. Ia berdiri tepat di depan Ara dan merendahkan tubuhnya.
Ara hanya diam saja dan tidak mengerti apa yang dilakukan oleh Jihoon. Lantas, lelaki itu menoleh ke belakang dan menepuk punggungnya sendiri.
"Naiklah. Akan lama sampai di rumah kalau kau terus berjalan sambil meringis seperti itu," ucapnya.
"Ne?" Kata singkat itu cukup menggambarkan keterkejutan Ara dengan apa yang Jihoon lakukan. Makanya ia masih tetap diam saja dan membiarkan Jihoon terus terjongkok seperti itu.
Park Jihoon? Benarkah? Dengan sikap seperti ini?
"Ppalli!" perintah Jihoon, membuyarkan segala pikiran Ara tentang laki-laki di depannya.
Ara cepat-cepat memajukan tubuhnya dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Jihoon. Lelaki itu benar-benar menggendong Ara di punggungnya sekarang.
Jinyoung benar. Anak ini pantas untuk dilindungi, seperti apa yang dikatakannya. Laki-laki itu membatin kemudian tanpa sadar tersenyum.
Jihoon dan Ara segera meninggalkan tempat itu. Sementara, dari kejauhan, seseorang tengah memperhatikan mereka.
"Park Jihoon dan murid baru itu? Yang benar saja?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top