9. Unexpected Guest
"Kak Darka layangannya gede banget."
"Iya, buntutnya juga bagus. Panjang banget! Aku mau buat layangan pake buntut kayak layangan Kak Darka juga, ah!"
"Dimas, Angga, ngapain buat layangan? Mending bareng aja, aku baru beli layangan, nih. Kak Darka, bantuin aku terbangin layangannya, dong!"
"Oke," kataku singkat, sambil mengacungkan jempol menanggapi keinginan Adi, teman Aling—bocah lelaki keturunan Chinese yang dari tadi berdiri di sisiku. "Ling, pegangin layangan Kakak, ya. Kakak mau bantuin Adi dulu."
Musim layangan. Aku senyum-senyum sendiri tiap dengar gimana senangnya anak-anak komplek yang lagi main layangan denganku di lapangan, betapa kagumnya mereka dengan hasil buatanku, dan betapa niatnya mereka untuk belajar nerbangin layangan sendiri. Tanpa sadar, sejak beberapa hari lalu aku sudah kayak bocah berbadan raksasa sekaligus pelatih penerbang layangan bagi pemula. Bodo amat kalau dikatain enggak gaul karena nolak buat main Mobile Legend, Free Fire, atau game online apa saja yang lagi hits dan lebih milih main layangan. Masalahnya jika dilihat dari segi manfaat jelas lebih bermanfaat permainan ini.
Pertama, ketika main layang-layang secara enggak sadar kita jadi banyak bergerak karena harus berlari sebelum nerbangin atau sekadar jalan-jalan buat cari angin. Hasilnya jantung jadi sehat, otot menguat, dan aliran darah jadi lancar jaya.
Kedua, waktu melihat layang-layang yang sudah berada di langit ternyata juga membuat otot dan saraf mata jadi terlatih, sehingga mata enggak bakalan lelah dan katanya bisa dijadikan sebagai pencegahan terjadinya rabun jauh.
Ketiga, menengadahkan kepala saat main layang-layang juga secara tidak langsung membuat kita mengurangi ketegangan pada otot leher, sehingga bisa mencegah nyeri leher.
Dan yang terakhir tentu mengurangi stress, karena dimainkan di luar ruangan bersama orang-orang di sekitar kita. Hitung-hitung sekaligus memperkuat kehidupan sosial jadi bisa kenal lebih dekat dengan tetangga yang menjaga anak-anak mereka.
Begitulah penjelasan Om Google, sekaligus yang pernah aku katakan ke teman-teman komplek waktu mereka meremehkan pilihanku untuk main layangan, daripada game online.
"Sudah bisa nerbangin layang-layangnya sendiri? Kalau terus belajar, pasti bisa. Iya, 'kan, Ling?"
Aling yang dari tadi sibuk menarik-ulur layangan hanya mengangguk lalu menoleh ke arahku, bersamaan ketika aku mengusap kepala Adi.
"Kak, besok buatin aku layangan yang besar kayak punya Kakak, ya. Lengkap pake buntutnya. 'Kan Kakak bilang 'Layang-layang tanpa buntut itu kurang mantap'," kata Aling, terdengar polos dan membuatku tertawa begitu saja lalu mengacak-acak rambutnya.
"Iya, datang aja ke rumah. Kita buat bareng, kalik nanti kalau kamu sudah jago bisa jual layangan hasil tanganmu sendiri."
Aling hanya mengangguk setelah mendengar jawabanku yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinganya. Memang, sih, aku sudah terbiasa mengajari Aling tentang apa pun yang kubisa, sekaligus memberitahu peluang usaha dengan bahasa kekanakan supaya nanti kalau ia sudah besar bisa meneruskan usaha orang tuanya.
Karena kebetulan kami tetanggaan dan sama-sama anak tunggal, Aling jadi sangat dekat denganku. Orang tuanya, pedagang asongan dan kadang nenek suka titip kue brownies buat dijual di warung mereka. Selain itu tidak jarang Aling main ke rumah dan menginap, sekadar untuk minta diajari pelajaran sekolah. Rasanya sepi ditakdirkan menjadi anak tunggal dan terkadang sempat terpikir, andai ibu tidak pergi meninggalkan kami mungkin aku bisa punya saudara.
"Nak Darka ini idaman banget, ya."
Sayup-sayup kudengar seseorang memujiku di sudut lapangan. Suara bapak-bapak. Lebih tepatnya di bagian bangku-bangku kayu yang jika lagi musim tanding bola dipakai buat pemain cadangan dan jika bukan musim bola, dijadikan tempat para orang tua untuk ngawasin anak-anak mereka yang main di lapangan. Lagi-lagi mukaku panas, semoga telinga juga enggak merah. Seriusan, deh, paling malu kalau sudah dapat pujian kayak begini. Apalagi sekarang obrolan mereka sudah kedengaran jelas.
Ketahuan banget mau modusin, untung enggak ada nenek kalau ada, pasti nenek bakal langsung nimbrung dan makin bersemangat buat bangga-banggain cucunya.
"Iya, cocok buat dijadikan mantu. Kalau sekarang dia kerja, mungkin sudah saya tawari buat nikah sama anak sulung saya."
"Haha, anak saya cowok semua, Pak. Tapi Bu Nisa beruntung punya cucu kaya Darka, sudah rajin, pinter, ramah, dekat sama anak-anak lagi. Beda sama anak saya yang ...."
Oke cukup! Buru-buru kuberikan tali layangan ke tangan Aling, sambil mengisyaratkan supaya dia yang ambil alih dan aku pulang duluan. Rasanya sudah enggak perlu lagi untuk menyimak terlalu jauh obrolan mereka—bapak-bapak dan ibu-ibu—malu banget kalau terus-menerus dipuji, apalagi jika mereka tahu suhu tubuhku meningkat drastis lalu telingaku memerah.
Belajar dari pengalaman, waktu nemenin nenek ke resepsi pernikahan salah satu mantan muridnya sekaligus tetangga, orang tua si pengantin nyeletuk pengen jodohin anak bungsunya denganku. Nenek yang dengar pun jadi makin semangat buat ngomporin, alhasil telingaku memerah dan tiga orang dewasa itu makin gencar buat godain aku. Dipikir mungkin aku suka sama anak bungsunya, makanya malu-malu meong.
Kalau ingat kejadian itu, jadi rada kapok buat nemenin nenek ke undangan.
Berusaha berjalan santai seolah tidak mendengar apa pun, aku berusaha tersenyum ramah dan bersikap sopan sekadar menyapa mereka lalu pamit meninggalkan lapangan. Beruntung perjalanan dari lapangan ke rumah tidak terlalu jauh, jadi jalan kaki pun bukan masalah besar. Hanya perlu jalan lurus sepanjang empat meter lalu ketemu TK, belok kanan dan setelah melewati langgar, kurang lebih sepuluh langkah rumah nenek sudah terlihat. Kemudian ada sepeda sewarna putih kapur yang begitu kukenal.
Terakhir sepeda itu masih ada di toko bunga dan Annora belum mengambilnya. Enggak mungkin Annora yang datang, 'kan? Jadi kemungkinan, ya orang-orang di Toko Bunga Dahlia.
Dari semua anggota Toko Bunga Dahlia yang tahu rumahku Cuma Boss Benji dan istrinya serta Kirana. Boss Benji enggak mungkin ke sini pakai sepeda itu, terlalu jauh dan dia punya motor, sedangkan istrinya pasti bakalan datang bareng Boss Benji atau minimal pake jasa supir online. Jadi kesimpulan terakhirnya adalah Kirana yang datang ke rumah pakai sepeda Annora.
Beberapa hari lalu, waktu nganter Kirana pulang karena terpaksa berkerja lembur, sekaligus dengerin curhatan tentang betapa galaunya dia dengan konser Wanna One, aku sempat meminjamkan jaketku karena cuaca memang lagi dingin banget. Mungkin sekarang Kirana mau kembalikan jaket itu, sekaligus pamitan. Kemarin Kirana memang sempat bilang, kalau dia mau ke Depok buat acara lahiran sepupunya.
"Nek, aku pulang."
Saat masuk ke ruang tamu, kuedarkan pandangan ke sofa ungu pucat berbahan kulit sintetis. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Kirana di sana. Tumben, biasanya dia duduk di sofa sambil main HP atau maksimal, nyambi makan jajanan dan minum es kemasan yang dia beli di warung orang tua Aling.
"Oh, sudah pulang. Kamu tadi Nenek telepon berkali-kali, enggak tahu kalau HP-nya malah ditinggal. Ada tamu, tuh. Tadi enggak sengaja ketemu Nenek di jalan waktu pulang dari pasar terus ngobrol-ngobrol, eh sekalinya adek tingkat kamu jadi ... ya udah, Nenek bawa aja ke rumah—"
"Adek tingkatku yang mana, Nek? Rasanya enggak pernah bawa teman ke sini, selain Fariz."
Nenek mencubit lenganku. Refleks aku mengaduh, rasanya pedas gila pake banget. "Nenek belum selesai cerita, loh, Darka. Dengerin dulu komentar Nenek," kata nenek lalu menarik bahuku supaya menunduk lebih dekat dengannya. "Dia cantik, loh, kayaknya dekat banget sama kamu. Enggak pa-pa, kok. Nenek suka, anaknya baik, sopan, cepat bergaul lagi."
"Nek, ini kue poffertjes-nya sudah harum terus pas diperhatikan warnanya sudah kecokelatan. Langsung diangkat, kah? Loh, Kak Darka," kata Annora yang tiba-tiba muncul dari pintu dapur lalu memperlihatkan ekspresi terkejut karena melihatku sedang berdiri di depannya. Koala bantat, keliatan banget kalau dia pura-pura kaget.
Annora lagi-lagi memberikan bombardir wink yang bikin jengah lalu senyum-senyum kayak kuda. "Kok, bisa kebetulan gini, ya? Ya ampun Nenek, aku kira cucu yang Nenek maksud itu Darka Mahaputra, eh sekalinya Kak Darka Sagraha."
Nah, 'kan? Makin keliatan ngelesnya. "Kamu tahu rumahku dari mana?" tanyaku ketus, merasa terganggu karena enggak nyangka Annora bisa sampai sini. Apalagi waktu nenek bilang kalau itu kebetulan karena mereka saling ketemu. Aneh. Memangnya ini sinetron? Di mana kebetulan-kebetulan diciptakan demi mendekatkan para tokoh utamanya.
Selain itu, dia bilang kue apa tadi? Poff ... apa? Ah, bomat, lah intinya makanan Poff-poff enggak jelas itu adalah kue tradisional Belanda yang kata Fariz bakalan kita jual di stand Negara Belanda nanti. Entah, deh gimana rasanya Cuma waktu pertama kali lihat fotonya, menurutku tidak jauh berbeda dengan apem kukus.
Koala bantat makan curut.
Pasti ini tipuan muslihat.
Menghampiri Annora, aku berdiri menjulang di depannya lalu menepuk kepala cewek itu. "Emang ada berapa Darka di Dananjaya? Di daftar seluruh mahasiswa HI Cuma ada satu, alibimu enggak greget sama sekali," ucapku pelan, sambil mengambil ceumpal dan serok wajan di tangan Annora lalu melangkah mendekati kompor.
"Memang Cuma ada satu nama Darka Sagraha dan itu sama kayak dihatiku," kata Annora enteng dan hal tersebut membuatku melongo, di depan kompor yang menyala, menghantarkan uap panas sekaligus aroma manis khas kue-kue-an. "Ini namanya tamu kejutan. Kamu pasti kaget banget, 'kan?"
Aku masih melongo, memproses sekaligus mengendalikan makna gombalan receh Annora, dan lupa cara mengedipkan mata.
Sedangkan nenek yang berdiri di belakangku pun malah tertawa terbahak-bahak, setelah mendengar gombalan receh Annora lalu mengatakan pada seluruh dunia kalau telingaku memerah. Sumpah, demi cabai keriput! Malu banget.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top