8. Fariz's Business Dream
Fariz serius dengan ucapannya dan dari semua Negara yang kami pertimbangkan dengan segala perdebatan enggak penting, tapi menentukan kesuksesan, akhirnya si mantan penjajah Indonesia terlama, pemilik banyak kincir angin raksasa yang iconic banget, bahkan produsen enam puluh lima persen bunga tulip di dunia, dan yang terpenting menjadi tempat pembuatan keju sejak empat ratus sebelum masehi, pun menjadi pilihan kami. Yap, enggak salah lagi, Belanda atau julukannya Negara seribu tanggul berhasil mencuri hati kami.
Err ... bukan kami, deng, tapi cuma Annora dan Fariz yang membiarkan hatinya direbut oleh Belanda karena aku, masih setia dengan negara ketimur-timuran.
"Kayaknya si Annora seneng banget pas tau kalau Belanda jadi pilihan kita," komentar Fariz saat ia menengok laman chat antara aku dan Annora di Line. "Stiker dia lucu, sama kayak orangnya imut-imut."
Memonyongkan bibir ke sebelah kanan, rasanya jijik banget dengar komentar Fariz. Padahal sudah sering dengar, tapi karena kali ini yang dipuji-puji adalah Annora ... lebih baik tuli non permanen aja, deh.
"Kamu acc sama Belanda karena naksir Annora, ya?" tuduhku tanpa basa-basi, sambil menarik ponselku agar Fariz tidak membaca lebih jauh percakapanku dengan Annora yang isinya, tidak lebih, tidak kurang dipenuhi oleh gombalan receh Annora dan umpatan gemas dariku.
Si biang kerok, Annora memang sudah pergi terlebih dahulu karena kelasnya akan dimulai setengah jam lagi. Sehingga agar tidak ketinggalan berita, Annora ngotot pake banget supaya aku terus up to date di Line. Dan ketika mengetahui hasil akhirnya, Annora pun tampak kesenangan, meski hanya lewat stiker Line seperti yang Fariz bilang. Katanya dia sudah enggak sabar untuk pakai baju ala-ala Belanda persis seperti di kemasan Van Houten Cocoa Powder.
Paham aja, sih, kenapa Annora harus sebegitu bahagianya karena sejak awal, pencetus negara ke-bule-bule-an itu adalah dia, ugh! Mentang-mentang bule jadi ogah sama yang ketimur-timuran.
Sedangkan aku, enggak usah ditanya! Di saat dua anak berbeda jenis kelamin itu happy-happy, aku malah menjadi salah satu manusia paling stress karena akhirnya dipaksa harus memutar otak, demi mencerna menu masakan apa yang harus kita dagangkan nanti. Mulai dari bahan-bahan, bagaimana cara menyimpannya agar tetap awet, cara menyajikan, sampai cara memasak pun harus dipelajari, enggak kayak mereka taunya mau menu ini-itu, tapi tanpa persiapan.
Di sela aku sibuk dengan Mbah Google, Fariz diam-diam ternyata sudah menyiapkan beberapa menu makanan khas Belanda yang akan kita dagangkan. Dilihat dari bagaimana songongnya dia saat ngasih lembaran kertas berisi pilihan menu, sudah seperti boss terhadap anak buahnya, Fariz lalu menyuruhku untuk membaca tulisannya.
Dan kutu bisulan! Aku benar-benar asing dengan semua nama di kertas pemberian Fariz. Hutspot, erwtensoep, dan poffertjes, gimana cara bacanya? Dan serius, apa ini makanan atau sejenis spesies bakteri? Aku enggak yakin kalau mereka adalah makanan yang enak di lidah Indonesia, nyebutnya saja sudah sulit banget gimana makannya!
"Kamu yakin kalau ini makanan manusia normal?" tanyaku sambil menaikkan sebelah alis, menyembunyikan ekspresi orang bego atau orang lokal yang enggak pernah jalan-jalan ke luar negeri, makanya asing banget sama menu makanan bernama hampir mirip dengan nama latin bakteri. "Ini nyebutnya susah banget, loh."
Fariz tertawa kecil setelah menutup pintu kamar asrama setelah menerima pesanan Gofood berupa; dua gelas es kelapa, satu bungkus bakso, satu bungkus nasi padang, dan sekotak kue-kue beraneka macam sesuai pilihan. Melihat bungkusan yang masih berada di tangan Fariz sekaligus kenikmatan aromanya, aku sudah bisa membayangkan bahwa kita akan party tanpa gangguan Annora.
Ugh, terima kasih Tuhan karena telah memberikan ketenangan yang sempurna ini.
Fariz meletakkan bungkusan-bungkusan tersebut di atas meja belajarnya lalu mengambil satu mangkok di rak piring mini dekat dispenser, dan memberikannya untukku.
"Siapa bilang pembeli kita harus nyebut nama makanannya?" Fariz membuka bungkusan nasi padangnya, sambil tertawa-tawa seolah telah menemukan harta karun paling berharga, hingga berujung pada gangguan mental akibat terlalu bahagia. "Kita tetap pakai Bahasa Indonesia, kok sekalian nyantumin keterangan supaya pelanggan tau komposisinya dan no need to be panic, Bro. Karena dari ketiga menu itu kita masih harus milih salah satunya aja sebab realistisnya, kita bertiga enggak ada yang jago masak."
Aku ber-oh ria, sambil mengangguk-angguk manja setelah mendengar ocehan Fariz. Bagaimana pun perkataan Fariz memang benar adanya dan malah menjadi lubang hitam di kelompok bisnis kacangan kami. Bukannya pesimis atau apa, tapi sorry dorry morry, harus kukatakan kacangan karena kami semua tidak ahli dalam hal memasak, marketing, dan bekerja cepat di saat orderan lagi ramai-ramainya.
Namun, kuakui bahwa Fariz memang serius dengan semua keputusannya karena khusus anggapan terakhir itu, adalah harapan Fariz di saat kukatakan kalau di rumah kerjaanku cuma cuci piring. Sedangkan Annora ... kita belum tahu, sih, tapi doakan sajalah semoga dagangan kami nanti bakalan laku keras sampai-sampai kehabisan stok dan kita perlu tambahan bahan hingga sukarelawan.
"Tapi kalau kita berusaha sekeras dan segiat mungkin sebelum hari H, aku yakin bisa menyukseskan debut kita sebagai businessman," kata Fariz lagi setelah menelan suapan nasi padang pertamanya.
"Emang itu makanannya dari bahan apa aja? Seriusan aku asing banget sama mereka, moga aja enggak banyak kejunya."
Fariz tertawa lagi, paham bahwa aku enggak begitu suka keju dan demi makan cabe kutuan, rasanya lebih baik minum susu satu galonnya aja, deh, daripada harus menyantap makanan hasil fermentasi antara susu dan ragi yang dikeraskan.
Lalu ngomong-ngomong tentang rencana buka lapak di event ulang tahun HI a.k.a Hubungan Internasional, sebenarnya harapan keberhasilan itu sembilan puluh delapan persennya adalah milik Fariz, lima belas persen milik Annora, dan sisanya harapanku sebab aku hanya sekadar tim hore di sini.
Fariz pernah cerita, kalau dia pengen banget jadi pengusaha muda dan waktu kutanya apa alasannya, cowok penyuka warna hitam itu malah bilang, 'Aku pengen punya istri artis dan di acara gosip-gosipan, kebanyakan artis suka sama pengusaha.'
Ayam kalkun lompat tinggi, kukira juga jawaban Fariz itu sungguhan sehingga sedetik setelah dia mengatakan jawaban asal tersebut, aku pun refleks membenturkan kepalanya di dinding demi mengembalikan akal sehatnya.
... dan tindakan tidak manusiawi itu mujarab. Fariz kembali normal dengan memberikan jawaban logis yaitu, 'Aku enggak mau kerja jadi buruh, apalagi punya boss karena enggak ada boss yang setia sama karyawannya.' Out of the box? Benar. Aku juga kaget alih-alih terbuka dengan pemikiran Fariz saat itu, karena jika menjadi boss untuk diri sendiri kita bisa berkerja sesuka hati tanpa merasakan tekanan.
Namun, bukan berarti bisa bertindak semaunya sebab Bu Frisca pernah mengatakan—saat aku iseng ikut Fariz menjalani hukuman menjadi pelayan di kafetaria—kalau sebenarnya menjadi pengusaha adalah pekerjaan tanpa kenal hari libur. Dikatakan demikian karena setiap waktu harus memikirkan; strategi pemasaran, cara agar pelanggan suka dan balik lagi, cara agar tidak kehabisan bahan baku, menjaga harga dan kualitas, serta semua kemungkinam buruk yang bisa saja terjadi tanpa diduga-duga.
Ibarat katanya, menjadi pengusaha adalah momen di mana kita berdiri di antara jurang dengan sedikit lahan berpijak. Siap untung besar, tapi siap juga rugi banyak.
"Jadi hutspot itu dari kentang dan wortel yang ditumbuk terus disajikan sama rebusan brisket," ujar Fariz membaca penjelasan di laman Mbah Google, sambil masih menikmati nasi padangnya.
"Brisket itu apaan? Ada di Bandung, enggak?" Nada pesimis masih membayangi karena khawatir kita kesulitan mencari bahan.
Fariz geleng-geleng kepala dan untung bukan geleng-geleng lutut karena kalau iya, itu tanda Fariz kurang asupan. "Brisket itu daging sapi bagian dada bawah sekitar ketiak, Darka!" Fariz terdengar gemas, mungkin ingin mencubitku. Namun, urung karena kami bukan pasangan homo. "Bahasa Inggris kamu berapa, sih? Kok, brisket aja enggak tau! Makanya belanja di mol juga, jangan di pasar tradisional mulu."
Mencibir kesal, kuputuskan untuk mengabaikan ucapan Fariz yang satu itu karena kuyakin dia enggak serius dengan perkataannya. "Terus kalau erwtenzeop, apaan, dah?"
"Tch, sup kacang polong. Bentuknya kental, dimakannya bisa sama sosis, roti atau ham."
"Dan poffertjes?"
"Kue tradisional Belanda!" jawab Fariz ketus kemudian meneguk habis es kelapanya.
Jawaban cenderung pendek dan sebenarnya, aku masih tidak menemukan bayangan tentang poffertjes. Apa sama dengan kue-kue tradisional yang ada di pasar? Seperti kue lapis, onde-onde, cenil, atau putri salju karena Belanda pun bersalju. Jadi meski enggan karena melihat ke-bete-an Fariz, aku pun tetap bertanya demi menuntaskan rasa tidak ingin tampak bego.
"Bentuknya gimana, Riz?"
"Kayak pancake, bedanya cuma kalau pancake pake baking powder sama baking soda buat pengembangnya, sedangkan poffertjes pake ragi instan buat pengembangnya. Kamu liat di channel Youtube-nya chef Farah Quinn, gih. Kita belajar buat bareng-bareng mulai besok," tukas Fariz, sambil menyodorkan laptop berisi video si koki berkulit eksotis Farah Quinn yang mana ia sedang menjelaskan, cara membuat poffertjes.
Kami menonton bersama dengan penuh penghayatan, mencatat apa saja yang perlu dicatat dan mencari tahu di Google, jika si manis Farah Quinn mulai mengatakan kata-kata asing di telinga kami. Saat kulirik ke arah Fariz—bukan berati naksir atau ... please, jangan pikirkan adegan romantis ala-ala bromance sekali pun karena faktanya, kami cuma teman sejak SMP yang kebetulan barengan terus—aku bisa melihat kesungguhan di matanya, mempelajari setiap menu yang mau kita dagangkan nanti agar menjadi hidangan favorit para pembeli. Kalau sudah kayak gini, rasa enggak tega buat enggak ngebantu Fariz muncul, sehingga tanpa babibu kuletakkan tangan kananku di bahu cowok itu.
"Tenang, Riz. Meski aku enggak begitu suka makanan barat, aku bakal tolongin kamu buat nyuksesin dagangan kita." Aku mengacungkan ibu jariku, sedangkan Fariz mengernyit melihat sikapku sambil menggoyangkan bahu agar tanganku segera menjauh.
"Please, don't be melankolis, deh," katanya, sambil melayangkan pukulan di kepalaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top