7. Trade Food

Biar kutebak, pikiran kalian tentang seseorang dengan label mahasiswa.

Mahasiswa, pasti cenderung dengan sesuatu yang tak jauh sama demonstrasi, ayam kampus, kesibukan mengejar dosen, bahkan jika melihat wajah penuh ekspresi stress akibat tugas menumpuk dan skripsi karena selalu revisi sudah menjadi makanan sehari-hari, seolah pihak kampus sengaja mempersiapkan kami agar kelak terbiasa menghadapi kekejaman dunia pekerjaan. Sehingga bermain kotor-kotoran ala anak sekolahan seperti; main lumpur, main tanah, berenang di sungai atau parit besar, kejar-kejaran sekali pun merupakan sesuatu paling dihindari atau sama sekali tidak terpikirkan sebab hanya terkesan sebagai membuang waktu lagi kekanakan.

Aku dan Annora sudah mendapatkan pandangan yang terakhir kusebutkan itu. Mereka—para mahasiswa waras—di kafetaria memandang kami dengan tatapan seolah mengatakan 'Yuks! Apaan, dah? Basah-basah gini, enggak ada kerjaan lain apa? Bikin kotor aja.' kurang lebih begitu. Aku paham, kok mengapa pandangan tersebut dilemparkan kepada kami, karena jika Annora tidak bertingkah di parit besar pasti kami tidak akan membawa kotoran di mana-mana seperti; jejak sepatu belumpur di sepanjang selasar kafetaria, gedung Fakultas Ilmu Sosial Politik, hingga asrama Universitas Dananjaya, lalu tetesan air bau amis yang mengudara ke sana-sini, serta terakhir kotoran ikan yang menyangkut di rambutku dan tanpa sadar kutempelkan di dinding kamar asrama Fariz.

Menyadari kelakuanku barusan, tentu saja membuat Fariz mengomel kayak emak-emak. Terlebih ketika ia mendapati lantai yang basah bin kotor akibat keberadaanku dan Annora si pembuat kerusuhan, menjadikan Fariz selaras dengan Boss Benji yakni berbicara dengan nada setinggi dua oktaf. Namun, jangan salah, ya Fariz tetaplah Fariz, lelaki baik hati sedunia, disukai banyak cewek-cewek karena tidak pernah pelit dengan sesuatu. Bahkan kalau dihitung pun sudah sering aku meminjam kamar mandinya, sehingga saat kuberitahu bahwa semua ini ulah si bocil a.k.a Annora, Fariz pun refleks bersikap super manis dan mengijinkan kami melakukan pembersihan diri di sana.

Sebenarnya demi jamur di kulit badak, rasanya ogah banget mau bawa itu cewek ke asrama Fariz, apalagi minjemin kamar mandinya. Meskipun ruangan membersihkan diri tersebut bukan punyaku cuma kehadiran Annora pasti bakal bikin riweh suasana. Apalagi di sepanjang jalan menuju asrama saja, aksi aneh Annora sudah beraneka macam sampai bikin malu isi kampus. Baiklah, yang kukatakan barusan itu, sungguhan halu karena hanya aku yang malu sebab harus jalan bareng sama Annora manusia super norak.

Namun, biarpun norak, di lain sisi keberadaan makhluk berambut cokelat karamel itu memang dibutuhkan juga, sih. Terutama jika berhadapan dengan Fariz dalam keadaan seperti ini, seriusan Fariz enggak bakal marah. Justru akan bersikap manis karena Annora cewek bening MENURUT LAKI-LAKI KAMPUS. Eh, tapi bukan berarti aku lelaki jadi-jadian, loh, ya!

"Kamu ngapain, sih, kok bisa sampai berenang bareng Annora?" Fariz duduk di kusen jendela bersama gitar akustiknya. Nada suara lelaki itu masih terdengar sengit, padahal tadi waktu ada Annora ngomongnya lembut banget. Dasar pilih kasih!

"Siapa yang berenang sama itu cewek?!"

"Ya, kamu-lah!"

Wah, kecoa kutilan! Ini si Fariz kenapa tiba-tiba jadi emosian macam cowok cemburu karena pacarnya ngelirik orang lain? Apa dia naksir Annora? Tapi Fariz 'kan emang suka bilang cinta ke cewek-cewek, kayak kata penuh makna itu adalah barang diskon bin gratisan yang bisa diumbar di sana-sini tanpa ada rasa terluka di akhir cerita. Seketika jadi melankolis karena dijudesin Fariz jadi sebelum pertengkaran antar lelaki terjadi, aku segera melempar handuk pinjaman ke muka Fariz dan hap! Mendarat dengan sempurna.

"Edan! Konotasimu beda banget sama kenyataan yang kuceritakan barusan." Duduk di sisi kasur Fariz, aku mulai mengancing kemeja putih yang kutitipkan di lemari Fariz. Meskipun kampus memiliki fasilitas loker, tapi bukan berarti aku bisa meletakkan apa saja di dalam sana sebab jika kepenuhan barang-barang pribadi, akan muncul pertanyaan kenapa enggak sekalian tinggal di kampus aja? Itu pertanyaan nenek, sih, waktu dia sadar bahwa banyak pakaianku di lemari yang bermigrasi ke loker kampus.

Fariz memberengut, melirik ke arah kamar mandi yang dalam keadaan terkunci rapat dan kini menjadi dapur rekaman milik Annora. "Aku cuma cemburu. Habis kamu bisa liat warna bra Annora dengan jelas, sedangkan aku enggak," kata Fariz di mana di detik itu juga langsung mendapatkan serangan mata saringgan milik Naruto. Oke, itu mustahil. Aku hanya memberikannya lemparan bantal, sambil menatap penuh kemurkaan dan yakin, deh meski terdengar remeh tapi kalau beneran kena rasanya lumayan juga. Apalagi kalau dilemparnya pakai kekuatan kuda.

"Ayam buntal, aku enggak semesum itu yang ada dosa, Riz. Dosa." Sengaja kutekankan kata terakhir kuat-kuat, agar Fariz sadar kalau aku berhati malaikat dan enggak mau membiarkan setan-setan berpesta pora karena mengikuti kemesuman Fariz. Alih-alih sebenarnya, aku terlalu malu untuk melihat hal demikian meski tidak jarang naluri lelaki pun minta dimanjakan.

"Intinya bukan aku yang cari kesempatan, tapi cewek itu yang sukanya modusin aku terus," kataku enggak sadar sudah terdengar ke-geer-an dan tentu menimbulkan suasana awkward karena sekita Fariz terdiam, sambil menatapku aneh.

Gajah tengkurap. Senyum mengejek muncul di wajah Fariz dan dia meninju bahuku. "Enaklah, orang gagah dikejar cewek cantik, bule lagi!"

"Siapa yang gagah?" Suara engsel karatan terdengar, pertanda bahwa Annora selesai mandi dan kami refleks menatap gadis itu. Aroma sabun mawar merek Lax mengudara, menghilangkan bau amis yang sebelumnya mendominasi penciuman kami bertiga, lalu tetesan air di ujung rambut Annora pun membuktikan bahwa ia menghabiskan waktu untuk keramas ala bintang iklan sebab wanginya itu, loh, ngalah-ngalahin pengharum ruangan otomatis di kamar Fariz, dan lagi dia juga sudah keliatan seger banget.

Aku menaikkan sebelah alisku, menatap Annora dengan tatapan penuh tanya atas semua tingkahnya di hadapan Fariz. Maksudnya, untuk apa dia memiringkan kepala ke sebelah kiri, membiarkan rambutnya tergerai basah-basahan kemudian mengusapnya dengan handuk pinjaman punyaku, sambil berdiri di depan kipas angin. Gajah duduk makan bakso, serius ini bukan iklan tau!

"Kamu ngapain ngeringin rambut pake gaya-gayaan begitu?" tanyaku sinis, sambil merebut kipas angin, mengaturnya agar mengarah ke kanan dan kiri.

"Kak Fariz, barusan itu, siapa yang gagah?" Wah, benar-benar, ini anak malah ngacangin seolah keberadaanku bagai makhluk tak terlihat, tak berbau, tak berbunyi, dan tak terasa-sudah kayak hantu aja.

"Yang gagah?" Fariz tersenyum jail, melirikku sesaat kemudian tertawa kecil. "Ya, akulah! Emang siapa lagi? Ha-ha." Tawa renyah terumbar dari bibir Fariz, entah di bagian mana lucunya hingga cowok itu sampai harus memukul-mukul bantal yang sebelumnya samsak wajahnya.

Annora yang mendengar—mungkin—joke recehan Fariz pun ikut tertawa ringan. Namun sedetik kemudian ia menoleh ke arahku, mengait lenganku untuk yang kedua kali dan sebelum aku melepasnya dengan paksa, Annora malah berkata, "Yang gagah bukan kamu, Kak, tapi Kak Darka. Sudah ganteng, baik hati, perhatian, penyayang lagi. Ketahuan banget dari—"

"Gila ya!" seruku memotong ucapan Annora dan segera menutup kedua jamur di kedua sisi kepalaku menggunakan tangan. Mendapat pujian seperti tadi, apalagi sambil ditempel-tempelin, yakin, deh selalu sukses bikin telingaku memanas dan kalau mereka paham situasinya pasti bakalan jadi bahan ejekan selanjutnya. Sehingga tindakan yang kulakukan adalah menyembunyikannya. "Jangan modus, deh. Sudah kubilang 'kan jangan deket-deket."

"Haha, kamu pasti deg-degan manja karena dapat pujian frontal dari Annora," tukas Fariz yang bangkit dari kusen jendela demi mendekatiku. "Coba liat telinganya dulu. Telinganya mana telinganya."

Emang dasar, kutu bisulan! Demi apa Fariz pake nada begitu kayak lagi ngomong sama bayi aja?! Serius aku bukan bayi dan jangan maksa-maksa buat liat telingaku.

"Apaan, sih?!" Jeritku enggak tau malu atau lebih tepatnya cuek dengan yang namanya maskulinitas saat Fariz, memaksaku untuk menjauhkan tangan di kedua telingaku.

"Haha, seriusan. Liat kalian kayak gini bisa bikin orang-orang mikir kalau kalian homo, loh." What?! Sedetik setelah Annora mengucapkan isi kepalanya kami pun refleks berhenti.

Berhenti begitu cepat, sambil menepuk-nepuk diri sendiri seolah sentuhan barusan adalah najis mughalladhah. Bawang panuan! Ogah banget dibilang homo, apalagi sama Fariz si tukang gombal yang ada kalau nenek tau nama Darka Sagraha bakal dicoret dari Kartu Keluarga.

"Bercanda, kok." Annora mengatakan hal demikian dengan sangat enteng, sambil menyampirkan handuk di sandaran kursi berbahan plastik yang sudah mengalami patah di sana-sini. "Oh, ya, katanya Himahi bakal ngadain acara buat ulang tahun HI, ya?" ujar Annora-membuatku rada aneh dengan kesupelannya di hadapan Fariz-seolah dia telah kenal lama dengan kakak tingkat satu ini.

Fariz mengangguk-angguk kayak ayam lagi makan beras, sambil mengusap dagu dan kedua alisnya mengernyit seolah berpikir keras. Jika sudah melihat bahasa tubuh Fariz yang seperti ini, sudah dipastikan bahwa anak itu telah merencanakan sesuatu-entah apa-aku enggak tau karena Fariz belum ngomong sepatah kata pun, meski sekarang kita sudah berada di detik kesepuluh.

Tapi satu yang kutahu tentang mengapa Fariz harus mengangguk-angguk, yaitu karena ia salah satu anggota tetap Himahi (Himpunan Mahasiswa Hubugan Internasional) dan sepertinya meng-iya-kan pertanyaan Annora yang mungkin memang beneran, no tipu-tipu. Sehingga jika betul HI bakal bikin event, bukan tidak mungkin aku bakalan diam saja sebab jiwa berdagang bunga produk dari Toko Bunga Dahlia pun otomatis memberontak untuk segera direalisasikan.

"Memang iya," kata Fariz akhirnya dan itu memancing lengkungan yang menukik ke atas tergambar di wajahku. "Dan aku berencana untuk ikut memeriahkannya."

Loh-loh, maksudnya? Sebelah alisku terangkat, setelah melihat ekspresi keinginan kuat di wajah Fariz. Bukan berarti aku pandai membaca ekspresi wajah, tapi apa, sih arti dari mengepalkan tangan di depan dada, mengangguk mantap, sambil mengembuskan napas kuat seperti benteng, di tengah area di mana seorang lelaki akan memamerkan kain merahnya? Tentu itu merupakan maksud dari keinginan yang lama terpendam, tapi akhirnya bisa direalisasikan.

"Aku mau kita bikin stand makanan di salah satu lapak gabungan nanti. Terserah, deh mau gabung sama siapa dan kamu," Fariz meletakkan kedua tangannya di bahuku, "bakal jadi asistenku. Enggak perlu jualan bunga untuk kali ini karena bunga enggak bisa dimakan, dan manusia perlu makan setiap hari."

Hah? Apa? Kenapa Fariz jadi seenaknya gini? Serius, ini bukan masalah manusia makan apa dan bagaimana, tapi memang sudah menjadi tradisi bagiku untuk jualan bunga setiap ada event. Sehingga kalau tidak melakukan hal tersebut ... ugh, pasti banyak yang pada nyariin.

"Aku mau ikutan juga, dong." Ucapan Annora membuatku menoleh ke arah gadis itu dalam hitungan detik. "Sekalian mau belajar gimana, sih cara buat jadi pedagang baik yang dirindukan pelanggan. Soalnya kuliat tadi waktu masa hukuman kewirausahaan, Kak Fariz supel banget ngelayanin pembeli di kafetaria."

"Kentang gepeng! Itu bukan supel, tapi lebih menjurus ke kebiasaan Fariz yang tukang gombal, tau!"

"Bodo amat, daripada kamu bawaannya ngomel-ngomel mulu, bwee." Annora menjulurkan lidahnya ke arahku, menjadikanku gemas melihatnya hingga pengen banget nyumpal mulut gadis itu pake tangkai mawar berduri.

Mendengar sekaligus melihat tingkah Annora pun, refleks membuat Fariz tertawa kecil lalu mengambil brosur di meja belajar dan memberikannya pada kami. Aku terlebih dahulu mengambilnya, enggak mau keduluan sama Annora karena jika iya, itu cewek bakal minta macam-macam sebelum ngasih liat brosurnya jadi ....

... oh, kurasa ini semacam acara pesta kostum, tapi tidak seperti Halloween karena hanya sekadar pengenalan beberapa negara dengan kita menyiapkan lapak khusus bertemakan Negara-negara pilihan. Hmm ... menarik aku akan pilih—

"Kupikir Belanda bagus," kata Annora dan refleks itu membuatku menganga.

Belanda katanya? Heck, itu sulit Bambang! Orang Indo gak suka makan keju banyak-banyak. Serius demi ngeliat Koala berlarian di tengah hutan, Annora pasti bercanda. Jadi sebelum Fariz memberikan keputusan final cepat-cepat aku berkata, "Kenapa enggak Malaysia aja atau India, Arab Saudi, mungkin? Makanannya lebih bersahabat dengan lidah orang Indonesia."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top